Anda di halaman 1dari 26

GANGGUAN MOOD DAN BUNUH DIRI

A. Pengertian Gangguan Mood


Mood adalah kondisi perasaan yang etrus ada yang mewarnai kehidupan
psikologis kita. Mood bisa berupa perasaan sedih, marah atau pun depresi. Perasaan
tersebut normal jika terjadi pada waktu tertentu dan tidak berkepanjangan. Jika
bersifat continue maka orang tersebut mungkin mengalami gangguan mood.

B. Tipe-tipe Gangguan Mood


1. Gangguan Depresi
Gangguan depresi dianggap unipolar karena gangguan ini terjadi hanya pada satu
arah atau kutub emosional. Dua jenis gangguan depresi, yaitu:
a. Gangguan Depresi Mayor
Terjadi satu atau lebih periode atau episode depresi ( disebut episode depresi
mayor) tanpa ada riwayat terjadinya episode manik atau hipomanik alami.
Seseorang dapat mengalami satu episode depresi mayor, yang diikuti dengan
kembalinya mereka pada keadaan fungsional yang biasa. Umumnya orang yang
pernah mengalami depresi mayor dapat kambuh lagi di antara periode normal atau
kemungkinan mengalami hendaya pada fungsi-fungsi tertentu.
Suatu episode depresi mayor ditandai dengan munculnya lima atau lebih cirri-
ciri atau symptom dibawah ini selama suatu periode 2 minggu yang
mencerminkan fungsi sebelumnya. . paling tidak satu ciriciri tersebut harus
melibatkan (1) mood yang depresi atau (2) kehilangan minat atau kesenangan
dalam beraktivitas. Lebih lagi symptom-simptom tersebut harus menyebabkan
baik tingkat distress yang signifikan secara klinis ataupun hendaya paling tidak
dalam satu area penting dari fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan dan harus
bukan akibat penggunaan langsung dari obat-obatan atau medikasi dari kondis
medis ataupun dari gangguan psikologis lain. Ciri-ciri diagnostik depresi mayor
diantaranya yaitu :
1. mood yang depresi hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari dapat
berupa mood mudah tersinggung pada anak-anak atau remaja
2. penurunan tingkat kesenangan atau minat secara drastic dalam semua atau
hamper semua aktivitas, hamper tiap hari, hamper sepanjang hari
3. suatu kehilangan atau penambahan berat badan yang signifikan (5% lebih
dari berat tubuh dalam sebulan), tanpa ada upaya apapun untuk berdiet,
atau suatu peningkatan atau penurunan selera makan
4. setiap hari (atau hamper tiap hari) mengalami insomnia atau hipersomnia
9tidur berlebih)
5. agitasi yang berlebihan atau melambatnya respon gerak tiap hari
6. perasaan lelah atau kehilangan energi hamper setiap hari
7. perasaan tidak berharga atau salah tempat atau rasa bersaah yang
berlebihan dan tidak tepat yang terjadi hamper tiap waktu
8. berkurangnya kemampuan konsentrasi atau berpikir jernih atau membuat
keputusan setiap hari
9. pikiran yang muncul berulang tentang kematian atau bunuh diri tanpa
suatu rencana yang spesifik atau munculnya suatu percobaan bunuh diri
atau rencana spesifik melakukan bunuh diri

Faktor-Faktor Resiko Dalam Depresi Mayor


Factor yang meningkatkan resiko seseorang untuk mengembangkan depresi
mayor meliputi usia (onset atau kemunculan awal lebih umum terjadi pada dewasa
muda daripada dewasa yang lebih tua); status sosioekonomi dan status
pernikahan.

b. Gangguan Distimik

Pola depresi ringan (tetapi kemungkinan saja menjadi mood yang menyulitkan
pada anak-anak atau remaja ) yang terjadi dalam satu rentang waktupada orang
dewasa biasanya dalam beberapa tahun.
Orang dengan gangguan distimik merasakan spirit yang buruk atau
keterpurukan sepanjang waktu namun mereka tak mengalami depresi yang
parah seperti yang dialami orang selama depresi mayor. Gangguan distimik
cenderung ringan dan kronis biasanya berlangsung selama beberapa tahun (Klein,
dkk, 2000b). perasaan depresi dan kesulitan sosial terus ada bahkan setelah orang
tersebut menampakkan kesembuhan (USDHHS, 1999a).

2. Gangguan Perubahan Mood


a. Gangguan Bipolar

Gangguan yang disertai satu atau lebih episode manik atau hipomanik
(episode mood yang melambung dan hiperaktivitas dimana penilaian dan tingkah
laku mengalami hendaya). Episode manik atau hipomanik sering digantikan
dengan episode depresi mayor dengan jeda periode mood yang normal.
Orang dengan gangguan bipolar mengalami roller coaster emosional berayun
dari satu ketinggian kegiranan ke kedalaman depresi tanpa adanya penyebab
eksternal. Episode pertama dapat berupa manik atau depresi. Episode manik
biasanya bertahan beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan umumya lebih
singkat durasinya dan berakhir secara tiba-tiba daripada eisode depresi mayor.
DSM membedakan 2 tipe umum gangguan bipolar, gangguan bipolar 1 dan
gangguan bipolar 2 (APA,2000) pada gangguan bipolar I, seseorang paling tidak
mengalami satu episode manik penuh. Yaitu individu mengalami perubahan mood
antara rasa girang dan depresi diselingi periode antara mood normal. Gangguan
bipolar II diasosiasikan dengan gangguan mood yang lebih ringan yaitu seseorang
mengalami satu atau lebih epiode mayor depresi dan paling tidak satu kali
hipomanik. Namun tidak mengalami satu episode manik secara penuh .
Episode manik
Episode manik atau periode maniak biasanya muncul secara tiba-
tibamenumpulkan kekuatan dalam beberapa hari. Selama satu episode manik
orang akan mengalami elevasi atau ekspansi mood yang tiba-tiba dan merasakan
kegembiraan, euphoria atau optimisme yang tidak biasa.
Orang yang mengalam sebuah episode atau fase maniak merasa bersemangat
dan akan mengolok orang lain dengan memberikan lelucon yang keterlaluan,
menjadi argumentative terkadang bertindak jauh dengan merusak barang-barang.
Berbicara cenderung sangat cepat (dengan pembicaraan yang penuh tekanan
(pressure speech), sehinga orang lain sulit menyela mereka.

b. Gangguan Siklotimik

Yaitu gangguan yang ditandai perubahan mood ringan paling tidak selama 2
tahun (1 tahun untuk anak-anak dan remaja). Gangguan siklotimik biasanya
bermula pada alhir masa remaja dan awal masa dewasa dan berlangsung selama
bertahun-tahun.
Gangguan mood kronis meliputi beberapa episode hipomanik (episode yang
disertai dengan cirri-ciri manik pada tingkat keparahan yang lebih rendah daripada
episode manik) dan beberapa periode mood tertekan atau hilangnya minat atau
kesenangan pada kegiatan-kegiatan, tetapi tingkat keparahannya tidak sampai
memenuhi criteria sebagai episode depresi mayor (sumber DSM-IV- TR)
(APA,2000).
Ciri Umum Depresi:
1. perubahan pada kondisi emosional
Perubahan pada mood (periode terus menerus dri perasaan terpuruk,
depresi, sedih atau muram penuh air mata atau menangis).

2. perubahan dalam motivasi


Perasaan tidak termotivasi atau memiliki kesulitan untuk memulai
(kegiatan) dipagi hari atau bahkan sulit untuk bangun dari tempat tidur.
Menurunnya partisipasi sosial atau minat aktivitas sosial. Kehilangan
kenikmatan atau minat terhadap aktivitas yang menyenangkan. Menurunnya
minat pada seks. Gagal berespon pada pujian atau reward.

3. Perubahan dalam fungsi dan perilaku motorik


Bergerak dan berbicara dengan lebih pelan daripada biasanya.
Perubahan dalam kebiasaan tidur (tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit,
bangun lebih awal dari biasanya da merasa sulit untuk tidur kembali dipagi
butadisebut mudah terbangun dipagi buta). Perubahan dalam selera makan
(terlalu banyak atau terlalu sedikit). Perubahan berat badan (bertambah atau
kehilangan berat adan). Berfungsi kurang efektif ditempat kerja atau
disekolah.
4. perubahan kognitif
Kesulitan konsentrasi atau berpikir jernih. Berpikir negative mengenai
diri sendiri dan masa depan. Perasaan bersalah atau menyesal atas kesalahan
dimasa lalu. Kurangnya self-esteem. Berpikir akan kematian atau bunuh diri.

C. Perspektif Teoritis tentang Gangguan Mood

1. Stress dan Gangguan Mood

Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan meningkatkan risiko berkembangnya


gangguan mood yang kambuhnya gangguan mood, terutama depresi mayor. Pada
suatu sampel penelitian, peneliti menemukan bahwa dalam sekitar empat dari lima
kasus, depresi mayor diawali oleh peristiwa kehidupan yang penuh tekanan
(Mazure,1998). Orang juga lebih cenderung menjadi depresi bila mereka menanggung
sendiri terhadap kesulitan- kesulitan yang dialaminya.

Namun hubungan antara stres dan depresi tidaklah jelas. Peristiwa kehidupan
yang penuh tekanan dapat berkontribusi pada depresi, dan simtom depresi dalam diri
mereka sendiri dapat bersifat menekan atau menyebabkan munculnya sumber- sumber
tambahan pada stres, seperti perceraian dan kehilangan pekerjaan (Cui & Vaillant,
1997; Daley dkk., 1997). Akan sulit untuk memutuskan apakah seseorang menjadi
depresi karena kehilangan pekerjaan atau seseorang kehilangan pekerjaan karena
depresi.

Meski stres sering berimplikasi pada depresi, tidak semua orang yang
mengalami stres menjadi depresi. Faktor- faktor seperti keterampilan coping, bawaan
genetis, dan ketersediaan dukungan sosial memberikan kontribusi pada
kecenderungan depresi saat menghadapi kejadian yang penuh tekanan (USDHHS,
1999a).

