Lapkas R XIV RSPD Anemia
Lapkas R XIV RSPD Anemia
ANEMIA
COW:
dr. Olga Yanti Valentina Hutapea
Oleh :
Julius Tantono 130100002
Christopher Kenderick Deng 130100295
Rycha Dwi Syafutri 130100071
Rizkia Pratiwi 130100073
Abirami Muthukumaru 130100384
COW Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
Anemia.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Chief of Ward
dr. Olga Yanti Valentina Hutapea yang telah meluangkan waktunya dan memberikan
banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus
selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................................................. 2
1.3. Manfaat ............................................................................................................... 2
iii
BAB 6 KESIMPULAN ................................................................................................. 30
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
BAB I
PENDAHULUAN
5
vitamin A, peradangan kronis, infeksi parasit, dan kelainan bawaan semuanya dapat
menyebabkan anemia2.
Oleh karena itu, penegakkan diagnosis anemia bukan sekadar pada label tetapi
harus ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut karena seringkali
penyakit dasar tersebut tersembunyi. Penentuan penyakit dasar penting dalam
pengelolaan kasus anemia karena tanpa mengetahui penyebab, tidak dapat diberikan
terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut1.
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembahasan laporan kasus ini adalah :
1. Mengerti dan memahami tentang anemia
2. Dapat mengintegrasikan teori terhadap pasien dengan anemia
3. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepaniteraan Klinik Program
Pendidikan Profesi Dokter di Departeman Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis serta masyarakat secara umum
agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai Anemia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anemia
2.1.1. Definisi
Anemia adalah kondisi dimana jumlah sel darah merah (dan secara konsekuen
kapasitas transpor oksigen) yang tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh.
Kebutuhan fisiologis spesifik berbeda bagi setiap orang bergantung pada umur, jenis
kelamin, ketinggian daerah tempat tinggal diukur dari permukaan laut, kebiasaan
merokok, dan tahap kehamilan.4 Adapun definisi anemia yang lain adalah kondisi
tubuh yang ditandai dengan penurunan jumlah sel darah merah, sering diikuti dengan
penurunan kadar hemoglobin atau perubahan morfologi sel darah merah. 5 Pendapat
ahli lain juga menyebutkan disebut anemia jika konsentrasi hemoglobin dalam
eritrosit atau hematokrit berada dibawah 95% interval referensi yang ditetapkan
berdasarkan umur, jenis kelamin, dan perbedaan lokasi.6
2.1.2. Etiologi
Anemia dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara global, penyebab anemia
terbanyak adalah defisiensi zat besi, sehingga istilah iron deficiency anemia (IDA)
dan anemia sering digunakan secara bersinonim.7 Anemia dapat disebabkan oleh
hanya satu faktor seperti defisiensi zat besi maupun multifaktor.Selain defisiensi zat
besi, anemia juga dapat disebabkan oleh8 :
1. Kehilangan eritrosit.
2. Penurunan produksi eritrosit.
3. Peningkatan destruksi eritrosit.
4. Umur eritrosit yang memendek.
5. Kekurangan nutrisi.
6. Supresi produksi eritrosit akibat penggunaan obat-obatan.
7. Anemia akibat penyakit kronis.
8. Phlebotomy.
9. Perdarahan akut ataupun kronis.
2.1.3. Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan tiga sudut pandang : patogenesis,
morfologi eritrosit, dan manifestasi klinis. Berikut penjabaran klasifikasi anemia9:
1) Berdasarkan patogenesis
a. Regenerative anemia
Ditandai dengan adanya peningkatan produksi Erythropoietin (EPO) sebagai
respon terhadap menurunnya kadar hemoglobin dalam darah dan secara umum
8
sebagai respon terhadap kehilangan eritrosit yang disebabkan oleh perdarahan.
Penyebabnya adalah : perdarahan akut maupun kronis, anemia hemolitik
(herediter, didapat, maupun akibat obat-obatan).
b. Hypo-regenerative anemia
Disebabkan oleh kelainan pada sel progenitor dalam sumsum tulang, dan dapat
terjadi pada berbagai tahap diferensiasi dan maturasi sel progenitor. Kelainan
pada sel induk puripoten dapat menyebabkan pancytopenia (anemia, leukopeni,
dan trombositopenia).
