Anda di halaman 1dari 4

BAB I Kereta Yang Menakjubkan

Ning Nong Ning Nong...

Nong Ning Ning Nong...

Perhatian kepada seluruh penumpang kereta Argo Wilis jurusan Stasiun Tugu
Yogyakarta akan segera berangkat.. Perhatian kepada....

Sepertinya itu panggilannya. Jadi sudah waktunya aku meninggalkan kota pahlawan
ini. Kataku lirih seraya melihat pemandangan di sekelilingku. Tidak ada apa-apa di
sekelilingku. Apa yang ku lihat hanyalah kereta-kereta dan orang-orang yang sama denganku,
yakni orang-orang yang ingin pergi dari kota ini. Entah ingin meninggalkan kota ini hanya
untuk sementara atau pergi untuk selama-lamanya. Tetapi tetap saja, aku ingin mengucapkan
salam perpisahan.

Tiga tahun lamanya ku habiskan masa mudaku di kota pahlawan nan besar ini. Banyak
kenangan yang indah untukkku bahkan ada pelajaran hidup yang menamparku hingga aku
takkan bisa melupakannya. Semua itu tidak bisa merubahku sama sekali. Bahkan sedikit untuk
menjadi lebih baik pun tidak. Sekali lagi, aku menjadi orang yang gagal, orang yang tak
beruntung bahkan aku menjadi orang yang merugi. Dulu, aku meninggalkan kampung
halamanku hanya untuk belajar disini dan mendapatkan tempat yang aku impikan. Namun
lihatlah kejamnya kenyataan yang mengusirku dan memaksaku untuk membuang mimpi-
mimpiku di kota pahlawan ini.

Iya, itu benar. Aku bukanlah seorang pahlawan, aku harus meninggalkan kota
pahlawan. Benar begitu, berhentilah menjadi sok pahlawan. Lihatlah orang-orang itu, orang-
orang disekitarmu telah menyerah padamu! Sadarlah! Bisikan hati padaku.

Dengan penuh kepasrahan dan harapan ku pijakkan kaki kecilku pada gerbong kereta
yang menantiku. Belok kekiri untuk mencari tempat duduk yang aku pesan sesuai dengan
karcis yang aku pegang, 2E. Tidak jauh dari pintu tempatku berdiri, akhirnya aku temukan
kursiku. Namun, ada seseorang yang pernah ku kenal duduk disana.

Anu, Permisi Mas. Ini tempat duduk saya.

Orang itu kemudian berpaling padaku. Betapa terkejutnya aku setelah melihat wajah
orang itu. Orang yang dulu dekat denganku, Ku perkenalkan dia. Dia Surya, Sahabatku lamaku.

Surya?

Loh! Akbar? Faharuddin Akbar? Ya Ampun! Apa kabar kawanku. Lama sekali aku
tak berjumpa denganmu.
Aku baik-baik saja Sur. Iya tiga tahun sudah ya.

Tiga tahun. Waktu yang sangat lama. Ku lihat kau semakin besar saja.

Tentu saja. Aku masih banyak makan Sur. Aku tak seperti dirimu yang tetap kurus
setelah tiga tahun ini.

Hahaha.. kau masih pandai bergurau ya... hey Akbar, Bagamana mimpimu?

Ah kalau itu....

Ada apa Akbar? Apakah sama seperti dulu?.

Yah, aku terkesan kau masih mengingat kejadian yang sudah lama itu Sur. Tapi yah,
itu memang benar. Aku masih belum menemukan dimana tempatku.

Bersabarlah Akbar. Aku percaya ada tempat yang istimewa untukmu kelak

Terimakasih Sur. Kau tau saja kapan harus menyemangati seseorang.

Ah, sudahlah. Jangan kau fikirkan itu. Ah iya bagaimana kabar keluargamu?.

Kalau itu, jujur saja sur. Aku tidak tau kabar mereka. Sudah enam bulan terakhir ini
aku tidak mendapat balasan kabar dari mereka. Terkahir yang aku dapatkan, mereka sudah
menyerah padaku.

Benarkah itu Akbar? Tidak keberatankah kau untuk menceritakannya padaku?

yah, Semua itu berawal dari ujian akhir setahun yang lalu. Aku berusaha keras dengan
belajar dan belajar karena kau tau, hanya itu yang bisa ku lakukan. Kemudian saat pelaksaan
ujian itu aku yakin, sangat yakin dengan kemampuanku. Tetapi saat pengumuman, kenyataan
berkata lain. Aku gagal dalam ujian itu. Aku tidak di luluskan dalam ujian itu karena ada yang
memfitnahku tidak jujur dan kemudian di tuliskan di dalam berita acara. Aku sangat terpukul,
aku menghubungi kedua orang tuaku. Kau tau? Mereka sangat marah, mereka mendatangi
kepala sekolah untuk protes, tetapi semua itu sia-sia. Orang yang memfitnahkau tidak cukup
melakukannya sekali. Dia membuat bukti palsu sehingga bisa memberatkan tuduhan padaku.
Semenjak itu, mereka sudah tidak percaya padaku. Semakin lama orang tuaku menjauhiku.
Mereka mulai menyerah dan memebenciku. Aku menjadi terhina Sur. Aku, Kehidupanku
sudah berakhir. Alangkah baiknya jika jasad ini hilang nyawanya!.

