Tenaga Surya
Pembiayaan Pembangkit Listrik
Tenaga Surya
PAKET PELATIHAN
Keuangan Berkelanjutan dalam Pembiayaan Energi Bersih
DISCLAIMER:
PEDOMAN INI TIDAK BERSIFAT MENGIKAT BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN (LJK) NAMUN
DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI SALAH SATU ACUAN BAGI LJK DALAM HAL BERINVESTASI DI SEK-
TOR ENERGI BARU TERBARUKAN.
2
DAFTAR ISI
Tata Kelola Aspek Resiko Sosial & Lingkungan Pembiayaan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas 3
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, diharapkan peserta dapat:
1. Memahami pentingnya bank untuk terlibat dalam pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance)
2. Memahami model bisnis proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
3. Memahami aspek penting dalam pembiayaan proyek PLTS
4. Menerapkan analisis kredit proyek PLTS yang memasukkan analisis aspek-aspek risiko sosial dan
lingkungan hidup (ASRI)
5. Memahami mitigasi risiko kredit dalam pembiayaan proyek PLTS
6. Memahami pentingnya aspek ASRI dalam pengawasan kredit bagi bank
7. Memahami aspek penting dalam pengawasan kredit PLTS
8. Memahami penerapan sistem pengawasan kredit PLTS yang memerhatikan ASRI
S
ejak sekitar satu dekade yang lalu, pemerintah Indonesia sudah mulai
mencanangkan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Hal ini dapat
dilihat diantaranya pada salah satu misi dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 yang memuat dua hal, yaitu (1) pengelolaan
pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara
pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam
(SDA) dan lingkungan hidup, serta (2) pemanfaatan ekonomi SDA dan lingkungan
hidup yang berkesinambungan. Kemudian, sebagai salah satu wujud pelaksanaan
misi tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada akhir tahun 2014 menerbitkan
Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia. Roadmap yang dikeluarkan oleh
regulator lembaga keuangan di Indonesia ini dapat dikatakan sebagai arahan awal
bagi lembaga keuangan untuk juga mulai memerhatikan aspek-aspek sosial dan
lingkungan hidup dalam menjalankan bisnisnya.
Untuk itu, tantangan awal dalam penyaluran kredit ke sektor energi terbarukan
khususnya PLTS, perlu mendapatkan prioritas penanganan. Tantangan awal
tersebut berupa minimnya gambaran mengenai proyek PLTS bagi perbankan di
Indonesia. Padahal walau bagaimanapun, perbankan tetap harus berpegang teguh
pada prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kreditnya.
Pembahasan dalam modul ini akan diawali dengan pemaparan mengenai konsep
sustainable finance dan green lending. Berikutnya diberikan gambaran umum
mengenai proyek PLTS, yang dilanjutkan dengan pembahasan mengenai aspek-
aspek penting dalam analisis pembiayaan PLTS. Aspek-aspek penting tersebut
dapat dikelompokkan menjadi aspek hukum, keuangan, dan teknis. Tidak
ketinggalan dalam modul ini juga akan dibahas mengenai manajemen risiko proyek
PLTS, sebelum diakhiri dengan ulasan mengenai keputusan pencairan kredit dan
pengawasannya untuk proyek PLTS.
S
xxxxxxxxustainable finance atau produk dan jasa (pinjaman, penyertaan
keuangan berkelanjutan merupakan modal) hanya kepada nasabah yang
suatu terminologi yang merujuk pada mempertimbangkan dampak lingkungan dan
pengembangan dari manajemen keuangan, sosial dalam menjalankan aktivitas operasinya
dimana tujuan dari pengelolaan keuangan tidak . Berdasarkan definisi tersebut, sebuah bank
lagi berorientasi untuk memaksimalkan kekayaan yang ingin menerapkan green financing harus
pemilik modal (seperti pemegang saham) memasukkan analisis ASRI (lingkungan dan
dalam jangka pendek, melainkan berorientasi sosial) sebagai bagian dari analisis kredit dan
untuk menjaga keberlangsungan usaha secara manajemen risikonya. Pentingnya analisis ASRI
berkelanjutan dalam jangka panjang dengan menjadi bagian dari analisis kredit dalam green
memerhatikan dampak dari keputusan- financing atau pinjaman yang ramah lingkungan
keputusan keuangan terhadap lingkungan hidup dapat ditinjau baik secara teoritis, maupun dari
dan masyarakat umum. Salah satu aspek spesifik sisi regulasi dan potensi.