Orang dengan depresi mayor sering kali kurang memiliki keterampilan yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah interpersonal. Namun mereka yang
mengambil pendekatan yang lebih aktif dalam menyelesaikan masalah interpersonal
cenderung memiliki hasil klinis yang lebih baik daripada orang yang depresi yang
memiliki gaya coping yang lebih pasif.

2. Teori Psikodinamika

Freud dan pengikutnya meyakini bahwa depresi mewakili kemarahan yang


diarahkan kedalam diri sendiri dan bukan kepada orang-orang yang dikasihi. Rasa
marah dapat diarahkan kepada self setelah mengalami kehilangan yang sebenarnya
atau ancaman kehilangan dari orang-oang yang dianggap penting.

Freud percaya bahwa berduka (mourning) atau rasa berduka yang normal adalah
proses yang sehat karena dengan duka akhirnya seseorang dapat melepaskan diri
secara psikologis dari seseorang yang hilang karena kematian, perpisahan, perceraian
dan alas an lain. Namun rasa duka yang patologis idak mendukung perpisahan yang
sehat. Malah akan menumpuk depresi yang tak berkesudahan. Rasa duka yang
patologis cenderung terjadi pada seseorang yang memiliki perasaan ambivalen
(ambivalent) yang kuatkombinasi perasaan positif (cinta) dan negative (marah,
permusuhan)terhadap orang yang telah pergi atau ditakutkan kepergiannya.

Menurut psikodinamika, gangguan bipolar mewakili dominasi berubah-ubah dari


pribadi individu antara ego (diri sendiri) dengan super ego (sisi moral dari diri).
Dalam fase depresi, superego lebih dominant memproduksi kesadaran yang berlebhan
atas kesalahan-kesalahan dan membanjiri diri dengan perasaan bersalah dan ketidak
berhargaan. Setelah beberapa saat ego muncul kembali dan mengambil alih supremasi
memproduksi perasaan girang dan self-confidence yangmenandai fase manik.
Ekshibisi ego yang berlebihan akan memicu kembalinya rasa bersalah dan kembali
menenggelamkan individu dalam depresi.

3. Teori Humanistik

Orang menjadi depresi saat mereka tidak dapat mengisi keberadaan mereka
dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan yang autentik yang dapat
menghasilkan self-fullfillment (pemenuhan diri). Kemudian dunia dianggap sebagai
tempat yang menjemukan. Pencarian orang terhadap makna memberi warna dan arti
kehidupan bagi kehidupan mereka. Perasan bersalah dapat timbul saat orang percaya
bahwa mereka tidak membangkitkan potensi-potensi mereka. Psikolog humanistic
menantang kita untuk memperhatikan kehidupan kita secara mendalam.

Teoritikus humanistic berfokus pada hilangnya self-esteem (harga-diri/ rasa


keberhargaan atas diri/ penghargaan terhadap diri) yang dapat muncul saat orang
kehilangan teman atau anggota keluarga atau mengalami kemunduran atau kehilangan
pekerjaan. Kita cenderung mengembangkan identitas personal atau rasa self-worth
(rasa kepantasan diri) dengan peran sosial kita sebagai orang tua, pasangan, pelajar
atau pekerja. Bila identitas peran hilang melalui kehilangan pasangan, pekerjaab,
anak-anak yang pergi kuliah, sense of purpose (arah tujuan) dan self-worth dapat
terguncang. Depresi adalah konsekuensi yang sering terjadi dari kehilangan tersebut.

4. Teori Belajar

Teoritikus belajar cenderung memikirkan factor situasional yang menyebabkan


adanya gangguan mood seperti kehilangan reinforcement positif ( semacam reward/
timbal balik positif yang mendorong seseorang berlaku tertentu).
Peter Lewinson (1974) menyatakab bahwa depresi dihasilkan dari
ketidakseimbangan antara output perilaku dan input reinforcement yang berasal dai
lingkungan. Kurangnya reinforcement untuk usaha seseorang dapat menurunkan
motivasi dan menyebabkan perasaan depresi. Lingkaran setan dapat terjadi :
penarikan diri dan ketidak arifan dari lingkungan sosial menghilangkan kesempatan
untuk mendapatkan reinforcement dan reinforcemen yang kurang akan memperburuk
penarikan diri. Tingkat aktivitas rendah yang menjadi cirri depresi juga dapat menjadi
sumber dari hasil sekunder atau reinforcement sekunder.
5. Teori Interaksi

Berdasarkan pendapat james coyne (1976) menyatakn bahwa penyesuaian pada


kehidupan bersama dengan orang yang depresi dapat sangat menekan sehingga makin
lama reinforcement yang diberikan pasangan atau anggota keluarga pada orang
depresi makin berkurang.
Teori interaksi didasarkan pada konsep interaksi timbale balik. Perilaku seseorang
mempengaruhi dan sebaliknya dipengaruhi orang lain. Teori ini menyatakan orang
yang mudah depresi beraksi terhadap stress dengan menuntut diberi keyakinan dan
dukungan sosial yang lebih besar.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa orang yang ddepresi cenderung menghadapi
penolakan dalam hubungan jangka panjang (Marcus dan Nardone,1992). Anggota
keluarga dapat menyadari betapa penuh tekanan upaya menyesuaikan diri dengan
orang yang depresi.
Dari semua bukti mendukung keyakinan Coyne bagwa orang yang menderia
depresi memperoleh penolakan dari orang lain, namun masih terdapat bukti yang
kurang untuk menunjukkan bukti bahwa penolakan dilandasi emosi negative (marah
dan jengkel) yang ditimbulkan oleh orang yang depresi dalam diri orang lain (segrin
dan Dillard,1992). Dilain pihak banyak literature yang menyatakan bahwa orang yang
depresi kurang memiliki keterampilan sosial yang efektif, yan dapat menjadi
penyebab dari fakta bahwa orang lain sering menolak mereka (Segrin dan
Abramsom,1994). Mereka cenderung tak bertanggung jawab , tidak melibatkan diri
dan bahkan tidak sopan saat berinteraksi dengan orang lain.

6. Teori Kognitif

Teori Kognitif Aaron Beck


Menghubungkan antara pengembangan depresi dengan adopsi dari cara berpikrir
yang bias atau terdistorasi secara negative diawal kehidupan segitiga kognitif
depresi.
Segitiga Kognitif Depresi :
1. Pandangan Negatif tentang Diri sendiri
Memandang diri sendiri sebagai tak berharga, penuh kekurangan, tidak dapat
dicintai, dan sebagai kurang keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai
kebahagiaan
2. Pandangan Negatif terhadap lingkungan
Memandang lingkungan sebagai memaksa tuntutan yang berlebihan dan atau
memberikan hambatan yang tidak mungkin diaasi yang terus menerus menyebabkan
kegagalan dan kehilangan.
3. Pandangan negative terhadap masa depan
Memandang masa depan sebagai tak ada harapan dan meyakini bahwa dirinya
tidak memiliki kekuatan untuk mengubah hal-hal menjadi lebih baik. Harapan oran
tersebut terhadap masa depan hanyalah kegagalan dan kesedihan yang berlanjut serta
kesulitan uang tidak pernah usai.
Beck memandang konsep negative mengenai self di dunia sebagai cetakan mental
atau skema-skema kognitif yang diadopsi saat masa kanak-kanak atas dasri
pengalaman belajar awal kanak-kanak. Anak-anak dapat menemukan bahwa tiada
satu apapun yang mereka lakukan cukup baik sehingga dapat menyenangkan orang
tua dan guru mereka. Sehingga mereka menganggap diri sebagai orang yang tidak
kompeten dan memandang suram prospek masa depan mereka. Keyakinan-keyakinan
tersebut akan membuat mereka lebih sensitive dikehidupan selanjutnya sehingga
menginterpretasikan kegagalan atau kekecewaan sebagai refleksi sesuatu yang pada
dasarnnya salah atau tidak adekuat menegnai diri mereka sendiri. Kekecewaan dan
kegagalan pribadi menjadi dibesar-besarkan melampaui proporsinya bahkan
kekecewaan kecil dapat menjadi hempasan yang merusak atau kekalahan total yang
dapat menyebabkan depresi.

7. Teori Ketidakberdayaan

Orang menjadi depresi karena ia belajar memandang dirinya sendiri sebagai tidak
berdaya dalam mengontrol reinforcement-reinforcement di lingkungannya-atau untuk
mengubah hidup menjadi lebih baik.
Selingman (1975,1991) menyatakan bahwa sejumlah bentuk depresi pada manusia
mungkin berasal dari pemaparan terhadap situasi yang tampaknya tidak dapat
dikontrol.Selingman dan kolega-koleganya mengubah teori ketidakberdayaan dalam
kerangka konsep psikologi sosial atas gaya atribusional. Gaya atribusional adalah
suatu gaya personal dalam menjelaskan sesuatu. Saat gagal atau kecewa kita
menjelaskan dalam berbagai cara yang memiliki berbagai karakteristik. Kita dapat
menyalahkan diri sendiri (atribusi internal) atau menyalahkan situasi yang kita hadapi
(atribusi eksternal). Kita dapat melihat pengalaman buruk sebagai kejadian yang
melekat dengan karakteristik pribadi (atribusi stabil) atau peristiwa yang terpisah
(Atribusi tak stabil). Kita bisa melihat dari bukti masalah yang luas (atribusi global)
atau sebagai bukti suatu kelemahan tertentu yang terbatas (atribusi spesifik).
Berdasarkan keterangan atas diformulasikan lagi teori tersebut dan meyakini bahwa
orang yang menjelaskan dari peristiwa negative dengan dasar 3 tipe atribusi berikut
adalah orang yang rentan terhadap depresi :
1.factor-faktor internal yakni keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan
ketidakmampuan pribadi, dan bukan factor-faktor eksternal atau keyakinan bahwa
kegagalan disebabkan oleh factor-faktor lingkungan;

2. factor global atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan seluruh kesalahan


dalam kepribadian bukan factor spesifik atau keyakinan bahwa keagalan
merefleksikan area yang terbatas dari kemampuan berfungsi
3. factor stabil akeyakinan bahwa gagal merefleksikan factor kepribadian yang
menetap dan bukan factor yang tidak stabil atau keyakinan bahwa factor-faktor yang
menyebabkan kegagalan dapat diubah!

