Anda di halaman 1dari 38

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : An. Nita Desilawati
Usia : 9 Tahun 3 Bulan
Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : kmp. lebakwangiRT 01 RW 01 Kec. Soreang Kab. Bandung
Status : Belum Menikah
No. Rekam medis : 5443XX
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Periksa : 16 maret 2017

II. ANAMNESIS

Anamnesis : Autoanamnesis & Alloanamnesis (Ibu pasien)

Keluhan Utama : Telinga kiri berdengung.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Soreang dengan keluhan telinga kiri
berdengung yang dan neri dirasakan sejak 4 hari SMRS. Sebelumnya pasien
mengeluh adanya batuk dan pilek yang dirasakan 1 minggu SMRS. Keluhan demam
dirasakan sejak 3 hari SMRS. Tidak ada keluhan pada telinga kanan pasien. Ibu
pasien menjelaskan tidak ada cairan keluar dari telinga ataupun penurunan fungsi
pendengaran. Pasien tidak pernah memasukan ataupun kemasukan benda ke dalam
telinganya. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri tenggorokan dan nyeri menelan.
Ibu pasien mengatakn bahwa pasien mengorok saat tidur dan nafsu makan pasien
menjadi menurun akibat sakit yang diderita anaknya ini.

1
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah sakit seperti ini sebelumnya terutama sat batuk dan pilek. Riwayat
trauma, suka mengorek telinga, dan sering berenang disangkal. Riwayat alergi seperti
bersin-bersin dan gatal-gatal ketika terkena debu, atau setelah memakan makanan
tertentu disangkal. Riwayat asma juga disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku tidak ada keluarga yang pernah sakit seperti ini. Riwayat alergi dan
asma pada keluarga disangkal.

Riwayat Pengobatan

Pasien sudah pernah berobat ke dokter sebelumnya dan diberikan obat amoxilin dan
flucadex

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign :
Tekanan darah : 100/70 mmHg

Suhu : 37 C

Nafas : 24 x/ menit

Nadi : 90 x/ menit

Status Generalis :

Kepala : CA (-) SI (-) Pupil isokor miosis (+)


Leher : Tidak teraba pembesaran KGB
Thoraks : B/G simetris, bunyi paru dan jantung normal
Abdomen : Datar, BU (+)
Ekstremitas : Tidak ada udem, CRT < 2

2
Status Lokalis :
Telinga
Auris
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra

Kelainan kongenital - -

Radang dan tumor - -


Preaurikula
Trauma - -

Nyeri tekan tragus - -

Kelainan kongenital - -

Aurikula Radang dan tumor - -

Trauma - -

Edema - -

Hiperemis - -

Nyeri tekan - -
Retroaurikula
Sikatriks - -

Fistula - -

Fluktuasi - -

Nyeri pergerakan - -
aurikula
Palpasi
Nyeri tekan tragus
- -

3
Kelainan kongenital - -

Kulit Tenang Tenang

Sekret - -

Serumen - -
Canalis
Acustikus Edema - -
Externa
Jaringan granulasi - -

Massa - -

Cholesteatoma - -

Warna Putih ke abu- Hiperemis


abuan

(+)
Intak (+)
(-)
Retraksi (-)
(+)
Refleks cahaya (+)
Membrana (-)
Perforasi (-)
Timpani

Hidung

4
Rhinoskopi Cavum nasi kanan Cavum nasi kiri
anterior
Mukosa hidung Hiperemis (+), sekret (- Hiperemis (+), sekret (-), massa
), massa (-) (-)
Septum nasi Deviasi (-), dislokasi (-) Deviasi (-), dislokasi (-)
Konka inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
dan media
Meatus inferior Polip (-) Polip (-)
dan media

Mulut Dan Orofaring

Bagian Kelainan Keterangan

Mukosa mulut Tenang

Lidah Bersih, basah,gerakan normal kesegala


arah

Palatum molle
Mulut
Tenang, simetris
Gigi geligi
Caries (-)
Uvula
Simetris
Halitosis
(-)

5
Permukaan Tidak rata

Besar T3 T3

Kripta : melebar

Detritus : (-/-)

Tonsil Perlengketan (-/-)

Mukosa Tenang

Faring Granula (-)

Post nasal drip (-)

Maksilofasial
Bentuk : Simetris

Nyeri tekan :-

Leher
Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran KGB
Massa : Tidak ada

IV. RESUME

Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Soreang dengan keluhan nyeri pada telinga
kanan yang dirasakan sejak 4 hari SMRS. Pasien juga merasakan gatal pada telinga
kanannya. Sebelumnya pasien mengeluh adanya batuk dan pilek yang dirasakan 1

6
minggu SMRS. Keluhan demam dirasakan sejak 3 hari SMRS. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan membran timpani auris sinistra tampak hiperemis dan tampak intak
pada kedua telinga. Pada hidung tampak mukosa kedua hidung terlihat hiperemis dan
tidak terdapat sekret.

V. DIAGNOSA BANDING

- Otitis media akut


- Otitis eksterna
- Corpus allenum

VI. DIAGNOSA KERJA

Otitis media akut stadium hiperemis auris sinistra

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada

VIII. PENATALAKSANAAN

Pembersihan liang telinga dengan suction


Pemberian obat cuci telinga H2O2
Pemberian obat oral:
- Clindamycin ( Antibiotik )
- Ambroxol syr
- Paracetamol 100 mg
- Metilprednisolon (kortikosteroid)

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI TELINGA
Telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.