2) Berdasarkan morfologi
Petugas medis menggunakan skala MCV (Mean Corpuscular Volume) untuk
membedakan anemia mikrositik (MCV<82 fL), normositik (MCV=82-98fL),
makrositik (MCV>98fL). MCV memiliki hubungan dengan MCH (Mean
Corpuscular Hemoglobin) yang memiliki interval normal 27-32 pg menunjukkan
rata-rata kadar hemoglobin dalam eritrosit. MCH concentration menunjukkan
konsentrasi hemoglobin dalam eritrosit dalam persen (normalnya 32%-36%).6,9
a. Anemia mikrositik
Tiga penyebab utama adalah IDA, thalassemia, dan anemia akibat penyakit
kronis (ACD). IDA merupakan penyebab terbanyak anemia mikrositik. Hal ini
ditandai dengan Transferrin Saturation Index (TSI) < 16%. Jika nilai ferritin dan
TSI normal, namun ditemukan kadar HbA2 dan HbF yang meningkat, maka
diagnosanya adalah thalassemia. Jika pada pemeriksaan Hb electrophoresis
ditemukan Hb normal, maka anemia disebabkan oleh penyakit kronis.
b. Anemia Normositik
Untuk menentukan diagnosis selanjutnya diperlukan nilai RPI (Reticulocyte
Production Index). Nilai RPI >3 sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan
occult blood dan jika hasilnya positif menandakan adanya perdarahan pada
saluran pencernaan, sedangkan jika negatifdilanjutkan dengan coomb test untuk
mengetahui apakah anemia hemolitik disebabkan autoimmune atau bukan. Jika
nilai RPI <3, maka dilanjutkan dengan biopsi sumsum tulang. Peningkatan
jumlah sel menunjukkan anemia yang disebabkan oleh penyakit kronis,
sedangkan penurunan jumlah sel menunjukkan adanya anemia aplastik.
9
c. Anemia makrositik
Nilai RPI <3 perlu dilanjutkan dengan myelogram. Penyebab anemia makrositik
adalah defisiensi folat, defisiensi cobalamin, hipoplastik, maupun
myelodisplastik.9
10
dingin, pucat, serta penurunan tekanan
darah, cardiac output, dan venous pressure
Asidosis laktat, syok, dapat berujung pada
2000-2500 40-50
kematian
Anemia akibat kehilangan darah yang kronis sering dikaitkan dengan gangguan
saluran cerna, menstruasi yang berlebihan, dan masalah pada saluran kemih. Kehilangan
darah yang kronis dan kontinu tidak menyebabkan perubahan pada volume
intravaskkular. Regenerasi eritrosit berjalan lebih lambat daripada kehilangan darah
sehingga kadar retikulosit dapat normal maupun sedikit meningkat. Gejala anemia tidak
tampak sampai cadangan zat besi habis. Mula-mula anemia yang terjadi adalah
normositer normokromik, namun seiring berjalannya waktu dan kehilangan darah yang
berkelanjutan, akan berkembang menjadi anemia mikrositer hipokromik. Pada keadaan
ini, preparat besi dapat diberikan sebagai suplemen akibat kekurangan zat besi.6
11
tulang kongenital). Seperti yang telah diutarakan diatas, anemia aplastik berhubungan
dengan sistem imun, dimana terjadi aktivasi sel T sitotoksik. Hal ini menyebabkan
kondisi autoimun dimana sel T menyerang kompartemen hematopoiesis sehingga
menciptakan kondisi yang menyebabkan kesulitan atau ketidakmampuan sel pluripotent
untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel darah. Serangan imun dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi sumsum tulang. Warna pucat pada biopsi dan
jumlah koloni yang bersasal commited progenitor minimal, menunjukkan reduksi sel
hematopoietik yang parah. Respon terhadap imunosupresi telah memberikan bukti
terbaik yang mendukung studi anemia aplastik disebabkan oleh patofisiologi akibat
imunitas. Karakteristik anemia aplastik adalah terjadinya pansitopenia (anemia,
leukopenia, trombositopenia). Manifestasi klinis yang ditimbulkan bergantung pada
derajat keparahan. Trombositopenia dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah,
neutropenia dapat menyebabkan mudah terjangkit infeksi, dan anemia dapat
menimbulkan gejala-gejala yang sama pada anemia secara umum.6,10,11
12
Dapat terjadi akibat reseksi gaster, diare kronis, celiac disease, dll. Untuk
memahami ADB, perlu dipahami metabolisme zat besi oleh tubuh. Zat besi diserap oleh