8. Faktor-faktor Biologis

Dalam pandangan ini, depresi disebabkan karena :


a. Predisposisi genetis
Genetis tampaknya memegang peranan dalam gangguan mood, terutama
dalam menjelaskan gangguan depresi mayor dan gangguan bipolar.

b. Abnormalitas dalam korteks prefrontal, yaitu area dari lobus frontal yang
terletak di depan area motorik. Korteks prefrontal berpengaruh terhadap pengaturan
neurotransmitter
c. Ketidakteraturan dalam jumlah reseptor pada neuron penerima (neuron
penerima adalah tempat berkumpulnya neurotransmitter) dan ketidakteraturan dalam
sensitivitas reseptor bagi neurotransmitter tertentu. Kedua hal ini berpengaruh
terhadap berkurangnya tingkat neurotransmitter. Padahal, fungsi dari neurotransmitter
adalah mengatur kondisi mood seseorang. Dalam penelitian biopsikologi, norepinefrin
dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam
patofisiologi gangguan mood. Beberapa peneliti juga menemukan bahwa gangguan
mood melibatkan patologik dan sistem limbiks serta ganglia basalis dan
hypothalamus.

D. Penanganan Gangguan Mood


1. Pendekatan Psikodinamika

Psikoanalisi tradisional bertujuan membantu orang yang depresi untuk


memahami perasan mereka yang ambivalen terhadap orang-orang atau objek penting
dalam hidup mereka yang telah hilang atau yang terancam akan hilang. Dengan
perasaan-perasaan marah terhadap objek yang hilang ini, mereka dapat mengarahkan
rasa marah keluar dan bukan membiarkannya menjadi lebih buruk dan mengarah
kedalam. Psikoanalisis dapat menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengungkap
dan menghadapi konflik-konflik yang tidak disadari. Psikoanalisis modern juga
berfokus pada konflik-konflik tidak disadari, namun secara lebih langsung, relatif
singkat, dan berfokus pada hubungan yang penuh konflik di masa kini maupun masa
lalu.
Model-model psikoterapi untuk depresi yang lebih baru telah muncul dari aliran
interpersonal atas terapi psikodinamika yang dasarnya diambil dari hasil penelitian
Harry Stack Sullivan dan penganut neo-Freudian lainnya, seperti Karen Horney. Salah
satu contoh kontemporer adalah psikoterapi interpersonal (interpersonal
psychoteraphy/IPT). IPT adalah suatu bentuk singkat dari terapi yang berfokus pada
hubungan interpersonal klien di saat ini. Meski IPT memiliki ciri-ciri yang sama
dengan pendekatan psikodinamika tradisional, IPT berbeda dengan terapi
psikodinamika tradisional dimana fokus utama IPT terletak pada hubungan klien masa
kini dan bukan pada membantu mereka untuk mendapat pemahaman mengenai
konflik yang tak disadari yang beasal dari masa kanak-kanak. IPT membantu klien
menghadapi reaksi kesedihanyang tidak terselesaikan atau yang mengganggu setelah
kematian orang yang dicintai dan juga konflik-konflik peran dalam hubungan saat ini.

2. Pendekatan Behavioral

Pendekatan penanganan behavioral beranggapan bahwa perilaku depresi dipelajari


dan dapat dihilangkan. Terapis perilaku bertujuan untuk secara langsung
memodifikasi perilaku dan bukan untuk menumbuhkan kesadaran terhadap
kemungkinan penyebab yang tidak disadari dari perilaku-perilaku ini. Salah satu
program behavioral yang ilustratif telah dikembangkan oleh Lewinsohn dan kolega-
koleganya. Program ini terdiri dari sebuah program terapi kelompok dengan 12 sesi
selama 8 minggu yang diorganisasikan sebagai suatu kursusCoping With
Depression (CWD) Course. Kursus ini membantu klien memperoleh keterampilan
relaksasi, meningkatkan aktivitas yang menyenangkan, dan membangun keterampilan
sosial yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan reinforcement sosial.

3. Pendekatan Kognitif

Teoretikus kognitf percaya bahwa pikiran yang terdistorsi memainkan suatu peran
kunci dalam perkembangan depresi. Aaron Beck dan kolega-koleganya telah
mengembangkan suatu pendekatan penanganan yang multikomponen, disebut terapi
kognitif, yang berfokus pada membantu orang dengan depresi belajar untuk
menyadari dan mengubah pola berpikir mereka yang disfungsional. Orang yang
depresi cenderung untuk berfokus pada bagaimana perasaan mereka dan bukan pada
pikiran-pikiran yang mungkin mendasari kondisi perasaan mereka. Terapi kognitif,
seperti terapi perilaku, melibatkan suatu bentuk terapi yang relatif singkat, biasanya
14 hingga 16 sesi mingguan. Terapis menggunakan suatu kombinasi dari teknik-
teknik behavioral dan kognitif untuk membantu klien mengidentifikasi dan mengubah
pikiran-pikiran yang disfungsional serta mengembangkan perilaku yang lebih adaptif.
Teoritikus kognitif menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan kognitif dapat
menyebabkan depresi bila kesalahan-kesalahan tersebut dibiarkan mengobrak-abrik
pikiran individu tanpa adanya tentangan. Terapiskognitif membantu klien untuk
menyadari adanya distorsi kognitif dan mengganti distorsi tersebut dengan pikiran-
pikiran alternatif yang lebih rasional.

4. Pendekatan Biologis

Obat-obatan Antidepresan. Obat-oabtan yang digunakan untuk menangani


depresi mencakup beberapa kelas dari antidepresan: tricyclic antidepresants (TCAs),
monoamine oxidase (MAO) inhibitors, dan selective serotonin-reuptake inhibitors
(SSRIs). Semua obat-obatan ini meningkatkan tingkat (berfungsinya) otak, dan
mungkin, fungsi dari neurotransmiter. Meningkatnya ketersediaan neurotransmiter
kunci dalam sambungan sinaptik dapat memodifikasi sensitivitas neuron
pascasinaptik pada pegirim pesan kimiawi ini. Antidepresan cenderung memiliki efek
tunda, biasanya membutuhkan beberapa minggu penanganan sebelum suatu manfaat
terapeutik dcapai. SSRIstidak hanya menaikkan mood, namun dala banyak kasus juga
menghilangkan delusi yang mungkin menyertai depresi yang parah. Pengobatan
antidepresanjelas efektif dalam membantu menyembuhkan depresi mayor pada
banyak kasus. Antidepresan juga membantu menyembuhkan distimia.
Berbagai kelas dari antidepresan meningkatkan ketersediaan neurotransmiter,
namun dalam cara-cara yang berbeda. Tricyclic, yang mengandung imipramine
(torfanil), amitriptilyne (elavil), desipramine (norpramin), dan doxepin (sinequan),
dinamakan seperti itu karena memiliki struktur molekul tiga cincin. Kesemuanya
menaikkan tingkat norepinephrine dan serotonin neurotransmiter pada otak dengan
mengganggu proses reuptake (absorpsi kembali oleh sel yang mentransmisinya) dari
pengirim-pengirim pesan kimiawi ini. SSRIs (fluoxextine, nama dagang Prozac,
adalah salah satunya) bekerja dengan cara yang serupa namun memiliki efek yang
lebih spesifik yaitu menaikkan tingkat serotonin dalam otak. MAO inhibitors
meningkatkan ketersediaan neurotransmiter dengan cara menghambat aksi dari
monoamine oxidase, suatu enzim yang normalnya akan melemahkan atau mengurangi
neurotransmiter dalam sambungan sinaptik.
MAO inhibitors digunakan secara lebih terbatas daripada antidepresan laainnya
karena adanya interaksi serius yang potensial dengan makanan tertentu da minuman
alkohol. Efek samping potensial dari tricyclic dan MAO inhibitors mencakup mulut
kering, kemunduran psikomotor, konstipasi, pandangan yang kabur, serta yang jarang
terjadi, hambatan pembuangan urine, paralytic ileus (suatu kelumpuhan dari usu
besar, yang mengganggu perjalanan isi usus), kebingungan, delirium, dan komplikasi
kardiovaskuler, seperti tekanan darah yang menurun. Tricyclic juga sangat beracun,
yang dapat meningkatkan prospek bunuh diri akibat overdosis bila obat digunakan
tanpa pengawasan yang ketat. SSRIs seperti Prozac, hampir sama efeknya dengan
generasi tricyclic, namun SSRIs memiliki dua keuntungan utama. Keuntungan
pertama adalah SSRIs lebih tidak beracun dan karenanya lebih tidak berbahaya bila
overdosis. Kedua, SSRIs memiliki lebih sedikit efek samping umum (seperti mulut
kering, konstipasi, dan bertambah berat badan) yang diasosiasikan dengan tricyclic
dan MAO inhibitors.
Penanganan Obat untuk Gangguan Bipolar. Obat litium karbonat, bentuk
bubuk dari litium berelemen metalik, adalah pengobatan yang paling luas dipakai dan
direkomendasikan untuk gangguan bipolar. Dapat dikatakan bahwa orang Yunani dan
Romawi Kuno adalah yang pertama dalam menggunakan litium sebagai bentuk
kemoterapi. Mereka meresepkan air mineral yang berisi litium untuk orang dengan
mood yang sangat berubah-ubah. Litium efektif dalam menstabilkan mood orang yang
menderita gangguan bipolar dan dalam mengurangi episode-episode kambuh dari
maniak dan depresi.
Namun litium umumnya lebih efektif alam menangani simtom-simtom manik
daripada depresi. Orang dengan gangguan bipolar kemungkinan perlu menggunakan
litium secara terus-menerus untuk mengontrol perubahan mood-nya. Namun
penanganan dengan litium belum tentu berhasil pada setiap orang yang terkena
gangguan bipolar, paling tidak 30% hingga 40% pasien yang yang mengalami maniak
gagal untuk merespon pada obat ini atau juga tidak menoleransinya. Di antara yang
berespon, sekitar 6 dari 10 mengalami kambuh kembali. Pengobatan dengan litium
harus dimonitor secara ketat marena adanya efek beracun yang potensial dan efek
samping lainnya. Litium dapat menyebabkan suatu hendaya ringan dalam ingatan,
"sutu jenis hendaya yang dapat membuat seseorang yang produktif berhenti memakai
obat tersebut", kata seorang ahli.
Obat ini juga dapat menyebabkan penambahan bera badan, kesuan, dan
kepeningan, serta menyebabkan suatu penurunan umum dari fungsi motorik. Selain
itu juga dapat menghasilkan distres gastrointestinal dan menyebabkan masalah liver
(hati) dalam jangka panjang. Untuk sejumlah alasan, banyak pasien yang berhenti
menggunakan litium atau gagal meminumnya secara terus menerus.
Obat antikonvulsan digunakan dalam penanganan epilepsi, sperti carbamazepine
dan divalproex, juga digunakan untuk menstabilisasi mood dan menghilangkan
simtom-simtom manik pada orang dengan gangguan bipolar. Obat antikonvulsan
dapat memberikan manfaat dalam menangani orang dengan gangguan bipolar baik
yang tidak berespon pada litium maupun yang tidak dapat menoleransi litium karena
efek sampingnya.
Terapi Elektrokonvulsif. Terapi elektrokonvulsif (Electroconvulsive
therapy/ECT), lebih umum disebut terapi kejutan (shock therapy), terus menimbulkan
kontroversi. Ide mengalirkan arus listrik ke otak seseorang mungkin tampak biadab,
namun ECT dapat membantu menghilangkan depresi pada banyak kasus di mana
penanganan lain tidak berhasil. ECT melibatkan pengaliran arus listrik ke kepala.
Arus listrik antara 70 hingga 130 volt digunakan untuk menginduksi suatu konvulsi
yang serupa dengan serangan epilepsi grand mal. ECT biasanya diberikan dalam satu
rangkaian 6 hingga 12 kali penanganan yang didistribusikan dalam suatu rangkaian
tiga kali perminggu, selama satu periode beberapa minggu.
Meski sebelumnya ECT digunakan untuk beragam gangguan psikologis, termasuk
skizofrenia dan bipolar, namun pada tahun 1990 American Psychiatric Association
merekomendasikan ECT sebaiknya hanya digunakan untuk penanganan gangguan
depresi mayor pada orang yang tidak berespons terhadap pengobatan antidepresan.
ECT mengasilkan perbaikan yang signifikan untuk sekitar 50% hingga 60% orang
dengan depresi mayor yang telah gagal berespons pada pengobatan antidepresan. ECT
juga memiliki manfaat lain, yaitu perawatan inap yang lebih singkat dan lebih sedikit
memakan biaya untuk penderita depresi mayor.
Terdapat kekhawatiran yang dapat dipahami di antara pasien, kerabat, dan para
ahli sendiri mengenai risiko yang mungkin ditanggung dari ECT, terutama mengenai
kehilangan ingatan untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi sekitar waktu penanganan.
Terlepas dari semua itu, ban yak ahli memandang ECT sebagai penanganan terakhir,
baru dipertimbangkan hanya setelah semua pendekatan penanganan tilah dicoba dan
tidak berhasil.