yang diputuskan dalam manajemen keuangan
adalah pembiayaan, dimana pembiayaan Secara teoritis, pinjaman untuk proyek
yang sudah mengadopsi semangat keuangan yang ramah lingkungan (memperhitungkan
berkelanjutan disebut sebagai green financing ASRI) memiliki ukuran laba yang berbeda
atau pembiayaan hijau (pinjaman ramah dengan pinjaman untuk proyek yang tidak
lingkungan). ramah lingkungan. Ukuran laba untuk proyek
yang tidak ramah lingkungan adalah laba
Sustainable finance dapat didefinisikan finansial yang hanya dihasilkan dari pendapatan
sebagai praktik untuk menciptakan nilai ekonomi dikurangi dengan beban komersial. Dengan
dan sosial melalui model, produk dan pasar kata lain, pengertian laba finansial ini sama
keuangan yang berkelanjutan sepanjang waktu dengan pengertian laba rugi yang terdapat
. Modul ini akan membahas model keuangan dalam laporan keuangan komersial. Sedangkan
untuk pembiayaan proyek PLTS sebagai salah ukuran laba untuk proyek yang ramah
satu proyek yang diharapkan dapat berkontribusi lingkungan adalah laba ekonomi yang tidak
dalam menjaga keberlanjutan bukan hanya hanya memperhitungkan pendapatan dan
manfaat ekonomi namun juga manfaat sosial beban komersial, namun juga memperhitungkan
dan lingkungan hidup bagi masyarakat. opportunity cost. Contoh opportunity cost
antara lain adalah biaya kerusakan lingkungan
Sedangkan green financing dapat hidup dan biaya penanggulangan dampak sosial,
didefinisikan sebagai keputusan oleh bank termasuk kerugian akibat terganggunya operasi
(lembaga keuangan) untuk menyediakan yang dipicu oleh faktor sosial dan lingkungan.
Selanjutnya dari sisi regulasi, analisis ASRI (lingkungan dan sosial) menjadi penting untuk memenuhi
ketentuan dalam peraturan yang berlaku. Beberapa peraturan di Indonesia yang meminta perhatian
terhadap aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup dirangkum dalam Tabel 1.
Kewajiban Bank untuk memperhatikan isu lingkungan dan sosial sudah diatur melalui Undang-Undang,
Peraturan Bank Indonesia (sekarang OJK). Berikut adalah beberapa peraturan pada Bank terkait aspek
lingkungan yang harus diperhatikan oleh Bank, sebagaimana terangkum dalam Dokumen Lingkungan
Hidup Sektor Energi Bersih, suatu Pedoman untuk LJK yang dipublikasikan oleh OJK:
Sedangkan dari sisi potensi, teknik analisis ASRI (lingkungan dan sosial) wajib dikuasai oleh analis
kredit perbankan dan lembaga keuangan sebagai bagian dalam analisis pembiayaan proyek energi
terbarukan, mengingat potensi energi terbarukan yang begitu besar di Indonesia. Potensi listrik yang
dapat dihasilkan dari energi terbarukan di Indonesia dalam MegaWatt (MW) dan GigaWatt (GW) dapat
dilihat pada Tabel 2.
Keterangan: 1 GW = 1.000 MW
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, telah diolah kembali
Kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional, baik yang berbahan bakar fosil maupun
yang sudah menggunakan energi terbarukan, sampai dengan pertengahan tahun 2015
adalah 51.620 MW. Angka ini baru mencapai 33,52% dari total potensi listrik yang dapat
dihasilkan oleh energi terbarukan dari tenaga air, panas bumi, dan biomassa (sebesar
153.974 MW). Adapun untuk tenaga surya sendiri, berpotensi dapat menghasilkan listrik
hingga sebesar 112.000 GWp atau setara 89.600.000 MW.