usus dalam bentuk Fe2+. Makanan lebih banyak mengandung Fe3+, sehingga perlu
direduksi terlebih dahulu. Asam lambung berperan dalam melarutkan zat besi sehingga
dapat bereaksi dengan asam askorbat atau zat lain untuk proses reduksi. Hampir seluruh
proses absorpsi terjadi didalam duodenum melalui divalent metal transporter 1
(DMT1). Sebagian Fe disimpan dengan berikatan dengan ferritin, sebagian lagi
ditrasnpor menuju pembuluh darah yang akan berikatan dengan transferrin. Normalnya
transferrin hanya tersaturasi 35% oleh zat besi dan kadar zat besi plasma normal adalah
130 g/dL pada pria dan 110 g/dL pada wanita.13
13
terhadap eritropoietin. Terapi utama pada anemia akibat penyakit kronis bergantung
pada penyakit dasarnya. Beberapa pilihan terapi**:
1. Transfusi
2. Preparat besi
3. Eritropoietin
2.1.5. Diagnosis
Diagnosis utama dari seluruh jenis anemia adalah dengan mengukur kadar Hb
darah. Jika Hb terukur lebih rendah dari batas normal, maka diagnosanya anemia. Untuk
mengetahui jenis anemia, maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut berikut:
14
Gambar 2.3 Bagan Diagnosis Anemia Normositik9
15
Gambar 2.5 Bagan Diagnosis Anemia Makrositik9
Keterangan : RPI = Reticulocyte Production Index.
2.2. Tatalaksana pada Pasien Anemia
2.2.1. Anemia Defisiensi Besi17
Setelah Diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi
terhadap anemia defisiensi besi adalah:
a. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan
cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagi. Terapi kausal
harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement theraphy):
Terapi Besi oral. Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh
karena efektif, murah, dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous
sulphat (sulfas ferosus) yang merupakan preparat pilihan pertama karena
paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3x 200 mg. Setiap 200
16
mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental (Fe). Pemberian
sulfas ferosus 3x 200 mg memberikan absorpsi besi 50 mg per hari yang
dapat meningkatkan eritropoesis 2-3 kali normal.
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek
samping lebih sering terjadi dibandingkan dengan pemberian setelah
makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat
diberikan setelah makan atau saat makan. Untuk meningkatkan
penyerapannya dapat diberikan juga preparat vit C. Selain itu bisa juga
dianjurkan ke pasien untuk mengkonsumsi diet yang mengandung besi
seperti hati dan daging.
Efek samping utama besi per oral adalah gangguan GI yang dijumpai
pada 15 sampai 20% , yang sangat mengurangi kepatuhan pasien.
Keluhan ini dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi. Pengobatan
besi diberikan biasanya 3 hingga 6 bulan, ada juga yang menganjurkan
selama 12 bulan, setelah kadar Hb normal untuk mengisi cadangan besi
tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan 100 mg sampai 200 mg. Jika
tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering muncul kembali.
Terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi
mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena
risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu.
Indikasi pemberian besi parenteral adalah: (1) intoleransi terhadap
pemberian besi oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah; (3)
gangguan pencernaan seperti kolitis ulceratif yang dapat kambuh jika
diberikan besi; (4) penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada
gastrektoi; (5) keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga
tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti pada
hereditary hemorrhagic teleangictasia; (6) kebutuhan besi yang besar
dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trisemester 3 atau sebelum
operasi; (7) defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian
ertropoeitin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit
kronik.