Telinga luar, yang terdiri dari aurikula dan canalis auditorius eksternus. Telinga dalam
terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari
3 buah kanalis semisirkularis.

Anatomi telinga tengah

Telinga tengah terdiri dari 3 bagian yaitu membran timpani, cavum timpani dan tuba
eustachius.

1. Membrana timpani

Membrana timpani memisahkan cavum timpani dari kanalis akustikus eksternus.


Letak membrana timpai pada anak lebih pendek, lebih lebar dan lebih horizontal
dibandingkan orang dewasa. Bentuknya ellips, sumbu panjangnya 9-10 mm dan
sumbu pendeknya 8-9 mm, tebalnya kira-kira 0,1 mm.

Membran timpani terdiri dari 2 bagian yaitu pars tensa (merupakan bagian terbesar)
yang terletak di bawah malleolar fold anterior dan posterior dan pars flacida
(membran sharpnell) yang terletak diatas malleolar fold dan melekat langsung pada os
petrosa. Pars tensa memiliki 3 lapisan yaitu lapiasan luar terdiri dari epitel squamosa
bertingkat, lapisan dalam dibentuk oleh mukosa telinga tengah dan diantaranya
terdapat lapisan fibrosa dengan serabut berbentuk radier dan sirkuler. Pars placida
hanya memiliki lapisan luar dan dalam tanpa lapisan fibrosa.

8
Vaskularisasi membran timpani sangat kompleks. Membrana timpani mendapat
perdarahan dari kanalis akustikus eksternus dan dari telinga tengah, dan
beranastomosis pada lapisan jaringan ikat lamina propia membrana timpani. Pada
permukaan lateral, arteri aurikularis profunda membentuk cincin vaskuler perifer dan
berjalan secara radier menuju membrana timpani. Di bagian superior dari cincin
vaskuler ini muncul arteri descendent eksterna menuju ke umbo, sejajar dengan
manubrium. Pada permukaan dalam dibentuk cincin vaskuler perifer yang kedua,
yang berasal dari cabang stilomastoid arteri aurikularis posterior dan cabang timpani
anterior arteri maksilaris. Dari cincin vaskuler kedua ini muncul arteri descendent
interna yang letaknya sejajar dengan arteri descendent eksterna.

2. Kavum timpani

Kavum timpani merupakan suatu ruangan yang berbentuk irreguler diselaputi oleh
mukosa. Kavum timpani terdiri dari 3 bagian yaitu epitimpanium yang terletak di atas
kanalis timpani nervus fascialis, hipotimpananum yang terletak di bawah sulcus
timpani, dan mesotimpanum yang terletak diantaranya.

Batas cavum timpani ;

Atas : tegmen timpani

Dasar : dinding vena jugularis dan promenensia styloid

Posterior : mastoid, m.stapedius, prominensia pyramidal

Anterior : dinding arteri karotis, tuba eustachius, m.tensor timpani

Medial : dinding labirin

Lateral : membrana timpani

Kavum timpani berisi 3 tulang pendengaran yaitu maleus, inkus, dan stapes. Ketiga
tulang pendengaran ini saling berhubungan melalui artikulatio dan dilapisi oleh
mukosa telinga tengah. Ketiga tulang tersebut menghubungkan membran timpani
dengan foramen ovale, seingga suara dapat ditransmisikan ke telinga dalam.

9
Maleus, merupakan tulang pendengaran yang letaknya paling lateral. Malleus terdiri 3
bagian yaitu kapitulum mallei yang terletak di epitimpanum, manubrium mallei yang
melekat pada membran timpani dan kollum mallei yang menghubungkan kapitullum
mallei dengan manubrium mallei. Inkus terdiri atas korpus, krus brevis dan krus
longus. Sudut antara krus brevis dan krus longus sekitar 100 derajat. Pada medial
puncak krus longus terdapat processus lentikularis. Stapes terletak paling medial,
terdiri dari kaput, kolum, krus anterior dan posterior, serta basis stapedius/foot plate.
Basis stapedius tepat menutup foramen ovale dan letaknya hampir pada bidang
horizontal.

Dalam cavum timpani terdapat 2 otot, yaitu :

- M.tensor timpani, merupakan otot yang tipis, panjangnya sekitar 2 cm, dan berasal
dari kartilago tuba eustachius. Otot ini menyilang cavum timpani ke lateral dan
menempel pada manubrium mallei dekat kollum. Fungsinya untuk menarik
manubrium mallei ke medial sehingga membran timpani menjadi lebih tegang.

- M. Stapedius, membentang antara stapes dan manubrium mallei dipersarafi oleh


cabang nervus fascialis. Otot ini berfungsi sebagai proteksi terhadap foramen ovale
dari getaran yang terlalu kuat.

