Anda di halaman 1dari 55

Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Daerah Bayat-Wonosari merupakan bagian Pegunungan Selatan Jawa dengan kondisi
geologi yang cukup kompleks. Kompleksitas kedua daerah tersebut ditandai oleh
tersingkapnya komplek batuan Pra-Tersier, intrusi diorit Gunung Pendul, serta
batugamping nummulites di Perbukitan Jiwo, Bayat dan batugamping Formasi Wonosari
yang secara fisiografis menjadi penyusun Subzona Gunung Sewu di daerah Wonosari.
Singkapan batuan Pra-Tersier didominasi oleh batuan metamorf berderajat rendah hingga
menengah (ditandai dengan terdapatnya filit kuarsa-serisit-grafit sampai sekis kuarsa-
muskovit-garnet). Di atas batuan Pra-Tersier terjadi kontak secara tidak selaras
batugamping nummulites yang berumur Eosen. Di atas batugamping tersebut terdapat
batupasir kuarsa, berlaminasi sejajar, agak lapuk dengan kedudukan perlapisannya miring
ke selatan sebesar 42. Urutan batuan ini diterobos oleh intrusi diorit Gunung Pendul.
Selain itu, di daerah Bayat juga terdapat satuan batugamping Formasi Wonosari yang
Formasi Tersier termuda dengan litologi batugamping klastik yang berselang-seling dengan
napal, batugamping terumbu, dan batugamping tufan. Formasi Wonosari ini membentuk
satuan perbukitan karst yang khas di wilayah selatan Jawa Tengah dengan ketebalan hingga
ratusan meter. Selaian itu, dipermukaaan pada wilayah penelitian juga dijumpai endapan
material Gunungapi Merapi dan alluvium sebagai satuan termuda berumur Kuarter. Oleh
karena itu, kompleksitas geologi yang terjadi di daerah Bayat-Wonosari sangat menarik
untuk dilakukan penelitan.
Metode geofisika yang digunakan dalam ekskursi Bayat-Wonosari berupa data gaya
berat dan geomagnetik. Metode gaya berat pada prinsipnya adalah pengukuran variasi
medan gaya berat akibat adanya kontras densitas batuan bawah permukaan bumi. Sehingga
melalui metode gaya berat diharapkan mampu mendelineasi struktur maupun satuan batuan
bawah permukaan berdasarkan kontras densitas. Sedangkan metode geomagnetik
digunakan mendelineasi struktur maupun satuan batuan bawah permukaan berdasarkan
kontras suseptibilitas batuan. Dengan mengintegrasikan data geologi dan metode geofisika,
dilakukan analisa dan pemodelan bawah permukaan yang menggambarkan gejala geologi
yang terjadi di daerah Bayat-Wonosari.

1
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dilaksanakannya ekskursi geologi dan geofisika di daerah Bayat-Wonosari
adalah :
1. Mendapatkan informasi geologi permukaan daerah Bayat-Wonosari, dengan melakukan
deskripsi batuan, pengamatan struktur dan pengukuran kedudukan batuan pada setiap
titik pengamatan. Hasil kajian berupa informasi urutan formasi batuan penyusun pada
daerah penelitian.
2. Mendapatkan informasi geofisika berupa gaya berat dan geomagnetik daerah Bayat-
Wonosari. Hasil kajian berupa delineasi zona intrusi dan struktur, serta hubungan antar
formasi batuan dengan integrasi data geologi permukaan pada daerah penelitian.
3. Mendapatkan model bawah permukaan berdasarkan integrasi dan analisa data gaya
berat, geomagnetik dan geologi permukaan daerah Bayat-Wonosari. Hasil kajian yang
diperoleh berupa ketebalan formasi batuan dan struktur geologi yang tidak terdelineasi
oleh data permukaan. Sehingga mampu memahami gejala geologi yang terjadi pada
daerah Bayat-Wonosari.

1.3 Waktu dan Tempat Penelitian


Ekskursi geologi dan geofisika di daerah Bayat-Wonosari dilaksanakan pada
tanggal 20 Mei 2017. Akuisisi data geofisika berupa gaya berat dan geomagnetik
dilaksanakan di sepanjang jalur Yogyakarta, Wonosari dan Bayat (Gambar 1.1).
Sedangkan pengamatan geologi dilaksanakan pada titik pengamatan yang mewakili
informasi formasi batuan di daerah Bayat-Wonosari. Titik-titik pengamatan tersebut
antara lain di daerah Piyungan, Wonosari tepatnya di tepi Sungai Ngalang, dan Bayat,
tepatnya di daerah Gunung Pendul.

2
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Gambar 1.1 Lokasi ekskursi geologi dan geofisika

1.4 Metodologi
Ekskursi geologi dan geofisika daerah Bayat-Wonosari mencakup dua tahapan
utama yaitu kajian geologi dan akuisisi data geofisika. Kajian geologi mencakup
pengamatan singkapan, deskripsi batuan, pengukuran kedudukan batuan, pengamatan
struktur geologi serta pengolahan data menjadi peta lintasan geologi. Perangkat lunak
yang digunakan dalam kajian geologi antara lain MapInfo 13, Global Mapper, Surfer 13
dan CorelDraw X7. Sedangkan untuk kajian pustaka menggunakan jurnal, Peta Geologi
Lembar Surakarta-Giritronto, Jawa (Surono dan Sudarno 1992) dan Peta Geologi
Lembar Yogyakarta, Jawa (Rahardjo, dkk., 1995).
Akuisisi data gaya berat dilakukan pada titik-titik yang mewakili variasi geologi
daerah Bayat-Wonosari sebanyak 28 titik pengukuran, sedangkan akuisisi geomagnetik
dilakukan pada 19 titik pengukuran. Instrumen yang digunakan gravitimeter tipe
Scintrex CG5, PPM tipe GEM-256, GPS, dan Altimeter. Pengolahan data dilakukan
dengan melakukan koreksi-koreksi terhadap data pengamatan sehingga diperoleh nilai
anomali bawah permukaan yang hanya dipengaruhi oleh densitas (gaya berat) dan
suseptibilitas (geomagnetik) batuan untuk selanjutnya dilakukan pemodelan (Gambar

3
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

1.1). Perangkat lunak utama yang digunakan dalam pengolahan data geofisika adalah
Microsoft Excel, Surfer 13 dan Oasis Montaj version 6.4.2.

Gambar 1.2 Diagram alir pengolahan data gaya berat dan geomagnetik

4
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

BAB II
PENGAMATAN GEOLOGI JALUR BAYAT-WONOSARI

2.1 Geologi Regional Pulau Jawa


2.1.1 Kerangka Tektonik Pulau Jawa
Tatanan tektonik Pulau Jawa menunjukkan ciri khas produk interaksi konvergen
antara lempeng Hindia-Australia dan lempeng Eurasia. Menurut Bachri (2014) Pulau Jawa
merupakan bagian dari Busur Sunda yang merupakan busur gunungapi berumur Tersier
hingga Kuarter. Evolusi lajur tektonik tunjaman telah terjadi di Indonesia Barat sejak Kapur
hingga saat ini (Katili, 1989 dalam Bachri, 2014). Perkembangan zona tunjaman
berhubungan erat dengan perkembangan pola tektonik dan struktur serta kegiatan
kegunungapian di Indonesia bagian barat. Pulau Jawa dan selatan Jawa terdiri atas tiga
periode penunjaman yaitu Kapur, Tersier dan Resen. Dari ketiga periode penunjaman Tersier
dan Resen memberikan dampak yang signifikan terhadap fisiografi dan kenampakan struktur
di Pulau Jawa. Hal tersebut ditandai dengan melimpahnya keberadaan batuan Tersier dan
Kuarter (batuan gunungapi).

Gambar 2.1 Struktur geologi Pulau Jawa (Kompilasi dari Katili 1975; Hamilton, 1979; Simanjutak, 1996;
dalam Setiadji, 2010)

Terlihat pada Gambar 2.1, terdapat beberapa pola struktur yang secara umum terdiri atas:

5
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

1. Kenampakan struktur berarah barat-timur yang dikenal sebagai arah Jawa cukup
mendominasi. Kenampakkan tersebut diikuti dengan keberadaan sesar-sesar naik
yang berukuran lebih kecil maupun lajur lipatan seperti sesar rembang yang
melibatkan batuan-batuan Neogen yang banyak dijumpai di lapangan (Bachri, 2014).
Hal tersebut menunjukkan bahwa proses tektonik Neogen memberikan pengaruh yang
lebih besar dibandingkan proses tektonik sebelumnya.
2. Kenampakkan struktur berarah timurlaut-baratdaya di Laut Jawa seperti sub cekungan
Biliton, busur Karimunjawa, busur Bawean dikontrol oleh proses tektonik pra-Tersier.
Struktur-struktur tersebut dikenal sebagai arah Meratus.
3. Kenampakan struktur berarah utara-selatan di Selat Sunda berupa sesar mendatar dan
cekungan sunda juga terbentuk oleh tektonik pra-Tersier. Struktur arah Meratus dan
Selat Sunda kemudian mengalami reaktifasi oleh tektonik yang lebih muda.