E. Bunuh Diri

Di bawah stres yang berat, banyak orang, bila tidak semua, memiliki pertimbangan
untuk bunuh diri. Suatu survei terkini yang cukup mewakili secara nasional menemukan
bahwa 13% dari orang dewasa di AS d lapirkan pernah memiliki pikiran-pikiran bunuh
diri dan 4,6% dilaporkan melakukan percobaan bunuh diri. Setengah lebih (54%) dari
suatu sampel yang merupakan 694 mahasiswa tahun pertama dilaporkan telah
memikirkan bunuh diri paling tidak dalam satu kesempatan. Setiap tahun di AS terdapat
sekitar 500.000 orang yang ditangani di unit gawat darurat rumah sakit untuk percobaan
bunuh diri dan lebih dari 30.000 "berhasil" dalam menghentikan hidup mereka.
Perilaku bunuh diri bukanlah suatu gangguan psikologis, tetapi sering merupakan ciri
atau simtom dari gangguan psikologis yang mendasarinya, biasanya gangguan mood.
Pemerintah federal memperkirakan sekitar 60% orang yang melakukan bunuh diri telah
menerita gangguan mood.

Siapa yang Bunuh Diri

Bunuh diri adalah penyebab kematian utama yang ketiga di antara orang-orang
dengan usia 15 hingga 24 tahun di Amerika Serikat, setelah kecelakaan yang ak disengaja
dan pembunuhan. Angka bunuh diri di antara remaja dan dewasa muda naik hingga tiga
kali lipat pada periode tahun 1952 hingga 1995. Namun angka bunuh diri meningkat
seiring peningkatan usia dan paling tinggi terdapat di antara orang dewasa berusia 65
tahun dan lebih, terutama pria kulit putih yang lanjut usia.
Terlepas dari terdapatnya kemajuan teknologi perpanjangan hidu dalam perawatan
medis, sejumlah orang dewasa lanjut usia merasa bahwa kualitas kehidupan mereka
kurang dari memuaskan. Dengan hidup lebih lama, sejumlah orang lanjut usia menjadi
lebih rentan terhadap pemyakit seperti kanker dan alzheimer, yang dapat membuat
mereka nerasa tidak berdaya dan putus asa yang pada gilirannya dapat memunculkan
pemikiran untuk bunuh diri. Banyak orang berusia lanjut juga menderia suatu akumulasi
yang menggunung dari kehilangan teman-teman dan orang yang mereka cintai seiring
berjalannya waktu, menyebabkan isolasi sosial. Kehilangan-kehilangan ini, seperti juga
kehilangan kesehatan yang baik dan suatu peran tanggung jawab di komunitas, dapat
menurunkan kejnginan mereka untuk hidup.
Lebih banyak wanita yang mencoba bunuh diri, namun lebih banyak pria yang
"sukses". Lebih banyak pria yang sukses, sebagian besar, karena mereka cenderunng
untuk memilih tidakan yang lebih cepat dan alat yang lebih mematikan, seperti pistol.
Perbedaan gender pada risiko bunuh diri dapat menutupi faktor-faktor yang
mendasarinya. Truman mumum bahwa pria lebih cenderung untuk mengakhiri hidupnya
sendiri dapat dikarenakan adanya fakta bahwa pria juga lebih cenderung untuk memiliki
riwayat penyalahgunaan alkohol dan kbat dan lebih cenderung untuk tidak memiliki anak
dirumah. Bila kedua faktor ini diperhitungkan dalam suatu penelitian terkini, perbedaan
gender dalam risiko bunuh diri akan menghilang.

Mengapa Orang Melakukan Bunuh Diri


Pikiran untuk bunuh diri tidak selalu mengimplikasikan hilangnya hubungan dengan
realitas, konflik tak disadari yang terkubur dalam, atau suatu gangguan kepribadian.
Memiliki pikiran-pikiran mengenai bunuh diri umumnya merefleksikan suat penyempitan
kisaran pilihan yang orang pikir tersedia bagi mereka untuk mengatasi masalah-masalah
mereka. Ini berarti mereka kehilangan haraoan memgenai masalah-masalah mereka dan
tidak melihat jalan keluar lain.
Masalah bunuh diri lebih besar di antara orang dengan gangguan mood yang parah,
seperti depresi mayor dan gangguan bipolar. Depresi mayor berkontribusi pada sekitar
20% hingga 35% dari kematian karena bunuh diri di Amerika Serikat. Sebanyak satu dari
lima orang dengan gangguan bipolar pada akhirnya melakukan bunuh diri. Para ahli
percaya bahwa semakin besar usaha yang dilakukan untuk mendiagnosis dan menangani
gangguan mood dapat menghasilkan angka bunuh diri yang lebih rendah. Bunuh diri juga
merupakan penyebab utama dari kematian dini di antara orang dengan skizofrenia.
Setengah lebih dari orang yang melakukan percobaan bunuh diri dalam suatu penelitian
terkini, memiliki dua atau lebih gangguan psikologis.
Tidak semua bunuh diri terkait dengan gangguan psikologis. Sejumlah orang yang
menderita penyakit fisik yang sangat menyakitkan dan tanpa harapan mencari pelarian
dari penderitaan mereka dengan cara mengakhiri hidup mereka. Bunuh diri semacam ini
terkadang disebut "bunuh diri yang rasional" dengan keyakinan bahwa hal itu disadarkan
pada keputusan yang rasional bahwa hidup tidak lagi berharga untuk dijalani dengan
adanya penderitaan yang berkepanjangan. Namun, mungkin dalam banyak dari kasus-
kasus ini, penilaian dan kemampuan penalaran orang tesebut bisa saja dipengaruhi oleh
suatu gangguan psikologis yang mendasar dan potensial yang dapat ditangani, seperti
depresi. Bunuh diri yang lain dimotivasi oleh keyakinan agama atau politik yang tertanam
kuat, seperti dalam kasus orang yang mengirbankan dirinya sendiri pada suatu aksi protes
melawan pemerintahnya. Contoh yang lebih menyeramkan lagi adalah para teoritis yang
membunuh orang lain dan jug dirinya sendiri dengan keyakinan bahwa tindakannya akan
diberikan penghargaan pada kehidupan setelah mati.
Orang yang mempertimbangkan bunuh diri pada saat stres kemungkinan kurang
memiliki keterampilan memecahkan masalah dan kurang dapat menemukan cara-cara
alternatif untuk coping dengan stresor yang mereka hadapi. Menekankan dampak
psikologis dari stres yang berat, para peneliti menemukan bahwa bunuh diri lebih umum
terjadi pada orang yang selamat dari bencana, terutama banjir besar.

