b. Gangguan Distimik
Pola depresi ringan (tetapi kemungkinan saja menjadi mood yang menyulitkan
pada anak-anak atau remaja ) yang terjadi dalam satu rentang waktupada orang
dewasa biasanya dalam beberapa tahun.
Orang dengan gangguan distimik merasakan spirit yang buruk atau
keterpurukan sepanjang waktu namun mereka tak mengalami depresi yang
parah seperti yang dialami orang selama depresi mayor. Gangguan distimik
cenderung ringan dan kronis biasanya berlangsung selama beberapa tahun (Klein,
dkk, 2000b). perasaan depresi dan kesulitan sosial terus ada bahkan setelah orang
tersebut menampakkan kesembuhan (USDHHS, 1999a).
Gangguan yang disertai satu atau lebih episode manik atau hipomanik
(episode mood yang melambung dan hiperaktivitas dimana penilaian dan tingkah
laku mengalami hendaya). Episode manik atau hipomanik sering digantikan
dengan episode depresi mayor dengan jeda periode mood yang normal.
Orang dengan gangguan bipolar mengalami roller coaster emosional berayun
dari satu ketinggian kegiranan ke kedalaman depresi tanpa adanya penyebab
eksternal. Episode pertama dapat berupa manik atau depresi. Episode manik
biasanya bertahan beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan umumya lebih
singkat durasinya dan berakhir secara tiba-tiba daripada eisode depresi mayor.
DSM membedakan 2 tipe umum gangguan bipolar, gangguan bipolar 1 dan
gangguan bipolar 2 (APA,2000) pada gangguan bipolar I, seseorang paling tidak
mengalami satu episode manik penuh. Yaitu individu mengalami perubahan mood
antara rasa girang dan depresi diselingi periode antara mood normal. Gangguan
bipolar II diasosiasikan dengan gangguan mood yang lebih ringan yaitu seseorang
mengalami satu atau lebih epiode mayor depresi dan paling tidak satu kali
hipomanik. Namun tidak mengalami satu episode manik secara penuh .
Episode manik
Episode manik atau periode maniak biasanya muncul secara tiba-
tibamenumpulkan kekuatan dalam beberapa hari. Selama satu episode manik
orang akan mengalami elevasi atau ekspansi mood yang tiba-tiba dan merasakan
kegembiraan, euphoria atau optimisme yang tidak biasa.
Orang yang mengalam sebuah episode atau fase maniak merasa bersemangat
dan akan mengolok orang lain dengan memberikan lelucon yang keterlaluan,
menjadi argumentative terkadang bertindak jauh dengan merusak barang-barang.
Berbicara cenderung sangat cepat (dengan pembicaraan yang penuh tekanan
(pressure speech), sehinga orang lain sulit menyela mereka.
b. Gangguan Siklotimik
Yaitu gangguan yang ditandai perubahan mood ringan paling tidak selama 2
tahun (1 tahun untuk anak-anak dan remaja). Gangguan siklotimik biasanya
bermula pada alhir masa remaja dan awal masa dewasa dan berlangsung selama
bertahun-tahun.
Gangguan mood kronis meliputi beberapa episode hipomanik (episode yang
disertai dengan cirri-ciri manik pada tingkat keparahan yang lebih rendah daripada
episode manik) dan beberapa periode mood tertekan atau hilangnya minat atau
kesenangan pada kegiatan-kegiatan, tetapi tingkat keparahannya tidak sampai
memenuhi criteria sebagai episode depresi mayor (sumber DSM-IV- TR)
(APA,2000).
Ciri Umum Depresi:
1. perubahan pada kondisi emosional
Perubahan pada mood (periode terus menerus dri perasaan terpuruk,
depresi, sedih atau muram penuh air mata atau menangis).
Namun hubungan antara stres dan depresi tidaklah jelas. Peristiwa kehidupan
yang penuh tekanan dapat berkontribusi pada depresi, dan simtom depresi dalam diri
mereka sendiri dapat bersifat menekan atau menyebabkan munculnya sumber- sumber
tambahan pada stres, seperti perceraian dan kehilangan pekerjaan (Cui & Vaillant,
1997; Daley dkk., 1997). Akan sulit untuk memutuskan apakah seseorang menjadi
depresi karena kehilangan pekerjaan atau seseorang kehilangan pekerjaan karena
depresi.
