Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Evaluasi Parameter Kematangan dan Kandungan Logam Berat pada Kompos yang
Terbuat dari Kotoran Ternak

Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Matakuliah Pengelolaan Limbah Peternakan

Dosen Pengampu : Dr. Ir. Endang Setyowati, MS

Disusun oleh : Kelas F/ Kelompok 3

Achmad Bisri Mustofa 145050100111105 / 11


Asri Suko Mayangsari 145050100111107 / 12
Lilis Sriwahyuni 145050100111108 / 13
Niche Permatasari 145050100111109 / 14
Vingga Moris Pangestu 145050100111121 / 15

Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya
Malang
2017
KATA PENGANTAR

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur matakuliah Pengelolaan Limbah
Peternakan yang digunakan sebagai tugas terstruktur kelompok Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya tahun akademik 2016/2017.
Makalah ini membahas tentang proses anaerob, suhu perlakuan awal, pencernaan anaerobic
termofilik dan produksi biogas oleh olah pikir penulis dan kajian pustaka yang dipakai landasan
pikir.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga makalah yang
berjudul Evaluasi Parameter Kematangan dan Kandungan Logam Berat pada Kompos yang
Terbuat dari Kotoran Ternak ini dapat penulis selesaikan. Tidak lupa penulis sampaikan terima
kasih kepada Bapak Dr. Ir. Endang Setyowati, MS selaku dosen pembimbing matakuliah
Pengelolaan Limbah Peternakan atas bimbingannya selama ini dan teman- teman yang telah
memberi dukungan serta saran demi terwujudnya makalah ini.

Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu yang terkait. Selain
itu, makalah ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang membangun akan sangat
membantu dalam memperbaiki makalah selanjunya.

Malang, Mei 2017

Penulis

2
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi berbagai indeks kematangan dan
konsentrasi logam berat dalam proses pengomposan. Sebuah penelitian skala penuh dilakukan
pada kotoran ternak (sapi perah: sapi pedaging: babi = 50%: 30%: 20%, b / b) dicampur dengan
serbuk gergaji dengan menggunakan turner mandiri selama 63 hari. Beberapa karakteristik
kompos kimia dan indeks perkecambahan dipantau pada sampel yang dikumpulkan setiap
minggu di fasilitas pengomposan prototipe. Konsentrasi NH4-N menurun selama waktu
pengomposan, sebaliknya konsentrasi NO3-N meningkat tajam setelah 30 hari. Saat
pengomposan berlangsung, kandungan asam humat meningkat dari 1,45% menjadi 2,70% dari
kandungan karbon organik, sedangkan kandungan asam fulvat menurun secara bertahap. Suhu di
tumpukan kompos dan konsentrasi NH3 rata-rata 32,4 C dan 12,9 ppm pada tahap
pengomposan awal dan 69,5 C dan 47,3 ppm pada fase pengomposan bio-oksidasi aktif.
perkecambahan benih dan Indeks perkecambahan (GI) meningkat selama proses pengomposan,
dan sampel kompos pada akhir fase pengomposan memiliki nilai GI lebih besar dari 120. Di
antara proses pengomposan, ada perbedaan yang signifikan (p <0,05) pada konsentrasi Zn, Cu
dan Pb dalam kompos. Sebagai kesimpulan, nilai parameter kematangan yang disarankan dan
konsentrasi logam dalam kompos dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai
proses pematangan kompos.

PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir, sistem produksi ternak intensif dan industri telah
mengakibatkan tingginya kepadatan ternak di daerah yang relatif kecil dan menghasilkan pupuk
dalam jumlah banyak. Dengan demikian, produksi ternak telah terpisah dari basis lahan dan
mengalami kesulitan dalam pengelolaan pupuk dalam internal manajemen. Masalah ini telah
menyebabkan masalah lingkungan bagi masyarakat, termasuk pencemaran air dan polusi bau.
Oleh karena itu, kebutuhan akan metode yang lebih ramah lingkungan untuk pengelolaan dan
pemanfaatan kotoran hewan telah menjadi keharusan serta pentingnya membangun sistem
peternakan ternak terpadu.
Ada beberapa macam metode pengolahan limbah ternak, seperti pengomposan, laguna,
penguapan dan pemurnian air. Baru-baru ini, minat terhadap pengomposan meningkat karena
adanya permintaan sosial untuk teknologi pengolahan limbah hewan yang ramah lingkungan dan
untuk produk pertanian organik. Pengomposan dipandang tidak hanya metode penanganan
limbah yang dapat diterima secara lingkungan, namun juga salah satu metode pembuangan
limbah yang lebih efisien yang memungkinkan daur ulang bahan organik.
Penggunaan sebagai sumber amandemen tanah dan bahan organik di lahan pertanian.
Penerapan kompos telah meningkat selama bertahun-tahun. Praktek ini meningkatkan kualitas
tanaman dan menjaga lingkungan. Namun, pupuk kandang yang tidak dikomposkan atau kompos
yang belum matang mungkin memiliki efek buruk pada pertumbuhan tanaman dan / atau
perkecambahan biji. Sebagai contoh, amonia dan etilena oksida dihasilkan saat kompos yang
belum matang diaplikasikan ke tanah, dan ini akan berdampak penghambatan pertumbuhan akar