Perspektif Teoritis tentang Bunuh Diri

Model psikodinamika klasik memandang depresi sebagai pengalihan ke dalam diri


rasa marah terhadap representasi internal atas objek cinta yang hilang. Kemudian bunuh
diri mewakili kemarahan yang diarahkan ke dalam yang menjadi bersifat membunuh.
Dalam tulisannya yang lebih baru, Freud berspekuliasi bahwa bunuh diri kemungkinan
dimotivasi oleh "insting kematian", suatu kecenderungan untuk kembali ke keadaan bebas
tekanan yang ada sebelum kelahiran. Teoretikus eksistensial dan humanistik
menghubungkan bunuh diri dengan persepsi bahwa hidup tidaklah bermakna dan tanpa
harapan. Orang yang bunuh diri dilaporkan merasa bahwa hidupnya lebih menjemukan,
lebih kosong, dan lebih membosankan daripada orang yang tidak bunuh diri.
Pada abad ke sembilan belas, pemikir sosial Emil Durkheim (1958) menyatakan
bahwa orang yang mengalami anomi (merka yang merasa tersesat, tanpa identitas, tidak
berakar) lebih cenderung untuk melakukan bunuh diri. Teoretikus sosiokuktural juga
percaya bahwa alienasi (keterasingan) dalam masyarakat saat ini dapat memainkan suatu
peran dalam bunuh diri. Banyak orang terisolasi secara sosial atau terputus dari kelompok
pendukung mereka. Lebih lagi, penduduk kota cenderung membatasi atau tidak berminat
dengan kontak-kontak sosial informal karena kepadatan, stimulasi yang berlebihan, dan
ketakutan akan kriminalitas. Pada sejumlah kasus, ketersediaan dukungan keluarga
tidaklah membantu. Anggota keluarga dianggap sebegai bagian dari masalah, bukan
bagian dari solusi.
Teoretikus belajar banyak berfokus pada kurangnya keterampilan pemecahan masalah
untuk menangani tekanan hidup yang berat. Menurut Shneidman (1985), orang yang
melakukan percobaan bunuh diri berharap untuk dapat lari dari rasta saki psikologis yang
tidak tertahankan dan kemungkinan memersepsikan bahwa tidak ada jalan keluar lain.
Teoretikus sosial-kognitif mengatakan bahwa bunuh diri dapat dimotivasi oleh haraoan
positif dan oleh sikap-sikap persetujuan legistimasi dari bunuh diri. Orang yang
membunuh dirinya sendiri mungkin berharap bahwa mereka akan dirindukan atau
dikenang setelah kematian mereka, atau bahwa orang yang hidup akan merasa bersalah
karena telah salah memperlakukan mereka. Teoretikus sosial-kognitif juga berfokus pada
dampak modeling yang potensial dari mengobservasi perilaku bunuh diri pada orang lain,
terutama di kalangan remaja yang merasa terbebani oleh stresor akademik dan sosial.
Faktor-faktor biologis juga berimplikasi dalam bunuh diri. Penurunan aktivitas
serotonin ditemukan pada banyak orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri. Oleh
karena manurunnya ketersediaan serotonin terkait dengan depresi, maka hubungannya
dengan bunuh diri tidaklah mengherankan. Namun, serotonin bekerja untuk membatasi
atau menghambat aktivitas sistem saraf, sehingga mungkin kurangnya aktivitas serotonin
menyebabkan disinhibition atau pelepasan dari perilaku impulsif yang mengambil bentuk
tindakan bunuh diri pada inividu yang rapuh. Bunuh diri juga cenderung menurun dalam
keluarga, yang menandakan adanya faktor genetis.
Bunuh diri terkait dengan suatu jaringan yang kompleks dari berbagai faktor, dan
untuk memprediksinya tidaklah mudah. Namun jelas bahwa banyak bunuh diri yanh
dapat dcegah bila orang dengan perasaan ingin bunuh diri menerima penanganan untuk
gangguan yang mendasari perilaku bunuh diri, termasuk depresi, skizofrenia, serta
penyalahgunaan alkohol dan zat. Kita juga memerlukan stategi menekankan pada
pemeliharaan harapan selama masa-masa stres berat.

Memprediksi Bunuh Diri

Orang yang bunuh diri cenderung menunjukkan niatnya, sering kali cukup eksplisit,
seperti menceritakan pada orang lain mengenai pikiran-pikiran bunuh dirinya, dan
beberapa very saga untk menyembunyikan niatnya. Namun, petnjuk-petunjuk behavioral
tetap dapat mengungkapkan niat bunuh diri. Edwin Shneidman, peneliti terkenal
mengenai bunuh diri, menemukan bahwa 90% dari orang-orang yang melakukan bunuh
diri telah memberikan petunjuk yang jelas, seperti membuang barang-barang miliknya.
Orang yang memikirkan bunuh diri juga dapat secara tiba-tiba mencoba untuk memilah-
milah urusan-urusan mereka, seperti membuat surat warisan atau membeli tanah di
pemakaman. Mereka dapat membeli senjata api meski sebelumnya kurang tertarik akan
persenjataan. Saat orang yang bemasalah memutuskan untuk melakukan bunuh diri,
mereka tiba-tiba tampak berada dalam keadaan yang damai, mereka merasa terlepas dari
keharusan untuk terbebani dengan masalah hidup. Ketenangan yang tiba-tiba ini dapat
salah diinterpretasikan sebagai suatu tanda harapan.

Prediksi bunuh diri bukanlah sebuah ilmu pasti, bahkan bagi ahli yang berpengalaman
sekalipun. Banyak faktor-faktor yang dapat diobservasi, seperti keputusasaan, yang
tampak berhubungan dengan bunuh diri, namun kita tidak dapat memprediksi kapan
seseorang yang putus asa akan melakukan bunuh diri, bahkan tidak sama sekali.
GANGGUAN KEPRIBADIAN
A. Pengertian Gangguan Kepribadian

Gangguan kepribadain adalah pola perilaku atau cara berhubugan dengan orang lain
yang benar-benar kaku. Kekakuan tersebut menghalangi mereka untuk menyesuaikan diri
terhadap tuntutan eksternal sehingga pola tersebut pada akhirnya bersifat self defeating.

Individu dikatakan mengalami gangguan kepribadian apabila ciri kepribadiannya


menampakkan pola perilaku maladaptive dan telah berlangsung untuk jangka waktu yang
lama (biasanya sejak masa anak-anak). Pola tersebut muncul pada setiap situasi serta
menganggu fungsi kehidupan sehari-hari (misalnya dalam relasi sosial dan pekerjaan).

Pada individu ini, ciri kepribadian maladaptive itu tampak begitu melekat pada
dirinya. Biasanya mereka menolak untuk mendapatkan pertolongan dari terapis dan menolak
atau menyangkal bahwa dirinya memiliki suatu masalah. Apabila dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan kecemasan, depresi dan obsesif-komplusif, individu
dengan gangguan kepribadian lebih tidak menyadari masalah mereka. Mereka tidak merasa
cemas tentang perilakunya yang maladptif (ego-sintonik) sehingga mereka pun tidak
memiliki motivasi untuk mendapatkan perbaikan atau penyembuhan.

B. Tipe-tipe Gangguan kepribadian

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV)


gangguan kepribadian dibagi ke dalam 3 kelompok besar, yaitu:

Kelompok A : orang yang di anggap aneh atau ekstrentik. Kelompok ini mencakup
gangguan kepribadian paranoid, schizoid, dan skizotipal.

Kelompok B : orang dengan perilaku yang terlalu dramatis, emosional, atau eratik (
tidak menentu ). Kelompok ini terdiri dari gangguan kepribadain antisosial, ambang,
histrionik, dan narsistik.

Kelompok C : orang yang sering kali tampak cemas atau ketakutan. Kelompok ini
mencakup gangguan kepribadian menghindar, dependen, dan obsesif-komplusif.

1. Kelompok A
Gangguan Paranoid

Gangguan kepribadian paranoid adalah sebuah gangguan kepribadian yang


ditandai oleh kecurigaan akan motif orang lain, namum belum sampai tahap delusi.
Individu dengan gangguan ini biasanya ditandai dengan adanya kecurigaan dan
ketidakpercayaan yang sangat kuat dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya.
Mereka seringkali sangat sensitive, mudah marah, dan menunjukan sikap
bermusuhan. Individu yang sangat fanatic pada hal-hal tertentu atau pasangan suami
atau istri yang cemburu membabi buta.

Salah satu faktor penting dalam gangguan kepribadian paranoid adalah adanya
kecenderumgan yang tidak beralasan ( gangguan ini biasanya dimulai pada saat masa
dewasa awal dan tampak pada berbagai situasi dan kondisi ) untuk menganggap
perilaku orang lain sebagai merendahkan dan mengacam diri mereka. Individu dengan
gangguan ini terus menerus menayakan tentang loyalitas teman-teman mereka
kepadanya, tanpa adanya alasan tertentu. bahkan kadangkala mereka berharap terjadi
sesuatu yang tidak menyenangkan pada diri mereka, tujuannya agar membuktikan
bahwa kecurigaannya selama ini tidak salah.

Individu dengan gangguan ini tidak mampu terlibat secara emosional dan
menjaga jarak dengan orang lain, mereka tidak hangat dan lebih tertarik pada
kekuatan dan tingkatan (status) serta memandang rendah pada individu yang lebih
lemah, sakit ataupun memiliki kekurangan tertentu. dalam situasi sosial, individu
dengan gangguan ini tampak efisien, praktis, dan cekatan, namun mereka seringkali
menjadi pemicu dari timbulnya konflik dengan lingkungan.

Prevalensi gangguan ini adalah 0,5 hingga 2,5 persen dari populasi pada
umumnya. Mereka sangat sedikit yang mencari pertolongan atas inisiatifnya sendiri,
biasanya mereka diajak ke terapis oleh pasangannya atau perusahaan yang
memperkerjakannya. Pada keluarga yang salah satu atau beberapa anggotanya
mengalami skizofrenia, munculnya gangguan ini tampak lebih tinggi daripada
keluarga yang tidak memilikinya.

Gangguan Skizoid

Gangguan kepribadian schizoid adalah sebuah gangguan kepribadian yang


ditandai oleh kurangnya minat dalam hubungan sosial, afek yang datar dan penarikan
diri dari lingkungan sosial. Individu dengan gangguan ini biasanya menampilkan
perilaku atau pola menarik diri dan biasanya telah berlangsung dalam jangka waktu
yang lama. Mereka merasa tidak nyaman berinteraksi dengan orang lain, cenderung
introvert dan afek mereka pun terbatas. Individu dengan gangguan ini seringkali
dilihat oleh orang lain sebagai individu yang eksentrik, terkucil dan penyendiri.