2.1.2 Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa


Pembentukan fisiografi Pegunungan Selatan yang diduga mulai Pleistosen Tengah
berupa proses pengangkatan, menghasilkan lajur-lajur pegunungan dengan penyusun utama
batuan volkanik berumur Oligo-Miosen yang menjadi batas utara dan barat kawasan tersebut
terhadap Zona Depresi Solo dan Cekungan Yogyakarta. Di bagian selatan Pegunungan
Selatan, proses pengangkatan terhadap batuan karbonat berumur Mio-Pliosen menghasilkan
topografi kars Gunung Sewu yang memanjang Baratbaratlaut-Timurtenggara. Berbagai
kelurusan perbukitan dan undak pantai dijumpai di daerah Gunung Sewu dengan arah
Baratlauttenggara di bagian utara dan Baratbaratlaut-Timurtenggara di bagian selatan.
Adanya unsur morfologi undak menunjukkan proses pengangkatan yang bersifat
episodik, namun selain itu perbedaan orientasi kelurusan tersebut menimbulkan dugaan
adanya perubahan arah pengangkatan Pegunungan Selatan. Di bagian tengah Pegunungan
Selatan, proses pengangkatan tersebut tampaknya diimbangi oleh penurunan yang
membentuk zona depresi Cekungan Wonosari dan Cekungan Baturetno. Kedua cekungan
tersebut memiliki Morfologi semi-sirkular dengan arah memanjang Baratbaratlaut-
Timurtenggara untuk Cekungan Wonosari dan arah memanjang Utaratimurlaut-
Selatanbaratdaya untuk Cekungan Baturetno. Penurunan Cekungan Baturetno diduga
menghasilkan proses perompakan aliran sungai (stream piracy) Sungai Bengawan Solo Purba
dan merubah alirannya yang sebelumnya ke selatan menjadi ke utara. Kedua cekungan
tersebut dibatasi oleh Masif Panggung yang memiliki geometri semi-sirkular dan ciri
morfologi tubuh gunungapi komposit tererosi lanjut.

6
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Gambar 2.2 Sebaran fisiografi Pegunungan Selatan (dari Pannekoek, 1949; Van Bemmelen, 1949; dengan
modifikasi dalam Husein, S dan Srijono, 2007). Secara umum Pegunungan Selatan dibagi menjadi dua, yaitu
Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Pegunungan Selatan Jawa Timur.

Gambar 2.3 Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat. Bagian utara didominasi oleh lajur-lajur
pegunungan, bagian tengah ditempati oleh depresi topografi, dan bagian selatan didominasi oleh topografi kars
(Husein, S dan Srijono, 2007).

7
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

2.1.3 Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur Bagian Barat


Wilayah Bayat-Wonosari secara fisiografi terletak pada zona Pegunungan Selatan
Jawa Timur bagian barat ini pada umumnya tersusun oleh batuan sedimen vulkaniklastik dan
batuan karbonat. Hampir keseluruhan batuan sedimen tersebut mempunyai kemiringan ke
arah selatan. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan Bagian Barat dari tua ke muda
adalah :
1. Formasi Kebo Butak
Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir, dan batulempung yang
menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya berat yang
lain. Di bagian bawah disebut sebagai anggota Kebo (Kebo beds) yang tersusun antara
batupasir, batulanau, dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit dengan
perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung. Bagian bawah
anggota ini diterobos oleh sill batuan beku. Bagian atas dari formasi ini termasuk anggota
Butak yang tersusun oleh perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi
lempung atau lanau. Ketebalan rata-rata formasi ini kurang lebih 800 meter. Urutan yang
membentuk Formasi Kebo Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower
submarine fan dengan beberapa interupsi pengandapan tipe mid fan yang terbentuk pada
Oligosen Akhir.
2. Formasi Semilir
Secara umum formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau yang bersifat tufan,
ringan, dan kadang-kadang diselingi oleh sisipan breksi volkanik. Fragmen yang menyusun
breksi maupun batupasir biasanya berupa batuapung yang bersifat asam. Di lapangan
biasanya dijumpai perlapisan yang begitu baik, dan struktur yang mencirikan turbidit banyak
dijumpai. Langkanya kandungan fosil pada formasi ini menunjukkan bahwa pengendapan
berlangsung secara cepat atau berada pada daerah yang sangat dalam, berada pada daerah
ambang kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami korosi
sebelum mencapai dasar pengendapan. Umur dari formasi ini diduga adalah pada Miosen
Awal (N4) berdasar pada keterdapatan Globigerinoides primordius pada daerah yang bersifat
lempungan dari formasi ini, yaitu di dekat Piyungan (Van Gorsel, 1987). Formasi Semilir ini
menumpang secara selaras di atas anggota Butak dari Formasi Kebo Butak. Formasi ini
tersingkap secara baik di wilayahnya, yaitu di tebing gawir Baturagung di bawah puncak
Semilir.

8
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

3. Formasi Nglanggeran
Formasi ini berbeda dengan formasi-formasi sebelumnya, yang dicirikan oleh
penyusun utamanya berupa breksi dengan penyusun material volkanik, tidak menunjukkan
perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar, bagian yang terkasar dari breksinya
hampir seluruhnya tersusun oleh bongkah-bongkah lava andesit, sebagian besar telah
mengalami breksiasi. Formasi ini ditafsirkan sebagai pengendapan dari aliran rombakan yang
berasal dari gunungapi bawah laut, dalam lingkungan laut, dan proses pengendapan berjalan
cepat, yaitu hanya selama Miosen Awal.

Gambar 2.4 Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa timur bagian barat (Surono, 2008)

Singkapan utama dari formasi ini adalah di Gunung Nglanggeran pada Perbukitan
Baturagung. Kontaknya dengan Formasi Semilir di bawahnya merupakan kontak yang tajam.

9
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Hal inilah yang menyebabkan mengapa Formasi Nglanggeran dianggap tidak searas di atas
Formasi Semilir. Namun perlu diingat bahwa kontak yang tajam itu bisa terjadi karena
perbedaan mekanisme pengendapan dari energi sedang atau rendah menjadi energi tinggi
tanpa harus melewati kurun waktu geologi yang cukup lama. Hal ini sangat biasa dalam
proses pengendapan akibat gaya berat. Van Gorsel (1987) menganggap bahwa
pengendapannya diibaratkan proses runtuhnya gunungapi seperti Krakatau yang berada di
lingkungan laut. Ke arah atas, yaitu ke arah Formasi Sambipitu, Formasi Nglanggeran
berubah secara bergradasi, seperti yang terlihat pada singkapan di Sungai Putat. Lokasi yang
diamati oleh EGR tahun 2002 berada pada sisi lain Sungai Putat dimana kontak kedua
formasi ini ditunjukkan oleh kontak struktural.
4. Formasi Sambipitu
Di atas Formasi Nglanggeran kembali terdapat formasi batuan yang menunjukkan
ciri-ciri turbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun oleh batupasir yang
bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah, batupasirnya masih
menunjukkan sifat volkanik, sedang ke arah atas sifat volkanik ini berubah menjadi batupasir
yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral
dan foraminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal yang terseret
masuk dalam lingkungan yang lebih dalam akibat arus turbid. Ke arah atas, Formasi
Sambipitu berubah secara gradasional menjadi Formasi Wonosari (anggota Oyo) seperti
singkapan yang terdapat di Sungai Widoro di dekat Bunder. Formasi Sambipitu terbentuk
selama zaman Miosen, yaitu kira-kira antara N4 N8 atau NN2 NN5.
5. Formasi Oyo Wonosari
Selaras di atas Formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo Wonosari. Formasi ini
terutama terdiri-dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hampir setengah bagian
dari Pegunungan Selatan memanjang ke timur, membelok ke arah utara di sebelah Perbukitan
Panggung hingga mencapai bagian barat dari daerah depresi Wonogiri Baturetno.
Bagian terbawah dari Formasi Oyo Wonosari terutama tersusun dari batugamping
berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang terendapkan pada kondisi laut yang
lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan di daerah dekat muara Sungai Widoro
masuk ke Sungai Oyo. Di lapangan batugamping ini terlihat sebagai batugamping berlapis,
menunjukkan sortasi butir dan pada bagian yang halus banyak dijumpai fosil jejak tipe burial
yang terdapat pada bidang permukaaan perlapisan ataupun memotong sejajar perlapisan.
Batugamping kelompok ini disebut sebagai anggota Oyo dari Formasi Wonosari. Ke arah

10
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

lebih muda, anggota Oyo ini mengalami gradasi menjadi dua fasies yang berbeda. Di daerah
Wonosari, semakin ke selatan batugamping semakin berubah menjadi batugamping terumbu
yang berupa rudstone, framestone, floatstone, bersifat lebih keras dan dinamakan sebagai
anggota Wonosari dari Formasi Oyo Wonosari (Bothe, 1929). Sedangkan di barat daya
Kota Wonosari batugamping terumbu ini berubah menjadi batugamping berlapis yang
bergradasi menjadi napal yang disebut sebagai anggota Kepek dari Formasi Wonosari.
Anggota Kepek ini juga tersingkap di bagian timur, yaitu di daerah depresi Wonogiri
Baturetno, di bawah endapan kuarter seperti yang terdapat di daerah Eromoko. Secara
keseluruhan, formasi ini terbentuk selama Miosen Akhir (N9 N18).
6. Endapan Kuarter
Di atas seri batuan Endapan Tersier seperti telah tersebut di atas, terdapat suatu
kelompok sedimen yang sudah agak mengeras hingga masih lepas. Karena kelompok ini di
atas bidang erosi, serta proses pembentukannya masih berlanjut hingga saat ini, maka secara
keseluruhan sedimen ini disebut sebagai Endapan Kuarter. Penyebarannya meluas mulai dari
timur laut Wonosari hingga daerah depresi Wonogiri Baturetno.
Singkapan yang baik dari Endapan Kuarter ini terdapat di daerah Eromoko, sekitar
Waduk Gadjah Mungkur. Secara stratigrafi Endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri
terletak tidak selaras di atas Endapan Tersier yang berupa batugamping berlapis dari Formasi
Wonosari atau breksi polimik dari Formasi Nglanggeran. Ketebalan tersingkap dari Endapan
Kuarter tersebut berkisar antara 10 hingga 14 meter. Umur Endapan Kuarter tersebut
diperkirakan Pliestosen Bawah.
Stratigrafi Endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri secara vertikal tesusun dari
perulangan tuf halus putih kekuning-kuningan dengan perulangan gradasi batupasir kasar ke
batupasir sedang dengan lensa-lensa konglomerat. Batupasir tersebut mempunyai struktur
silang siur tipe palung, sedangkan lapisan tuf terdapat di bagian bawah, tengah, dan atas.
Pada saat lapisan tuf terbentuk, terjadi juga aktivitas sungai yang menghasilkan konglomerat.