17
Besi parenteral diberikan secara IM atau secara IV pelan. Pemberian
secara IM memberikan rasa sakit dan memberikan warna hitam pada
kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis,
meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala,
flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop. Terapi besi parenteral
bertujuan untuk mengembalikan kadar Hb dan mengisi besi sebesar 500
sampai 1000 mg.
c. Transfusi darah. Anemia defisiensi besi jarang memerlukan transfusi darah.
Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah:
Adanya penyakit jantung anemik dengan ancamna gagal jantung
Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing
yang sangat menyolok
Pasien memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat seperti pada
kehamilan trisemester akhir atau preoperasi.
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell) untuk mengurangi
bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian
furosemid IV.
2.2.2. Anemia Megaloblastik
Evaluasi biasanya dapat dilakukan pada pasien rawat jalan. Pengobatan
tergantung pada etiologi makrositosis, keberadaan dan tingkat keparahan anemia, dan
gejala yang ditimbulkan. Setelah kajian laboratorium yang sesuai diperoleh, pasien
anemia dapat ditransfusi dengan PRC apabila dalam keadaan darurat (dekompensasi,
rencana operasi segera). Jika suatu obat diperkirakan menjadi penyebab anemia
makrositik, terutama jika hemolisis yang terjadi, hentikan pemberian obat tersebut.
Pasien kekurangan vitamin B12 atau folat harus mendapatkan terapi pengganti, asam
folat 1 mg/ hari dapat diresepkan pada pasien dengan defisiensi folat. Injeksi IM vitamin
B12 (100-1000 mcg per bulan), berlangsung terus menerus, dapat diberikan.
18
Gambar 2.6. Alrgoritme untuk Evaluasi Anemia Makrositik
Keterangan gambar: MMA (Methylmalonic acid), Hcy (Homosistein), B9 (folat)
2.2.3. Anemia Penyakit Kronis19
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya.
Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain:
a. Transfusi. Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan
hemodinamik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar Hb berapa kita harus
memberi transfuse. Beberapa literature disebutkan bahwa pasien anemia
penyakit kronik yang terkena MCI, transfuse dapat menurukan angka kematian
secara berkala. Demikian juga pada pasien anemia akibat kanker, sebaiknya
kadar Hb dipertahankan 10-11 gr/dl.
b. Preparat besi. Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronis masih terus
dalam perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan
alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-. Alasan lain, pada penyakit
inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat meningkatkan kadar
Hb. Terlepas dari adanya pro dan kontra, sampai saat ini pemberian preparat besi
masih belum direkomendasikan untuk deiberikan pada anemia pada penyakit
kronis.
19
c. Eritropoietin. Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoeitin
bermanfaat dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien anemi akibat
kanker, gagal ginjal, myeloma multiple, arthritis rheumatoid, dan pasien HIV.
Selain dapat menghindari tranfusi beserta efek sampingnya, pemberian
eritropoeitin mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi
TNF- dan interferon-. Dilain pihak, pemberian eritropoeitin akan menambah
proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala
dan leher.
2.2.4. Anemia Aplastik20
Sebenarnya terapi definitf untuk anemia aplastic adalah transplantasi sumsum
tulang (TST). Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok
(mached sibling donor), dan faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban
transfuse harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik
mendapatkan terapi TST. Pasien berusia lebih dari 20 tahun dengan diftek neutrophil
200-500/mm3 tampaknya lebih mendapat manfaat dari imunosupresi dibandingkan TST.
Secara umum pasien dengan diftel neutrophil yang sangat rendah cendurung lebih baik
dengan TST, karena dibutuhkan waktu yang lebih pendek untuk resolusi neutropenia
(harus diingat bahwa neutropenia pada pasien yang mendapat terapi imunosupressif
mungkin baru membaik setelah 6 bulan).
20
2.2.4.1. Terapi Konservatif
Terapi Imunosupresif
Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi terpenting untuk
sebagian besar pasien anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk dalam terapi
imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte
globulin (ALG) dan siklosporin A (CsA). Mekanisme kerja ATG atau ALG pada
kegagalan sumsum tulang tidak diketahui dan mungkin melalui:
Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal.
Stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.
Regimen imunosupresi yang paling sering dipaki adalah ATG equine
(ATGam dosis 20 mg/ kg per hari selama 4 hari) atau ATG lepus (thymoglobulin
dosis 3,5 mg/kg per hari selama 5 hari) tambah CsA (12-15 mg/kg,bid)
umumnya selama 6 bulan. ATG atau ALG diindikasikan pada: 1). Anemia
aplastic bukan berat, 2). Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang
cocok, 3). Anemia aplastic berat yang berumur lebih dari 20 tahun, dan pada saat
pengobatan tidak terdapt infeksi atau perdarahan atau dengan granulosit lebih
dari 200/mm3.
Tabel 2.4. Penyebab Kegagalan Terapi dan Relaps pada Anemia Aplastik
21
Risiko perdarahn meningkat bila trombosit kurang dari 20.000/ mm3
(profilaksis). Pada mulnya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit
konsetrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zan anti terhadap trombosit
donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang
tua atau saudara kandung) atau pemberian gammaglobulin dosis terapi.
Timbulnya sensitisasi dapat diperlambat dengan menggunakan donor tunggal.
Pemberian transfuse leukosit sebagai profilaksis masih kontrovesial dan
tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya.
Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek. Pada infeksi berat,
khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotic masih diutamakan.
2.2.5. Anemia Hemolitik21
2.2.5.1. Anemia Hemolitik Tipe Hangat
a. Kortikosteroid: 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan
menunjukkan respons klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes
coombs direk positif lemah, tes coomb indirek negatif). Nilai normal dan stabil
akan tercapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respons terhadap
steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari.
Terapi steroid dosis < 30mg/ hari dapat diberikan secara selang sehari.
b. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan
penurunan dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi.
Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah.
Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan
dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih
besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama.
c. Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon
yang cukup baik sebagai salvage theraphy. Dosis rituximab 100 mg per minggu
selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh. Beberapa
literature menganjurkan rituximab 375/m2 hari 1, 8, 15, 21.
d. Imunosupresi. Azathiprin 50-200 mg/ hari (80 mg/m2), siklofosfamid 50-150
mg/hari (60 mg/m2)
e. Terapi transfuse: terapi transfuse bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada
kondisi yang mengancam jiwa (missal Hb 3 gr/dl) transfuse dapat diberikan,
sambil menunggu efek steroid dan Ig.
22
2.2.5.2. Anemia Hemolitik Tipe Dingin
Plasmaferesis untuk mengurangi antobodi IgM secara teoritis bisa menurangi hemolisis,
namun secara praktik hal ini sukar dilakukan.
23
BAB 3
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Sulastri
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : sudah menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Dusun V Desa Bintang Merah Kel. I, Kec. Batang Kuis
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Badan Lemas
24
bersifat hiang timbul dan dirasakan mengisap terutama
jika telat makan. Os mengaku suka makan makanan
pedas. Demam dijumpai dan dialami selama 3 hari dan os
berobat ke bidan dan diberi obat penurun demam.
Penurunan nafsu makan dialami oleh os diikuti dengan
penurunan BB 3 kg. BAB hitam juga dikeluhkan oleh
os. Konsistensi BAB lunak. BAB berlendir disangkal.
Perubahan pola defekasi disangkal. Nyeri saat BAB
disangkal. BAK dalam batas normal dengan volume 1
botol aqua besar (1500cc/24jam). Riwayat berpergian
keluar kota disangkal. Riwayat DM dan Hipertensi
disangkal.