Meski stres sering berimplikasi pada depresi, tidak semua orang yang
mengalami stres menjadi depresi. Faktor- faktor seperti keterampilan coping, bawaan
genetis, dan ketersediaan dukungan sosial memberikan kontribusi pada
kecenderungan depresi saat menghadapi kejadian yang penuh tekanan (USDHHS,
1999a).
Orang dengan depresi mayor sering kali kurang memiliki keterampilan yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah interpersonal. Namun mereka yang
mengambil pendekatan yang lebih aktif dalam menyelesaikan masalah interpersonal
cenderung memiliki hasil klinis yang lebih baik daripada orang yang depresi yang
memiliki gaya coping yang lebih pasif.
2. Teori Psikodinamika
Freud percaya bahwa berduka (mourning) atau rasa berduka yang normal adalah
proses yang sehat karena dengan duka akhirnya seseorang dapat melepaskan diri
secara psikologis dari seseorang yang hilang karena kematian, perpisahan, perceraian
dan alas an lain. Namun rasa duka yang patologis idak mendukung perpisahan yang
sehat. Malah akan menumpuk depresi yang tak berkesudahan. Rasa duka yang
patologis cenderung terjadi pada seseorang yang memiliki perasaan ambivalen
(ambivalent) yang kuatkombinasi perasaan positif (cinta) dan negative (marah,
permusuhan)terhadap orang yang telah pergi atau ditakutkan kepergiannya.
3. Teori Humanistik
Orang menjadi depresi saat mereka tidak dapat mengisi keberadaan mereka
dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan yang autentik yang dapat
menghasilkan self-fullfillment (pemenuhan diri). Kemudian dunia dianggap sebagai
tempat yang menjemukan. Pencarian orang terhadap makna memberi warna dan arti
kehidupan bagi kehidupan mereka. Perasan bersalah dapat timbul saat orang percaya
bahwa mereka tidak membangkitkan potensi-potensi mereka. Psikolog humanistic
menantang kita untuk memperhatikan kehidupan kita secara mendalam.
4. Teori Belajar
6. Teori Kognitif
7. Teori Ketidakberdayaan
Orang menjadi depresi karena ia belajar memandang dirinya sendiri sebagai tidak
berdaya dalam mengontrol reinforcement-reinforcement di lingkungannya-atau untuk
mengubah hidup menjadi lebih baik.
Selingman (1975,1991) menyatakan bahwa sejumlah bentuk depresi pada manusia
mungkin berasal dari pemaparan terhadap situasi yang tampaknya tidak dapat
dikontrol.Selingman dan kolega-koleganya mengubah teori ketidakberdayaan dalam
kerangka konsep psikologi sosial atas gaya atribusional. Gaya atribusional adalah
suatu gaya personal dalam menjelaskan sesuatu. Saat gagal atau kecewa kita
menjelaskan dalam berbagai cara yang memiliki berbagai karakteristik. Kita dapat
menyalahkan diri sendiri (atribusi internal) atau menyalahkan situasi yang kita hadapi
(atribusi eksternal). Kita dapat melihat pengalaman buruk sebagai kejadian yang
melekat dengan karakteristik pribadi (atribusi stabil) atau peristiwa yang terpisah
(Atribusi tak stabil). Kita bisa melihat dari bukti masalah yang luas (atribusi global)
atau sebagai bukti suatu kelemahan tertentu yang terbatas (atribusi spesifik).