Emosi dari orang dengan kepribadian schizoid tampak dangkal atau tumpul,
namun pada derajar yang lebi rendah dibandingkan skizofrenia. Individu dengan
gangguan ini tampak jarang, bila pernah, megalami kemarahan, kebahagian, atau
kesedian yang kuat. Mereka tampak jau dan menjaga jarak. Wajah mereka cenderung
tidak menampilkan ekspresi emosional, dan mereka jarang bertukar senyum sosia atau
salam yang disertai anggukan dengan orang lain. Mereka tampak tidak terpengaruh
erhadap kritik ataupun pujian dan tampak terbungkus dalam ide-ide abstrak daripada
dalam pikiran mengenai manusia. Meski membina kontak yang lebih baik dengan
realitas daripada orang yang mederita skizofrenia.

Keidupan seksual mereka biasanya hanya sebatas fantasi dan mereka sedapat
mungkin berusaha menunda kematangan seksualnya. Kaum pria biasanya tidak
menikah karen mereka tidak dapat melakukan ubungan yang intim dan kaum wanita
biasanya secara pasif akan menyetujui untuk menikah dengan kaum pria yang agresif
dan sangat mengingikan mereka menika dengannya.

Sulit untuk menentukan secara pasti prevalansi dari gangguan ini, namun
sejauh ini diketahui bahwa gangguan ini terjadi pada 7,5 persen populasi pada
umumnya. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan juga tidak diketahui secara
pasti namun diperkirakan sekitar 2:1 (laki-laki : perempuan). Awal munculnya
gangguan ini biasanya pada masa kanak-kanak awal. Biasanya berlangsung dalam
jangka waktu yang lama walaupun belum tentu seumur hidup mereka.

Gangguan Skizopital

Gangguan kepribadian skizopital adalah sebuah gangguan kepribadian yang


ditandai oleh keesentrikan dalam pikiran dan perilaku, namun tanpa ciri psikotik yang
jelas.individu dengan gangguan kepribadian skizopital biasanya tampak aneh secara
sangat mencolok. Mereka memiliki pemikiran yang ajaib (magical), ide-ide yang
ganjil, ilusi dan derealisasi yang bisanya mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-
hari. Bentuknya misalnya kepercayann yang sangat pada indera ke-enam, telepati,
merasa bahwa dirinya memiliki kekuatan pikiran, serta memiliki fantasi yang aneh.
Kadangkala isi pikran mereka dipenuhi oleh fantasi yang berkaitan dengan ketakutan
dan fantasi yang biasanya hanya muncul pada masa kanak-kanak.

Individu dengan gangguan ini mengalami masalah dalam berpikir dan


berkomunikai. Mereka sensitive terhadap perasaan atau reaksi orang lain terhadap
dirinya, terutama reaksi yang negative seperti rasa marah atau tidak senang. Kadang
kala cara bicara individu dengan gangguan ini sangat aneh dan ganjil sehingga anya
diri mereka sendiri yang mampu mengerti artinya. Mereka pun memiliki kemampuan
yang rendah dalam berinteraksi dengan orang lain dan kadangkala bertingkah laku
aneh seingga akhirnya mereka seringkali terkucil dan tidak memiliki banyak teman.
Prevalensi gangguan ini sekitar 3 persen dari populasi pada umumnya. Perbandingan
antara laki-laki dan peremuan tidak diketahui secara pasti. Gangguan ini lebih banyak
muncul pada keluarga yang memiliki pnderita skizofrenia dan diantara kembar satu
telur bila dibandingkan dengan kembar dari luar telur.
2. Kelompok B
Gangguan Antisosial

Gangguan kepribadian antisosial adalah sebua gangguan kepribadian yang


ditandai oleh perilaku antisosial dan tidak bertanggung jawab serta kurangnya
penyesalan untuk kesalahan mereka. Individu dengan gangguan kepribadian antisosial
biasanya secara terus menerus melakukan tingkah laku criminal atau antisosial,
namun tingkah laku ini tidak sama dengan melakukan kriminalitas. Gangguan ini
lebih menekankan pada ketidakmampuan individu untuk mengikuti norma-norma
sosial yang ada selama perkembangan masa remaja dan dewasa. Sebelum
mendapatkan diagnosis gangguan kepribadian antisosial (karena diagnosis ini anya
dapat diberikan kepada individu yang berusia 18 tahun), biasanya mereka telah
memenui kriteria untuk mendapatkan diagnosis conduct disorder(perilaku yang
menantang peraturan yang berlaku) di masa remajanya.

Kita dulu pernah menggunakan istilah psikopat dan sosiopat untuk


menunjukan tipe orang yang kini termasuk dalam kepribadian antisosial, orang
dengan perilaku tidak bermoral dan asocial, implusif, serta kurang memiliki
penyesalan dan rasa malu. Sejumla klinis terus menggunakan istilah-istilah ini secara
bergantian dengan istilah kepribadian antisosial. Akar dari kata psikopat berfokus
pada gagasan bahwa ada sesuatu yang tidak benar (pantologis) pada fungsi psikologis
individu. Sedangkangkan akar dari kata sosiopati berpusat pada deviasi
(penyimpangan) sosial orang tersebut.

Pola perilaku yang menandai gangguan kepribadian antisosial dimulai dari


masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ingga dewasa. Namun demikian perilaku
antisosial dan criminal yang terkait dengan gangguan ini cenderung menurun sesuai
usia dan mungkin akan menghilang pada saat orang tersebut mencapai umur 40 tahun.
Namun tidak demikian dengan tarit kepribadian yang mendasari gangguan antisosial-
trait seperti egosentris, manipulative, kurangnya empati, kurangnya rasa bersalah atau
penyesalan dan kekejaman pada orang lain. Hal-hal tersebut relative stabil meski
terdapat penambahan usia.

Prevalansi gangguan kepribadian antisosial adalah 3 persen pada laki-laki dan


1 persen pada perempuan. Kepribadian ini lebih umum tampak pada daera miskin.
Usia kemunculan gangguan ini adala sebelum 15 tahun. Perempuan biasanya
menampakkan gejala sebelum masapubertas dan pada laki-laki bahkan sebelumnya.
Pada populasi di penjara, prevalansi individu yang memiliki kepribadian antisosial
mencapai 75 persen.

Gangguan Ambang

Gangguan kepribadian ambang adalah sebuah gangguan yang ditandai oleh


perubahan yang cepat dalam mood, krangnya sense of self yang koheren, serta
perilaku yang tidak dapat di duga dan implusif. Gangguan ini berada di perbatasan
antara gangguan neurotic dan psikotik dengan gejala gejala afek, mood, tingkah
laku, dan self-image yang sangat tidak stabil. Individu dengan gangguan ini moodnya
selalu berubah-ubah. Pada suatu waktu dia dapat begitu banyak memberikan
pendapatnya (secara positif), lalu mendadaktampak depresi, kemudian diwaktu yang
lain tiba-tiba dia mengeluh tentang perasaannya.

Tingkah laku dari individu dengan gangguan ini sangat tidak dapat diduga,
akibatnya mereka jarang mencapai hasil yang sesuai dengan kemampuan yang mereka
miliki (under-achiever). Mereka juga memiliki kecenderungan untuk menyakiti diri
sendiri (self-destructive). Individu ini memiliki kemungkinan mengiris pergelangan
tangannya dan menampilkan berbagai self-mutilation (tindakan melukai diri sendiri,
memotong) dengan tujuan mencari pertolongan dari orang lain, untuk
mengekspresikan kemarahan mereka atau menumpulkan afek-afek yang mereka
rasakan.

Indivu dengan gangguan kepribadian ini merasa bergantung pada orang lain,
namum mereka juga memiliki perasaan bermusuhan dengan orang lain. Oleh karena
itu, individu dengan gangguan ini memiliki hubungan interpersonal yang hiruk-
pikuk. Disuatu waktu mereka tampak bergaantung pada teman dekatnya, namun
dilain waktu ketika mereka sedang frutasi misalnya, mereka dapat menampilkan
kemarahan yang sangat kepada orang yang sama.

Individu dengan gangguan ini puntidak tahan atau tidak dapat hidup apabila
berada sendirian. Ketika kesepian dan kebosanan melanda mereka, walaupun hanya
untuk waktu yang singkat ( karena mood pada kepribadian ini sangat mudah berubah)
mereka akan sekuat tenaga menemukan teman,walaupun hanya sebatas teman duduk.
Kadangkala teman yang mereka pilih bukanlah teman yang menyenangkan bahkan
asiing bagi mereka.

Hingga saat ini belum ada penelitan yang memadaiuntuk menemukan


prevalensi dari gangguan kepribadian ambang, namun di perkirakan gangguan ini
muncul pada sekitar 1 atau 2 persen pada populasi umumnya. Gangguan ini dua kali
lebih banyak pada kaum perempuan dibandingkan laki laki.

Gangguan Histrionik

Gangguan kepribadian histrionic adalah sebuah gangguan yang ditandai oleh


kebutuhan yang berlebihan akan perhatian, pujian, dukungan berulang dan
persetujuan. Gangguan kepribadian ini ditandai dengan tingkah laku yang
bersemangat (colorful), dramatis atau suka menonjolkan diri dan ekstrovert pada
individu yang emosional dan mudah terstimulasi oleh lingkungan. Disamping
penampilan yang cemerlang dan bersemangat (flamboyant), mereka sebenarnya tidak
mampu menciptakan hubungan yang mendalam dan menjaga hubungan dalam jangka
waktu yang panjang.
Orang dengan gangguan ini cenderung dramatis dan emosional, namun emosi
mereka tampak dangkal, dibesar-besarkan, dan mudah berubah. Gangguan ini
sebelumnya disebut sebagai kepribadian histerikal. Penggantian histerikal menjadi
histrionik dan perubahan yang terkait dengan akar kata hysteria (berarti rahim)
menjadi histrio memungkinkan pada para profesional untuk menjaga jarak dari
gagasan bahwa gangguan ini secara kompleks berhubungan dengan menjadi
perempuan.

