Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
email :niskamila@yahoo.com
Pendahuluan
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara
Barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi
penelitian batu empedu masih terbatas.
Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan. Risiko
penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relatif kecil. Walaupun
demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka
risiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat.
Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut
dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran
empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder. Perjalanan batu saluran empedu
sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu
empedu asimtomatik. Komplikasi yang terjadi diantaranya dapat mempengaruhi organ di
sekitar empedu.1
Isi
Skenario Kasus
Seorang wanita berusia 50 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri hebat
yang hilang timbul secara mendadak pada perut kanan atasnya dan menjalar hingga ke
punggung kanan sejak 6 hari yang lalu. Selain itu, sejak 5 hari yang lalu, pasien juga
mengeluh demam tinggi, tubuhnya berwarna kekuningan dan tinjanya berwarna pucat seperti
dempul.
1
Anamnesis
1. Identitas pasien
Nama,tempat tanggal lahir, usia, jenis kelamin, nama orangtua, alamat, dan
sebagainya.
2. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama pasien.
3. Riwayat penyakit dahulu
Kronologi penyakit, ada tidaknya riwayat sakit dahulu yang pernah di derita
4. Riwayat kesehatan .
Berupa riwayat kehamilan, riwayat kelahiran, riwayat pertumbuhan (berat badan
tinggi badan), riwayat makanan.
5. Riwayat keluarga dan lingkungan, sosial-ekonomi-budaya.
Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu adalah asimptomatik.
Keluhan yang ada mungkin berupa dispepsia yang kadang disertai intolerans terhadap
makanan berlemak.
Pada yang simtomatik, keluhan utama adalah nyeri di daerah epigastrium, kuadran
atas kanan atau prekordium. Rasa nyeri lain adalah kolik bilier yang mungkin memanjang
lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbul awal nyeri
kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba.2,3
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual muntah.2,3
Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri menghilang setelah
makan antasid. Kalau terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu
menarik napas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh oleh ujung jari tangan
sehingga pasien berhenti menarik napas, yang merupakan tanda rangsang peritoneum
setempat.2
Pada batu duktus koledokus riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan
atas akan disertai dengan tanda sepsis seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis.
Biasanya terdapat ikterus dan urin bewarna gelap yang hilang timbul, bebarapa dengan
ikterus karena hepatitis juga.2,4
2
Apakah terdapat nyeri pada perut kanan atas? Berlangsung berapa lama?
Bagaimana nyerinya, sperti apa? Apakah pasien dapat melakukan aktivitas
walaupun nyeri? Apakah nyeri tersebut terus menerus, berulang atau hilang
timbul? Apakah nyeri timbul setelah makanan makanan tertentu seperti makanan
tinggi lemak? Apakah ada tempat nyeri yang lain? Apakah nyerinya menjalar?
Atau nyeri juga dirasakan di tempat lain?
Apakah yang dirasakan pasien setelah makan makanan berlemak? Begah atau
nyeri? Atau gejala dispepsia lainnya. Bagaimana pola menu makanan pasien?
Apakah pasien memiliki riwayat demam, badan kekuning-kuningan atau urin
dengan warna gelap? Apakah keluhan-keluhan tersebut hilang timbul atau
menetap? Dan sejak kapan keluhan berlangsung?
Apakah ada keluhan gatal juga?
Apakah pasien menggunakan pil kontrasepsi? Ataukah pernah mengalami rawatan
di rumah sakit dengan pemberian nutrisi parenteral total berkepanjangan?
Apakah pasien sedang dalam keadaan hamil?
Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan batu empedu tanpa gejala tidak memiliki temuan abnormal pada
pemeriksaan fisik.
Koledokolitiasis dengan obstruksi dari saluran empedu menghasilkan ikterus kulit dan
scleral yang berkembang selama beberapa jam sampai hari sehingga bilirubin terakumulasi.
Membedakan kolik empedu tanpa komplikasi dari kolesistitis akut atau komplikasi
lain adalah hal penting. Pada pemeriksaan keduanya sering hadir dengan gejala yang sama,
dan pemerikasaan fisik dapat membantu untuk membedakan keduanya.