2.2. Geologi Daerah Bayat dan Wonosari


Daerah Bayat, khususnya Perbukitan Jiwo merupakan suatu Pegunungan Lipatan
yang terdiri dari perbukitan homoklin, perbukitan lipatan, perbukitan intrusi dan perbukitan
lembah antiklin dengan pola aliran sungai dendritik. Struktur-struktur geologi yang
bekembang di daerah ini berupa struktur lipatan dan sesar. Dijumpai pula banyak struktur
kekar di daerah ini. Struktur-struktur geologi ini terbentuk diperkirakan akibat bekerjanya
gaya kompresi berarah hampir utara-selatan yang kemungkinan berlangasung dalam dua

11
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

periode, pada awal kala Miosen Tengah sebelum Formasi Oyo diendapkan dan pada kala
Pliosen setelah Formasi Oyo diendapkan.
Daerah Wonosari yang merupakan bagian selatan Pegunungan Selatan Jawa dibentuk
oleh topografi kars yang ekstensif dan dicirikan oleh rangkaian perbukitan kerucut. Wilayah
ini terbentuk sebagai akibat proses pengangkatan terhadap batuan karbonat berumur Mio-
Pliosen menghasilkan topografi kars Gunung Sewu yang memanjang Baratbaratlaut-
Timurtenggara. Berbagai kelurusan perbukitan dan undak pantai dijumpai di daerah Gunung
Sewu dengan arah Baratlauttenggara di bagian utara dan Baratbaratlaut-Timurtenggara di
bagian selatan.

Gambar 2.5 Peta geologi daerah Bayat dan sekitarnya (Surono, 2008)

2.2.1 Stratigrafi Daerah Bayat dan Wonosari


Kondisi statigrafi batuan tertua yang tersingkap di daerah Bayat Bayat terdiri dari
batuan metamorf berupa filtit, sekis, batu sabak dan marmer. Penentuan umur yang tepat
untuk batuan malihan hingga saat ini masih belum ada. Satu-satunya data tidak langsung
untuk perkiraan umurnya adalah didasarkan fosil tunggal Orbitolina yang diketemukan oleh
Bothe (1927) di dalam fragmen konglomerat yang menunjukkan umur Kapur. Dikarenakan
umur batuan sedimen tertua yang menutup batuan malihan tersebut berumur awal Tersier
(batu pasir batu gamping Eosen), maka umur batuan malihan tersebut disebut batuan Pra-
Tersier. Secara tidak selaras menumpang di atas batuan malihan adalah batu pasir yang tidak
garnpingan sarnpai sedikit garnpingan dan batu lempung, kemudian di atasnya tertutup oleh

12
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

batu gamping yang mengandung fosil nummulites yang melimpah dan bagian atasnya
diakhiri oleh batu gamping Discocyc1ina, menunjukkan lingkungan laut dalarn. Keberadaan
forminifera besar ini bersarna dengan foraminifera plangtonik yang sangat jarang ditemukan
di dalam batu lempung gampingan, menunjukkna umur Eosen Tengah hingga Eisen Atas.
Secara resmi, batuan berumur Eosen ini disebut Formasi Wungkal-Garnping. Keduanya,
batuan malihan dan Formasi Wungkal-Gamping diterobos oleh batuan beku menengah
bertipe dioritik.
Diorit di daerah Jiwo merupakan penyusun utama Gunung Pendul, yang terletak di
bagian timur Perbukitan Jiwo. Diorit ini kemungkinan bertipe dike. Singkapan batuan beku di
Watuprahu (sisi utara Gunung Pendul) secara stratigrafi di atas batuan Eosen yang miring ke
arah selatan. Batuan beku ini secara stratigrafi terletak di bawah batu pasir dan batu garnping
yang masih mempunyai kemiringan lapisan ke arah selatan. Penentuan umur pada dike!
intrusi pendul oleh Soeria Atmadja dan kawan-kawan (1991) menghasilkan sekitar 34 juta
tahun, dimana hasil ini kurang lebih sesuai dengan teori Bemmelen (1949), yang menfsirkan
bahwa batuan beku tersebut adalah merupakan leher/ neck dari gunung api Oligosen.
Mengenai genetik dan generasi magmatisme dari diorit di Perbukitan Jiwo masih
memerlukan kajian yang lebih hati-hati. Sebelum kala Eosen tangah, daerah Jiwo mulai
tererosi. Erosi tersebut disebabkan oleh pengangkatan atau penurunan muka air laut selama
peri ode akhir oligosen. Proses erosi tersebut telah menurunkan permukaan daratan yang ada,
kemudian disusul oleh periode transgresi dan menghasilkan pengendapan batu garnping
dimulai pada kala Miosen Tengah. Di daerah Perbukitan Jiwo tersebut mempunyai ciri
litologi yang sarna dengan Formasi Oyo yang tersingkap lebih banyak di Pegunungan Selatan
(daerah Sambipitu- Nglipar dan sekitarnya).
Di daerah Bayat tidak ada sedimen laut yang tersingkap di antara Formasi Wungkal-
Gampingan dan Formasi Oyo. Keadaan ini sangat berbeda dengan Pegunungan Baturagung
di selatannya. Di sini ketebalan batuan volkaniklastik-marin yang dicirikan turbidit dan
sedimen hasil pengendapan aliran gravitasi lainnya tersingkap dengan baik. Perbedaan-
perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh kompleks sistem sesar yang memisahkan daerah
Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Baturagung yang telah aktif sejak Tersier Tengah.
Selama zaman Kuarter, pengendapan batu gamping telah berakhir. Pengangkatan yang diikuti
dengan proses erosi menyebabkan daerah Perbukitan Jiwo berubah menjadi daerah
lingkungan darat. Pasir vulkanik yang berasal dari gunung api Merapi yang masih aktif

13
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

mempengaruhi proses sedimentasi endapan aluvial terutama di sebelah utara dan barat laut
dari Perbukitan Jiwo.

2.2.2 Struktur Geologi Daerah Bayat-Wonosari


Geologi daerah Bayat kabupaten Klaten termasuk dibagi menjadi dua wilayah yakni
perbukitan jiwo dan wilayah pegunungan selatan. Perbukitan jiwo dibagi menjadi dua
wilayah yakni Jiwo Barat dan Jiwo Timur yang keduanya dipisahkan oleh sungai Dengkeng.
Pada daerah Jiwo Timur Daerah ini mencakup sebelah timur Sungai Dengkeng yang
merupakan deretan perbukitan yang terdiri dari Gunung Konang, Gunung Pendul, Gunung
Semangu, Di lereng selatan Gunung Pendul hingga mencapai bagian puncak, terutama mulai
dari sebelah utara Desa Dowo dijumpai batu pasir berlapis, kadang kala terdapat ragmen
sekis mika ada di dalamnya. Sedangkan di bagian timur Gunung Pendul tersingkap batu
lempung abu-abu berlapis, keras, mengalami deformasi lokal secara kuat hingga
terhancurkan.
Hubungan antar satuan batuan tersebut masih memberikan berbagai kemungkinan
karena kontak antar satuan terkadang tertutup oleh koluvial di daerah dataran. Kepastian
stratigrafis antar satuan batuan tersebut baru dapat diyakini jika telah ada pengukuran umur
absolut. Walaupun demikian berbagai pendekatan penyelidikan serta rekontruksi stratigrafis
telah banyak dilakukan oleh para ahli. Daerah perbukitan Jiwo Timur mempunyai puncak-
puncak bukit berarah barat-timur yang diwakili oleh puncak-puncak Konang, Pendul dan
Temas, Gunung J okotuo dan Gunung Temas.
Gunung Konang dan Gunung Semangu merupakan tubuh batuan sekis-mika, berfoliasi
cukup baik, sedangkan Gunung Pendul merupakan tubuh intrusi mikrodiorit. Gunung Jokotuo
merupakan batuan metasedimen (marmer) dimana pada tempat tersebut dijumpai tanda-tanda
struktur pense saran. Sedangkan Gunung Temas merupakan tubuh batu gamping berlapis. Di
sebelah utara Gunung Pendul dijumpai singkapan batu gampmg nummulites, berwarna abu-
abu dan sangat kompak, disekitar batu gamping nummulites tersebut terdapat batu pasir
berlapis. Penyebaran batugamping nummulites dijumpai secara setempat-setempat terutam di
sekitar desa Padasan, dengan percabangan ke arah utara yang diwakili oleh puncak Jokotuo
dan Bawak.
Di bagian utara dan tenggara Perbukitan Jiwo timur terdapat bukit terisolir yang
menonjol dan dataran aluvial yang ada di sekitamya. Inlier (isolited hill) ini adalah bukit Jeto
di utara dan bukit Lanang di tenggara. Bukit Jeto secara umum tersusun oleh batu gamping

14
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Neogen yang bertumpu secara tidak selaras di atas batuan metamorf, sedangkan bukit Lanang
secara keseluruhan tersusun oleh batu gamping Neogen.