Prevalensi gangguan ini sekitar 2 hingga 3 persen. Gangguan ini lebih banyak
ditemukan pada peremuan dibandingkan laki-laki. Kadangkala gangguan ini
bersamaan dengan gangguan somatisasi dan gangguan pengguanaan alcohol.

Dengan bertambanya usia, biasanya gejala- gejala gangguan kepribadian


histrionic ini akan menurun. Individu dengan gangguan ini biasanya dapat terlibat
masalah dengan hukum, penggunaab zat dan pelacuran karena mereka selalu memiliki
tujuan untuk mencari dan mendapatkan perhatian dari lingkungan.

Gangguan narsistik

Gangguan kepribadian narsistik adalah sebuah gangguan kepribadian yang


ditandai oleh self-image yang membubug serta tuntutan akan perhatian dan pemujaan.
Narkissos alah seorang pemuda tampan yang mnurut mitologi Yunani, jatuh cinta
pada bayangannya sendiri. Karena self-lovenya yang berlebihan, dalam salah satu
versi dari mitologi, ia diubah oleh para dewa menjadi bunga yang kini kita kenal
sebagai narcissus.

Individu dengan gangguan ini memiliki perasaan yang kuat bahwa dirinya
adalah orang yang penting serta merupakan individu yang unik. Mereka merasa
bahwa dirinya special dan berharap mendapatkan perlakuan yang khusus pula. Oleh
karena iyu, mereka sangat sulit atau tidak dapat menerima kritik dari orang lain.
Mereka selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan cara yang sudah mereka tentukan
dan seringkali ambisius serta mencari ketenaran.

Sikap mereka mengakibatkan hubungan yang mereka miliki biasanya rentan


(mudah pecah) dan mereka dapat membuat orang lain sangat marah karena penolakan
mereka untuk mengikuti atuan yang telah ada. Mereka juga tidak mampu untuk
menampilkan empati, kalaupun mereka memberikan empati atau simpati, biasanya
mereka memiliki tujuan tertentu untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Meski mereka berbagi ciri tertentu dengan kepribadian histrionik, seperti


tuntutan untuk menjadi pusat perhatian, mereka memiliki pandangan yang jauh lebih
membanggakan tentang diri mereka sendiri dan kurang melodramatic dibandingkan
orang dengan kepribadian histrionic. Label gangguan kepribadian ambang (BPD)
terkadang dikenakan kepada mereka namun orang dengan gangguan kepribadian
narsistik umumnya dapat mengorganiasikan pikiran dan tindakan mereka dengan
lebih baik. Mereka cenderung lebih berhasil dalam karier mereka dan lebih bisa
meraih posisi dengan status tinggi dan kekuasaan. Ubungan mereka juga cenderung
lebih stabil dibandingkan orang dengan BPD.

Prevalensi dari gangguan ini berkisar abtara 2 hingga 16 persen pada populasi
klinis dan berkurang dari 1 persen pada populasi umumnya. Prevalensi mengalami
peningkatan pada populasi dengan orangtua yang selalu menanamkan ide-ide kepada
anaknya bahwa mereka cantik, berbakat, dan special secara berlebihan.

Gangguan kepribadian narsistik merupaka gangguan yang kronis dan sulit


untuk mendapatkan perewatan. Mereka biasanya tidak dapat menerima kenyataan
bahwa usia mereka sudah lanjut, mereka tetap menghargai kecantikan, kekuatan, dan
usia muda secara tidak wajar.

3. Kelompok C
Gangguan Menghindar

Gangguan kepribadian menghindar adalah sebuah gangguan kepribadian yang


ditandai oleh penghindaran terhadap hubungan sosial karena takut akan penolakan.
Kunci dari individu dengan gangguan kepribadian menghindar adalah sangat sensitive
terhadap penolakan, sehingga akhirnya yang tampak adalah tingkah laku menarik diri.
Mereka sebenarnya sangat ingin berelasi dengan orang lain dan membutuhkan
kehangatan serta perlindungan, namun mereka malu dan sangat membutuhkan
jaringan bahwa mereka akan diterima tanpa alasan apapun dan tanpa kritik.

Mereka memiliki perasaan rendah diri(inferiority complex), tidak percaya diri,


takut berbicara didepan public atau meminta sesuatu dari orang lain. Mereka
seringkali mensalah artikan komentar dari orang lain sebagai menghina atau
mempermalukan dirinya. Oleh karena itu, individu dengan gangguan ini biasanya
tidak memiliki teman dekat. Secara umun dapat dikatakan bahwa sifat yang dominan
pada indivisu ini adlah malu-malu.

Gangguan kepribadian mengindar, yang muncul dalam proposisi sama pada


laki-laki dan perempuan, diyakini menimpa antara 0.5 persen hingga 1persen dari
populasi umum. Ada tumpang tindih yang cukup besar antara gangguan kepribadian
menghindar dengan fobia sosial, terutama deng subtype fobia sosial yang parah yang
mencakup menyeluruh dari fobia sosial (ketakutan yang tidak rasional dan berlebihan
pada hamper semua situasi sosial). Meskipun bukti penelitian menunjukan bahwa
banyak kasus fobia sosial menyeluruh terjadi tanpa adanya gangguan kepribadian
menghindar, relative sedikit kasus dari kepribadian menghindar yang muncul tanpa
kehadiran fobia sosial menyeluruh. Jadi gangguan kepribadian menghindar dapat
mencerminkan bentuk yang lebih para dari fobial sosial.
Gangguan Dependen

Gangguan kepribadian dependen merupakan suatu gangguan kepribadian yang


ditandai oleh kesulitan dalam membuat keputusan yang mandiri dan perilaku
bergantung yang berlebihan. Orang-orang yang memiliki gangguan kepribadian tipe
ini merasa sangat sulit melakukan segala sesuatu sendiri tanpa bantuan dari orang lain
sehingga mereka menjadi sangat patuh dan takut mengalami perpisahan. Misalnya
anak-anak atau remaja yang mencari orang tua mereka untuk memilihkan pakaian,
makanan, sekolah atau kampus dan orang dewasa yang membiarkan orang lain
mengambil keputusan untuk dirinya. Orang-orang ini menolak posisi
bertanggungjawab dan sangat sensitive terhadap kritikan. Mereka juga takut akan
penolakan sehingga sering mengesampingkan kebutuhannya demi orang lain. Ketika
hubungan dekatnya berakhir, mereka dapat menjadi sangat hancur karena takut akan
kesendiriannya.

Gangguan kepribadian ini lebih banyak diderita oleh perempuan karena


mereka mudah terkena stress. Umumnya, perempuan menghadapi tekanan sosial yang
lebih besar untuk menjadi pasif, lembut, atau penuh penghormatan sehingga perilaku
dependen mereka dapat merefleksikan pengaruh budaya dan bukan gangguan
kepribadian.

Gangguan kepribadian dependen telah dikaitkan dengan gangguan psikologis


lain termasuk depresi mayor, gangguan biolar, dan fobia sosial, serta dengan masalah-
masalah fisik seperti hipertensi, kanker, dan gangguan gastrointestinal seperti ulcer
dan kolitis. (Bornstein, 1999; Loranger 1996; Reich, 1996 dalam Nevid, Rathus, dan
Greene, 2005). Gangguan ini juga dikaitkan dengan masalah perilaku oral seperti
merokok, gangguan makan, dan alkoholisme. Jika dikaitkan dengan perilaku pada
masa bayi, orang-orang dengan tipe gangguan ini dapat makan berlebihan untuk
menelan cinta secara simbolis. Mereka lebih bergantung pada orang lain untuk
mendapatkan bimbingan dan dukungan serta sering mengatribusikan masalah pada
penyebab fisik bukan emosional sehingga lebih cenderung berkonsultasi ke ahli-ahli
medis.

Gangguan Obsesif-Komplusif

Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif merupakan suatu gangguan


kepribadian yang ditandai oleh cara berhubungan dengan orang lain yang kaku,
kecenderungan perfeksionis, kurangnya spontanitas, dan perhatian yang berlebihan
akan detail. Gangguan ini lebih umum dialami oleh laki-laki. Tidak seperti
kecemasan obsesif-kompulsif, orang dengan gangguan kepribadian ini tidak harus
mengalami obsesi atau kompulsi sekaligus.
Individu dengan tipe gangguan ini sangat terpaku akan kesempurnaan
sehingga tidak bisa menyelesaikan tepat waktu. Meskipun mereka telah memikirkan
prioritas tentang pekerjaan, tetapi mereka tidak tampak mulai bekerja. Selain itu,
mereka sangat berfokus pada detail sehingga seringkali gagal dan mengulangi lagi
pekerjaan mereka. Kekakuan inilah yang menghambat hubungan sosial mereka,
misalnya memaksa melakukan hal sesuai cara mereka sendiri, sangat antusias pada
pekerjaan, serta perhitungan dengan uang.

Mereka sulit membuat keputusan dan menghindarinya karena takut


keputusannya tersebut salah. Masalah moralitas dan etika juga dipegang teguh
namun hal ini bukan karena memegang teuh keyakinan melainkan karena kekakuan
kepribadian. Oleh karena itu, mereka cenderung sulit mengungkapkan perasaan,
bersantai, dan menikmati aktivitas yang menyenangkan.

Individu dengan gangguan ini dapat melakukan dengan baik aktivitas-


aktivitas yang menuntut detail dan harus dikerjakan secara sistematis, sayangnya
mereka sangat rentan terhadap perubahan. Apabila gangguan ini muncul di usia
lanjut, pada umumnya gangguan ini kepribadian ini disertai dengan gangguan
depresi.