3. Tuba eustachius

Kavitas tuba eustachius adalah saluran yang meneghubungkan kavum timpani dan
nasofaring. Panjangnya sekitar 31-38 mm, mengarah ke antero-inferomedial,
membentuk sudut 30-40 dengan bidang horizontal, dan 45 dengan bidang sagital. 1/3
bagian atas saluran ini adalah bagian tulang yang terletak anterolateral terhadap
kanalis karotikus dan 2/3 bagian bawahnya merupakan kartilago. Muara tuba di faring
terbuka dengan ukuran 1-1,25 cm, terletak setinggi ujung posterior konka inferior.
Pinggir anteroposterior muara tuba membentuk plika yang disebut torus tubarius, dan
di belakang torus tubarius terdapat resesus faring yang disebut fossa rosenmuller.
Pada perbatasan bagian tulang dan kartilago, lumen tuba menyempit dan disebut
isthmus dengan diameter 1-2 mm. Isthmus ini mudah tertutup oleh pembengkakan
mukosa atau oleh infeksi yang berlangsung lama, sehingga terbentuk jaringan
sikatriks. Pada anak-anak, tuba ini lebih pendek, lebih lebar dan lebih horizontal

10
dibandingkan orang dewasa, sehinggga infeksi dari nasofaring mudah masuk ke
kavum timpani.

B. OTITIS MEDIA AKUT

a. DEFINISI DAN KLASIFIKASI


Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustachius,antrum mastoid, dan sel-sel mastoid kurang dari 3 minggu.
Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis
media non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan
kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media
tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media
adhesiva.

b. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Penyebab utama terjadinya OMA ini adalah karena masuknya mikroba ke
dalam telinga tengah yang seharusnya steril, dikarenakan oleh mekanisme
pertahanan tubuh (seperti silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibody)
terganggu. Gangguan mekanisme pertahanan tubuh ini paling sering terjadi
karena sumbatan dari tuba eustachius.

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur (pada anak-anak lebih
sering), jenis kelamin (lebih sering pada laki-laki), ras, faktor genetik, status
sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula,
lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis
congenital yang menyebabkan gangguan fungsi tuba, status imunologi dimana
system imunnya menurun, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan
atas, disfungsi tuba Eustachius, immatur tuba Eustachius dan lain-lain. Pada

11
anak lebih sering teradi karena pada anak tuba eustachius nya pendek, lebar,
dan letaknya agak horizontal.

Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti Streptokokus
hemolitikus, stafilokokus aeureus, pneumokokus. Kadang kadang ditemukan
juga Haemofilus influenza, E.coli, Streptococus anhemolitikus, proteus vulgaris,
dan pseudomonas aeruginosa. Hemofillus influenza sering ditemukan pada anak
usia dibawah 5 tahun.

Anak lebih mudah terserang otitis media dibanding orang dewasa karena
beberapa hal, yaitu:

(1) Sistem kekebalan tubuh anak masih dalam perkembangan


(2) Saluran eustachius pada anak lebih lurus secara horizontal dan lebih pendek
sehingga ISPA lebih mudah menyebar ke telinga tengah
(3) Adenoid (salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam
kekebalan tubuh) pada anak relative lebih besar dibanding orang dewasa.
Posisi adenoid berdekatan dengan muara saluran Eustachius sehingga
adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya saluran Eustachius.
Selain itu, adenoid sendiri dapat terinfeksi dimana infeksi tersebut kemudian
menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.

c. PATOFISIOLOGI

Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga


kesterilan telinga tengah. Faktor penyebab utama adalah sumbatan tuba
eustachius sehingga pencegahan invasi kuman terganggu. Pencetusanya adalah
infeksi saluran nafas atas. Infeksi saluran nafas bagian atas menyebabkan
penyumbatan pada tuba eustachius sehingga terjadi gangguan ventilasi tuba
yang menyebabkan terjadinya tekanan negative pada telinga tengah akibat
absorpsi udara oleh mukosa telinga tengah, yang menyebabkan retraksi dari
membran timpani lalu terjadi pula respon inflamasi yang menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah di membrane timpani, protein plasma keluar dan
terkumpulnya cairan yang menyebabkan efusi serta edema dan selanjutnya
bila fungsi tuba tetap terganggu dan adanya infiltrasi kuman pathogen dari

12
nasofaring dan rongga hidung akan menimbulkan supurasi. Akumulasi cairan
yang terus menerus menyebabkan membrane timpani menonjol lama
kelamaan membrane timpani bisa perforasi

d. MANIFESTASI KLINIK

13
Gejala klinik otitis media akut tergantung pada stadium penyakit dan umur
pasien. Keluhan yang biasanya timbul adalah otalgia, otorea, pendengaran
berkurang, rasa penuh di telinga, demam. Pada anak-anak biasanya timbul
keluhan demam, anak gelisah dan sulit tidur, diare, kejang, kadang-kadang
anak memegang telinga yang sakit. Stadium otitis media akut berdasarkan
perubahan mukosa telinga tengah terdiri dari :

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius


Tanda adanya oklusi tuba eustachius ialah adanya gambaran retraksi
membran timpani akibat tekanan negatif didalam telinga tengah, karena
adanya absorpsi udara. Posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks
cahaya juga berkurang, edema yang terjadi pada tuba eustachius juga
menyebabkannya tersumbat. Kadang-kadang membrane timpani tampak
normal atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak
dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang
disebabkan oleh virus atau alergi.