3
tanaman. Namun sayang, kematangan, yang dikaitkan dengan potensi pertumbuhan tanaman dan
aspek penting dari kualitas kompos, masih belum ditentukan dan dievaluasi secara memadai.
Banyak pengujian telah dianggap sebagai indeks kematangan untuk kompos, dan
sebagian besar berfokus pada sifat kimia dan fisik kompos. Parameter yang paling umum
meliputi temperatur kompos, pH dan kapasitas pertukaran kation, respirasi mikroba, rasio C, C /
N organik terlarut Indeks humifikasi dan bioassay pertumbuhan tanaman. Namun, pengujian
kompos seperti rasio C / N, kapasitas tukar suhu dan kation telah diketahui tidak memadai untuk
memperkirakan kematangan kompos, dan juga masalah potensial telah diidentifikasi mengenai
keandalan uji mikrobiologi pada sampel kecil yang terganggu. Tes menjanjikan kematangan
kompos lainnya, seperti kepadatan optik, tes respirasi sederhana dan metode spektroskopi, saat
ini dalam pengembangan. Sayangnya, semua pengujian ini hanya sesuai untuk jenis kompos
tertentu dan parameter yang tidak memadai untuk menilai kematangan kompos. Tak satu pun
dari mereka dapat diterapkan secara umum dengan tingkat kesuksesan yang sama dengan jenis
kompos yang dihasilkan dari kotoran ternak. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi berbagai indeks kematangan dan kandungan logam berat dalam kompos
selama proses pengomposan dan untuk menyarankan parameter yang sesuai untuk menilai
kompos.