Tenangkanlah dirimu Akbar. Kau tidak baik berkata seperti itu.


Baik? Persetan dengan kebaikan Sur! Hatiku terlanjur sakit dan hidupku sudah
berantahkan. Aku merasa tidak punya musuh, orang lain selalu ku tolong ketika butuh tanpa
pandang bulu. Tapi apa yang kebaikan lakukan padaku? Aku difitnah seperti ini, aku dipaksa
membuang jauh mimpi-mimpiku Sur! Padahal tinggal selangkah lagi kau tau itu!

Aku tau Akbar. Tapi tenanglah. Kau tidak bisa berfikir jika panas seperti ini.

Aku sudah hancur Sur. Sesak rasanya dunia ini untukku. Aku sudah tidak tau harus
melakuakan apa lagi.

Kertas yang kotor itu di buang saja. Kau hanya perlu membuka kertas yang baru.

Apa maksudmu?

Kau hanya perlu memulai lagi mimpi-mimpimu Akbar. Kembali bangkit dan jangan
menyerah. Namamu adalah Akbar, yang berarti besar. Kelak kau akan menjadi orang besar.
Aku melihat cahaya terang di sekitarmu, aku percaya hal itu. Kau tau? banyak orang yang
nasibnya lebih buruk dari dirimu, Akbar. Jika kau menyerah pada dirimu, selesai sudah. Tapi
jika kau kembali bangkit keajaiban akan terjadi, kau tidak boleh meremehkan dirimu sendiri,
karena setiap orang memiliki potensi masing-masing yang tak terhingga.

Mendengar itu ku tarik nafas panjang dan meresapi apa yang Surya katakan padaku.

Yah, ku harap kau benar Surya.

Sekrang beristirahatlah. Kau butuh itu.

Begitulah yang Surya katakan padaku dengan senyum yang menyemangatiku terpasang
di wajahya. Benar apa katanya, mataku mulai lelah dan meredup. Sebelum ku terlelap ku lihat
sekali lagi wajahnya seorang sahabatku. Tanpa tersadar bibirku mulai memasang senyum kecil
yang menggiringku kedalam tidur yang nyenyak. Bersama malam dan bintang dilangit. Di atas
rel kereta yang panjang sebagai saksiku bahwa kehidupanku yang panjang, baru saja dimulai.

***
Sinar kuning keemasan menembus jendela kereta kemudian membangunkan tidurku.
Ku ucapkan selamat pagi kepada sahabatku. Namun setelah ku buka lebar mataku tidak ada
siapapun di depanku. Aku mulai merasa janggal. Ku lihat ke sekelilingku, aku tidak
menemukannya. Apakah dia pergi jalan-jalan atau pergi ke toilet, gumamku. Setelah aku
menunggu cukup lama, ia tak kunjung kembali. Akhirya ku putuskan untuk menjelajahi
sepanjang gerbong kereta untuk mencarinya.

Dari gebong pertama hingga terakhir tak juga ku temukan bahkan kedalam toilet
sekalipun telah ku cari. Kemudian aku kembali ke tempat dudukku. Disana ada seseorang yang
dari ikut naik kereta bersamaku dari Surabaya. Ku fikir dia bisa memberiku sedikit petunjuk,
jadi, aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.

Mas, permisi. Apa mas melihat teman saya yang semalam ada di sini? tanyaku kepada
orang itu.

Sungguh mengejutkanku, setelah ku beri pertanyaan wajah orang itu berubah seperti
kebingungan dan keheranan. Kupikir mungkin aku salah menggunakan bahasa, jadi akan ku
ulangi pertanyaanku dengan menggunakan bahasa jawa tetapi orang itu telah mandahuluiku
untuk berbicara.

Maaf, orang siapa ya mas? Dari semalam saya tidak melihat siapapun disitu.

Loh, apa Mas ndak bisa lihat dan dengar saya berbincang panjang semalam?

Saya berani sumpah mas. Dari semalam saya tidak tidur sama sekali dan saya tidak
melihat siapapun disitu. Maaf, Mungkin mas semalam ngelantur karena saya lihat dari surabaya
mas sudah tertidur

Setelah mendengarnya aku mengucapkan terimakasih dan pergi. Apa benar aku
ngelantur? Tapi aku sangat yakin bahwa Surya semalam ada disini.

Akupun menenagkan diriku sejenak. Merebahkan badanku dan meminum sebotol air
mineral untuk menenangkan fikiranku. Apakah benar aku bermimpi?. aku tidak tau dengan
kenyataan yang sebenarnnya, tapi dalam hatiku aku meyakini bahwa semalam adalah hal yang
nyata bukanlah mimpi belaka. Semakin lama ku fikirkan masalah ini, aku menjadi lelah
memikirkan hal itu dan kuputuskan untuk melupakannya. Menganggap semua in tidak pernah
terjadi. Namun aku bukanlah seseorang yang mudah melupakan sesuatu, bahkan apa yang di
katakan Surya masih terngiang di telingaku hingga perjalananku hampir berakhir. Sesekali
suasana hening dan sepi di gerbongku, ku palingkan wajah seperti ada yang memanggilku. Ku
fikir itu adalah Surya, namun itu hanya khayalan dan imajinasiku saja. Aku berharap paranoid
ini segera hilang ketika aku turun dari kereta ini. Sungguh pagi di atas kereta yang
mencengangkan bagiku.
****

Anda mungkin juga menyukai