Berdasarkan keterangan atas diformulasikan lagi teori tersebut dan meyakini bahwa
orang yang menjelaskan dari peristiwa negative dengan dasar 3 tipe atribusi berikut
adalah orang yang rentan terhadap depresi :
1.factor-faktor internal yakni keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan
ketidakmampuan pribadi, dan bukan factor-faktor eksternal atau keyakinan bahwa
kegagalan disebabkan oleh factor-faktor lingkungan;
8. Faktor-faktor Biologis
b. Abnormalitas dalam korteks prefrontal, yaitu area dari lobus frontal yang
terletak di depan area motorik. Korteks prefrontal berpengaruh terhadap pengaturan
neurotransmitter
c. Ketidakteraturan dalam jumlah reseptor pada neuron penerima (neuron
penerima adalah tempat berkumpulnya neurotransmitter) dan ketidakteraturan dalam
sensitivitas reseptor bagi neurotransmitter tertentu. Kedua hal ini berpengaruh
terhadap berkurangnya tingkat neurotransmitter. Padahal, fungsi dari neurotransmitter
adalah mengatur kondisi mood seseorang. Dalam penelitian biopsikologi, norepinefrin
dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam
patofisiologi gangguan mood. Beberapa peneliti juga menemukan bahwa gangguan
mood melibatkan patologik dan sistem limbiks serta ganglia basalis dan
hypothalamus.
2. Pendekatan Behavioral
3. Pendekatan Kognitif
Teoretikus kognitf percaya bahwa pikiran yang terdistorsi memainkan suatu peran
kunci dalam perkembangan depresi. Aaron Beck dan kolega-koleganya telah
mengembangkan suatu pendekatan penanganan yang multikomponen, disebut terapi
kognitif, yang berfokus pada membantu orang dengan depresi belajar untuk
menyadari dan mengubah pola berpikir mereka yang disfungsional. Orang yang
depresi cenderung untuk berfokus pada bagaimana perasaan mereka dan bukan pada
pikiran-pikiran yang mungkin mendasari kondisi perasaan mereka. Terapi kognitif,
seperti terapi perilaku, melibatkan suatu bentuk terapi yang relatif singkat, biasanya
14 hingga 16 sesi mingguan. Terapis menggunakan suatu kombinasi dari teknik-
teknik behavioral dan kognitif untuk membantu klien mengidentifikasi dan mengubah
pikiran-pikiran yang disfungsional serta mengembangkan perilaku yang lebih adaptif.
Teoritikus kognitif menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan kognitif dapat
menyebabkan depresi bila kesalahan-kesalahan tersebut dibiarkan mengobrak-abrik
pikiran individu tanpa adanya tentangan. Terapiskognitif membantu klien untuk
menyadari adanya distorsi kognitif dan mengganti distorsi tersebut dengan pikiran-
pikiran alternatif yang lebih rasional.
4. Pendekatan Biologis
E. Bunuh Diri
Di bawah stres yang berat, banyak orang, bila tidak semua, memiliki pertimbangan
untuk bunuh diri. Suatu survei terkini yang cukup mewakili secara nasional menemukan
bahwa 13% dari orang dewasa di AS d lapirkan pernah memiliki pikiran-pikiran bunuh
diri dan 4,6% dilaporkan melakukan percobaan bunuh diri. Setengah lebih (54%) dari
suatu sampel yang merupakan 694 mahasiswa tahun pertama dilaporkan telah
memikirkan bunuh diri paling tidak dalam satu kesempatan. Setiap tahun di AS terdapat
sekitar 500.000 orang yang ditangani di unit gawat darurat rumah sakit untuk percobaan
bunuh diri dan lebih dari 30.000 "berhasil" dalam menghentikan hidup mereka.
Perilaku bunuh diri bukanlah suatu gangguan psikologis, tetapi sering merupakan ciri
atau simtom dari gangguan psikologis yang mendasarinya, biasanya gangguan mood.
Pemerintah federal memperkirakan sekitar 60% orang yang melakukan bunuh diri telah
menerita gangguan mood.
Bunuh diri adalah penyebab kematian utama yang ketiga di antara orang-orang
dengan usia 15 hingga 24 tahun di Amerika Serikat, setelah kecelakaan yang ak disengaja
dan pembunuhan. Angka bunuh diri di antara remaja dan dewasa muda naik hingga tiga
kali lipat pada periode tahun 1952 hingga 1995. Namun angka bunuh diri meningkat
seiring peningkatan usia dan paling tinggi terdapat di antara orang dewasa berusia 65
tahun dan lebih, terutama pria kulit putih yang lanjut usia.