2. Stadium Hiperemis (presupurasi)


Pada stadium ini tampak seluruh membrane timpani hiperemis serta
edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa
sehingga sukar terlihat1. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang
berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik.
Proses inflamasi terjadi di telinga tengah dan membran timpani menjadi
kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan
pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya
proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang
meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam
sampai dengan satu hari.

3. Stadium Supurasi

14
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superficial, serta terbentuknya sekret eksudat yang purulen di cavum timpani
menyebabkan membrane timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga
luar.
Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat,
serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan nanah di cavum
timpani tidak berkurang maka terjadi iskemia akibat tekanan pada kapiler-
kapiler, kemudian timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil serta nekrosis
pada mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membrane timpani terlihat
sebagai daerah yang lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot. Di
tempat ini akan terjadi ruptur.

4. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotic atau
virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi rupture membrane timpani
dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar, secret yang
keluar terlihat seperti berdenyut. Anak-anak yang tadinya gelisah sekarang
menjadi tenang, suhu badan turun dan anak-anak dapat tidur nyenyak.

15
5. Stadium Resolusi

Stadium terakhir dari OMA. Bila membrane timpani tetap utuh maka
keadaan membrane timpani perlahan-lahan akan normal kembali bila sudah
terjadi perforasi, kemudian secret akan berkurang dan akhirnya kering.
Pendengaran kembali normal. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman
rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. Otitis media
akut dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa bila
secret menetap di cavum timpani tanpa terjadinya perforasi. Apabila stadium
resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif
kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap,
dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul

e. DIAGNOSIS
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal
berikut, yaitu:
1 Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2 Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan
di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara
tanda berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau
bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani,
terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat
cairan yang keluar dari telinga.
3 Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan
atau erythema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang
mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori,
yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah
terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun,
terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada
membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan

16
gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan
pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap
berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan
demam melebihi 39,0C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang
sampai berat.

f. TERAPI
Terapi tergantung pada stadium penyakitnya :
1. Stadium oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba eustachius sehingga
tekanan negative di telinga tengah hilang dengan diberikan :
Obat tetes hidung HCL efedrin 0.5% dalam larutan fisiologis
(anak<12
tahun) atau HCL efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak di
atas 12 tahun atau dewasa.
Mengobati sumber infeksi lokal dengan antibiotika bila penyebabnya
kuman.
2. Stadisum hiperemis (presupurasi)
Antibiotic (golongan penisilin atau ampisilin) selama 7 hari dengan
pemberian IM pada awalnya agar tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan relaps.
Obat tetes hidung (decongestan)
Analgesic / antipiretic
3. Stadium supurasi
Diberikan dekongestan, antibiotika, analgetik/antipiretik.
Pasien harus dirujuk untuk dilakukan mirongotomi bila membrane
timpani masih utuh sehingga gejala-gejala klinis cepat hilang dan
rupture (perforasi) dapat dihindari.
4. Stadium perforasi
Diberikan obat cuci telinga perhidrol atau H2O3 3% selama 3-5 hari
Antibiotika yang adekuat sampai 3 minggu.
Biasanya secret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam
7-10 hari.

17
5. Stadium resolusi
Antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu bila tidak ada
perbaikan membrane timpani, secret dan perforasi.

Pengobatan pada anak-anak dengan kecenderungan mengalami otitis media


akut dapat bersifat medis atau pembedahan. Penatalaksanaan medis berupa
pemberian antibiotic dosis rendah dalam jangka waktu hingga 3 bulan.
Alternative lain adalah pemasangan tuba ventilasi untuk mengeluarkan secret
terutama pada kasus-kasus yang membandel. Keputusan untuk melakukan
miringotomi umumnya berdasarkan kegagalan profilaksis secara medis atau
timbul reaksi alergi terhadap antimikroba yang lazim dipakai.

g. PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi faktor resiko terutama pada
anak-anak, bisa dengan beberapa seperti : pencegahan terjadinya ISPA pada
bayi dan anak, pemberian ASI minimal 6 bulan, hindari memberi makanan
atau minuman ketika anak berbaring, hindari dari pajanan asap rokok, hindari
memaksa keluarkan terlalu keras mucus, biasakan untuk tidak sering
mengorek-ngorek liang telinga, lindungi telinga selama penerbangan atau saat
berenang.

h. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI


Prognosis otitis media akut adalah dubia ad bonam, biasanya gejala membaik
dalam 24 jam dan dapat sembuh dalam 3 hari dengan pengobatan
yang adekuat, tetapi jika tidak diobati dengan benar, otitis media akut dapat
menimbulkan komplikasi mulai dari mastoiditis, kolesteatom, abses
subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis
komplikasi tersebut biasanya didapat pada OMSK. Jika perforasi menetap dan
secret tetap keluar lebih dari 3 bulan maka keadaan ini disebut OMSK

Macam-macam tonsillitis menurut (Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk,2007 ) yaitu :

1. TONSILITIS AKUT

18
ETIOLOGI

Tonsillitis akut ini lebih disebabkan oleh kuman grup A Streptokokus beta hemolitikus,
pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes. Virus terkadang juga menjadi
penyebab penyakit ini. Tonsillitis ini seringkali terjadi mendadak pada anak-anak dengan
peningkatan suhu 1-4 derajat celcius.