3
Nyeri yang disebabkan oleh batu pada duktus koledokus sangat mirip dengan kolik
bilier. Mual dan muntah sering ditemukan. Pada pemeriksaan fisik dapat normal tapi nyeri
tekan pada ulu hati atau kuadran kanan atas abdomen dengan ikterus sering ditemui. Gejala
biasanya hilang timbul, karena nyeri dan ikterus disebabkan oleh batu yang menutupi ampula
secara temporer seperti katup berbentuk bola.1,2
Pemeriksaan Penunjang
1.Laboratorium
Pada permeriksaan urinalis adanya bilirubin tanpa adanya urobilinogen dalam urin
dapat mengarahkan pada kemungkinan adanya obstruksi saluran empedu. Sedangkan pada
pemeriksaan feses tergantung pada obstruksi oleh batu empedu, bila terjadi obstruksi total
saluran empedu, maka feses tampak pucat.5
Pada penderita batu empedu dengan pankreatitis dapat terjadi peningkatan kadar
amilase dan lipasse serum, disamping tes fungsi hatri yang abnormal. Diduga terdapat
kolesistitis akut jika ditemukan leukositosis dan sampai ditemukan 15% penderita
mempunyai peningkatan sedang dari aspartate aminotransferase, alanine aminotransferase,
fosfatase alkali dan bilirubin serum.5
2.Radiologis
a. Ultrasonography (USG)
Ultrasonography (USG) merupakan suatu prosedur non-invasif yang cukup aman,
cepat, tidak memerlukan persiapan khusus, relatif tidak mahal, dan tidak melibatkan
paparan radiasi sehingga menjadi pemeriksaan terpilih untuk pasien dengan dugaan
4
kolik biliaris. Ultrasonograpy mempunyai spesifitas 90% dan sensitifitas 95% dalam
mendeteksi adanya batu kandung empedu.5
b. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)
MRCP adalah suatu permeriksaan yang relatif baru, yang menggunakan MRI imaging
dengan software khusus. Pemeriksaan ini mampu menghasilkan gambaran yang
serupa Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) tanpa resiko
sedasi, pankreatitis atau perforasi. MRCP membantu dalam menilai obstruksi biliaris
dan anatomi duktus pankreatikus. Pemeriksaan ini lebih efektif dalam mendeteksi
batu empedu dan mengevaluasi kandung empedu untuk melihat adanya kolesistitis.5
c. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP adalah pemeriksaan gold standar untuk mendeteksi batu empedu di dalam
duktus koledokus dan mempunyai keuntungan terapeutik untuk mengangkat batu
empedu. ERCP adalah suatu teknik endoskopi untuk visualisasi duktus koledokus dan
duktus pankreatikus. Pada pemeriksaan ini menggunakan suatu kateter untuk
memasukkan alat yang dimasukkan ke dalam duktus biliaris dan pankreatikus untuk
mendapatkan gambaran x-ray dengan fluoroscopy. Selama prosedur, klinisi dapat
melihat secara langsung gambaran endoskopi dari duodenum dan papila major, serta
gambaran duktus biliaris dan pankreatikus.5
Working Diagnosis
Koledokolitiasis
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang dapat disimpulkan bahwa
pasien menderita koledokolitiasis. Koledokolitiasis adalah terdapatnya batu empedu di dalam
saluran empedu yaitu di duktus koledokus komunis (CBD). Koledokolitiasis terbagi jadi dua
tipe yaitu primer dan sekunder. Koledokolitiasis primer adalah batu empedu yang terbentuk
di dalam saluran empedu sedangkan koledokolitiasis sekunder merupakan batu kandung yang
bermigrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus. Koledokus primer lebih
banyak ditemukan di Asia, sedangkan di negara barat banyak koledokolitiasis sekunder. 6
Differential Diagnosis
5
dirusak oleh asam lambung, kemudian kista pecah keluar trofozoit. Di dalam usus trofozot
menyebabkan terjadinya ulkus pada mukosa akibat enzim proteolitik yang dimiikinya dan
bisa terbawa alran darah portal masuk ke hati. Amuba kemudian tersangkut menyumbat venul
porta intra hepatik, terjadi infark hepatosit sedangkan enzim-enzim proteolitik tadi mencerna
sel parenkim hati sehingga terbentuklah abses. Di daerah sentralnya terj adi pencairan yang
berwarna coklat kemerahan anchovy sauce yang terdiri dari jaringan ikat yng nekrotik dan
berdegenerasi. Amubanya seperti ditemukan pada dinding abses dan sangat jarang ditemukan
di dalam cairan di bagia sentral abses. Kira- kira 25% abses hati amebik mengalami infeksi
sekunder sehingga cairan absesnya menjadi purule dan berbau busuk. Terapi, metronidazole