RPT : -
RPO : Paracetamol
ANAMNESA ORGAN
Jantung
Sesak nafas :(-) Edema :(-)
Angina pectoris :(-) Palpitasi :(-)
Lain-lain :(-)
Saluran Pernafasan
Batuk-batuk :(-) Asma, bronkitis: ( - )
Dahak :(-) Lain-lain :(-)
Saluran Pencernaan
Nafsu makan : Penurunan BB :
Keluhan mengunyah : ( - ) Keluhan defekasi: ( - )
Keluhan perut :(+) Lain-lain :(-)
Saluran Urogenital
Sakit buang air kecil : ( - ) BAK tersendat : ( - )
Mengandung batu :(-) Keadaan urin : ( - )
Haid :(-) Lain-lain :(-)
25
Keluhan persendian :(-) Lain-lain :(-)
Endokrin
Haus/Polidipsi :(-) Gugup : (- )
Poliuri :(-) Perubahan suara : ( - )
Polifagi :(-) Lain-lain :(-)
Saraf Pusat
Sakit kepala :(-) Hoyong : (-)
Lain-lain :(-)
Sirkulasi Perifer
Claudicatio intermitten : ( - ) Lain-lain :(-)
ANAMNESA FAMILI : Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama
Anemia (+), Ikterus (-), Dispnoe (-), Sianosis (-), Edema (-), Purpura (-)
Turgor Kulit : Sedang
Keadaan Gizi : Baik Berat Badan : 52 kg
Tinggi Badan : 160 cm
26
BMI = 20.3 kg/m2
Kesan : Normoweight
KEPALA
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+), ikterus (-/-), pupil isokor, ukuran
3mm/3mm, refleks cahaya direk (+/+)/indirek (+/+), kesan : Anemis
Lain-lain : ( - )
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Lidah : Dalam batas normal
Gigi geligi : Dalam batas normal
Tonsil/Faring : Dalam batas normal
LEHER
Struma tidak membesar, tingkat : (-)
Pembesaran kelenjar limfe : (-)
Posisi trakea : Medial, TVJ : R- 2 cmH2O
Kaku kuduk : ( - ), lain-lain : (-)
THORAX DEPAN
Inspeksi
Bentuk : Simetris fusiformis
Pergerakan : Ketinggalan bernafas ( - )
Lain-lain : (-)
Palpasi
Nyeri tekan :(-)
Fremitus suara : Stem Fremitus Kiri = Kanan, Kesan : Normal
Iktus : Teraba pada ICS V, 2cm LMCS
27
Perkusi
Paru
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Batas Paru Hati R/A : ICS IV-V
Peranjakan : 1cm
Jantung
Batas atas jantung : ICS II LMCS
Batas kiri jantung : ICS IV LMCS
Batas kanan jantung : ICS IV LPSD
Auskultasi
Paru
Suara pernafasan :Vesikuler pada kedua lapangan paru
Suara tambahan :-
Jantung
M1>M2,P1>P2,T1>T2, A1>A2,P2>A2, desah diastolik (-), S3 gallop (-), lain-
lain (-) HR:80x/menit, reguler, intensitas: cukup
THORAX BELAKANG
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Stem Fremitus Kanan = Kiri. Kesan : Normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru. Kesan : Normal
Auskultasi : Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : -
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : Simetris
Gerakan lambung/usus : Tidak terlihat
Vena kolateral :(-)
Caput medusa :(-)
Palpasi
DINDING ABDOMEN : Soepel, H/L/R tidak teraba, nyeri epigastrik
28
HATI
Pembesaran : (-)
Permukaan : (-)
Pinggir : (-)
Nyeri tekan : (-)
LIMPA
Pembesaran :(-)
GINJAL
Ballotement :(-)
UTERUS / OVARIUM : ( - )
TUMOR :(-)
Perkusi
Pekak hati :(+)
Pekak beralih :(-)
Auskultasi
Peristaltik usus : Normoperistaltik
Lain-lain : (-)
PINGGANG
Nyeri ketuk sudut kosto vertebra : (-)
INGUINAL : Tidak dilakukan pemeriksaan
GENITALIA LUAR : Tidak dilakukan pemeriksaan
PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT)
Perineum : intak
Sphincter Ani : ketat
Lumen : licin
Mukosa : reguler
Sarung tangan : feses berwarna hitam
29
ANGGOTA GERAK ATAS ANGGOTA GERAK BAWAH
Kiri Kanan
Deformitas sendi : (-) Edema : - -
Lokasi : (-) Arteri femoralis : + +
Jari tabuh : (-) Arteri tibialis posterior : + +
Tremor ujung jari : (-) Arteri dorsalis pedis : + +
Telapak tangan sembab : (-) Refleks KPR : ++ ++
Sianosis : (-) Refleks APR : ++ ++
Eritema Palmaris : (-) Refleks fisiologis : ++ ++
Lain-lain : (-) Refleks patologis : - -
Lain-lain : - -
30
RESUME
KU : Malaise
Telaah : dialami dalam 1 minggu SMRS. Nausea (+) dan
vomitus (+) dengan frekuensi 4 kali. Nyeri
epigastrik (+). Os suka makan makanan pedas.