BAHAN DAN METODE


Kompos terdiri dari serbuk gergaji sebagai agen pengisi dan kotoran
ternak dengan rasio perbandingan 10:90. Kotoran ternak yang digunakan
terdiri dari 50% kotoran sapi perah, 30% kotoran sapi potong dan 20%
kotoran babi yang dikumpulkan dari peternakan terintegrasi. Sebelum
kompos ditumpuk, kotoran dicampur dengan blender kemudian dipindahkan
ke tempat pengomposan. Kompos ditumpuk panjang 18 m, lebar 4 m dan
tinggi 1,4 m dan dibalik setiap hari untuk ketersediaan oksigen dan
menghomogenkan bahan. Kadar air tumpukan disesuaikan dengan
menambah air untuk menjaga kondisi optimum dalam proses pengomposan.
Suhu tumpukan kompos diukur menggunakan termometer dari bagian atas
hingga bawah tumpukan.
Tumpukan pengomposan dibagi menjadi tiga bagian dan sampel
diambil dari tiga bagian kedalaman yang berbeda secara acak: permukaan
(5-7 cm di bawah ermukaan tumpukan), tengah (50-60 cm di bawah
permukaan tumpukan) dan bawah (100-110 cm di bawah permukaan
tumpukan). Sampel disimpan dalam botol PVC berlabel pada suhu kamar.
Sampel kompos dianalisis bahan organik dengan oven pada suhu 43 oC
selama 24 jam. Kadar C dan N dianalisis dengan tanur dan selanjutnya
diukur dengan detektor inframerah. Konsentrasi C yang larut dalam air
dianalisis melalui oksidasi dengan kalium dikromat. Total N dianalisis
menggunakan metode destilasi makro-Kjeldahl dan dikoreksi melalui kadar
air. Nitrogen amonium diekstraksi dengan 2 M KCl dari subsampel beku dan
4
ditentukan dengan metode kalorimetrik berdasarkan pada reaksi Berthelot,
dan nitrogen nitrat ditentukan dengan kromatografi ion.
Analisis amonia dilakukan dengan metode NIOSH. Sampel kompos
ditimbang dimasukkan kedalam kantong polyethylene dan kemudian
didiamkan 10 menit. Udara pada bagian atas ruang diserap kedalam kaca
impinger 30 yang berisi penyerapan cairan selama 7 10 menit dengan
sampler udara. Setelah sampling, cairan penyerapan di bawa ke
laboratorium, disaring dengan filter nucleopore, diencerkan sesuai
konsentrasi dan dipipet sebanyak 3 mL. Setelah ditambahkan reagen Nessler
(0,2 mL), cairan NH4+ diserap melalui spektrofotometer UV dan konsentrasi
amonia dapat dihitung.
Untuk analisis zat humus, 2 g kering, sampel tanah dilarutkan dalam
100 mL dari NaOH 0,1 N /Na 4P2O7 larutan selama 48 jam pada 65 oC. Setelah
disentrifugasi larutan supernatan disaring melalui 0,45 m Millipore filter
kemudian disimpan dibawah N2 pada suhu 40C. Humic Acid (HA) dan Fulvic
Acid (FA) difraksinasi melalui asidifikasi dengan 25 mL ekstrak dari 50%
H2SO4 untuk memisahkan HA dari FA. FA dimurnikan pada kolom PVP
(polyvinypyrrolidone) dilarutkan kembali dengan NaOH 0,1 N. Konsentrasi
dari HA % BK dan FA % BK diperoleh melalui mineralisasi dari 10 mL ekstrak
dengan 5 mL dari 2 N K2Cr2O7 dan 20 mL dari 96% H 2SO4 selama 10 menit
pada suhu 1600C.
Efek kompos di uji pada perkecambahan biji dan indeks
perkecambahan ditentukan dengan biji lobak (Raphanus sativs L.). 10 g
sampel larutan ekstraksi kompos dihomogenkan dengan 20 mL air deionisasi
dalam labu volumetrik selama 1 jam secara horizontal. Setelah homogen
suspensi disentrifugasi pada 3000 rpm selama 20 menit dan disaring. 30 biji
ditempatkan pada 2 lapisan kertas filter dan disterilkan pada cawan petri
plastik, dan 10 mL masing masing larutan uji ditambahkan. Air deionisasi
digunakan sebagai kontrol. Cawan petri di inkubasi dalam ruang
pertumbuhan pada 25 20C dengan kelembapan 70% tanpa penyinaran.
Dicatat persentase perkecambahan pada jam ke 24, 48 dan 72 setelah awal
inkubasi, setelah 72 jam inkubasi panjang kecambah diukur. Akar primer 5
mm digunakan sebagai definisi operasional perkecambahan. Diukur
persentase relative seed germination (RSG), relative root growth (RRG) dan
germination index (GI).
Analisis konsentrasi logam berat dalam kompos dapat ditentukan
melalui sampel kering dan tanah yang dicerna oleh HNO 3 dan HClO4. 1000
0,01 g sampel dicerna setelah ditambahkan 36 mL larutan campuran asam.
Zn, Cu, Cr dan Pb ditentukan dalam larutan yang dihasilkan oleh ICP
(Inductively Coupled Plasma) spektrometri emisi.

5
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1 menunjukkan kurva suhu waktu selama pengomposan kotoran ternak. Selama
proses kompos, suhu internal tumpukan kompos mempertahankan suhu termofilik 50-70 C
minimal 14 hari dan mencapai suhu puncak sekitar 81 C pada 15 hari. Dengan
mempertimbangkan bahwa suhu sebagai salah satu parameter atau kualitas kompos yang paling
penting dan mencerminkan aktivitas mikrobiologi dalam proses pengomposan, produsen kompos
harus memantau secara dekat suhu dan lama tumpukan kompos untuk meminimalkan risiko dari
patogen yang terkandung dalam kotoran ternak dan untuk menghancurkan benih gulma. Namun,
penurunan suhu juga terjadi jika tumpukan menjadi terlalu basah atau terlalu kering. Kurva pH
dan konduktivitas listrik (EC) dari kompos disajikan pada Gambar. 2.