adalah amebisid jaringan yang saat ini merupakan pilihan pertama. Dosisnya bervariasi antra
3 x 750mg, hingga 3 x 800mg perhari selama 10 hari. Amebisid jaringan lainnya ialah
klorokuin. Aspirasi terapeutik dilakukan dengan tuntunan USG. 6
6
sering sebagai penyebab adalah E.Coli, antibiotik yang direkombinasikan adalah kombinasi
sefalosporin dan mtronidazole. Drinase empedu yang adekuat. Dekompresi bilier dapat
dilakuka melalui tindakan endoskopi (ERCP) ataupun secara bedah, namun mortalitas pasien
tinggi pada tindakan bedah dibanding endoskopi. Terapi operas sebaiknya di tunda sampe
kolangitis selesai diangani. 6
Etiologi
Batu di dalam kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-pigmen
empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin, kalsium dan protein. Macam-
macam batu yang terbentuk antara lain:
A. Batu empedu kolesterol, terjadi karena kenaikan sekresi kolesterol dan penurunan
produksi empedu.
Faktor lain yang berperan dalam pembentukan batu:
1. Infeksi kandung empedu
2. Usia yang bertambah
3. Obesitas
4. Wanita
5. Kurang makan sayur
6. Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol.
Epidemiologi
1. Jenis Kelamin
7
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena batu empedu dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormone esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena batu empedu. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi
hormone (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan
aktivitis pengosongan kandung empedu.1
2. Usia
Resiko untuk terkena batu empedu meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena batu empedu dibandingkan
dengan orang usia yang lebih muda.1
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi batu empedu. Ini dikarenakan dengan tingginy BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi.1
4. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.1
5. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga
6. Aktifitas fisik
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah crhon disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.1
8
Nutirisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga
resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.1
Patofisiologi
Banyak faktor yang berperan pada patogenesis batu empedu. Perlu dipahami fisiologi
produksi dan aliran empedu terlebih dahulu sebelum membahas patogenesis batu empedu
reseptor.
Cairan empedu diproduksi oleh hepar sebanyak 500-600 mL setiap hari yang
kemudian dialirkan ke dalam kandung empedu dan disimpan di sana. Cairan empedu hepar
bersifat isotonik dan mengandung elektrolit yang memiliki komposisi serupa dengan
komposisi elektrolit plasma. Namun komposisi elektrolit cairan empedu yang berada di
dalam kandung empedu berbeda dengan empedu hepar karena banyak anion inorganik
(klorida dan bikarbonat) dan air di reabsorbsi melalui epitel kandung empedu, sehingga
konsentrasi cairan empedu meningkat dari 3-4 g/dL menjadi 10-15 g/dL di kandung empedu.7
Bahan utama yang terkandung dalam cairan empedu adalah asam empedu (80%),
fosfolipid dan kolesterol yang tidak teridentifikasi (4%). Lesitin adalah fosfolipid utama yang
terdapat dalam cairan empedu, meskipun ditemukan pula lisolesitn dan fosfatidil etanolamin
di usus dan tidak ikut serta dalam siklus enterohepatik.7
Sebaliknya asam empedu masuk ke dalam siklus entero hepatik kecuali asam
litokolat. Beberapa asam empedu yang utama adalah asam kolat (cholat acid) dan
(chenodeoxycholic acid).7
Asam ini terkonjungasi dengan glisin dan taurin, dan di lumen kolon diubah oleh
bakteri menjadi asam empedu sekunder (asam deoksikolat dan asam litokolat). Asam litokolat
hampir tidak ditemukan dalam cairan empedu, karena asam ini tidak masuk dalam siklus
entero-hepatik. Asam empedu adalah molekul menyerupai deterjen, dapat melarutkan
subtansi-substansi yang pada dasarnya tidak dapat larut dalam air seperti kolesterol. Pada
konsentrasi dua milimolar molekul empedu akan beragregasi membentuk agregat yang
disebut misel (micelle). Kelarutan kolesterol dalam cairan empedu tergantung pada
konsentrasi kolesterol itu sendiri dan perbandingan antara asam empedu dan lesitin.