Dengan potensi sebesar itu, jika 10% saja dari potensi tenaga surya di Indonesia da-
pat dimanfaatkan menjadi kapasitas terpasang PLTS, maka potensi pendapatan yang
mungkin diperoleh per jam operasi PLTS dapat mencapai USD1.164.800.000 hingga
USD2.240.000.000. Jumlah tersebut dihitung menggunakan Feed-In Tariff (FIT) berdasar-
kan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 17 / 2013
tentang FIT PLN untuk PLTS Fotovoltaik yang menetapkan harga pembelian energi listrik
dari PLTS Fotovoltaik untuk semua kapasitas sebesar USD0,25 per kiloWatthour (kWh) un-
tuk sepuluh tahun pertama dan USD0,13 per kWh untuk sepuluh tahun kedua. Pendapa-
FIT PLN untuk PLTS Fotovoltaik kemudian diperbarui dengan Permen ESDM No. 19 / 2016.
Dalam Permen ESDM No. 19 / 2016, besaran harga pembelian listrik dari PLTS Fotovoltaik
untuk semua kapasitas, dibagi berdasarkan wilayah di Indonesia sebagaimana terdapat
pada Tabel 3.
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, telah diolah kembali
Dimana:
a = Persentase TKDN minimal menurun Permen yang menyelenggarakan urusan pemerin-
tahan di bidang perindustrian
b = Persentase TKDN hasil verifikasi oleh verifikator resmi yang ditunjuk oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian
c = Persentase sanksi penurunan harga pembelian tenaga listrik
d = Harga pembelian tenaga listrik
d = Harga pembelian tenaga listrik terkoreksi
Meskipun FIT dalam Permen ESDM No. 17 / 2013 dan Permen ESDM No. 19 / 2016 di atas
berlaku untuk semua kapasitas PLTS (hanya dibedakan berdasarkan wilayah dalam Permen
ESDM No. 19 / 2016), namun masih terdapat keterbatasan dalam kemampuan sistem PT
PLN (Persero) untuk menyerap produksi PLTS on-grid, sehingga pada praktiknya kapasitas
PLTS yang realistis untuk dibangun saat ini di Indonesia adalah berkisar 1 MW hingga 20
MW. Walaupun demikian, keterbatasan kapasitas PLTS yang dapat dibangun tersebut da-
pat dikompensasi dengan peluang pembangunan PLTS di hampir sebagian besar wilayah
Indonesia. Hal ini berhubungan dengan letak wilayah Indonesia di khatulistiwa, sehingga
memiliki sebaran potensi energi surya yang luas, sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
Gambaran Umum
Proyek Pembangkit Listrik
Tenaga Surya
P
ada dasarnya terdapat dua tipe PLTS yaitu photovoltaic (PV) dan solar thermal. Gambar 2
memberikan gambaran perbandingan bentuk fisik panel surya yang digunakan pada kedua
PLTS tersebut.
PLTS PV menggunakan panel surya yang dapat langsung mengubah tenaga surya menjadi
listrik. Sedangkan PLTS solar thermal mengumpulkan panas dari matahari untuk memanas-
kan sejumlah besar liquid hingga menghasilkan uap yang kemudian akan digunakan untuk
memutar turbin guna menghasilkan listrik. Prinsip kerja sederhana dari PLTS solar thermal
digunakan pada pemanas air rumah tangga (biasanya dipasang pada atap rumah dan digu-
nakan untuk memanaskan air mandi).
Secara umum, PLTS PV saat ini adalah pilihan yang lebih populer dengan market size yang
jauh lebih besar dibandingkan PLTS solar thermal. Hal ini terutama karena keterbatasan
teknis PLTS solar thermal yang menyebabkan lokasi pemasangan harus di tempat-tempat
tertentu yang memiliki direct irradiation (tidak fleksibel) dan secara hitungan ekonomis
hanya bisa jika dipasang dalam skala besar di atas 20 MW (tidak bisa dipasang dengan
sistem terdistribusi ala PLTS PV yang umum). Oleh karena itu, maka lingkup pembahasan
dalam modul ini adalah untuk PLTS PV. Gambaran sistem PV dapat dilihat pada Gambar 3.
