Jovi SP Blok 17
Jovi SP Blok 17
Jovei Kurniadi
102013160
Pendahuluan
Infeksi hepatitis B virus (HBV) adalah infeksi tersering dari hepatitis kronik yang ada
di seluruh dunia, merupakan masalah kesehatan masyarakat utama yang menginfeksi sekitar
360 juta orang di seluruh dunia. Transmisi dari ibu ke anak bertanggung jawab lebih dari
sepertiga dari infeksi HBV kronis di seluruh dunia. Dalam rangka memotong transmisi
infeksi Hepatitis B tersebut atau transmisi vertikal, maka kunci utama adalah imunisasi
Hepatitis B segera setelah lahir, terutama pada bayi-bayi dengan ibu yang memiliki status
HbsAg positif. Diperkirakan 15%-40% dari orang yang terinfeksi secara kronis mengalami
komplikasi terkait HBV, seperti sirosis dan karsinoma hati, dan 25% meninggal karena
komplikasi tersebut. Indonesia adalah negara endemis tinggi Hepatitis B dengan prevalensi
HbsAg positif di populasi antara 7-10%. Pada kondisi seperti ini, transmisi vertikal dari ibu
yang berstatus HbsAg positif ke bayinya memegang peranan penting. Di lain pihak, terdapat
perbedaan patofisiologi antara infeksi Hepatitis B yang terjadi pada awal kehidupan dengan
infeksi Hepatitis B yang terjadi pada masa dewasa. Infeksi yang terjadi pada awal kehidupan,
atau bahkan sejak dalam kandungan (transmisi dari ibu dengan HBsAg positif), membawa
resiko kronisitas sebesar 80-90%.1
Resiko kematian yang terjadi pada infeksi HBV biasanya berhubungan dengan kanker
hati kronis atau sirosis hepatis yang terdapat pada 25% penderita yang secara kronis
terinfeksi sejak kecil. Jika tidak terinfeksi pada masa perinatal, maka bayi dari ibu HBsAg
positif tetap memiliki resiko tinggi untuk mengidap infeksi virus Hepatitis B kronis melalui
kontak orang ke orang (transmisi horizontal) pada 5 tahun pertama kehidupannya Sedangkan
infeksi pada masa dewasa yang disebabkan oleh transmisi horizontal memiliki resiko
kronisitas hanya sebesar 5%.1
Berdasarkan imunopatogenesis Hepatitis B, infeksi kronis pada anak umumnya bersifat
asimtomatik. Di satu pihak, anak tersebut tidak menyadari bahwa dirinya sakit. Di pihak lain,
anak tersebut merupakan sumber penularan yang potensial.1
Dalam rangka memotong transmisi infeksi Hepatitis B, maka kunci utama adalah
imunisasi Hepatitis B segera setelah lahir, terutama pada bayi-bayi dengan ibu yang memiliki
status HbsAg positif.1
1
Virus lain yang menyebabkan hepatitis yang tidak dapat dimasukkan ke dalam
golongan agen yang telah diketahui dan penyakit terkait dinyatakan sebagai hepatitis non A-
E. Virus lain yang telah diketahui sifatnya dapat menyebabkan hepatitis sporadik, seperti
demam kuning, sitomegalovirus, virus Epstein-Barr, virus herpes simpleks, virus rubela, dan
enterovirus. Virus hepatitis menimbulkan peradangan hati akut, memberikan gambaran klinis
penyakit berupa demam, gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, serta ikterus. Tanpa
memandang tipe virus, lesi histopatologi yang identik ditemukan pada hati selama penyakit
akut.2
Skenario Kasus
Seorang bayi cukup bulan lahir secara spontan pervagina dari seorang ibu dengan suspek
Hepatitis B.