9
Perbandingan yang normal akan melarutkan kolesterol, sedangkan perbandingan yang tidak
normal menyebabkan presipitasi kristal-kristal kolesterol dalam cairan empedu. Hal ini salah
satu faktor awalnya terbentuk batu kolesterol. Tubuh manusia menghemat asam empedu
dengan efisien melalui siklus enterohepatik.7
Asam empedu, baik yang tidak terkonjungasi maupun yang terkonjungasi, diabsorpsi
secara pasif di sepanjang lumen usus, namun transpor aktif memegang peranan lebih penting
pada konservasi asam empedu. Transpor akif ini terutama terjadi di ileum distal. Asam
empedu yang terabsopsi memasuki aliran portal dan diambil kembali oleh hepatosit,
kemudian di rekonjungasi dan direskresi. Absorpsi asam empedu melalui lumen usus sangat
efisien, sehingga asam empedu yang terbuang dalam feses hanya sekitar 0,3-0,6 gram tiap
harinya, dan jumlah tersebut akan diganti oleh sintesis de novo asam empedu di hepar. Asam
empedu kembali ke hati melalui siklus enterohepatik akan menghambat sintesis de novo
tersebut, dan interupsi sirkulasi enterohepatik sebaliknya akan meningkatkan sintesis asam
empedu.7
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran
empedu lainnya.
Faktor predisposisi yang penting adalah :
1. Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu
2. Statis empedu
3. Infeksi kandung empedu
Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada
pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan mengendap dalam kandung
empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
10
perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung
empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal khususnya selama kehamilan dapat
dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang
tinggi pada kelompok ini. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan
sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan
mukus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi. Infeksi
lebih sering sebagai akibat pembentukan batu empedu dibanding infeksi yang menyebabkan
pembentukan batu.7
Batu empedu asimtomatik dapat ditemukan secara kebetulan pada pembentukan foto
polos abdomen dengan maksud lain. Batu baru akan memberikan keluhan bila bermigrasi ke
leher kandung empedu (duktus sistikus) atau ke duktus koledokus. Migrasi keduktus sistikus
akan menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan iritasi zat kimia dan infeksi.
Tergantung beratnya efek yang timbul, akan memberikan gambaran klinis kolesistitis akut
atau kronik. Batu yang bermigrasi ke duktus koledokus dapat lewat ke doudenum atau tetap
tinggal diduktus yang dapat menimbulkan ikterus obstruktif.7
Manifestasi Klinis
Tabel 1. Gejala-gejala kronis dan akut pada penderita batu saluran empedu.8
GEJALA AKUT GEJALA KRONIS
TANDA : TANDA:
Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme. Biasanya tak tampak gambaran pada
Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada abdomen.
kuadran kanan atas. Kadang terdapat nyeri di kuadran kanan atas.
Kandung empedu membesar dan nyeri.
Ikterus ringan.
GEJALA:
GEJALA: Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat :
Rasa nyeri (kolik empedu) yang menetap. abdomen bagian atas (mid epigastrium), Sifat
Mual dan muntah. : terpusat di epigastrium menyebar ke arah
Febris (38,5C). skapula kanan.
Nausea dan muntah.
11
Intoleransi dengan makanan berlemak.
Flatulensi.
Eruktasi (bersendawa).
Komplikasi
Penatalaksanaan
Terapi Non-Operatif
Beberapa teknik non-operatif telah digunakan untuk mengobati batu empedu
somtomatik, seperti pemberian obat pelarut batu empedu (chenodeoxycholic dan
urodeoxycholic acid) dan menghancurkan batu dengan extracorporeal shockwave
lithotripsy.