Awalnya, pH menurun dari 8,3 menjadi 6,2 dan kemudian meningkat secara bertahap
menjadi 7,6 pada akhir proses pengomposan. Penurunan ini dihasilkan dari pembentukan asam
organik dan penguapan ammonia. Sebagai hasil pengomposan, asam organik menjadi stabil dan
kompos ternak matang cenderung menuju pH netral (7.0). Kompos yang diuji dalam penelitian
ini berkisar antara pH 6,1 sampai 8,5. EC adalah ukuran garam terlarut dalam kompos. Ukuran
ini signifikan karena mencerminkan salinitas kompos, dan kompos yang terlalu asin cenderung
berbahaya bagi tanaman. Nilai EC kompos menurun tajam dari 14,9 menjadi 6,1 ds m-1 dan
kemudian meningkat secara bertahap menjadi 13,4 ds m-1. Sementara nilai-nilai ini jauh lebih
tinggi daripada serasah unggas yang dilaporkan oleh Tiquia dan Tam (2002), nilainya lebih
rendah dari 21,3 ds m-1, yang hadir dalam kompos jerami pupuk kandang sapi. Umumnya, nilai
EC kompos pupuk kandang lebih tinggi daripada kompos limbah organik lainnya. Hasil ini
menunjukkan bahwa kandungan kompos yang tinggi mengandung kadar hara yang tinggi.
Namun, tanpa ketentuan penggunaan yang tepat, pemanfaatan kompos akan terbatas karena

6
potensi dampaknya terhadap tanaman. Konsentrasi nitrogen ammonium dan nitrat memberikan
beberapa indikasi kematangan kompos, karena Konsentrasi nitrat harus lebih tinggi dari pada
amonium pada akhir proses pengomposan. Dalam penelitian ini, tingkat ammonium yang tinggi
awalnya menurun dengan cepat selama pengomposan, sementara konsentrasi nitrat meningkat
setelah 21 hari (Gambar 3).

Pada akhir pengomposan, konsentrasi amonium serupa dengan yang dilaporkan bahwa
amonium pada pupuk kandang yang dicampur dengan unggas dan kotoran babi. Peningkatan
drastis konsentrasi nitrat adalah dari 59 mg / kg pada 28 hari menjadi 198 mg / kg pada 49 hari.
Hasil ini dapat dijelaskan bahwa bakteri yang bertanggung jawab untuk nitrifikasi sangat
terhambat oleh suhu lebih dari 40 C, sehingga konsentrasi nitrat tidak banyak berubah selama
tahap pengomposan aktif.
Rasio C/N dan rasio NH4/NO3 digunakan untuk menunjukkan kematangan kompos.
Sampai saat ini, tidak ada nilai spesifik untuk rasio yang dapat mengevaluasi kematangan
berbagai jenis kompos. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa rasio C/N di bawah 20
diasumsikan sebagai indikasi kompos kematangan. Di sisi lain beberapa peneliti melaporkan
bahwa rasio C/N bukan indikasi kematangan kompos yang baik karena memiliki variabilitas
bahan baku yang besar dan seringkali memberikan indikasi kematangan yang menyesatkan dan
tidak mencerminkan bahan yang cukup terdekomposisi. Dalam penelitian ini, meskipun rasio
C/N menurun dari 29 pada 1 hari menjadi 17 pada 63 hari dan serupa dengan hasil pada
penelitian sebelumnya, data bervariasi dan tidak memiliki konsistensi selama masa transisi dari
waktu pengomposan aktif ke aktif ( Gambar 4).

7
Rasio NH4 / NO3 menurun secara signifikan selama proses pengomposan aktif dan turun
menjadi 0,5 setelah 63 hari waktu pengomposan. Umumnya rasio kurang dari 1,0 dianggap
menunjukkan kompos matang. Dalam penelitian kami, rasio NH 4/NO3 yang lebih rendah dari 1,0
juga ditemukan pada sampel kompos tahap stabil. Pada tahap nitrifikasi, oksidasi amonium
menjadi nitrat, hampir tidak terjadi selama waktu pengomposan aktif, namun terjadi terutama
pada tahap stabil ketika suhu mendekati ambien. Studi ini menunjukkan bahwa rasio C/N tidak
secara konsisten menurun, namun rasio NH4/NO3 awal yang tinggi turun saat proses
pengomposan berlangsung. Oleh karena itu, kami mengusulkan agar rasio NH4 / NO3 lebih
sesuai untuk menilai kematangan kompos dibandingkan rasio C/N.
Bau adalah salah satu faktor pembatas kompos operasi dan penggunaan produk akhir
(misalya, kompos dan limbah pencernaan anaerobik / aerobik). Amonia bukan hanya produk
sampingan dari limbah ternak, namun juga dianggap sebagai senyawa penghasil bau utama
dalam pengomposan limbah ternak. Selanjutnya, amonia dapat disimpan ke di dalam tanah dan
dapat menyebabkan toksik langsung pada rumah kaca. Oleh karena itu, diperlkan upaya
mengurangi jumlah amonia dengan pengomposan untuk menghilangkan toksisitas amonia dari
kotoran ternak yang dikomposkan. Kurva fluktuasi amonia yang dikeluarkan dari kompos selama
proses pengomposan ditunjukkan pada Gambar. 5 dan bervariasi dari 12,9 ppm pada hari ke 1
sampai 47,3 ppm pada hari ke 21.