Terlepas dari terdapatnya kemajuan teknologi perpanjangan hidu dalam perawatan
medis, sejumlah orang dewasa lanjut usia merasa bahwa kualitas kehidupan mereka
kurang dari memuaskan. Dengan hidup lebih lama, sejumlah orang lanjut usia menjadi
lebih rentan terhadap pemyakit seperti kanker dan alzheimer, yang dapat membuat
mereka nerasa tidak berdaya dan putus asa yang pada gilirannya dapat memunculkan
pemikiran untuk bunuh diri. Banyak orang berusia lanjut juga menderia suatu akumulasi
yang menggunung dari kehilangan teman-teman dan orang yang mereka cintai seiring
berjalannya waktu, menyebabkan isolasi sosial. Kehilangan-kehilangan ini, seperti juga
kehilangan kesehatan yang baik dan suatu peran tanggung jawab di komunitas, dapat
menurunkan kejnginan mereka untuk hidup.
Lebih banyak wanita yang mencoba bunuh diri, namun lebih banyak pria yang
"sukses". Lebih banyak pria yang sukses, sebagian besar, karena mereka cenderunng
untuk memilih tidakan yang lebih cepat dan alat yang lebih mematikan, seperti pistol.
Perbedaan gender pada risiko bunuh diri dapat menutupi faktor-faktor yang
mendasarinya. Truman mumum bahwa pria lebih cenderung untuk mengakhiri hidupnya
sendiri dapat dikarenakan adanya fakta bahwa pria juga lebih cenderung untuk memiliki
riwayat penyalahgunaan alkohol dan kbat dan lebih cenderung untuk tidak memiliki anak
dirumah. Bila kedua faktor ini diperhitungkan dalam suatu penelitian terkini, perbedaan
gender dalam risiko bunuh diri akan menghilang.
Orang yang bunuh diri cenderung menunjukkan niatnya, sering kali cukup eksplisit,
seperti menceritakan pada orang lain mengenai pikiran-pikiran bunuh dirinya, dan
beberapa very saga untk menyembunyikan niatnya. Namun, petnjuk-petunjuk behavioral
tetap dapat mengungkapkan niat bunuh diri. Edwin Shneidman, peneliti terkenal
mengenai bunuh diri, menemukan bahwa 90% dari orang-orang yang melakukan bunuh
diri telah memberikan petunjuk yang jelas, seperti membuang barang-barang miliknya.
Orang yang memikirkan bunuh diri juga dapat secara tiba-tiba mencoba untuk memilah-
milah urusan-urusan mereka, seperti membuat surat warisan atau membeli tanah di
pemakaman. Mereka dapat membeli senjata api meski sebelumnya kurang tertarik akan
persenjataan. Saat orang yang bemasalah memutuskan untuk melakukan bunuh diri,
mereka tiba-tiba tampak berada dalam keadaan yang damai, mereka merasa terlepas dari
keharusan untuk terbebani dengan masalah hidup. Ketenangan yang tiba-tiba ini dapat
salah diinterpretasikan sebagai suatu tanda harapan.
Prediksi bunuh diri bukanlah sebuah ilmu pasti, bahkan bagi ahli yang berpengalaman
sekalipun. Banyak faktor-faktor yang dapat diobservasi, seperti keputusasaan, yang
tampak berhubungan dengan bunuh diri, namun kita tidak dapat memprediksi kapan
seseorang yang putus asa akan melakukan bunuh diri, bahkan tidak sama sekali.
GANGGUAN KEPRIBADIAN
A. Pengertian Gangguan Kepribadian
Gangguan kepribadain adalah pola perilaku atau cara berhubugan dengan orang lain
yang benar-benar kaku. Kekakuan tersebut menghalangi mereka untuk menyesuaikan diri
terhadap tuntutan eksternal sehingga pola tersebut pada akhirnya bersifat self defeating.
Pada individu ini, ciri kepribadian maladaptive itu tampak begitu melekat pada
dirinya. Biasanya mereka menolak untuk mendapatkan pertolongan dari terapis dan menolak
atau menyangkal bahwa dirinya memiliki suatu masalah. Apabila dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan kecemasan, depresi dan obsesif-komplusif, individu
dengan gangguan kepribadian lebih tidak menyadari masalah mereka. Mereka tidak merasa
cemas tentang perilakunya yang maladptif (ego-sintonik) sehingga mereka pun tidak
memiliki motivasi untuk mendapatkan perbaikan atau penyembuhan.