2.3 Pengamatan Geologi Lapangan


Pengamatan geologi dilakukan pada tiga tempat utama yaitu desa Gunungharjo, Kec.
Piyungan, tepi Sungai Ngalang, Kec. Gedangsari, dan Perbukitan Jiwo Timur, Kec. Bayat.
Berikut deskripsi setiap titik pengamatan geologi yang dilakukan:

No Lokasi Deskripsi Pengamatan Gambar


Pengamatan
A1 Daerah Bagelen,
kabupaten Singkapan batuan sedimen
Purworejo dengan klastik, berfragmen andesit,
koordinat kondisi agak lapuk, berwana
X : 463500 abu-abu coklat, struktur masif,
Y : 9141408 menyudut. Batuan tersebut
merupakan bagian dari
Formasi Andesit Tua.

Deskripsi:
Breksi, kondisi agak lapuk,
berwarna abu kecoklatan,
struktur masif, terpilah buruk,
butir menyudut, kemas
terbuka, tekstur monomik,
berukuran bongkah hingga
kerakal, berfragmen andesit,
matriks tuf.

Gambar 2.6 Singkapan breksi daerah


Bagelen, Purworejo, arah kamera N2650E.

15
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

A2 Desa Gunungharjo,
Piyungan dengan Singkapan batuan piroklastik
koordinat berupa lapili dan tuf di
X: 442830 daerah Gunungharjo,
Piyungan dengan struktur
Y: 9135400
perlapisan, berwarna kuning
kecoklatan, bagian dari
Formasi Semilir.

Deskripsi:
Batulapili, Warna : Abu-abu,
Struktur : Masif, Tekstur : -
Ukuran butir : Lapillus (0,04
2 mm), - Menyudut, -
Terpilah Buruk, - Kemas
terbuka, Komposisi : -
Mineral Sialis : Kuarsa, -
Mineral Ferromagnesia :
Hornblende, - Mineral
Tambahan : Debu Halus

Gambar 2.7 Singkapan batulapili dan tuf


Formasi Semilir, arah kamera N2650E.

A3 Lokasi pengamatan
terletak di tepi Singkapan sedimen klastik
Sungai Ngalang, berupa batupasir karbonatan,
Kec. Gedangsari,
berwarna kuning, kondisi agak
Gunungkidul
dengan koordinat lapik, kemiringan relatif ke
X: 453325 arah selatan, dengan
Y: 9128956 kedudukan N1350E/160.
Satuan ini merupakan bagian
dari Formasi Sambipitu.

Deskripsi:
Batupasir karbonatan, Gambar 2.9 Singkapan batupasir
berwarna kuning kecoklatan, karbonatan di tepi Sungai Ngalang, arah
struktur perlapisan, berukuran kamera N0050E.
pasir halus (0,125-0,25 mm),
membundar, terpilah baik
dengan kemas tertutup,
berfragmen kuarsa, matriks
horblende dengan semen
karbonatan.

16
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

A4 Lokasi terletak di
Goa Nginrong, Desa Singkapan batugamping
Mulo, Kec. Wonosari dengan topografi karst yang
dengan koordinat
unik, kekar-kekar berkembang
X: 454967
dan mengalami pelarutan yang
Y: 9112565 intensif sehingga
menghasilkan aliran bawah
permukaan. Sinkhole dengan
diameter sekitar 75 m
merupakan penciri daerah
karst.

Deskripsi:
Kalkarenite, berwarna coklat,
berstruktur masif, ukuran butir Gambar 2.10 Singkapan breksi, arah kamera
arenite ( 0,062 1 mm ), N2650E
membundar, terpilah baik
dengan kemas tertutup,
allochem interclast, mikrit
berupa kalsit dan sparit berupa
karbonat.

17
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

A5 Lokasi terletak di
daerah Gunung Singkapan batuan beku
Pendul, Bayat intermediet plutonik, kondisi
agak lapuk, berwarna abu-
dengan koordinat
abu kecoklatan,
X: 463895 menunjukkan struktur
Y: 9140867 spheroidal weathering
sebagai proses ini
dinamakan eksfoliasi.
Struktur spheroidal
weathering selain dikontrol
oleh perbedaan tekanan
dalam batuan, air, juga oleh
ukuran butir mineral yang
seragam.
Keberadaan singkapan ini
diduga merupakan intrusi
yang menerobos batuan
metamorf Pra Tersier dan
batuan sedimen Paleogen
dari Formasi Wungkal-
Gamping.

Deskripsi:
Diorit, berwarna abu-abu,
dengan struktur spheroidal Gambar 2.11 Intrusi diorit dengan struktur
weathering holokristalin, kulit bawang, desa Gunung Gajah, Bayat
fanerik sedang, dengan relasi
euhedral-equigranular,
komposisi mineral terdiri Air
atas Plagioklas, Hornblende, diorit
Piroksen dan Kuarsa.

singkapan Diorit
Gambar 2.12 Sketsa pelapukan spheroidal
weathering

18
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

A6 Lokasi terletak di
daerah Watuprahu, Singkapan batuan sedimen
Bayat dengan nonklastik, batugamping
koordinat: dengan kandungan fosil
X: 463715 Nummulites SP yang
Y: 9141456 melimpah (1-2 cm).
Singkapan batugamping
Nummulites ini merupakan
bagian dari Formasi Wungkal- Gambar 2.12 Singkapan batugamping
Gamping. Nummulites, Watuprahu, Bayat (arah
kamera N1890E).
Deskripsi:
Batugamping Nummulites, S
kondisi segar, berwarna abu- B
T
abu, struktur fossililiferous
(Nummulites), tekstur amorf, Watuprahu
U
dengan komposisi
monomineralik karbonat.
Jalan Desa

Gambar 2.13 Sketsa lokasi pengamatan


batugamping Nummulites di daerah
Watuprahu, Bayat

Gambar 2.13 Singkapan batugamping


Nummulites di daerah Watuprahu, Bayat

19
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

A7 Lokasi terletak 300


m ke arah barat dari Singkapan batuan metamorf,
singkapan kondisi adak lapuk, berwarna
Watuprahu, yaitu
hitam kecoklatan, memiliki
pada koordinat
X: 463503 penjajaran mineral pipih
Y: 9141415 berukuran >1 mm sehingga
mudah dikenali dengan mata
telanjang. Pada sekis tampak
kehadiran mineral pipih lebih
melimpah daripada mineral
granular. Gambar 2.14 Singkapan filit, di daerah
Gunung Gajah, Bayat
Deskripsi:
Sekis, metamorfisme dari
batulempung, berwarna abu-
abu keckolatan, bertekstur
nematoblastik, struktur
berfoliasi (Schistose),
komposisi mineral berupa
mika, grafit, hornblende.

Gambar 2.14 Singkapan filit, di daerah


Gunung Gajah, Bayat

Sekis

Struktur Foliasi

Marmer

Gambar Sketsa posisi Sekis dan Marmer

20
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Gambar 2.6 Peta lintasan titik pengamatan geologi

22
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

BAB III
GAYA BERAT DAN MAGNET

3.1 Teori Dasar Gaya berat


Metoda gaya berat adalah metoda penyelidikan geofisika yang mengukur variasi
percepatan gaya berat di permukaan bumi akibat perbedaan densitas batuan bawah
permukaan. Secara umum variasi gaya berat setiap titik di permukaan bumi dipengaruhi oleh
lintang (latitude), ketinggian (elevation), topografi sekitar (topography of surrounding
terrain), pasang surut (earth tides), variasi densitas bawah permukaan (density of variation in
the subsurface). Metode ini didasarkan pada teori Newton, yang secara teoritis menyatakan
bahwa gaya tarik antara dua masa benda yang diketahui secara langsung berbanding lurus
dengan perkalian dua masa benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak kedua masa
benda tersebut. Masa benda tersebut berkaitan dengan parameter densitas batuan bawah
permukaan. Densitas tersebut dipengaruhi oleh komposisi mineral, sementasi, porositas, jenis
fluida pengisi pori, dan proses pembebanan.
Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan koreksi sehingga diperoleh
suatu nilai percepatan gaya berat yang hanya dipengaruhi variasi densitas batuan bawah
permukaan. Tahapan-tahapan koreksi tersebut antara lain sebagai berikut:
1. konversi hasil pembacaan gravitymeter ke nilai milligal,
2. koreksi tinggi alat,
3. koreksi drift (apungan),
4. koreksi pasang surut,
5. koreksi gaya berat normal,
6. koreksi udara bebas (free-air correction),
7. koreksi Bouguer.
Sampai pada tahapan ini diperoleh nilai Anomali Bouguer Sederhana (ABS) pada
topografi.
8. koreksi medan (terrain correction)
ABS yang telah dikoreksi dengan koreksi medan disebut dengan Anomali Bouguer
Lengkap (ABL) di topografi.