Aspek Hukum
H
al pertama yang harus dievaluasi dalam aspek hukum pembiayaan PLTS adalah evaluasi terhadap
perusahaan yang akan dibentuk dan kepemilikannya. Evaluasi terhadap perusahaan yang akan
dibentuk meliputi evaluasi terhadap badan hukum dan perizinan PLTS, dimana bank harus
memastikan bahwa perusahaan sebagai badan hukum PLTS sudah memenuhi seluruh dokumen legal
yang disyaratkan, termasuk AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL). Selain itu bank juga harus memperhatikan apakah terdapat kasus hukum / litigasi
menyangkut PLTS yang akan dikembangkan. Dokumen-dokumen legal yang harus dipenuhi dalam
tahapan-tahapan pengembangan proyek PLTS ditunjukkan pada Gambar 6.
Selanjutnya evaluasi terhadap kepemilikan dalam PLTS meliputi evaluasi terhadap pemegang
saham dan kepemilikannya dalam PLTS, dimana peluang keberhasilan PLTS juga ditentukan
oleh pengalaman pemegang saham dalam proyek energi terbarukan, bonafiditas pemeg-
ang saham pengendali, dan kepemilikan lokal yang cukup. Evaluasi juga harus dilakukan
Aspek Keuangan
G
ambaran ringkas aspek keuangan dalam suatu proyek energi terbarukan disajikan pada
Gambar 7. Pada gambar tersebut dapat dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
pembangkit beserta komponen-komponen biayanya. Di bagian pendapatan (revenue)
terlihat bahwa produksi sebuah pembangkit dipicu oleh faktor seperti debit air berdasarkan
analisis hidrologi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) atau jaminan ketersediaan feed stock
untuk Pembangkit Listri Tenaga Bio Massa/Gas (PLTBM/PLTBG). Dalam kasus PLTS, faktor pemicu
produksi dimaksud adalah berupa intensitas cahaya matahari. Sementara di bagian machinery
and equipment, power turbine dan gas engine menjadi bagian mesin dan peralatan utama untuk
PLTA dan PLTBG. Sedangkan dalam kasus PLTS, komponen mesin dan peralatan utamanya adalah
berupa panel surya dan inverter.
Aspek Teknis
H
al pertama yang harus dievaluasi dalam aspek teknis pembiayaan PLTS adalah kelayakan teknis
dari proyek itu sendiri. Kelayakan teknis proyek meliputi baik rancangan layout, pemilihan
teknologi (general and detailed engineering), kepantasan estimasi biaya proyek yang dapat
dihitung dengan bantuan independent engineer, maupun organisasi dan penanggung jawab
proyek, serta terdapatnya asuransi proyek (surety bonds) dan garansi.
Hal kedua yang harus dievaluasi dalam aspek teknis pembiayaan PLTS adalah evaluasi
terhadap ASRI (lingkungan dan sosial). Poin-poin evaluasi ASRI meliputi diantaranya:
Fasilitasi terhadap kondisi lingkungan sekitar, seperti vegetasi, satwa (pembangunan
pagar dan animal housing), akses lalu lintas publik, penyimpanan/pembuangan material
konstruksi, dan pemukiman pegawai untuk lokasi terpencil.
Pemenuhan izin lingkungan, dengan ketentuan untuk proyek pembangkit listrik kapasitas
lebih dari 10 MW dan/atau terletak dalam kawasan lindung harus dilengkapi dengan
AMDAL (waktu pengurusan 125 hari kerja), sementara untuk proyek pembangkit listrik
kapasitas sampai dengan 10 MW cukup dilengkapi dengan UKL-UPL (waktu pengurusan
14 hari kerja).
Akomodasi isu lingkungan dan sosial dalam biaya proyek.