Kelompok A : orang yang di anggap aneh atau ekstrentik. Kelompok ini mencakup
gangguan kepribadian paranoid, schizoid, dan skizotipal.
Kelompok B : orang dengan perilaku yang terlalu dramatis, emosional, atau eratik (
tidak menentu ). Kelompok ini terdiri dari gangguan kepribadain antisosial, ambang,
histrionik, dan narsistik.
Kelompok C : orang yang sering kali tampak cemas atau ketakutan. Kelompok ini
mencakup gangguan kepribadian menghindar, dependen, dan obsesif-komplusif.
1. Kelompok A
Gangguan Paranoid
Salah satu faktor penting dalam gangguan kepribadian paranoid adalah adanya
kecenderumgan yang tidak beralasan ( gangguan ini biasanya dimulai pada saat masa
dewasa awal dan tampak pada berbagai situasi dan kondisi ) untuk menganggap
perilaku orang lain sebagai merendahkan dan mengacam diri mereka. Individu dengan
gangguan ini terus menerus menayakan tentang loyalitas teman-teman mereka
kepadanya, tanpa adanya alasan tertentu. bahkan kadangkala mereka berharap terjadi
sesuatu yang tidak menyenangkan pada diri mereka, tujuannya agar membuktikan
bahwa kecurigaannya selama ini tidak salah.
Individu dengan gangguan ini tidak mampu terlibat secara emosional dan
menjaga jarak dengan orang lain, mereka tidak hangat dan lebih tertarik pada
kekuatan dan tingkatan (status) serta memandang rendah pada individu yang lebih
lemah, sakit ataupun memiliki kekurangan tertentu. dalam situasi sosial, individu
dengan gangguan ini tampak efisien, praktis, dan cekatan, namun mereka seringkali
menjadi pemicu dari timbulnya konflik dengan lingkungan.
Prevalensi gangguan ini adalah 0,5 hingga 2,5 persen dari populasi pada
umumnya. Mereka sangat sedikit yang mencari pertolongan atas inisiatifnya sendiri,
biasanya mereka diajak ke terapis oleh pasangannya atau perusahaan yang
memperkerjakannya. Pada keluarga yang salah satu atau beberapa anggotanya
mengalami skizofrenia, munculnya gangguan ini tampak lebih tinggi daripada
keluarga yang tidak memilikinya.
Gangguan Skizoid
Emosi dari orang dengan kepribadian schizoid tampak dangkal atau tumpul,
namun pada derajar yang lebi rendah dibandingkan skizofrenia. Individu dengan
gangguan ini tampak jarang, bila pernah, megalami kemarahan, kebahagian, atau
kesedian yang kuat. Mereka tampak jau dan menjaga jarak. Wajah mereka cenderung
tidak menampilkan ekspresi emosional, dan mereka jarang bertukar senyum sosia atau
salam yang disertai anggukan dengan orang lain. Mereka tampak tidak terpengaruh
erhadap kritik ataupun pujian dan tampak terbungkus dalam ide-ide abstrak daripada
dalam pikiran mengenai manusia. Meski membina kontak yang lebih baik dengan
realitas daripada orang yang mederita skizofrenia.
Keidupan seksual mereka biasanya hanya sebatas fantasi dan mereka sedapat
mungkin berusaha menunda kematangan seksualnya. Kaum pria biasanya tidak
menikah karen mereka tidak dapat melakukan ubungan yang intim dan kaum wanita
biasanya secara pasif akan menyetujui untuk menikah dengan kaum pria yang agresif
dan sangat mengingikan mereka menika dengannya.
Sulit untuk menentukan secara pasti prevalansi dari gangguan ini, namun
sejauh ini diketahui bahwa gangguan ini terjadi pada 7,5 persen populasi pada
umumnya. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan juga tidak diketahui secara
pasti namun diperkirakan sekitar 2:1 (laki-laki : perempuan). Awal munculnya
gangguan ini biasanya pada masa kanak-kanak awal. Biasanya berlangsung dalam
jangka waktu yang lama walaupun belum tentu seumur hidup mereka.