ANAMNESA Febris (+). Anoreksia (+) diikuti penurunan BB.
Melena (+).
RPT : Tidak ada
RPO : Paracetamol
Status Presens
Sensorium : Compos Mentis
TD : 100/660 mmHg
HR : 90 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 37.6 C
Pemeriksaan Fisik
Kepala
PEMERIKSAAN FISIK
- Mata : anemis (+/+)
-Leher :dbn
-THT :dbn
Thorax : dbn
Abdomen : palpasi : nyeri epigastrik
Ekstremitas : Oedem (-/-)
Genitalis : tdp
31
Darah : Hb : 8.7 g/dL (Anemia)
LABORATORIUM
Kemih : -
RUTIN
Tinja : -
1. Anemia ec PSMBA
2. Anemia def. besi
DIAGNOSA BANDING
3. Anemia hemolitik
4. Anemia ec perdarahan dd penyakit kronis
DIAGNOSA
Anemia ec PSMBA
SEMENTARA
Medicamentosa :
- Inj. Omeprazole 40 mg/ 12 jam/ IV
- Inj. Transamin 500mg/ 8 jam / IV
- Sucralfat Syr 3x CII
32
BAB 4
FOLLOW-UP PASIEN
Tanggal S O A P
17 - 19 BAB hitam Sensorium : CM - Anemia ec - Tirah Baring
Juni (+), nyeri TD : 110/60 - Diet MB TKTP
PSMBA
2017 ulu hati (+) 120/80 mmHg - IVFD NaCl
HR : 80-96x/menit - Anemia def. 0.9% 20 gtt/i
RR : 22-24x/menit (makro)
besi
T : 36,3-36,5C - Inj. Omeprazole
- Anemia 40 mg / 12 jam /
KEPALA IV
hemolitik
Mata : - Inj. Transamin
- konjungtiva - Anemia ec 50 mg / 8 jam /
anemis (+/+) perdarahan IV
- sklera ikterik (-/-) dd penyakit - Sucralfat syr 3 x C
kronis II
Leher :
- TVJ R-2cm H2O
R/
Thorax : - Anemia profile
- SP : vesikular - Gastroskopi
- ST (-) - Feses Rutin
Abdomen :
- Soepel, simetris,
H/L/R tidak
teraba,
normoperistaltic,
nyeri epigastrik
(+)
Extremitas :
- Edema (-/-)
33
20 Juni BAB hitam Sensorium : CM - Anemia ec - Tirah Baring
2017 (-),nyeri ulu TD : 110/60 mmHg - Diet MB TKTP
PSMBA
hati (-) HR : 84 x/menit - IVFD NaCl
RR : 20 x/menit - Anemia def. 0.9% 20 gtt/i
T : 36,5C (makro)
besi
- Inj. Omeprazole
KEPALA - Anemia 40 mg / 12 jam /
Mata : IV
hemolitik
- konjungtiva - Inj. Transamin
anemis (+/+) - Anemia ec 50 mg / 8 jam /
- sklera ikterik (-/-) perdarahan IV
dd penyakit - Sucralfat syr 3 x C
Leher : kronis II
- TVJ R-2cm H2O
Thorax :
- SP : vesikular
- ST (-)
Abdomen :
- Soepel, simetris,
H/L/R tidak
teraba,
normoperistaltic,
nyeri epigastrik
(-)
Extremitas :
- Edema (-/-)
34
BAB 5
DISKUSI KASUS
No TEORI KASUS
35
3 Pemeriksaan Fisik Pada pasien dijumpai:
Hipotensi Febris
Takikardia Tachypnea
Ekstrimitas Dingin Nyeri Epigastrium
Anemis
Pucat
Asidosis Laktat
Shock
Tachypnea
36
BAB 6
KESIMPULAN
Seorang perempuan berusia 21 tahun mengalami keluhan badan lemas selama 1
minggu terakhir disertai BAB berwarna hitam. Keluhannya juga disertai dengan
demam, nyeri epigastrium, dan kurangnya nafsu makan Hasil laboratorium darah
menunjukan anemia.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi 7, Internal Publishing: 2014; 632.