Ketersediaan prosedur dan dokumentasi hasil konsultasi publik dengan masyarakat di
sekitar lokasi proyek.
Keberhasilan memperoleh dukungan dari masyarakat sekitar.
Setiap pembangkit listrik memiliki profil teknisnya masing-masing. Profil teknis umum
sebuah proyek PLTS adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan lahan berkisar 1,5-2,3 hektar (ha) per MWp, bergantung pada letak geografis
dan peralatan konstruksi yang digunakan.
2. Panel surya standar industri yang digunakan berukuran 2x1 m per unit dengan kapasitas
310 Wp dan efisiensi panel 16%, sehingga untuk PLTS dengan kapasitas 5 MWp akan
membutuhkan sekitar 16.130 panel surya dan cakupan area 8.065 m2.
3. Efisiensi minimal dari inverter adalah 85%.
4. Mounting structure dibuat dari bahan anti karat dengan foundation yang bersifat
galvanic dan upper structure menggunakan sea grid aluminium. Selain itu, struktur juga
harus menggunakan baut dan mur yang sesuai serta tidak boleh dilakukan pengeboran
dalam proses pemasangan panel surya.
5. Run test harus dilakukan selama 30 hari setelah COD untuk menguji kesiapan operasi
pembangkit.
6. Electrical losses saat operasi yang dapat ditolerir maksimal adalah 1% untuk DC dan 3%
untuk AC.
7. Performance ratio minimal adalah 80% yang dapat dijaga melalui kerja sama dengan
Salah satu sumber data teknis untuk menghitung nilai penjualan tenaga listrik dari sebuah
PLTS ditunjukkan pada Gambar 8. Pada gambar tersebut, untuk kapasitas PLTS sebesar 1
MWp (1.000 kWp), proyeksi nilai penjualan tenaga listriknya per tahun adalah 1.500.000
kWh x FIT (misal USD0,16) = USD240.000.
Dalam aspek teknis PLTS, terdapat kekeliruan-kekeliruan instalasi yang harus dihindari.
Contoh kekeliruan instalasi PLTS ditunjukkan pada Tabel 6.
Tanaman liar dibiarkan tumbuh
hinggalebihtinggidaripanelsurya.
Pemasangankabeldaninverteryang
terlalu dekat dengan tanah
menimbulkanrisikoaruspendekjika
terkenacipratanairhujan.
Kemirin
ngan panel surya yan
ng tidak
seragam
m memengaruhi efisiensi
sistem panel surya secara
keseluruhan.
Pemasaangan paneel surya yan
ng tidak
rata/daatar.
Kotoran
n dan samp
pah yang dibiarkan
menutu
upi p
panel surya
mengakkibatkan teenaga listrik yang
dihasilkkantidakmaaksimal.
Pada peta potensi risiko umum di atas dapat terlihat titik-titik risiko dalam sebuah proyek
pembangkit listrik. Titik-titik risiko tersebut adalah:
1. Studi kelayakan yang berkualitas rendah.
2. Ketentuan perizinan yang tidak efisien dan tidak terkoordinasi.
3. PT PLN (Persero) secara praktis masih memonopoli evaluasi proposal proyek tenaga
listrik.
4. Kepemilikan lahan dan perolehannya.
5. Klausul PPA/PJBL, terutama yang menggunakan skema TNP dan terdapatnya klausul
undefined conditions for dispatching.
6. Pemberian kredit atas dasar kolateral (sponsors balance sheet).
7. Estimasi biaya proyek yang terlalu optimistis (tidak memperhitungkan cost overruns
Kurangnya pengelolaan terhadap isu lingkungan dan sosial dalam operasi pembangkit oleh
debitor dapat memicu risiko seperti gangguan operasi, pengenaan denda dan penalti,
kehilangan pangsa pasar, serta munculnya liabilitas (kewajiban) tambahan. Risiko-risiko
tersebut akan membawa dampak bagi lembaga keuangan yang membiayai pembangkit
dimaksud. Dampak bagi lembaga keuangan, khususnya bank, dapat bersifat langsung
maupun tidak langsung. Dampak langsung dapat berupa tanggung renteng
liabilitas debitor yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan dan sosial. Sedangkan
dampak tidak langsung dapat berupa menurunnya kapasitas debitor untuk melakukan
pembayaran kepada bank (risiko kredit), berkurangnya nilai jaminan (risiko pasar), dan
publisitas negatif bagi bank (risiko reputasi). Konsekuensinya, bank dapat mengalami
kehilangan aset, penurunan laba, hingga kerusakan reputasi. Hal inilah yang mendasari
pentingnya pengawasan ASRI (lingkungan dan sosial) dalam credit monitoring.