PATOFISIOLOGI

Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,
kemudian bila kuman ini terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi pembendunagn
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.

MANIFESTASI KLINIK

Tonsillitis Streotokokus grup A harus dibedakan dari difteri, faringitis non bacterial,
faringitis bakteri bentuk lain dan mononucleosis infeksiosa. Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan
dalam tonsillitis akut ini meliputi suhu tubuh naik hingga 40o celcius, nyeri tenggorok dan nyeri
sewaktu menelan, nafas yang berbau, suara akan menjadi serak, demam dengan suhu tubuh yang
tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga. Pada
pemeriksaan juga akan nampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk
folikel, lacuna akan tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri
tekan.

KOMPLIKASI

Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring, toksemia,
septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis.

PEMERIKSAAN

1) Tes Laboratorium

Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam tubuh pasien
merupkan akteri gru A, karena grup ini disertai dengan demam renmatik, glomerulnefritis, dan
demam jengkering.

19
2) Pemeriksaan penunjang

Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.

3) Terapi

Dengan menggunakan antibiotic spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik, dan obat kumur
yang mengandung desinfektan.

PERAWATAN

Perawatan yang dilakukan pada penderita tonsillitis biasanya dengan perawatan sendiri dan
dengan menggunakan antibiotic. Tindakan operasi hanya dilakukan jika sudah mencapai tonsillitis
yang tidak dapat ditangani sendiri.

1) Perawatan sendiri

Apabila penderita tonsillitis diserang karena virus sebaiknya biarkan virus itu hilang dengan
sendirinya. Selma satu atau dua minggu sebaiknya penderita banyak istirahat, minum minuman
hangat juga mengkonsumsi cairan menyejukkan.1

2) Antibiotik

Jika tonsillitis disebabkan oleh bakteri maka antibiotic yang akan berperan dalam proses
penyembuhan. Antibiotic oral perlu dimakan selama setidaknya 10 hari. 1

3) Tindakan operasi

Tonsillectomy biasanya dilakukan pada anak-anak jika anak mengalami tonsillitis selama tujuh
kali atau lebih dalam setahun, anak mengalami tonsillitis lima kali atau lebih dalam dua tahun,
amandel membengkak dan berakibat sulit bernafas, adanya abses.

2. TONSILITIS MEMBRANOSA

Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa beberapa
diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, serta Angina Plaut Vincent.

2.1 TONSILITIS DIFTERI

ETIOLOGI

20
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae yaitu suatu bakteri gram positis
pleomorfik penghuni saluran pernapasan atas yang dapat menimbulkan abnormalitas toksik
yang dapat mematikan bila terinfeksi bakteriofag.

PATOFISIOLOGI

Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa
saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling lalu
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu pembuluh darah dan limfe. Toksin ini merupakan
suatu protein yang mempunyai 2 fragmen yaitu aminoterminal sebagai fragmen A dan fragmen
B, carboxyterminal yang disatukan melalui ikatan disulfide.3

MANIFESTASI KLINIS

Tonsillitis difteri ini lebih sering terjadi pada anak-anak pada usia 2-5 tahun. Penularan melalui
udara, benda atau makanan uang terkontaminasai dengan masa in kubasi 2-7 hari. Gejala umum
dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebril, nyeri tnggorok, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, dan nadi lambat. Gejala local berupa nyeri tenggorok, tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor makin lama makin meluas dan menyatu membentuk membran
semu. Membran ini melekat erat pada dasar dan bila diangkat akan timbul pendarahan. Jika
menutupi laring akan menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila menghebat akan terjadi
sesak nafas. Bila infeksi tidak terbendung kelenjar limfa leher akan membengkak menyerupai
leher sapi. Gejala eksotoksin akan menimbulkan kerusakan pada jantung berupa miokarditis
sampai decompensation cordis . 5,6

KOMPLIKASI

Laryngitis difteri, miokarditis, kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot mata, otot
faring laring sehingga suara parau, kelumpuhan otot pernapasan, dan albuminuria. 6

DIAGNOSIS

Diagnosis tonsillitis difteri harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis karena penundaan
pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Pemeriksaan preparat langsung diidentifikasi
secara fluorescent antibody technique yang memerlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan
isolasi C, diphteriae dengan pembiakan pada media Loffler dilanjutkan tes toksinogenesitas
secara vivo dan vitro. Cara PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat membantu menegakkan

21
diagnosis tapi pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjagn lebih lanjut untuk
menggunakan secara luas. 3

PEMERIKSAAN

1) Tes Laboratorium

Dilakukan dengan cara preparat langsung kuman(dari permukaan bawah membrane semu).
Medium transport yang dapat dipaki adalah agar Mac conkey atauLoffler. 3

2) Tes Schick (tes kerentnan terhapad dihteria) 3

3) Terapi

Anti difteri serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis 20.000-100.000
unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit itu. 6

PENGOBATAN

Tujuan dari pengobatan penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C.diphteria untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
diphtheria. Secara umum dapat dilakukan dengan cara istirahat selama kurang lebih 2 minggu
serta pemberian cairan.

Secara khusus dapat dilakukakan dengan pemberian 3:

1) Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)

2) Anti microbial : untuk menghentikan produksi toksin, yaitu penisilin prokain 50.000-100.000
KI/BB/hariselama 7-10 hari, bila alergi diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.