24
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

1. Konversi Skala Gravitymeter


Hasil pembacaan pada gravitymeter berupa skala, sehingga harus dilakukan konversi
terlebih dahulu agar dapat menunjukkan nilai medan gaya berat dalam gal atau mgal. Untuk
melakukan konversi, pada setiap gravitymeter selalu dilengkapi dengan tabel konversi.
Cara melakukan konversi adalah sebagai berikut:
1. Misal hasil pembacaan gravitymeter 1650,50. Nilai ini diambil nilai bulat sampai
ratusan yaitu 1600. Dalam tabel konversi nilai 1600 sama dengan 1633,43 mgal.
2. Sisa dari hasil pembacaan yang belum dihitung yaitu 50,50 dikalikan dengan faktor
interval yang sesuai dengan nilai bulatnya, yaitu 1,02106, sehingga hasilnya menjadi
50,50 x 1,02106 = 51.56353 mgal.
3. Terakhir, kedua perhitungan diatas dijumlahkan, hasilnya adalah 1633,43 + 51.56353
= 1684.99353 mgal.

Contoh Potongan tabel konversi gravitymeter type G-1118.

COUNTER VALUE IN FACTOR FOR


READING MILLIGALS INTERVAL

1500 1531.34 1.02100

1600 1633.43 1.02106

1700 1735.54 1.02113

2. Koreksi Tinggi Alat.


Nilai medan gaya berat yang diperoleh dari gravitymeter adalah nilai dipermukaan
alat, seharusnya nilai yang terukur tepat dipermukaan tanah, sesuai dengan ketinggian yang
terukur oleh GPS. Oleh karena itu nilai ini harus dikoreksi dengan koreksi tinggi alat dengan
cara mengalikan ketinggian gravitymeter (dalam meter) dengan faktor 0,3087.

3. Koreksi Apungan (Drift)


Koreksi ini muncul dikarenakan gravitymeter selama digunakan untuk melakukan
pengukuran akan mengalami guncangan, sehingga akan menyebabkan bergesernya
pembacaan titik nol pada alat tersebut. Pergeseran pembacaan titik nol ini disebut drift, dan
besarnya masih mendekati linier terhadap fungsi waktu untuk jangka waktu yang relatif

25
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

singkat (beberapa jam). Dengan koreksi drift ini diharapkan akan menghilangkan kesalahan
yang disebabkan oleh pergeseran pembacaan.
Koreksi drift ini dikurangkan terhadap pembacaan pada gravitymeter. Koreksi drift
dilakukan dengan cara melakukan pengukuran dengan metode looping, yaitu dengan
pembacaan ulang pada titik ikat (base station) dalam satu kali looping, sehingga nilai
penyimpangannya dapat diketahui. Besarnya koreksi drift dirumuskan sebagai berikut:

tn tB
Dn g B ' g B ......................................................................... (1)
t B' t B

dimana, Dn : Koreksi drift pada titik-n


tn : Waktu pembacaan pada titik-n
tB : Waktu pembacaan di titik ikat pada awal looping
tB : Waktu pembacaan di titik ikat pada akhir looping
gB : Nilai pembacaan di titik ikat pada awal looping
gB : Nilai pembacaan di titik ikat pada akhir looping

Setelah dikoreksi drift maka diperoleh medan gaya berat observasi terkoreksi drift sebesar:
gD = g - Dn .......................................................................................................... (2)
dengan g adalah medan gaya berat hasil pengukuran (mgal).

4. Koreksi Pasang Surut


Koreksi pasang surut disebabkan oleh adanya gaya tarik yang dialami bumi akibat
bulan dan matahari, sehingga dipermukaan bumi akan mengalami gaya tarik naik turun. Hal
ini akan menyebabkan perubahan nilai medan gaya berat di permukaan bumi secara periodik.
Koreksi pasang surut ini juga tergantung dari kedudukan bulan dan matahari terhadap bumi.
Koreksi pasang surut dihitung berdasarkan perumusan yang diberikan oleh Longman
(1969), dan telah dibuat dalam sebuah paket program komputer, sehingga untuk menentukan
besarnya koreksi ini tinggal memasukkan data masukan berupa waktu dan posisi lintang dari
titik pengukuran. Koreksi tersebut selalu ditambahkan terhadap nilai pengukuran. Setelah
dilakukan koreksi ini maka akan diperoleh nilai medan gaya berat di permukaan topografi
yang terkoreksi drift dan pasang surut, yang secara matematis dapat ditulis:

gobs = gD + T ....................................................................................................... (3)

26
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

dengan gobs adalah medan gaya berat observasi yang telah dikoreksi drift dan pasang surut
(mgal), T adalah koreksi pasang surut (mgal).

5. Koreksi Gaya berat Normal.


ebelum dilanjutkan dengan pengolahan terhadap data medan gaya berat maka perlu
diketahui terlebih dahulu mengenai anomali medan gaya berat. Anomali medan gaya berat
adalah selisih antara medan gaya berat observasi dengan medan gaya berat teoritis (gaya
berat normal).
Medan gaya berat teoritis adalah medan gaya berat yang disebabkan oleh faktor-
faktor non geologi dan nilainya dihitung berdasarkan rumusan-rumusan yang dijabarkan
secara teoritis. Rumusan medan gaya berat teoritis pada sferoid referensi (z = 0) telah
ditetapkan oleh The International Association of Geodesy (IAG) yang diberi nama Geodetic
Reference System 1980 (GRS 80) sebagai fungsi lintang (Blakely, 1995) sebagai berikut:

gn = 978032,700 (1 + 0,0053024 sin2 - 0.0000058 sin22)................................ (4)

dengan adalah posisi lintang. Sehingga anomali medan gaya berat dapat ditulis dalam
persamaan sebagai berikut:

g = gobs gn ........................................................................................................ (5)

dengan g adalah anomali medan gaya berat.

6. Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction)


Medan gaya berat teoritis yang ditentukan IAG adalah medan gaya berat di sferoid
referensi (z = 0), sedangkan observasi dilakukan di topografi sehingga menghasilkan medan
gaya berat observasi di topografi. Untuk mendapatkan anomali medan gaya berat di topografi
maka medan gaya berat teoritis dan medan gaya berat observasi harus sama-sama berada di
topografi. Untuk mengatasi hal ini maka harus dilakukan koreksi udara bebas (free-air
correction) terhadap medan gaya berat teoritis.
Untuk pengukuran setinggi H di atas sferoid referensi maka jarak akan bertambah
menjadi R+H, dimana H << R. Percepatan gaya berat di titik tersebut menjadi:

dg
g ( R H ) g ( R) H
dR ................................................................... (6)

27
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

dengan, g(R) : percepatan gaya berat normal


dg/dR : variasi percepatan gaya berat terhadap R
H : ketinggian titik ukur terhadap sferoid referensi

Sedang H(dg/dR) dihitung menggunakan rumus Mc. Cullach :

GM G 1
U ( R) 3 (C A)(1 3 sin 2 ) 2 R 2 cos 2
R 2R 2
(7)
dengan :
: Kecepatan angular bumi (7,2992115.10-11 rad s-1)
G : Konstanta gaya berat umum (6,6732.10-11 Nm2kg-2)
M : Massa bumi (5,973.1024 kg)
C : Momen inersia axial (8,0378.1037 kg m2)
A : Momen inersia equator (8,0115.1037 kg m2)
: Sudut lintang

Turunan pertama dari g(R) adalah :

dg d 2U

dR dR 2
96(C A) 1 2
5 2MRC 2 3(C A) 2
G 1
cos 2
Re
5
Re 2 2
(8)
dengan memasukkan nilai pendekatan untuk C, A, M, Re dan = 7,50 (misal posisi lintang
daerah survei) maka akan diperoleh:

dg
0,3087 mgal/m ................................................................................ (9)
dR
Persamaan ini menunjukkan gradien vertikal dari nilai percepatan gaya berat per meter.

7. Koreksi Bouguer
Koreksi udara bebas mengabaikan adanya massa yang terletak di antara titik ukur
dengan sferoid referensi. Pengaruh dari massa ini bergantung pada ketebalan h. Koreksi slab
Bouguer didasarkan pada suatu pengandaian bahwa titik ukur berada pada suatu bidang datar

28
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

horisontal yang luas dan mempunyai densitas batuan yang homogen. Jika pengukuran
dilakukan pada permukaan ini maka hasil pembacaan percepatan gaya berat akan diperbesar
oleh pengaruh dari massa slab tersebut.
Penurunan koreksi slab Bouguer dapat dijabarkan dengan menggunakan sebuah
silinder dengan jari-jari luar R dan tinggi L, seperti tampak pada Gambar 3.1.

L
dr
dl

Gambar 3.1 Konsep koreksi Bouguer menggunakan Silinder

Pertama akan dicari nilai g pada sumbu vertikal silinder untuk sebuah cincin dengan tebal dl
dan lebar dr.
m = 2r drdl.................................................................................................... (10)
dengan adalah densitas silinder.
Efek dari percepatan gaya berat diberikan oleh :
g = 2 dl sin d ............................................................................................. (11)
sehingga untuk seluruh silinder besarnya percepatan gaya berat diperoleh dengan cara
mengintegralkan persamaan (A-2) dari 0 sampai arctan (R/l), dan diperoleh :


dg 2G dl 1
1
l 2 R2 .................................................................... (12)

dengan integrasi terhadap l dari z sampai z+h maka akan diperoleh efek untuk seluruh tubuh
silinder, yaitu :

29
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

zh
1
g 2G 1

l 2 R2
dl

z


2G h z 2 R 2 ( z h) 2 R 2
Untuk R maka :


g lim 2G h z 2 R 2 ( z h) 2 R 2
R

2G lim h z 2 R 2 ( z h) 2 R
2
R

2G h 2G lim
R
z 2 R 2 ( z h) 2 R 2
z 2 z h
2

2Gh 2G lim 1 1
R
R
R (13)

z 2 z h
2

2Gh 2G 1 1


2Gh 2G 0 1 0 1
g = 2Gh

Persamaan 13 merupakan koreksi slab Bouguer untuk titik ukur dengan ketinggian L dari
sferoid referensi, dasar silinder dianggap sebagai bidang sferoid referensi pengamatan.