Guna memastikan bahwa debitor memasukkan pengelolaan ASRI dalam pengembangan
dan pengoperasian PLTS, bank dapat memasukkan klausul pengelolaan lingkungan
dan sosial dalam covenants. Contoh environmental and social covenants diberikan
pada Gambar 11. Selain itu, bank juga dapat meminta debitor untuk memiliki asuransi,
mewajibkan debitor membuat laporan pengelolaan lingkungan dan sosial, serta
membuat rencana tindakan manajemen.
Laporan pengelolaan lingkungan dan sosial yang disinggung diatas dapat berbentuk laporan
yang harus disampaikan dengan segera maupun laporan yang cukup disampaikan secara
tahunan. Laporan yang harus dipenuhi/disampaikan dengan segera meliputi:
Notifikasi yang diterima dari otoritas LH, kesehatan, dan keselamatan (misalnya
pemenuhan pembayaran denda).
Penyampaian (submission) kepada otoritas LH, kesehatan, dan keselamatan (misalnya
laporan berkala untuk periode yang kurang dari satu tahun serta respon terhadap
permintaan data dan informasi).
Pelaporan insiden yang material akibat ketidakpatuhan terhadap peraturan lingkungan
dan sosial.
Laporan komplain yang diterima terkait masalah lingkungan, sosial, kesehatan, dan
keamanan.
Laporan yang cukup disampaikan secara tahunan, dapat disajikan secara terpisah ataupun
digabungkan sebagai komponen dalam annual report perusahaan. Komponen-
komponen pengelolaan lingkungan dan sosial yang dapat disampaikan dalam laporan
tahuan meliputi sertifikasi kepatuhan terhadap standar pengelolaan lingkungan dan
sosial, status dari rencana tindakan manajemen, investasi untuk pengelolaan lingkungan
dan sosial yang telah dilakukan, serta peluang dari pengelolan lingkungan dan sosial
yang dapat diidentifikasi. Ilustrasi dari rencana tindakan manajemen terkait pengelolaan
lingkungan dan sosial ditunjukkan pada Gambar 12.
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh lembaga keuangan, khususnya bank, dalam
siklus kredit adalah memahami operasi dari calon debitornya. Berdasarkan pemahaman
terhadap operasi dari calon debitor, bank melakukan transaction screening untuk
memastikan bahwa operasi calon debitor tidak termasuk dalam operasi yang dilarang sesuai
dengan kebijakan lingkungan dan sosial bank (misalnya operasi dalam industri militer,
persenjataan, dan minuman keras. Selanjutnya, bank melakukan due diligence terhadap
kelayakan aspek sosial dan lingkungan dari proyek, disamping kelayakan dari aspek-aspek
lainnya (seperti hukum, keuangan, dan teknis). Bank kemudian menentukan apakah risiko
lingkungan dan sosial dari proyek dapat diterima dengan memertimbangkan langkah-
langkah mitigasi yang akan ditempuh calon debitor. Terakhir, bank melakukan pengawasan
terhadap kinerja pengelolaan lingkungan dan sosial oleh debitor, sesuai dengan rencana
dan langkah mitigasi yang disepakati. Hasil yang diharapkan dari proses integrasi ini adalah
berkurangnya risiko, baik yang bersifat langsung maupunn tidak langsung, seperti timbulnya
liabilitas (kewajiban) tambahan akibat kerusakan lingkungan dan sosial, bertambahnya
risiko kredit, serta munculnya risiko reputasi bagi bank.