3) Kortikosteroid : diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian
atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

4) Pengobatan penyulit : untuk menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik oleh karena
penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible.

5) Pengobatan carrier : ditujukan bagi penderita yang tidak mempunyai keluhan.

PENCEGAHAN

22
Untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan pada diri anak
serta memberikan penyuluhan tentang penyakit ini pada anak-anak. Selain itu juga diberikan
imunisasi yang terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier. 3

TES KEKEBALAN

1) Kekebalan aktif diperoleh dengan cara inapparent infection dan imunisasi dengan toksoid
diphtheria. 3

2) Kekebalan pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap diphtheria
(sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (2-3 minggu).

TONSILITIS SEPTIK

Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi
sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena itu perlu adanya pasteurisasi sebelum mengkonsumsi
susu sapi tersebut.

ANGINA PLAUT VINCENT

ETIOLOGI

Penyakit ini disebabkan karena kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin C serta kuman
spirilum dan basil fusi form.

MANIFSTASI KLINIS

Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nuyeri kepala, badan
lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi, dan
gusi berdarah.

PEMERIKSAAN

Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas tonsil, uvula,
dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar submanibula membesar.

PENGOBATAN

Memperbaiki hygiene mulut, antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu, juga pemberian
vitamin C dan B kompleks.

23
3. TONSILITIS KRONIS

ETIOLOGI

Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut , namun terkadang
bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif. Etiologi berdasarkan Morrison yang
mengutip hasil penyelidikan dari Commission on Acute Respiration Disease bekerja sama dengan
Surgeon General of the Army America dimana dari 169 kasus didapatkan data sebagai berikut :

1. 25% disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang pada masa penyembuhan tampak
adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.

2. 25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang tidak menunjukkan kenaikan titer
Streptokokus antibodi dalam serum penderita.

3. Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influenza.

Adapula yang menyatakan etiologi terjadinya tonsilitis sebagai berikut

1. Streptokokus hemolitikus Grup A

2. Hemofilus influenza

3. Streptokokus pneumonia

4. Stafilokokus (dengan dehidrasi, antibiotika)

5. Tuberkulosis (pada keadaan immunocompromise).

FAKTOR PREDISPOSISI

Adapun beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu :

1. Rangsangan kronis (rokok, makanan)

2. Higiene mulut yang buruk

3. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)

4. Alergi (iritasi kronis dari alergen)

5. Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)

24
6. Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat.

PATOFISIOLOGI

Karena proses rang berulang maka epitel mukosa dan jarinagn limfoid terkikis, sehingga
pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan
mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus (akumulasi epitel
yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna
kekuning-kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan
dengan jaringan sekitar fossa tonsillaris. Pada anak-anak, proses ini akan disertai dengan
pembesaran kelenjar submandibula.

MANIFESTASI KLINIS

Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri
waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan
pernafasan berbau..

Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin
tampak, yakni :

1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripte
yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam di
dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan ditutupi eksudat yang
purulen.

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

25
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa

T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

DIAGNOSIS
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :

1. Anamnesa

Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat
ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok
yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-
kadang ada demam dan nyeri pada leher.

2. Pemeriksaan Fisik

Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta
mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada
beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat
pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat
lekukan dan seringkali dianggap sebagai "kuburan" dimana tepinya hiperemis dan sejumlah kecil
sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.

3. Pemeriksaan Penunjang

26
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil. Biakan
swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti
Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.

DIAGNOSA BANDING

Terdapat beberapa diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :

1. Penyakit-penyakit dengan pembentukan Pseudomembran atau adanya membran semu yang


menutupi tonsil (Tonsilitis Membranosa)

a. Tonsilitis Difteri

b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)

c. Mononukleosis Infeksiosa

Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutup


ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe
leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit
mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum
pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).

2. Penyakit Kronik Faring Granulomatus

a. Faringitis Tuberkulosa

Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien adalah buruk karena
anoreksi dan odinofagi. Pasien juga mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga
(otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.

b. Faringitis Luetika

Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada
penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang sembuh disertai pembentukan
jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar
tonsil.

c. Lepra (Lues)

Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian menyembuh
dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya jaringan ikat.

27
d. Aktinomikosis Faring

Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa mengalami
ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan ulserasi faring yang
ireguler, superfisial, dengan dasar jaringan granulasi yang lunak.

Penyakit-penyakit diatas umumnya memiliki keluhan berhubungan dengan nyeri tenggorokan


(odinofagi) dan kesulitan menelan (disfagi). Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi,
hapusan jaringan atau kultur, foto X-ray dan biopsi jaringan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Terapi 6

Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada hygiene mulut dengan berkumur atau obat isap.

Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa tidak berhasil.

2)
Faktor penunjang 6

Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.

KOMPLIKASI

Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar
atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi
yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :

1. Komplikasi sekitar tonsil

a. Peritonsilitis

Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.

b. Abses Peritonsilar (Quinsy)

Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari
penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan
penjalaran dari infeksi gigi.

c. Abses Parafaringeal

28
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau
pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid,
kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.

d. Abses Retrofaring

Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak
usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.

e. Krista Tonsil

Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini
menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan,
biasanya kecil dan multipel.

f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)

Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan


tonsilyang membentuk bahan keras seperti kapur.