8. Koreksi Medan
Adanya pengaruh geologis di sekitar stasiun pengamatan atau titik ukur akan
mempengaruhi harga gaya berat di titik tersebut. Pengukuran di dekat sebuah gunung akan
mempunyai harga yang berbeda apabila tidak ada gunung di dekatnya, karena gunung
tersebut juga memberikan pengaruh gaya gaya berat terhadap gravitymeter. Koreksi medan
merepresentasikan adanya bukit dan lembah. Adanya bukit di atas bidang Bouguer dan
lembah di bawah bidang Bouguer akan mengakibatkan berkurangnya nilai medan gaya berat
di titik pengamatan (Gambar 3.2).

30
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Gambar 3.2 Konsep koreksi medan (Reynolds, 1997)

Perhitungan koreksi medan dilakukan menggunakan metode hammer chart dengan


membagi zona dalam beberapa kompartemen dan radius tertentu. Selanjutnya perbedaan
topografi dihitung dari titik pengukuran terhadap radius dalam dan luar zona pengukuran.
Secara matematis dapat dituliskan dalam persamaan berikut:
) ) ) ............................... (14)

Dengan
jumlah kompartemen pada zona yang digunakan
radius luar (m)
radius dalam (m)
perbedaan ketinggian rata-rata kompartemen dan titik pengukuran

Gambar 3.3 Hammer Chart (Reynolds, 1997)

31
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

3.2 Teori Dasar Geomagnetik


Metode geomagnetik merupakan metode geofisika yang memanfaatkan sifat
kemagnetan batuan berdasarkan parameter suseptibilitas batuan. Dalam praktiknya, metode
ini mengukur intensitas medan magnet ) yang berbanding lurus dengan suseptibilitas
batuan ). Suseptibilitas batuan merupakan suatu parameter yang menunjukan kemampuan
suatu batuan untuk termagnetisasi akibat adanya suatu medan magnet luar ). Nilai
suseptibilitas batuan tersebut sangat dipengaruhi oleh kandungan mineral di dalam batuan.
Semakin basa (mafic) kandungan mineral suatu batuan makan akan memperbesar nilai
kemagnetan, begitu pula sebaliknya. Selain kandungan mineral, nilai kemagnetan tersebut
juga dipengaruhi oleh temperatur. Ketika suatu batuan terpanaskan dan melewati batas
temperatur tertentu, akan terjadi pelemahan sifat kemagnetan batuan. Batas temperatur
tersebut dikenal sebagai titik Curie. Sehingga metode geomagnetik efektif diaplikasikan pada
daerah dengan kontras kandungan mineral dan antar satuan batuan seperti zona intrusi
maupun daerah panasbumi.
Pengukuran medan magnet bumi di permukaan terdiri atas medan magnet luar,
medan magnet utama bumi dan medan magnet anomali (batuan). Medan magnet luar berasal
dari pengaruh luar bumi yang merupakan hasil ionisasi di atmosfer yang ditimbulkan oleh
sinar ultraviolet dari matahari. Karena sumber medan luar ini berhubungan dengan arus listrik
yang mengalir dalam lapisan terionisasi di atmosfer, maka perubahan medan ini tehadap
waktu jauh lebih cepat. Sumber medan magnet luar dapat berasal dari perubahan
konduktivitas listrik lapisan atmosfer dengan siklus 11 tahun, variasi harian dengan periode
24 jam yang berhubungan dengan pasang surut matahari dan mempunyai jangkau 30 nT.
Selaint itu dipengaruhi oleh pasang surut bulan dan mempunyai jangkau 2 nT, dan badai
magnetik yang bersifat acak dan dengan jangkau sampai dengan 1000 nT.
Medan magnet utama bumi berasal dari dalam bumi yang disebabkan oleh aktivitas
kelistrikan dalam intil luar bumi. Komponen ini menginduksi komponen medan magnet
anomali (batuan). Komponen medan magnet utama bumi memiliki pengaruh yang sangat
besar dengan variasi perubahan yang lambat dan kecil. Sedangkan medan magnet anomali
merupakan medan magnet dari suatu batuan dalam hal ini terkait dengan kerak bumi. Selain
dipengaruhi medan magnet utama bumi, medan ini juga dipengaruhi oleh magnetisasi
remanen. Medan magnet anomali menjadi komponen yang dicari dalam kegiatan eksplorasi
geofisika.

32
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Gambar 3.4 Tabel suseptibilitas batuan dan mineral (Telford, 1990)

33
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Hasil pengukuran di permukaan bumi merupakan nilai intensitas medan magnet total,
yang terdiri atas medan magnet utama bumi, medan magnet luar dan medan magnet anomali.
Dalam pengolahan data geomagnetik tersebut dikenala istilah IGRF (International
Geomagnetic Referece Field), yang merupakan nilai referensi yang menunjukkan besarnya
medan magnet utama bumi pada suatu titik yang diperbarui setiap lima tahun sekali. Secara
matematis untuk mendapatkan medan magnet anomali dapat dituliskan dalam persamaan
berikut:
................................................................................ (15)
dengan :
= Medan magnet anomali
= Intensitas medan magnet total
= Medan magnet utama bumi
= Variasi medan magnet harian

3.3 Pengolahan Data


Pengolahan data geofisika menjadi salah satu tahapan terpenting dari suatu kegiatan
survei geofisika. Data lapangan diolah sehingga mampu memberikan suatu informasi bawah
permukaan terkait dengan objek geologi yang menjadi target penelitian. Secara umum
tahapan pengolahan data telah digambarkan pada diagram alir pengolahan data (Gambar 1.2).
Dalam pengolahan data gaya berat, untuk mendapatkan nilai anomali Bouguer lengkap
dilakukan beberapa tahapan koreksi data, sesuai pada sub-bab 3.1

34
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

36
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

30 0,300

25 0,250

20 0,200

15 0,150 2.4
Elevasi
10 0,100

5 0,050

0 0,000
0 5 10 15 20 25 30

Gambar 3.5 grafik elevasi dan densitas terhadap posisi

Nilai anomali Bouguer lengkap menunjukan variasi percepatan gaya berat yang hanya
dipengaruhi oleh variasi densitas batuan bawah permukaan. Data hasil akuisisi gaya berat
menggunakan gravitymeter tipe Scintrex-CG5 dipindahkan ke dalam Microsoft Excel. Dalam
pengolahan data ini, nilai densitas yang digunakan dalam koreksi Bouguer sebesar 2,4 gr/cc,
yang diperoleh melalui metode nettleton (Gambar 3.5). Setelah diperoleh nilai anomali
Bouguer lengkap, selanjutnya dipetakan menggunakan perangkat lunak Oasis Montaj version
6.4.2 (Gambar 3.6).

38
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Gambar 3.6 Peta anomali Bouguer lengkap daerah Bayat-Wonosari

Pada prinsipnya pengolahan data geomagnetik dalam penelitian menggunakan konsep


dua alat yaitu base dan titik pengukuran di lintasan. Data base digunakan sebagai pengontrol
data yaitu terkait dengan variasi harian. Variasi harian diperoleh dari data pembacaan di base,
dengan mengurangkan data pembacaan ke-n terhadap pembacaan awal. Koreksi variasi
harian dilakukan dengan mencari nilai pembacaan di base yang memiliki kesamaan waktu
pembacaan di titik pengukuran. Sedangkan Nilai IGRF wilayah penelitian sebesar 44956 nT.
Kendala terjadi dikarenakan data pembacaan di base memiliki rentang pengukuran yang lebih
pendek dari rentang pengukuran di titik lintasan. Oleh karena itu, dilakukan ekstrapolasi
menggunakan metode polinomial (Gambar 3.7). Selanjutnya perhitungan nilai anomali
medan magnet total dilakukan sesuai dengan persamaan 15. Setelah diperoleh nilai anomali

39
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

medan magnet total, selanjutnya dipetakan menggunakan perangkat lunak Oasis Montaj
version 6.4.2 (Gambar 3.8).

Read Time Stasiun Time


16 14:00 Base 10:18:00
17 14:15 1 10:55:00
18 14:30 2 11:25:00
19 14:45 3 11:46:00
20 15:00 4 12:12:00
21 15:15 5 12:47:00
44900
22 15:30 6 13:07:00

Intensitas Medan Magnet Total


44880
23 15:45 7 13:25:00 44860 y = 8991.9x 3 - 15729x 2 +
24 16:00 8 13:47:00 44840 8875.2x + 43182 Intensitas Medan
25 16:15 9 14:11:00 44820 R = 0.4118 Magnet di Base
26 16:30 10 14:35:00 44800
27 16:45 11 14:58:00 44780
Poly. (Intensitas
28 17:00 12 17:26:00 44760 Medan Magnet di
29 17:15 13 17:45:00 44740 Base)
44720
30 17:30 14 18:08:00
9:20 11:44 14:08 16:32 18:56
31 17:45 15 18:26:00
Time
32 18:00 16 18:47:00
18:08 17 19:10:00
18:26 18 19:40:00
18:47 19 19:57:00
19:10 Base 21:48:00
19:40 Titik pengukuran
19:57
Pembacaan Base
Gambar 3.7 Kendala pembacaan di base dan kurva hasil regresi polinomial

Setelah diperoleh peta anomali Bouguer lengkap dan anomali medan magnet total, dibuat
sayatan untuk pemodelan bawah permukaan. Sayatan A-A dan B-B memiliki arah
relatif Baratlaut-Tenggara, yang mencakup beberapa variasi geologi permukaan daerah
penelitian (Gambar 3.9). Selain itu, arah lintasan tersebut relatif mewakili persebaran titik
pengukuran gaya berat dan geomagnetik.