Pada awal pengomposan, aktivitas mikroba dan degradasi bahan organik yang intens
menyebabkan pembentukan amonia sebagai konsekuensi ammonifikasi nitrogen organik. Setelah
suhu tumpukan naik di atas 40 C, nitrifikasi dapat dihambat dan amonium dalam kompos tidak
dikonversi menjadi nitrat namun hilang melalui penguapan amonia sampai suhu turun di bawah
40 C. Akibatnya, jalur nitrogen hilang oleh penguapan gas amonia dan diubah menjadi nitrat
oleh nitrifikasi selama proses pengomposan. Emisi amoniak yang lebih tinggi disebabkan oleh
suhu dan dekomposisi yang lebih tinggi. Hasil ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa tumpukan
kompos aktif menghasilkan senyawa yang jauh lebih harum.
Seperti ditunjukkan pada Gambar. 6, konsentrasi asam humat (HA) berubah secara
bertahap selama 35 hari pertama dan meningkat tajam dari 35 sampai 56 hari. Sebaliknya,
konsentrasi asam fulvat (FA) menurun secara bertahap selama proses pengomposan. Umumnya
kompos segar dan mentah mengandung kadar HA yang rendah dan kadar FA yang lebih tinggi
dibandingkan kompos matang dan kecenderungan serupa terjadi pada penelitian ini. Banyak
peneliti telah menyarankan indeks kematangan berdasarkan pemantauan kandungan humus, HA

8
dan FA. Namun, karena kandungan HA dan FA biasanya bervariasi tergantung dari sumber bahan
baku, namun penggunaannya terbatas sebagai indicator kematangan pada kompos yang berbeda.
Di antara indeks yang diusulkan, Jimenez dan Garcia (1992) melaporkan bahwa rasio CHA/CFA
adalah salah satu parameter terbaik yang terkait dengan tingkat kematangan kompos. Mereka
menilai bahwa nilai rasio CHA / CFA lebih tinggi dari 1,6 mengindikasikan kematangan kompos.
Tingkat perkecambahan dan indeks perkecambahan (GI) biasanya digunakan untuk
menilai fitotoksisitas kompos karena fitotoksisitas adalah masalah yang terkait dengan kompos
yang belum matang. Kompos semacam itu dapat mengandung berbagai senyawa logam berat,
amonia dan / atau senyawa organik berberat molekul rendah yang dapat mengurangi
perkecambahan biji dan juga menghambat pengembangan akar. Tingkat perkecambahan dan nilai
GI dari biji lobak meningkat seiring dengan waktu pengomposan (Gambar 7).

Nilai GI kompos pada tahap pengomposan awal sekitar 32-41 dan nilai indeks ini secara
signifikan (p <0,05) meningkat menjadi sekitar 121-125 pada akhir pengomposan. Hasil ini
menunjukkan bahwa tahap pengomposan awal dan aktif menghasilkan sejumlah senyawa amonia
dan toksik yang signifikan yang mempengaruhi perkecambahan dan perkembangan akar dan
perkembangan akar biasanya lebih sensitif daripada perkecambahan. Kompos dengan nilai GI
lebih besar dari 80% dianggap bebas fitotoksin dan memiliki kematangan yang tepat. Namun,
hasil yang diperoleh dengan menggunakan GI harus diinterpretasikan dengan hati-hati, karena GI
dipengaruhi oleh jenis benih yang digunakan dan tingkat ekstraksi yang diterapkan. Nilai GI di
atas 90 pada 28 hari (dipertimbangkan di bawah tahap pengomposan aktif) dan mencapai sekitar
120 pada akhir tahap pengomposan. Jika kompos dengan GI sekitar 90 diaplikasikan ke lahan
pertanian, maka akan menimbulkan efek negatif pada perkecambahan dan / atau pertumbuhan
tanaman. Oleh karena itu, disarankan nilai GI yang lebih sesuai yaitu lebih besar dari 110,
sebagai indikator kematangan untuk kompos karena nilai GI yang dilaporkan oleh peneliti
sebelumnya bukanlah nilai ambang yang sesuai untuk menentukan kematangan kompos.
Umumnya, beberapa kontaminan organik seperti amonia dan fenol hilang selama proses
pengomposan, namun sebagian besar logam berat cenderung tetap berada pada produk akhir, Ini
merupakan masalah yang sangat penting dari sudut pandang pertanian dan lingkungan. Oleh
karena itu, penting untuk mengevaluasi konsentrasi dan efek fitotoksik logam berat dalam