Gangguan Skizopital
Gangguan Ambang
Tingkah laku dari individu dengan gangguan ini sangat tidak dapat diduga,
akibatnya mereka jarang mencapai hasil yang sesuai dengan kemampuan yang mereka
miliki (under-achiever). Mereka juga memiliki kecenderungan untuk menyakiti diri
sendiri (self-destructive). Individu ini memiliki kemungkinan mengiris pergelangan
tangannya dan menampilkan berbagai self-mutilation (tindakan melukai diri sendiri,
memotong) dengan tujuan mencari pertolongan dari orang lain, untuk
mengekspresikan kemarahan mereka atau menumpulkan afek-afek yang mereka
rasakan.
Indivu dengan gangguan kepribadian ini merasa bergantung pada orang lain,
namum mereka juga memiliki perasaan bermusuhan dengan orang lain. Oleh karena
itu, individu dengan gangguan ini memiliki hubungan interpersonal yang hiruk-
pikuk. Disuatu waktu mereka tampak bergaantung pada teman dekatnya, namun
dilain waktu ketika mereka sedang frutasi misalnya, mereka dapat menampilkan
kemarahan yang sangat kepada orang yang sama.
Individu dengan gangguan ini puntidak tahan atau tidak dapat hidup apabila
berada sendirian. Ketika kesepian dan kebosanan melanda mereka, walaupun hanya
untuk waktu yang singkat ( karena mood pada kepribadian ini sangat mudah berubah)
mereka akan sekuat tenaga menemukan teman,walaupun hanya sebatas teman duduk.
Kadangkala teman yang mereka pilih bukanlah teman yang menyenangkan bahkan
asiing bagi mereka.
Gangguan Histrionik
Prevalensi gangguan ini sekitar 2 hingga 3 persen. Gangguan ini lebih banyak
ditemukan pada peremuan dibandingkan laki-laki. Kadangkala gangguan ini
bersamaan dengan gangguan somatisasi dan gangguan pengguanaan alcohol.
Gangguan narsistik
Individu dengan gangguan ini memiliki perasaan yang kuat bahwa dirinya
adalah orang yang penting serta merupakan individu yang unik. Mereka merasa
bahwa dirinya special dan berharap mendapatkan perlakuan yang khusus pula. Oleh
karena iyu, mereka sangat sulit atau tidak dapat menerima kritik dari orang lain.
Mereka selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan cara yang sudah mereka tentukan
dan seringkali ambisius serta mencari ketenaran.
Prevalensi dari gangguan ini berkisar abtara 2 hingga 16 persen pada populasi
klinis dan berkurang dari 1 persen pada populasi umumnya. Prevalensi mengalami
peningkatan pada populasi dengan orangtua yang selalu menanamkan ide-ide kepada
anaknya bahwa mereka cantik, berbakat, dan special secara berlebihan.
3. Kelompok C
Gangguan Menghindar
Gangguan Obsesif-Komplusif
C. Perspektif Teoritis
1. Perspektif Psikodinamika
Teori Freudian berfokus pada masalah yang muncul dari Oedipus complex
sebagai dasar dari banyak perilaku abnormal, termasuk gangguan kepribadian. Anak
anak normalnya dapat mengatasi Oedipus Complex dengan mengabaikan keinginan
inses pada orang tua yang berbeda gender dan mengidentifikasi diri dengan orang tua
dari gender yang sama. Berdasarkan hipotesis Hans Kohut, gangguan kepribadian
narsistik terbentuk sebagai mekanisme pertahanan diri dari kegagalan orang tua untuk
merespon anaknya dengan penghargaan, kehangatan, kasih sayang dan empati. Otto
Kernberg, memandang kepribadian ambang dalam kaitannya dengan kegagalan
periode pra Oedipal untuk mengembangkan rasa konstan dan kesatuan dalam citra
mengenai self dan orang lain. Margaret Mahler, menjelaskan gangguan kepribadian
ambang dalam kaitannya dengan pemisahan dari figur ibu di masa kanak kanak.