Anamnesis
1. Identitas.
2. Keluhan utama.
3. Riwayat penyakit sekarang.
4. Riwayat penyakit dahulu.
5. Riwayat penyakit keluarga.
6. Riwayat pemakaian obat.
7. Riwayat kebiasaan & lingkungan sosial.
8. Riwayat kehamilan.
Dalam proses anamnesis, tanyakan keluhan apa yang mendorong pasien datang
berobat, apakah mual, nyeri perut, kembung, mata kuning, perut bengkak, dan sebagainya.
Infeksi virus hepatitis B memiliki keluhan yang mirip dengan penyakit lambung.Untuk
membedakannya dokter perlu mempertanyakan bagaimana warna air kencingnya.Pada
hepatitis B biasanya air kencing berwarna seperti air teh. Saat anamnesis perlu juga melihat
sekilas warna mata pasien apakah menguning atau tidak.3
Pada penyakit hepatitis B, mata kuning dijumpai pada sepertiga kasus. Untuk lebih
mengarah pada diagnosis hepatitis B perlu digali mengenai riwayat transfusi darah,
hemodialIsis, apakah ibu dari anak pernah menderita hepatitis B, dan juga menanyakan
kebiasaan-kebiasaan seperti hubungan seks bebas dan pemakaian narkoba suntik
sebelumnya.3
2
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
3
ALT ditemukan terutama di hati (liver), sedangkan AST selain dapat
ditemukan di hati (liver) juga dapat ditemukan di otot jantung, otot rangka, ginjal,
pankreas, otak, paru, sel darah putih dan sel darah merah. Jika terjadi peningkatan
kadar AST bisa jadi yang mengalami kerusakan adalah sel-sel organ lain yang
mengandung AST.5
Pada penyakit hati akut, kadar ALT lebih tinggi atau sama dengan kadar
AST. Tingkatan alanine aminotransferase atau ALT bernilai lebih dari 1000
mU/mL dan mungkin lebih tinggi sampai 4000 mU/mL dalam beberapa kasus
virus Hepatitis nilai aspartat aminotransferase atau AST antara 1000 2000
mU/mL.5
c. Albumin, globulin
Ada beberapa serum protein yang dihasilkan oleh hati. Serum-serum
tersebut antara lain albumin, globulin dan faktor pembekuan darah. Pemeriksaan
serum-serum protein tersebut dilakukan untuk mengetahui fungsi biosistesis
hati.Adanya gangguan fungsi sintesis hati ditunjukkan dengan menurunnya kadar
albumin. Namun karena usia albumin cukup panjang (15-20 hari), serum protein
ini kurang sensitif untuk digunakan sebagai indikator kerusakan hati.5
Globulin adalah protein yang membentuk gammaglobulin. Kadar
gammaglobulin meningkat pada pasien penyakit hati kronis ataupun sirosis.
Gammaglobulin mempunyai beberapa tipe, yaitu Ig G, Ig M dan Ig A. Masing-
masing tipe sangat membantu pendeteksian penyakit hati kronis tertentu.5
2. Tes serologi
Tes serologi adalah pemeriksaan kadar antigen maupun antibodi terhadap virus
penyebab hepatitis. Tes ini bertujuan untuk mengetahui jenis virus penyebab hepatitis.5
a. Antigen permukaan hepatitis (HBsAg)
Indikator paling awal untuk mendiagnosis infeksi virus hepatitis B adalah
antigen permukaan hepatitis B (HBsAg). Penanda serum ini dapat muncul sekitar
2 minggu setelah penderita terinfeksi, dan akan tetap ada selama fase akut infeksi
sampai terbentuk anti-HBs. Jika penanda serum ini tetap ada selam 6 bulan,
hepatitis dapat menjadi kronis dan penderita dapat menjadi carrier. Vaksin
hepatitis B tidak akan menyebabkan HBsAg positif. Penderita HBsAg positif
tidak boleh mendonorkan darah.5
4
Penanda serum ini hanya akan terjadi jika telah ditemukan HBsAg.