2. Komplikasi Organ jauh

a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik

b. Glomerulonefritis

c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis

d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura

e. Artritis dan fibrositis.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil
(Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau
terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk
pemberian antibiotika penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk
membersihkan kripta tonsillaris dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak

Tonsilektomi

29
Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan
patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada
jaringan sekitarnya seperti uvula dan pilar.

Indikasi absolute :
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas yang kronis
2. Hipertrofi tonsil dan adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur
3. Hipertrofi yang berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan
penyerta
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
6. Tonsilitis kronis walaupun tanpa eksaserbasi akut tapi merupakan fokal infeksi
7. Karier difteri
8. Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam.
Indikasi relatif :
1. Serangan tonsillitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan penatalaksanaan
medis yang adekuat)
2. Tonsillitis yang berhubungan dengan biakan steptokokus menetap dan patogenik
(keadaan karier)
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan)
4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi mononukleosis
(biasanya pada dewasa muda)
5. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan
tonsillitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotik yang buruk
6. Radang tonsil kronik menetap yang tidak memberikan respon pada penatalaksanaan
medis (biasanya dewasa muda)
7. Hipertropi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial dan
gigi geliga yang menyempitkan jalan napas bagian atas
8. Tonsillitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal
persisten
Teknik Operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang
masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan.

30
Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik
operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca
operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baru
ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi . Beberapa teknik tonsilektomi diantaranya :
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil
beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode
pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi.
Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial,
sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife
dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa
radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi
saraf atau jantung.
4. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan.
Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.6
6. Teknik Coblation

31
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang untuk karena
dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis
jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari
radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan
membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma
tersebut akan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma
dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil.
Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi
molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan
jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan
dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain
yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan
tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl
Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan reses pada tonsil yang menyebabkan
infeksi kronik dan rekuren.
Kontraindikasi

A. Kontraindikasi absolut:

a. Penyakit darah: leukemia, anemia aplastik, hemofilia dan purpura

b. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol: diabetes melitus, penyakit jantung dan sebagainya.

B. Kontraindikasi relatif:

a. Palatoschizis

b. Anemia (Hb <10 gr% atau HCT <30%)

c. Infeksi akut saluran nafas atau tonsil (tidak termasuk abses peritonsiler)

d. Poliomielitis epidemik

32
e. Usia di bawah 3 tahun (sebaiknya ditunggu sampai 5 tahun)

Komplikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal
maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan
komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti
jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan
dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian
akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien
kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan
transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali
oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
c. Komplikasi lain
Demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi,
otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi
dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.

33
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)

Definisi

Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya episode apnea atau
hipopnea pada saat tidur. Apnea dapat disebabkan kelainan sentral, obstruktif jalan nafas, atau
campuran. Obstruktif apnea adalah berhentinya aliran udara pada hidung dan mulut walaupun
dengan usaha nafas, sedangkan central apnea adalah penghentian pernafasan yang tidak disertai
dengan usaha bernafas akibat tidak adanya rangsangan nafas. Obstruktif hipoventilasi disebabkan
oleh obstruksi parsial aliran udara yang menyebabkan hipoventilasi dan hipoksia. Istilah obstruktif
hipoventilasi digunakan untuk menunjukkan adanya hipopnea, yang berarti adanya pengurangan
aliran udara.

Istilah OSAS dipakai pada sindrom obstruksi total atau parsial jalan nafas yang menyebabkan
gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi. Istilah primary snoring
(mendengkur primer) digunakan untuk menggambarkan anak dengan kebiasaan mendengkur yang
tidak berkaitan dengan obstruktif apnea, hipoksia atau hipoventilasi. Guilleminault dkk
mendefinisikan sleep apnea sebagai episode apnea sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam,
lamanya paling sedikit 10 detik dan terjadi baik selama fase tidur rapid eye movement (REM) dan
non rapid eye movement (NREM). Terdapat istilah apnea index (AI) dan hypopnea index (HI) yaitu
frekuensi apnea atau hipopnea per jam. Apnea atau hypopnea index dapat digunakan sebagai
indikator berat ringannya OAS.

Etiologi
Etiologi OSA adalah keadaan kompleks yang saling mempengaruhi berupa neural, hormonal,
muskular dan struktur anatomi, contohnya : kegemukan terutama pada tubuh bagian atas
dipertimbangkan sebagai risiko utama untuk terjadinya OSA. Angka prevalens OSA pada orang yang
sangat gemuk adalah 42-48% pada laki-laki dan 8-38% pada perempuan. Penambahan berat badan
akan meningkatkan gejala-gejala OSA.

Faktor risiko
Terdapat tiga faktor risiko yang diketahui :

1. Umur : prevalens dan derajat OSA meningkat sesuai dengan bertambahnya umur.

2. Jenis kelamin : Risiko laki-laki untuk menderita OSA adalah 2 kali lebih tinggi dibandingkan
perempuan sampai menopause.

3. Ukuran dan bentuk jalan napas :

a. Struktur kraniofasial (palatum yang bercelah, retroposisi mandibular).


b. Micrognathia (rahang yang kecil).
c. Macroglossia (lidah yang besar), pembesaran adenotonsillar.
d. Trakea yang kecil (jalan napas yang sempit).