a) Lisis Batu Empedu
Ursodeoxycholic acid dapat menghamba sintesis kolesterol oleh hati. Kurang
dari 10% pasien dengan batu empedu dapat ditangani secara non-operatif dan
hampir setengah pasien yang terpilih untuk penanganan non-operatif berhasil,
tetapi pengobatan dengan cara ini membutuhkan biaya lebih banyak karena
pengobatannya lebih lama (sampai 5 tahun). Pengobatan cara in hanya untuk
pasien dengan batu empedu berukuran kecil dan batu kolesterol tanpa
kalsifikasi.10
b) Extracorporeal shockwave lithotripsy (EWSL)
Extracorporeal shockwave lithotripsy (EWSL) adalah suatu terapi non-operatif
yang menggunakan gelombang suara berenergi tinggi yang dapat
menghasilkan shockwave. Shockwave ini akan ditransmisikan melalui air dan
jaringan serta mempunyai kemampuan untuk mencegah batu empedu. Teknik
ini sudah jarang dilakukan karena tergeser oleh kolesistektomi laparoskopi.10
Terapi Operatif
12
a) Kolesistektomi
Kolesistektomi merupakan satu-satunya terapi definitif untuk penderita batu
simtomatik, yaitu dengan mengangkat batu dan kandung empedu dapat mencegah
berulangnya penyakit. Kolesistektomi dapat dilakukan dengan cara operasi
membuka rongga perut (laparatomi abdomen) atau dengan menggunakan
laparoskopi.10
Kolesistektomi laparoskopik adalah suatu prosedur invasive dengan membuat
insisi kecil pada abdomen serta menggunakan kamera video kecil untuk
memperbesar organ di dalam rongga perut. Dengan menggunakan monitor video
sebagai pemandu, dokter bedah mengidentifikasi, mengisolasi dan mengangkat
kandung empedu dengan laparoskop. Risiko dari teknik laparoskopi ini adalah
trauma duktus hepatikus atau duktus koledokus.10
Pencegahan
Ada berbagai faktor yang turut berperan dalam proses pembentukan batu empedu,
antara lain faktor genetic, kegemukan, obat-obatan, etnis, penyakit (missal kencing manis
sirosis hati dsb), diet, kurang olah raga dsb. Dari faktor-faktor tersebut, ada faktor yang
bersifat dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan. Dalam rangka mencegah
terbentuknya batu empedu, tentunya upaya yang dapat dilakukan adalah
mengintervensifaktor-faktor yang dapat dikendalikan, seperti faktor diet, mengatur berat
badan dan olah raga.11
Dari segi diet, yang dapat dilakukan adalah mengatur kebiasaan makan, makan
makanan yang tinggi serat, tinggi kalsium, dan rendah karbohidrat dan protein hewani dapat
mengurangi pemasukan asam deoksikolat pada empedu.11
Prognosis
Prognosis dari kasus ini bergantung pada seberapa besar batu dan ada atau tidaknya
komplikasi yang menyertai. Sejauh ini tindakan operatif membuat prognosis menjadi lebih
baik.
Kesimpulan
13
Batu empedu dapat ditemukan di dalam kandung empedu itu sendiri, atau dapat juga
ditemukan di saluran-saluran empedu, seperti duktus sistikus atau duktus koledokus. Sekitar
80% pasien dengan batu empedu, biasanya asimtomatis. Sedangkan pada yang simtomatik,
keluhan utamanya biasa berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau
prekordium, dan kolik bilier. Penyebab dari batu empedu ini belum diketahui secara pasti,
tetapi diperkirakan ada 3 faktor predisposisi terpenting, yaitu: Gangguan metabolisme yang
menyebabkan perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Adanya faktor resiko terbentuknya batu empedu dikenal dengan 4F yaitu fatty, fourty, fertile
dan female. Ada banyak cara untuk mendeteksi batu empedu, tetapi yang menjadi gold
standard adalah ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography). Tindakan
operatif atau kolesistektomi merupakan terapi pilihan pada pasien dengan batu empedu.
Daftar Pustaka
7. Sylvia AP. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi II. Jakarta:
Penerbit Erlangga; 2004.h.329-330.
8. Soeparman. Ilmu penyakit dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1990.h.586-
588.
9. Mitchel RN et al. Buku saku dasar patologis penyakit Robbins & Cotran. Edisi ke-7.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.539.
10. Sherlock S, Dooley J. Gallstone and inflammatory gallbladder diseases. Dalam:
Disease of the liver and biliary system. Edisi ke-11. Blackwell Publishing;
2002.h.597-623.
14
11. Cahyono JBSB. Batu empedu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius; 2009.h.87.
15