40
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Gambar 3.8 Peta anomali medan magnet total

42
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Gambar 3.9 Peta titik pengamatan geofisika dan peta geologi

44
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Interpretasi menjadi tahapan terakhir dalam suatu rangkaian survei geologi dan
geofisika. Interpretasi dilakukan secara sistematis dengan mengintegrasikan tinjauan pustaka,
pengamatan geologi, akuisisi dan pemilihan parameter terbaik dalam pengolahan data
geofisika yang dilakukan. Sehingga tahapan interpretasi yang dilakukan mampu memberikan
informasi bawah permukaan yang akurat terkait objek geologi yang menjadi target penelitian.

4.1 Geologi Daerah Penelitian


Secara geologi daerah penelitian merupakan bagian dari zona Pegunungan Selatan
Jawa Tengah bagian Timur dan Perbukitan Jiwo kenampakannya sebagai perbukitan terisolir.
Berdasarkan persebaran titik pengamatan geologi dan pengukuran geofisika, penelitian
dilakukan pada beberapa formasi batuan di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah (Gambar
4.1). Secara berurutan dari tua ke muda formasi batuan yang teramati pada lintasan peneltian
antara lain Batuan Malihan (KTm), Diorit Pendul (Tpdi), Formasi Gamping Wungkal (Tew),
Formasi Kebobutak (Tomk), Formasi Semilir (Tms), Formasi Nglanggran (Tmng), Formasi
Sambipitu (Tmss), Formasi Oyo (Tmo), Formasi Wonosari (Tmwi), Endapan Gunungapi
Merapi (Qvm) dan Alluvium (Qa).
Batuan Malihan (KTm) terdiri atas filit, sekis, marmer, batuan gunungapi malih,
sedimen malih dan batusabak. Pada daerah penelitian teramati sekis, filit dan marmer di
daerah Gunung Gajah, Bayat. Secara stratigrafi batuan tersebut memiliki hubungan tidak
selaras dengan Formasi Wungkal Gamping (Tew) di atasnya pada umur Eosen Tengah.
Singkapan dengan litologi batugamping Nummulites dijumpai di daerah Watuprahu, Bayat.
Singkapan tersebut merupakan bagian dari Formasi Wungkal Gamping (Tew). Secara tidak
selaras Formasi Kebo Butak (Tomk) diendapkan di atas Formasi Wungkal Gamping (Tew).
Formasi Kebobutak (Tomk) terdiri atas lava basaltik-andesitik, batupasir volkanik dengan
sisipan batulanau dan laminasi tuf. Formasi Semilir (Tms) teramati berupa singkapan
perselingan Tuff dan Lapili di daerah Gunungharjo, Piyungan. Ke arah selatan dijumpai
singkapan berupa breksi andesit Formasi Nglanggran (Tmng) di daerah Patuk, Wonosari.
Selanjutnya teramati singkapan batupasir karbonatan bagian dari Formasi Sambipitu (Tmss)
di Sungai Ngalang, Wonosari. Kedudukan batuan pada singkapan tersebut N1350E/160 yang
relatif kemiringannya ke arah selatan. Diorit Pendul (Tpdl) yang teramati berupa singkapan

46
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Diorit dengan struktur mengulit bawang (spheroidal weathering) di daerah Gunung Pendul,
Bayat. Kenampakan di lapangan, satuan tersebut mengintrusi batupasir dan batulempung dari
Formasi Gamping Wungkal (Tew) dan litodem Filit di sekitarnya. Formasi Wonosari (Tmwi)
pada daerah penelitian ditandai oleh batugamping yang teramati di daerah Goa Ngingrong,
Wonosari. Singkapan batugamping Wonosari tersebut memberikan topografi karst yang unik
ditandai dengan keberadaan stalagtit, stalagnit serta sinkhole akibat proses pelarutan yang
tinggi. Formasi Wonosari (Tmwi) diendapkan secara tidak selaras di atas satuan intrusi Diorit
Pendul (Tpdl) pada umur Miosen Tengah-Akhir. Endapan gunungapi merapi (Qvm) dan
alluvium (Qa) mendominasi material permukaan di daerah penelitian. Material endapan
Gunungapi Merapi (Qvm) tersebut berasal dari aktivitas letusan Gunungapi Merapi berupa
tuf, abu vulkanik. Sedangkan alluvium (Qa) merupakan pengendapan saat ini berupa kerakal,
pasir, lanau, lempung yang terbawa dan terendapkan sepanjang aliran sungai besar dan
dataran pantai.

Gambar 4.1 Peta geologi dan titik pengamatan daerah penelitian

47
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

4.2 Geofisika Daerah Penelitian


Anomali Bouguer lengkap menunjukkan variasi percepatan gravitasi terhadap
densitas batuan bawah permukaan. Persebaran anomali tinggi terletak pada wilayah utara dan
selatan (Gambar 4.2). Sedangkan nilai anomali rendah terletak pada wilayah timur-barat
daerah penelitian. Hasil tersebut merepresentasikan nilai densitas batuan dari formasi yang
ada di daerah penelitian.

Gambar 4.2 Peta anomali Bouguer lengkap (ABL) daerah penelitian

48
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Nilai anomali tinggi dengan kisaran nilai 89.2 124.1 mgal di wilayah utara terletak
pada titik J28 hingga titik J19 berasosiasi dengan Batuan Malihan (KTm), Formasi
Kebobutak (Tomk), Formasi Semilir (Tms), Formasi Nglanggran (Tmng) dan intrusi diorit
Pendul (Tpdl). Secara umum formasi-formasi tersebut didominasi oleh batuan metamorf dan
beku yang memiliki nilai densitas tinggi (Gambar 3.4) sehingga menghasilkan nilai anomali
Bouguer lengkap (ABL) yang tinggi.

Gambar 4.3 Peta anomali medan magnet total daerah penelitian

49
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Wilayah utara juga dikonfirmasi oleh pola kontur positif-negatif, anomali medan
magnet total yang tinggi (Gambar 4.3). Pola kontur positif-negatif tersebut dipengaruhi oleh
nilai inklinasi medan magnet bumi di daerah penelitian yang bernilai -32.33 nT. Nilai
anomali medan magnet total yang tinggi tersebut mengindikasikan suatu tubuh intrusi
daengan suseptibilitas batuan yang tinggi akibat kandungan mineral penyusunnya. Sedangkan
nilai anomali tinggi di wilayah selatan secara permukaan berupa Formasi Wonosari (Tmwi)
litologi berupa batugamping. Nilai anomali tinggi tersebut diinterpretasikan sebagai suatu
tubuh intrusi diorit yang secara tidak selaras terletak di bawah Formasi Wonosari (Tmwi).
Wilayah selatan juga dikonfirmasi oleh pola kontur positif negatif, nilai anomali medan
magnet total yang tinggi (Gambar 4.3), yang mengindikasikan terdapatnya tubuh batuan
dengan suseptibilitas tinggi di bawah Formasi Wonosari (Tmwi).
Zona anomali rendah wilayah barat dengan nilai antara 79 - 84 mGal, terletak pada
titik pengukuran J2, J3, J4, J5 dan J6 ditandai oleh warna biru dan melalui Formasi Wonosari
(Tmwi), Formasi Sambipitu (Tmss), Formasi Nglanggran (Tmng), Formasi Semilir (Tms).
Anomali rendah diinterpretasikan akibat dominasi batuan penyusunnya merupakaan batuan
sedimen yang memiliki densitas lebih rendah dengan satuan berupa batulempung dan
batupasir dari Formasi Sambipitu (Tmss) dan satuan batugamping Formasi Wonosari (Tmei).
Sedangkan Zona anomali rendah wilayah timur dengan kisaran nilai anomali yang sama
terletak pada titik J14 hingga titik J18. Titik-titik tersebut melalui satuan piroklastik berupa
tuf, batupasir tufan dari Formasi Semilir (Tms), satuan napal tuffan, batugamping
konglomerat dari Formasi Oyo (Tmo), satuan batugamping Formasi Wonosari (Tmwi).

4.3 Pemodelan 2D
Pemodelan diharapkan mampu memberikan informasi yang mewakili dan
representatif terhadap geologi bawah permukaan daerah penelitian. Tahapan ini, dilakukan
pemodelan kedepan terhadap data gaya berat dengan dikontrol oleh data geomagnetik.
Berdasarkan kajian terhadap geologi penelitian dan peta persebaran anomali yang dilakukan
pada sub-bab sebelumnya, diperoleh kedudukan batuan, hubungan antar formasi batuan,
informasi litologi penyusun setiap formasi, dan indikasi adanya suatu tubuh intrusi di bawah
permukaan. Namun indikasi keberadaan struktur dan kedalaman, serta ketebalan formasi
batuan belum dapat terlokalisir, sehingga dilakukan pendekatan menggunakan pemodelan
kedepan.