C. Perspektif Teoritis
1. Perspektif Psikodinamika

Teori Freudian berfokus pada masalah yang muncul dari Oedipus complex
sebagai dasar dari banyak perilaku abnormal, termasuk gangguan kepribadian. Anak
anak normalnya dapat mengatasi Oedipus Complex dengan mengabaikan keinginan
inses pada orang tua yang berbeda gender dan mengidentifikasi diri dengan orang tua
dari gender yang sama. Berdasarkan hipotesis Hans Kohut, gangguan kepribadian
narsistik terbentuk sebagai mekanisme pertahanan diri dari kegagalan orang tua untuk
merespon anaknya dengan penghargaan, kehangatan, kasih sayang dan empati. Otto
Kernberg, memandang kepribadian ambang dalam kaitannya dengan kegagalan
periode pra Oedipal untuk mengembangkan rasa konstan dan kesatuan dalam citra
mengenai self dan orang lain. Margaret Mahler, menjelaskan gangguan kepribadian
ambang dalam kaitannya dengan pemisahan dari figur ibu di masa kanak kanak.
Normalnya, secara perlahan anak akan membedakan identitas atau sense of self
mereka sendiri dari identitas si ibu. Proses ini disebut sebagai pemisahan-individuasi
(separation-individuation). Pemisahan adalah proses mengembangkan identitas
psikologis dan biologis yang berbeda dari ibu.
Berdasarkan dari penjelasan para teoritikus, sudut pandang psikodinamika
berusaha mencari asal muasal gangguan kepribadian dari hubungan masa anak anak
dengan perkembangan selajutnya. Adanya penyiksaan dari orang tau pada masa kanak
kanak membuat pasien (individual dengan gangguan kepribadian) memandang
seluruh lingkungannya sebagai mengancam dan jahat. Hubungan ini menunjukkan
bahwa kegagalan dalam membentuk hubungan yang erat dengan orang tua pada masa
anak anak memainkan peran kritis dalam perkembangan dari sejumlah pola
kepribadian maladaptif yang digolongkan sebagai gangguan kepribadian.
2. Perspektif Belajar

Teoritikus belajar cenderung lebih berfokus kepada pencapaian perilaku


dibanding pada pandangan akan trait kepribadian yang abadi. Teoritikus belajar
mengatakan bahwa pada masa kanak kanak banyak terjadi pengalaman penting
yang membentuk perkembangan kebiasaan maladaptif dalam berhubungan dengan
orang lain yang menyebabkan terjadinya gangguan kepribadian. Millon menyatakan
bahwa gangguan kepribadian histrionic mungkin berakar pada pengalaman masa
kanak-kanak di mana social reinforcers, seperti perhatian orang tua, terhubung dengan
penampilan dan keinginan anak untuk tampil di depan orang lain, terutama dalam
kasus di mana reinforcers diberikan secara tidak konsisten. Perhatian yang tidak
konsisten mengajarkan anak untuk tidak menerima persetujuan begitu saja dan untuk
berjuang terus demi mendapatkannya.
Teoritikus social kognitif menekankan peran reinforcement dalam
menjelaskan asal mula dari perilaku antisosial. Karena orang lain me-reinforce
mereka dengan pujian saat mereka berlaku baik dan menghukum mereka untuk
kelakuan yang salah. Reinforcement dan hukuman menyediakan umpan balik
(informasi tentang harapan sosial) yang membantu anak memodifikasi perilaku
mereka untuk memaksimalkan kesempatan mendapat reward dan meminimalkan
resiko hukuman di masa yang akan datang. Sebagai konsekuensinya anak
menjadi terisolasi hingga parahnya menjadi individu yang antisosial.
Teoritikus social-kognitif Albert Bandura mempelajari peran belajar observasional
dalan perilaku antisosial. Anak menguasai ketrampilan, termasuk ketrampilan agresif,
melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain. Psikolog social-kognitif
menunjukkan bahwa cara orang dengan gangguan kepribadian menginterpretasi
pengalaman social mereka mempengaruhi perilaku mereka. Misal : remaja yang
antisosial cenderung menginterpretasikan perilaku orang lain sebagai perilaku yang
mengancam. Jadi menurut pendekatan ini, gangguan kepribadian muncul karena
terganggunya kemampuan individu untuk mempelajari sesuatu. Individu tersebut
tidak berhasil mempelajari pola bahwa mereka sebaiknya menghindari stimulus yang
tidak menyenangkan (hukuman).

3. Perspektif Keluarga

Perspektif Keluarga memfokuskan diri pada pola asuh orang tua yang tidak
adekuat dan dapat menimbulkan stress pada anak anak. Hal itu dapat membuat
individu rentan terkena gangguan kepribadian. Sebagai contoh, orang tua yang
menyiksa anaknya, menolak atau menelantarkan anak mereka, serta pola asuh yang
inkosisten dan tidak adekuat meningkatan resiko terjadinya gangguan kepribadian
antisosial setelah anak tersebut dewasa. Anak anak yang ditolak atau diabaikan
orang tua mereka tidak mengembangkan perasaan kelekatan hangat pada orang lain.
Mereka menjadi kurang berempati pada orang lain, dan malah
mengembangkan sikap tidak peduli pada orang lain. Meski factor keluarga
berpengaruh pada sejumlah kasus gangguan kepribadian antisosial, banyak anak-anak
yang diabaikan yang tidak menunjukkan perilaku antisosial atau perilaku abnormal
lainnya di kemudian hari.

4. Perspektif Biologis

Faktor Genetis Melihat bahwa terjadinya gangguan kepribadian lenih karena


faktor genetik, diturunkan dari orang tuanya. Asumsi ini paling jelas ditunjukkan oleh
individu-individu yang mengalami gangguan kepribadian skizotipal. Selain itu
ditemukan pula bahwa system saraf pada individu dengan gangguan kepribadian
antisosial berbeda dengan individu yang tidak memiliki gangguan tersebut.
Kurangnya Respons Emosional Orang dengan kepribadian antisosial dapat menjaga
ketenangan mereka dalam situasi yang penuh tekanan yang akan menyababkan
kecemasan pada kebanyakan orang. Penelitian lain pada umumnya mendukung
pandangan bahwa orang dengan kepribadian antisosial umumnya
kurang terangsang daripada orang lain, baik dalam waktu istirahat maupun dalam
situasi di mana mereka menghadapi tekanan (Fowles, 1993). Model Lapar-akan
Stimulasi Individu psikopati tampak memiliki rasa lapar yang berlebihan akan stimuli.
Mereka memerlukan ambang stimulasi di atas normal untuk menjaga kondisi
keterangsangan optimum. Sehingga, mereka memerlukan stimulasi yang lebih banyak
daripada orang lain untuk menjaga minat atau fungsi secara normal.

Abnormalitas Otak Banyak orang dengan gangguan kepribadian antisosial


dipengaruhi abnormalitas otak yang mendasar. Abnormalitas otak dapt membantu
menjelaskan beberapa ciri gangguan kepribadian. Misal menggunakan teknik
pencitraan otak yang canggih menghubungkan antara gangguang kepribadian
antisosial dan abnormalitas pada korteks prafrontal dari lubus frontal. Oleh karena itu,
salah satu penanganan yang dilakukan adalah dengan memberikan obat obatan.

5. Perspektif Sosiokultural
Perspektif sosiokultural menelaah kondisi social yang dapat berkontribusi
pada perkembangan pola perilaku yang diidentifikasi sebagai gangguan kepribadian.
Kita perlu mencari tahu peran dari stressor yang dialami individu dalam pembentukan
pola perilaku. Banyak lingkungan yang didalamnya penuh dengan masalah social
seperti kemiskinan, alkohol, seks bebas, penyalahgunaan obat terlarang. Masalah
sosial tersebut dapat mendorong individu menjadikan hal tersebut sebagai panutan
yang menyimpangan.

D. Penaganan Gangguan Kepribadian

Ada banyak potensi sebagai penyebab gangguan kepribadian karena ada orang
yang menderita dari mereka. Mereka dapat disebabkan oleh kombinasi asuhan
orangtua, kepribadian seseorang dan pembangunan sosial, serta faktor genetik dan
biologis. Penelitian telah menyebabkan tidak dipersempit untuk faktor apapun saat ini.
Kita tahu, bagaimanapun, bahwa gangguan ini akan paling sering memanifestasikan
dirinya pada saat peningkatan stress dan kesulitan interpersonal dalam kehidupan
seseorang. Oleh karena itu, perawatan yang paling sering berfokus pada peningkatan
mekanisme seseorang mengatasi dan keterampilan interpersonal. Berikut ini akan
dijelaskan sudut pandang untuk membahas penanganan terhadap gangguan
kepribadian.

1. Pendekatan Psikodenamika

Berdasarkan sudut pandang ini, penanganan bagi individu dengan gangguan


kepribadian adalah dengan menemukan asal mula penyebab masalah, serta
memeberikan dukungan dan bimbingan yang diperlukan individu untuk keluar dari
masalahnya. Penanganan tersebut menekankan pada perilaku interpersonal dan
menggunakan gayayang lebih aktif dan konfrontatif dalam mengatasi pertahanan
klien daripada kasus psikoanalisis tradisional.

2. Pendekatan Behavioral

Banyak penelitian behavioral menuturkan bahwa individu dengan gangguan


tersebut tidak berhasil mempelajari pola bahwa mereka sebaiknya menghindari
stimulus yang tidak menyenangkan. Penanganan gangguan kepribadian yang
dianjurkan adalah dengan mengidentifikasi dan memperbaiki ketrampilan ataupun
kemampuan individu yang tidak memadai atau lemah. Terapis perilaku memandang
tugas mereka adalah mengubah perilaku klien dan bukan mengubah struktur
kepribadian mereka. Terapis perilaku berfokus pada usaha untuk merubah perilaku
maladaptif menjadi perilaku adaptif melalui penggunaan teknik seperti pemusnahan,
modeling, dan reinforcement.

3. Pendekatan Biologis
Obat antidepresan atau antikecemasan kadang digunakan untuk menangani
distressemosional yang dialami individu penderita gangguan kepribadian. Obat tidak
mengubah pola persisten dari perilaku maladaptif yang dapat menyebabkan distress.
Peneliti menduga bahwa perilaku implusif dan agresif berhubungan dengan
kekurangan serotonin. Prozac dan obat lain yang serupa bekerja untuk meningkatkan
ketersediaan serotonin dalam sambungan sinaptik di otak. Oleh karena itu, salah satu
penanganan yang dilakukan adalah dengan memberikan obat obatan.

Anda mungkin juga menyukai