Anda di halaman 1dari 3

TERDIDIK UNTUK MENDIDIK

Oleh Muhammad Isnaini Maarif

Berbicara soal pendidikan berarti kita sedang berbicara tentang merajut masa depan. Sejak
kecil, pendidikan sudah menjadi hal yang sangat berharga bagi saya. Berbagai perjuangan sudah
dilalui demi memperoleh pendidikan yang lebih baik. Perjuangan dimulai setelah menamatkan
sekolah dasar di kampung. Saat itu, orang tua menawarkan untuk melanjutkan pendidikan menengah
pertama di ibukota Kabupaten Aceh Tamiang. Letak kampung yang berjarak puluhan kilometer dari
pusat Kabupaten menjadi salah satu penyebab lemahnya kualitas pendidikan di daerah kami. Awalnya
terasa agak kesulitan, karena terpaksa harus hidup mandiri sebagai anak kos di usia 12 tahun. Sembari
membayangkan anak-anak lain seusia saya yang masih memiliki tingkat ketergantungan yang besar
terhadap kedua orang tua mereka. Namun saya yakin, tidak ada perjuangan yang sia-sia, negeri ini
juga tidak akan merdeka jika para pejuang kita dahulu hanya duduk santai saja.
Menjadi mandiri sejak usia muda akhirnya membuat terbiasa dengan berbagai kondisi serta
selalu berusaha untuk tidak bergantung kepada siapapun, termasuk kepada orang tua. Setelah
menamatkan SMP, akhirnya saya melanjutkan sekolah ke SMA yang juga tidak dekat dengan
kampung halaman. Kali ini tidak lagi tinggal di kamar kos, karena SMA tempat saya menimba ilmu
saat itu sudah dilengkapi dengan fasilitas asrama. Tiga tahun kemudian, saya akhirnya merantau ke
Ibukota Provinsi untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Jantong Hatee Rakyat Aceh,
Universitas Syiah Kuala.
Sejak awal kuliah, saya sudah tertarik dengan berbagai organisasi yang bergerak dalam
bidang pendidikan. Karena ketertarikan tersebut, saya sering dipercayakan sebagai koordinator saat
diadakannya kegiatan baik di kampus maupun di luar kampus. Menjadi bagian dari organisasi tertentu
memang memberikan banyak pengalaman dan ilmu yang tentunya tak pernah bisa didapat dalam
kelas. Saya meyakini bahwa organisasi bukan hanya sebagai pelengkap bagi mahasiswa, tetapi
merupakan bagian tak terpisahkan dalam pengembangan nilai dan moral seorang mahasiswa.
Kegiatan bakti sosial yang pertama saya lakukan adalah bakti sosial di Kampung Pulo,
Kemukiman Lamteuba, Kabupaten Aceh Besar. Kampung yang terletak tepat di kaki Gunung
Seulawah Agam ini dikaruniai tanah yang subur, sehingga mayoritas penduduknya bekerja sebagai
petani atau berkebun. Di awal survey kami menemukan bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan
pendidikan di kampung ini masih sangat rendah. Sebagian besar orang tua masih memiliki persepsi
bahwa anaknya lebih baik bekerja di kebun daripada sekolah. Sekolah dianggap tidak memberi
modal apapun sehingga banyak dari anak-anak mereka yang hanya mengenyam pendidikan sampai
tingkat sekolah dasar dan menengah saja.
Keadaan inilah yang menjadi tantangan kami untuk mengubah cara pandang masyarakat
Kampung Pulo terhadap pendidikan. Kegiatan bakti sosial yang berlangsung selama 7 hari kami
manfaatkan untuk bersosialisasi dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak-
anak di usia belajar. Akhir 2016 lalu, ketika berkesempatan mengunjungi Kampung Pulo kembali. Di
luar dugaan saya bertemu dengan salah satu murid yang pernah kami bimbing dulu. Ia masih ingat
betul nama-nama kami dan apa yang kami sampaikan terdahulu. Katanya, saat ini ia dan teman-
temannya sedang melanjutkan pendidikan dengan bidang yang berbeda, ada yang ke SMA, SMK,
dan ada pula yang ke Pesantren. Ia menceritakan dengan penuh antusias bahwa sejak bakti sosial lima
tahun yang lalu, semangat belajarnya terus tumbuh dari hari ke hari.
Pada tahun 2013 saya juga dipercayakan untuk menjadi ketua bakti sosial pasca gempa di
Tangse, Kabupaten Pidie. Ada banyak sekolah dan rumah penduduk yang mengalami kerusakan