50
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Sayatan A-A yang berarah Baratlaut-Tenggara melalui formasi dari tua ke muda
yaitu Formasi Semilir (Tms), Formasi Nglanggran (Tmng), Formasi Sambipitu (Tmss),
Formasi Wonosari (Tmwi) dan endapan Gunungapi Merapi (Qvm). Selain itu, dipermukaan
secara geologi melewati dua struktur yang relatif berarah Timurlaut-Baratdaya dan
memotong Formasi Wonosari (Tmwi). Berdasarkan hasil pemodelan yang dilakukan pada
sayatan A-A terlihat bahwa kemiringan lapisan batuan relatif berarah ke selatan dengan
densitas terlihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Nilai densitas hasil pemodelan Sayatan A-A


Formasi (gr/cc) Keterangan
E. Gunungapi Merapi (Qvm) 1.9 Abu vulkanik, tuf
F. Wonosari (Tmwi) 2.44 -2.51 Batugamping
Intrusi Diorit (dr) 3.1 Diorit
F. Sambipitu (Tmss) 2.49 Batupasir, batulempung
F. Nglanggran (Tmng) 2.53 Breksi gunungapi, tuf, aglomerat
F. Semilir (Tms) 2.2 Tuf, lapili, breksi batuapung, batupasir tufan

Gambar 4.4 Penampang model sayatan A-A

Pada penampang sayatan A-A terlihat adanya struktur geologi yang diinterpretasikan sebagai
sesar naik yang memotong Formasi Wonosari (Tmwi). Keberadaan sesar tersebut

51
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

menghasilkan tiga blok dengan nilai densitas berbeda, yaitu blok I memiliki densitas 2.49
gr/cc, blok II dan III memiliki densitas sebesar 2.51 gr/cc. Perbedaan tersebut terjadi akibat
proses pembebanan dan tekanan dari intrusi pada kedua blok tersebut yang lebih tinggi
sehingga menghasilkan densitas yang lebih tinggi. Sedangkan intrusi di bagian Baratlaut
diinterpretasikan sebagai sill yang teroboannya sejajar dengan lapisan batuan.

Gambar 4.4 Penampang model sayatan B-B

Perbukitan Jiwo secara geologi sangat menarik dikarenakan pada wilayah tersebut tersingkap
batuan Pra-Tersier (Ktm), intrusi diorit (dr), satuan batugamping Nummulites, batulempung,
dan batupasir dari Formasi Wungkal-Gamping (Tew). Sayatan B-B berarah Baratlaut-
Tenggara dan melewati Perbukitan Jiwo dan Pegunungan Selatan. Pada gambar 4.1, sayatan
B-B secara geologi permukaan melewati Batuan Malihan (Ktm), Formasi Gamping-
Wungkal (tew), Formasi Kebobutak (Tomk), Formasi Mandalika (Tomm), Formasi Semilir
(Tm), Formasi Nglanggran (Tmng), Formasi Oyo (Tmo), dan endapan Gunungapi Merapi
(Qvm). Berdasarkan hasil pemodelan pada sayatan B-B (Gambar 4.4) diperoleh nilai
densitas pada tabel 4.2.

52
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

Tabel 4.2 Nilai densitas hasil pemodelan Sayatan B-B


Formasi (gr/cc) Keterangan
E. Gunungapi Merapi (Qvm) 1.9 - 2 Abu vulkanik, tuf
Batugamping konglomeratan, napal tufan,
F. Oyo (Tmo) 2.71
tuf andesitan
Intrusi diorit (dr) 3.2 Diorit
F. Nglanggran (Tmng) 2.55 Breksi gunungapi, tuf, aglomerat
F. Semilir (Tms) 2.33 Tuf, lapili, breksi batuapung, batupasir tufan
Perselingan batupasir-batulempung, tuf,
F. Kebobutak (Tomk) 2.58
batulanau, aglomerat
F. Gamping-Wungkal 2.6 Batupasir, tuf napalan, batugamping berfosil
Batuan Malihan (KTm) 2.9 Sekis, Filit, Marmer, Kuarsit, dan Batusabak

Hasil tersebut pemodelan yang dilakukan menunjukkan bahwa intrusi diorit dibawah
permukaan memotong Batuan Malihan (ktm) yang berumur Pra-Tersier (Gambar 4.5). Intrusi
diorit tersebut yang berumur Plistosen tersingkap di daerah Gunung Pendul, Bayat. Secara
tidakselaras di atas Batuan Malihan (KTm) diendapkan Formasi Gamping-Wungkal (Tew)
dengan ketebalan sekitar 500 m. Di atas Formasi Gamping Wungkal (Tew) secara selaras
diendapkan Formasi Kebobutak (Tomk) dengan ketebalan sekitar 1500 m. Formasi
Kebobutak ini berumur Oligosen Akhir sampai Miosen Awal dan diinterpretasikan sebagai
sedimen laut dalam yang terendapkan di lingkungan kipas bawah-laut (Toha dkk, 1994). Di
atas Formasi Kebobutak (Tomk) secara selaras diendapkan Formasi Semilir (Tms) pada umur
Miosen Awal dengan ketebalan maksimal sekitar 950 m. Pada Miosen Awal Tengah
diendapkan secara selaras Formasi Nglanggran (Tmng) di atas Formasi Semilir (Tms) dengan
ketebalan sekitar 1100 m.
Sedangkan di atas Formasi Nglanggran (Tmng) secara tidakselaras diendapkan
Formasi Oyo (Tmo) dan Formasi Wonosari (Tmwi). Berdasarkan hasil pemodelan yang
dilakukan, Formasi Wonosari memiliki ketebalan sekitar 900 m dari permukaan, sedangkan
Formasi Oyo (Tmo) memiliki ketebalan 400 m. Pendekatan tersebut didasarkan pada Bothe
(1929) dan Bemmelen (1949) yang menyatakan bahwa batugamping bertopografi kars di
daerah Gunung Sewu merupakan runtunan karbonat klastik dan terumbu yang berumur
Miosen Tengah-Pliosen Akhir. Runtunan setebal 800 m itu selanjutnya dinamakan Formasi
Oyo dan Formasi Wonosari, yang keduanya berhubungan secara menjemari. Selanjutnya di

53
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

atas Formasi Oyo (Tmo) dan Formasi Wonosari (Twi) diendapkan secara tidak selaras
endapan Gunugapi Merapi (Qvm) dan Alluvium (Qa).

Gambar 4.5 Stratigrafi daerah Penelitian

Selain itu, struktur geologi pada sayatan A-A mengindikasikan bahwa daerah
Formasi Wonosari (Tmwi) merupakan paparan karbonat yang terangkat dan tersesarkan
sehingga menghasilkan kenampakan seperti sekarang dengan konfigurasi anomali positif
yang membentuk struktur sembulan (horst-like structure). Pada penampang B-B hasil
pemodelan struktur geologi berupa sesar naik dapat dimodelkan. Struktur yang relatif berarah
Timurlaut-Barat tersebut terjadi sebagai akibat tektonik yang bekerja di Pulau Jawa yang
relatif dengan arah Baratlaut-Tenggara. Serta indikasi lain bahwa sesar-sesar timurlaut-
baratdaya tersebut dihasilkan oleh reaktivasi struktur batuan-dasar yang disebabkan oleh
penunjaman lempeng Samudera Hindia-Australia di bawah Benua Asia pada Eosen Akhir
dan akhir Miosen Tengah.

54
Ekskursi Geologi dan Geofisika Bayat-Wonosari 2017

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian data geologi dan geofisika yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa:
1. Secara berurutan dari tua ke muda pada daerah penelitian terdiri atas Batuan Malihan
(Ktm), Formasi Wungkal-Gamping (Tew), Formasi Kebobutak (Tomk), Formasi
Semilir (Tms), Formasi Nglanggran (Tmng), Formasi Sambipitu (Tmss), Intrusi
Diorit (dr), Formasi Wonosari (Tmwi), Formasi Oyo (Tmo) dan Endapan Gunungapi
Merapi (Qvm) dan Alluvium (Qa). Singkapan Filit, Sekis dan sisipan Marmer
merupakan batuan tertua berumur Pra-Tersier termasuk dalam Batuan Malihan (Ktm).
Satuan batuan termuda berumur Kuarter adalah Alluvium (Qa) dan endapan
Gunungapi Merapi (Qvm). Pengamatan geologi permukaan menunjukkan bahwa
Intrusi Diorit memotong litodem Filit, satuan batulempung perselingan batupasir, dan
satuan batugamping nummulites.
2. Anomali Bouguer lengkap (ABL) tinggi terdapat di wilayah utara dan selatan, yang
diinterpretasikan adanya tubuh intrusi pada daerah tersebut. Selain itu pada peta
anomali medan magnet total, menunjukkan pola kontur positif-negati pada daerah
dengan anomali Bouguer lengkap (ABL) yang tinggi. Berdasarkan hasil pemodelan
gaya berat yang dilakukan menunjukkan bahwa pada daerah penelitian Batuan
Malihan (Ktm) berdensitas 2.9 gr/cc, Formasi Kebobutak (Tomk) 2.58 gr/cc, Intrusi
Diorit 3.2 gr/cc, Formasi Wonosari 2.44-2.51 gr/cc, satuan batuan berumur Kuarter
1.9 2 gr/cc.
3. Batuan Malihan (Ktm) memililiki ketebalan 1500 m, Formasi Kebobutak (Tomk)
sekitar 1500 m, Formasi Semilir (Tms) sekitar 950 m, Formasi Nglanggran (Tmng)
sekitar 1100 m, Formasi Sambipitu (Tmss) sekitar 600 m, Formasi Wonosari (Tmwi)
sekitar 900 m, Formasi Oyo (Tmo) sekitar 400 m dan Endapan Gunungapi Merapi
(Qvm) dan Alluvium (Qa) sekitar 30 m.

55

Anda mungkin juga menyukai