Normalnya, secara perlahan anak akan membedakan identitas atau sense of self
mereka sendiri dari identitas si ibu. Proses ini disebut sebagai pemisahan-individuasi
(separation-individuation). Pemisahan adalah proses mengembangkan identitas
psikologis dan biologis yang berbeda dari ibu.
Berdasarkan dari penjelasan para teoritikus, sudut pandang psikodinamika
berusaha mencari asal muasal gangguan kepribadian dari hubungan masa anak anak
dengan perkembangan selajutnya. Adanya penyiksaan dari orang tau pada masa kanak
kanak membuat pasien (individual dengan gangguan kepribadian) memandang
seluruh lingkungannya sebagai mengancam dan jahat. Hubungan ini menunjukkan
bahwa kegagalan dalam membentuk hubungan yang erat dengan orang tua pada masa
anak anak memainkan peran kritis dalam perkembangan dari sejumlah pola
kepribadian maladaptif yang digolongkan sebagai gangguan kepribadian.
2. Perspektif Belajar
3. Perspektif Keluarga
Perspektif Keluarga memfokuskan diri pada pola asuh orang tua yang tidak
adekuat dan dapat menimbulkan stress pada anak anak. Hal itu dapat membuat
individu rentan terkena gangguan kepribadian. Sebagai contoh, orang tua yang
menyiksa anaknya, menolak atau menelantarkan anak mereka, serta pola asuh yang
inkosisten dan tidak adekuat meningkatan resiko terjadinya gangguan kepribadian
antisosial setelah anak tersebut dewasa. Anak anak yang ditolak atau diabaikan
orang tua mereka tidak mengembangkan perasaan kelekatan hangat pada orang lain.
Mereka menjadi kurang berempati pada orang lain, dan malah
mengembangkan sikap tidak peduli pada orang lain. Meski factor keluarga
berpengaruh pada sejumlah kasus gangguan kepribadian antisosial, banyak anak-anak
yang diabaikan yang tidak menunjukkan perilaku antisosial atau perilaku abnormal
lainnya di kemudian hari.
4. Perspektif Biologis
5. Perspektif Sosiokultural
Perspektif sosiokultural menelaah kondisi social yang dapat berkontribusi
pada perkembangan pola perilaku yang diidentifikasi sebagai gangguan kepribadian.
Kita perlu mencari tahu peran dari stressor yang dialami individu dalam pembentukan
pola perilaku. Banyak lingkungan yang didalamnya penuh dengan masalah social
seperti kemiskinan, alkohol, seks bebas, penyalahgunaan obat terlarang. Masalah
sosial tersebut dapat mendorong individu menjadikan hal tersebut sebagai panutan
yang menyimpangan.
Ada banyak potensi sebagai penyebab gangguan kepribadian karena ada orang
yang menderita dari mereka. Mereka dapat disebabkan oleh kombinasi asuhan
orangtua, kepribadian seseorang dan pembangunan sosial, serta faktor genetik dan
biologis. Penelitian telah menyebabkan tidak dipersempit untuk faktor apapun saat ini.
Kita tahu, bagaimanapun, bahwa gangguan ini akan paling sering memanifestasikan
dirinya pada saat peningkatan stress dan kesulitan interpersonal dalam kehidupan
seseorang. Oleh karena itu, perawatan yang paling sering berfokus pada peningkatan
mekanisme seseorang mengatasi dan keterampilan interpersonal. Berikut ini akan
dijelaskan sudut pandang untuk membahas penanganan terhadap gangguan
kepribadian.
1. Pendekatan Psikodenamika
2. Pendekatan Behavioral
3. Pendekatan Biologis
Obat antidepresan atau antikecemasan kadang digunakan untuk menangani
distressemosional yang dialami individu penderita gangguan kepribadian. Obat tidak
mengubah pola persisten dari perilaku maladaptif yang dapat menyebabkan distress.
Peneliti menduga bahwa perilaku implusif dan agresif berhubungan dengan
kekurangan serotonin. Prozac dan obat lain yang serupa bekerja untuk meningkatkan
ketersediaan serotonin dalam sambungan sinaptik di otak. Oleh karena itu, salah satu
penanganan yang dilakukan adalah dengan memberikan obat obatan.