Faktor risiko penyakit : Kegagalan kontrol pernapasan yang dihubungkan dengan :

34
1. Emfisema dan asma.

2. Penyakit neuromuscular (polio, myasthenia gravis, dll).

3. Obstruksi nasal.

4. Hypothyroid, akromegali, amyloidosis, paralisis pita suara, sindroma postpolio, kelainan


neuromuskular, Marfan's syndrome dan Down syndrome.

Risiko gaya hidup :

1. Merokok

2. Obesiti : 30-60% pasien OSA adalah orang yang berbadan gemuk.

a. Penurunan berat badan akan menurunkan gejala-gejala OSA.

b. Penurunan berat badan akan mempermudah pasien diobati dengan menggunakan


nasal CPAP

Manifestasi klinis

Tanda dan gejala yang umum dihubungkan dengan kejadian OSA adalah :

1. Gejala malam hari saat tidur


a. Mengeluarkan air liur saat tidur (Drooling / ngiler)
b. Mulut kering
c. Tidur tak nyenyak / terbangun saat tidur
d. Terlihat henti napas saat tidur oleh rekan tidurnya
e. Tersedak atau napas tersengal saat tidur

2. Gejala saat pagi atau siang hari

a. Mengantuk
b. Pusing saat bangun tidur pagi hari
c. Refluks gastroesofageal
d. Tidak bisa konsentrasi
e. Depresi
f. Penurunan libido
g. Impotensi
h. Bangun tidur terasa tak segar

A. Klasifikasi

35
Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI) yang ditetapkan oleh
The American Academy of Sleep Medicine, dapat dibagi menjadi 3 golongan :

1. Ringan (nilai AHI 5-15).

2. Sedang (nilai AHI 15-30).

3. Berat (nilai AHI >30).

Faktor-faktor lain yang juga berpengaruh pada derajat OSA adalah desaturasi

oksigen, kualiti hidup dan tingkat mengantuk di siang hari.

Tatalaksana
Secara umum terapi untuk mengatasi gangguan tidur pada OSA dapat dibagi menjadi 3
bagian, yaitu :

1. Intervensi bedah : Pembedahan hidung; bedah plastik untuk palatum, uvula dan faring;
somnoplasty; trakeostomi.

2. Perubahan gaya hidup : Menurunkan berat badan; menghindari alkohol dan obat-obatan
pembantu untuk tidur; menghindari kelelahan yang sangat dan mengkonsumsi kafein.

3. Alat-alat buatan : Alat untuk mereposisi rahang dan mencegah lidah jatuh ke belakang
(mempertahankan posisi lidah); cervical collars atau bantal; CPAP.

Positive airway pressure (PAP) diketahui merupakan terapi baku emas untuk OSA. Bentuk
umum dari PAP adalah continuous positive airway pressure (CPAP). Alat ini dapat digunakan melalui
masker nasal, masker oral atau variasivariasi lain. Sullivan dkk melaporkan penggunaan nasal CPAP
sebagai terapi OSA. Konsep CPAP antara lain bekerja melalui tekanan positif di jalan napas atas pada
tingkat yang konstan atau berfungsi untuk menjaga jalan napas atas tetap paten / terbuka selama
tidur dan mempertahankan volume paru sehingga membantu faring tetap paten. Hal tersebut dapat
mencegah terjadinya apnea dan dapat mengeliminasi kejadian mendengkur. Terapi menggunakan
CPAP akan meningkatkan kualiti hidup dan menurunkan tekanan darah. Terapi ini dianggap efektif
untuk pasien OSA sehingga merupakan terapi lini pertama dan pilihan utama serta merupakan terapi
seumur hidup karena jika pasien menghentikan pemakaian CPAP maka gejala-gejala OSA akan
terulang kembali.

36
DAFTAR PUSTAKA

Boies, dkk. 1997. Buku ajar penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC

Daly KA, Giebink GS.2000. Clinical epidemiology of otitis media.

Djaafar, ZA. 2007. Kelainan Telinga Tengah. Telinga Hidung Tenggorokan, Edisi ke 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT
& Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006

Rusmarjono,efiaty AS. Faringitis,Tonsilitis,dan Hipertrofi Adenoid. Dalam; Soepardi

EA,iskandar NH(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

Leher, Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2007. Hal 214-225

Brodsy L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adeneidectomy. In: Bailey BJ. Johnson JT.

Head and Neck Surgery. Otolaryngology. 4rd Edition. Philadelphia: Lippinscott

Williams Wilkins Publishers. 2006. p1183-1208

37
Gotlieb J. The Future Risk of Childhood Sleep Disorder Breathing, SLEEP, vol 28 No 7.

2005.

George LA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam:Adams, Boies,

Higler(eds).buku ajar penyakit THT edisi 6. Jakarta:EGC;1997.hal 327-337

Derake A. Carr MM. Tonsilectomy. Dalam: Godsmith AJ. Talaveran F. E-medicine.com.inc.

2002:1-10

Supriyanto,B.,Deviani,R.,2005, Obstructive Sleep Apnea pada Anak. Sari Pediatri vol.7,no.


2: 77-84

38

Anda mungkin juga menyukai