2. World Health Organization. Health Topic: Anaemia. WHO. Diakses tanggal 19
Juni 2017. [http://www.who.int/topics/anaemia/en/].
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar Indonesia (Riskesdas).2013; 256.
4. WHO. Haemoglobin Concentrations for The Diagnosis of Anaemia and
Assessment of Severity [internet]. 2011 [cited 2016 May 14] available from
http://www.who.int./vmnis/indicators/haemoglobin.pdf.
5. Nicholas JK, Rashmi J, Mohsen N, Sarah KW, Nicole J, Rafael L, et al. A
Systematic Analysis of Global Anemia Burden From 1990-2010. Blood. 2014;
123(5): 615-624.
6. Marry LT. Clinical Hematology Theory and Procedures. 5th edition. Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins; 2012.
7. WHO. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993-2005. World Health
Organization; 2008.
8. Michael T, McEvoy RN, Aryeh S. Anemia, Bleeding, and Blood Transfusion in
The Intensive Care Unit : Causes, Risks, Costs, and New Strategies. Am J Crit
Care. 2013;22:eS1-eS14.
9. Jose AMC, Maria SRC, Martin GM, editors. Classification of anemia for
gastroenterologists. World J Gastroenterol [internet]. 2009 October 07
[cited 2016 May 15]; 15(37): 4627-4637 available from :
http://dx.doi.org/10.3748/wjg.15.4627.asp.
10. Neal SY. Pathophysiologic Mechanisms in Acquired Aplastic Anemia. Blood.
2006; pp 72-77.
11. Neal SY, Rodrigo TC, Phillip S. Current Concepts in The Pathophysiology and
Treatment of Aplastic Anemia. Blood [internet]. 2006 [cited 2016 May 16];
108:2509-2519. Available from : http:// doi.org/10.1182/blood-2006-03-010777.
12. James LH, Marcel EC, Emmanuel CB. Iron Deficiency Anemia. Medscape J
Med [internet].2015 November 07 [cited 2016 May 16] available from :
http://emedicine.medscape.com/article/202333-overview.
38
13. Kim EB, Susan MB, Scott B, Heddwen LB. Ganongs Review of Medical
Physiology. 24th edition. Chicago : The McGraw Hill; 2012.
14. Gunter W. Pathogenesis and Treatment of Anaemia of Chronic Disease. Blood
Reviews. 2002; 16:87-96.
15. Stanley LS. Selected Advances in Hematology : Ineffective Erythropoiesis;
Pathogenesis of Megaloblastic Anemia; Hemostasis and Coagulation. Palo alto.
1964 May; 100(5):343-350.
16. Gurpreet D, Patricia AC, Lawrence MTJr. Hemolytic Anemia. Am Fam
Physician. 2004;69(11):2599-2606.
17. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda GT. Anemia Defisiensi Besi pada Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam edisi 7, Internal Publishing: 2014; 2589-2599.
18. Effendy S. Anemia Megaloblastik pada Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 7,
Internal Publishing: 2014; 2600-2606.
19. Supandiman I, Fadjari H. Anemia Megaloblastik pada Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi 7, Internal Publishing: 2014; 2642-2645.
20. Widjanarko A, Sudoyo AW, Salonder H. Anemia Megaloblastik pada Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam edisi 7, Internal Publishing: 2014; 2646-2656.
21. Taroeno-Hariadi KW, Pardjono E. Anemia Hemolitik Autoimun pada Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam edisi 7, Internal Publishing: 2014; 2607-2613.
39