9
kompos. Konsentrasi logam berat yang dipilih (Cr, Ni, Cu, Zn, As, Cd dan Pb) pada kompos
pupuk kandang disajikan pada Tabel 1.

Konsentrasi rata-rata Zn adalah yang tertinggi, diikuti oleh Cu, Pb, As, Cr, Ni dan Cd
dalam kompos pada akhir proses pengomposan. Konsentrasi Zn dan Cu yang relatif tinggi pada
kompos sebagian besar berasal dari pakan ternak yang digunakan sebagai aditif yang
mengandung kadar Zn dan Cu tinggi. Selain itu, sebagian besar kandungan zat makanan Zn dan
Cu tidak diserap pada hewan tetapi diekskresikan dalam kotoran ternak. Konsentrasi Zn Cu, Pb
dalam komposisi kompos pada akhir tahap pengomposan secara signifikan lebih tinggi daripada
kompos pada tahap pengomposan awal (p <0,05). Konsentrasi Cr, Ni dan Pb dalam kompos
cenderung meningkat seiring waktu dan <40 mg / kg DM di semua kompos, sementara
konsentrasi As dan Cd dalam kompos berfluktuasi selama proses pengomposan). Perbedaan
kadar logam dalam kompos diakibatkan oleh variabilitas pupuk kandang, tidak homogennya
dalam persiapan kompos dan pencampuran, dan pengumpulan sampel untuk analisis. Mengingat
bahwa proses pengomposan menyebabkan hilangnya sekitar 40-50% massa awal, konsentrasi
logam meningkat seiring dengan pengomposan. Saat ini kualitas kompos diatur oleh UU
Pengendalian Pupuk di Korea. Sehubungan dengan logam berat, konsentrasi maksimum yang
diizinkan dalam kompos ditetapkan untuk Cd, Ni, As, Pb, Cr, Cu dan Zn, masing-masing dengan
nilai 5, 50, 50, 150, 300, 500 dan 900 mg / kg . Meskipun kandungan logam berat dari semua
kompos dalam penelitian ini berada di bawah tingkat batas yang diusulkan oleh badan pengawas,
pemantauan yang lebih sering dan standar ketat untuk logam berat diperlukan sehubungan
dengan kontrol kualitas kompos, karena kotoran ternak juga mengandung konsentrasi logam
berat yang tinggi.

KESIMPULAN
Menetapkan standar kualitas dan pengendalian mutu pupuk organik seperti kompos lebih sulit
daripada pupuk kimia. Kematangan kompos dan konsentrasi logam berat merupakan aspek yang
sangat penting dari kualitas kompos. Meskipun banyak parameter dan metode untuk
mengevaluasi kematangan kompos telah dilaporkan dalam penelitian lain, metode ini memiliki
keterbatasan dalam hal penerapannya pada kompos pupuk kandang. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa dengan menggunakan parameter tunggal seperti pH, rasio EC dan C / N sebagai indeks
kematangan kompos yang dibuat dari kotoran tidak tidak mencukupi. Juga temuan kami
menunjukkan bahwa kematangan kompos harus dinilai dengan mengukur dua atau lebih
parameter kompos, dan parameter kematangan kompos perlu memenuhi nilai ambang berikut:

10
rasio NH4 / NO3 <1.0, emisi NH3 <20 ppm, rasio HA / FA> 2.5 dan GI> 110. Mengingat bahwa
jika logam berat menumpuk di tanah dan dapat diserap oleh tanaman dan akhirnya masuk ke
rantai makanan, sehingga kebutuhan untuk menetapkan standar berat logam yang lebih ketat dan
mengembangkan sistem penjaminan mutu untuk kompos sangat signifikan.

11

Anda mungkin juga menyukai