ringan maupun berat, sehingga banyak anak-anak yang trauma dan enggan ke sekolah. Keadaan ini
yang menggerakkan saya dan dan teman-teman dari himpunan mahasiswa fisika (HIMAFI) untuk
memberikan terapi kepada anak-anak korban gempa berupa trauma healing. Trauma healing ini
bertujuan untuk menghilangkan gangguan psikologis yang dialami anak-anak pasca terjadinya gempa.
Anak-anak diajak tertawa dan bermain bersama. Melalui kegiatan ini, diharapkan dapat melupakan
hal-hal yang mengganggu pikiran mereka seperti ketakutan dan trauma sehingga kembali bersemangat
untuk kembali ke sekolah.
Tahun 2014, saya kembali terlibat sebagai relawan bidang pendidikan ketika terjadi banjir
bandang di Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara. Banjir yang disertai lumpur dan air bah menyebabkan
rusaknya berbagai fasilitas yang ada di sekolah dan juga rumah warga. Bahkan ada beberapa rumah
yang hanyut dan tidak bisa dihuni lagi pasca diterjang banjir. Setelah banjir surut, seluruh bangunan
yang ada di kawasan itu ditutupi oleh lumpur tebal. Saat itu, bersama relawan lain kami ikut terlibat
dalam gotong royong membersihkan lumpur tebal yang ada di sekolah. Diperlukan tenaga ekstra
untuk membersihkan lumpur agar kondisi sekolah kembali seperti sedia kala. Kegiatan bakti sosial ini
diakhiri dengan pembagian buku dan alat tulis kepada siswa korban banjir, mengingat sebagian besar
peralatan belajar mereka rusak dan sudah tidak layak dipakai lagi.
Semangat melaksanakan bakti sosial seperti terus tumbuh dalam jiwa saya. Semakin banyak
berbakti, semakin banyak pengalaman berharga yang bisa didapatkan. Saya juga belajar bagaimana
caranya bersyukur setelah beberapa kali melihat kondisi penduduk yang kurang beruntung di lokasi
bakti sosial. Tahun 2015 lalu, saya juga berpartisipasi sebagai relawan bagi anak-anak pengungsi
Rohingya di Lhokseumawe bersama teman-teman dari BEM Unsyiah. Anak-anak mengalami trauma
mendalam setelah terpaksa lari dari negara mereka di Myanmar. Meski komunikasi yang terjalin
sangat terbatas karena perbedaan bahasa, namun bakti sosial tetap berlangsung sesuai harapan. Bakti
sosial kali ini berfokus pada pengendalian trauma melalui pendekatan psikologis. Dalam kegiatan
tersebut, kami juga sempat mengajarkan beberapa kosakata Bahasa Indonesia kepada anak-anak untuk
memudahkan mereka melakukan komunikasi sederhana dengan orang-orang yang di sekitar mereka.
Saat ini, saya masih aktif mengajar di pondok yatim milik Yayasan Pos Keadilan Peduli Umat
(PKPU) Banda Aceh. Seluruh siswa yang belajar di pondok ini adalah anak-anak yang berasal dari
daerah tertinggal di provinsi Aceh. Meskipun berasal dari daerah, saya yakin anak-anak di pondok ini
memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Mereka belajar mandiri di usia yang jauh lebih
muda dari saya dulu. Tinggal sangat jauh dari orang tua di saat usia mereka masih ada yang di bawah
sepuluh tahun. Sebagian besar siswa bahkan sudah tidak lagi memiliki orang tua (Yatim Patu).
Meskipun begitu semangat mereka dalam menuntut ilmu masih sangat tinggi.
Dari serangkaian pengalaman yang sudah saya lalui, Saya percaya bahwa pendidikan
merupakan sebuah lingkaran proses abadi yang tidak ada habisnya. Mereka yang terdidik punya
kewajiban untuk mendidik, apapun bidangnya. Melalui pengabdian dan pendidikan kita akan
disadarkan untuk selalu bersyukur atas apa yang kita peroleh saat ini. Terlalu egois jika kita hanya
peduli untuk membahagiakan diri sendiri tanpa melihat keadaan sekitar. Mengutip kalimat CEO
Facebook, Mark Zuckerberg, dalam pidatonya di Harvard beberapa hari yang lalu, Menemukan
tujuan hidup Anda saja tidaklah cukup. Tantangan bagi generasi kita adalah bagaimana menciptakan
dunia dimana setiap orang memiliki tujuan hidup.

Banda Aceh, 15 Juni 2017

Anda mungkin juga menyukai