Biasanya muncul 1 minggu setelah HBsAg ditemukan dan menghilang sebelum
muncul anti-HBs. Jika HBeAg serum masih ada setelah 10 minggu, penderita
dinyatakan sebagai carrier kronis.5
5
Diagnosis Kerja
Pola serologis untuk HBV adalah lebih kompleks daripada HAV dan berbeda
bergantung pada apakah penyakit akut, subklinis, atau kronik. Skrining untuk hepatitis B
rutin memerlukan assay yang sekurang-kurangnya dua pertanda serologis. HBsAg adalah
pertanda serologis pertama infeksi yang muncul dan terdapat pada hampir semua orang yang
terinfeksi, kenaikan sangat bertepatan dengan mulainya gejala. HBeAg sering muncul selama
fase akut dan menunjukkan status yang sangat infeksius.1
Karena kadar HBsAg turun sebelum akhir gejala, antibodi IgM terhadap antigen core
hepatitis B (IgM anti HBcAg) juga diperlukan karena ia naik awal pascainfeksi dan menetap
selama beberapa bulan sebelum diganti dengan IgG anti HBcAg yang menetap selama
beberapa tahun. IgM anti HBcAg biasanya tidak ada pada infeksi HBV perinatal. Anti
HBcAg adalah satu pertanda serologi infeksi HBV akut yang paling berharga karena ia
muncul hampir seawal HBsAg dan terus ada kemudian ada dalam perjalanan penyakit bila
HBsAg telah menghilang. Hanya anti HBsAg yang ada pada orang-orang yang diimunisasi
dengan vaksin hepatitis B, sedang anti HBsAg dan anti HBcAg terdeteksi pada orang dengan
infeksi yang sembuh.1,3
Diagnosis Banding
CMV
Infeksi CMV aktif paling baik diperagakan oleh isolasi virus dari urin, ludah, cucian
bronkoalveolar, susu, sekresi serviks, buffy coat, dan jaringan yang diperoleh dengan biopsi.
Identifikasi cepat (24 jam ) sekarang rutin dengan sistem biakan cepat yang perkuat sentrifuse
yang didasarkan pada deteksi antigen CMV awal oleh antibodi monoklonal. Reaksi rantai
polimerase dan teknik hibrida DNA dapat digunakan, tetapi sensitivitas dan biaya yang harus
ditentukan. Isolasi virus saja tidak dapat membedakan antara infeksi primer dan berulang.
Infeksi primer dikonfirmasi oleh serokonversi atau deteksi simultan antibodi IgG dan IgM.
Kenaikan titer IgG dapat disebabkan oleh infeksi primer dan berulang dan harus
diinterpretasikan dengan hati-hati. Uji serologis yang sensitif dan spesifik untuk mengukur
IgG tersedia dalam laboratorium diagnostik.1
Untuk mendeteksi kenaikan titer antibodi difiksasi komplemen, neutralisasi,
imunofluoresen, antikomplemen, dan imunofluoresen indirek, assay lebih disukai karena cara
ini kuantitatif. Sebaliknya radioimunoassay (RIA) dan assay imunoserben terkait enzim
(ELISA) kurang dapat dipercaya untuk memperagakan perubahan titer yang berarti karena
kebanyakan laboratorium membentuk rasio pengikatan (RIA) dan unit absorbans (ELISA)
6
pada pengenceran serum terfiksasi untuk membandingkan jumlah antibodi yang ada dalam
dua serum. Kenaikan sederhana dalam titer antibodi pada subjek yang pada mulanya
seropositif harus diinterpretasi dengan hati-hati karena ini kadang-kadang ditemukan
bertahun-tahun sesudah infeksi primer. IgG menetap selama hidup. IgM dapat dipergakan
sementara (4-6 minggu) selama fase bergejala akut serta infeksi primer tidak bergejala pada
orang dewasa. RIA, ELISA, dan RIA yang menangkap IgM mempunyai spesifitas dan
sensitivitas yang dapat diterima untuk mendeteksi infeksi primer. IgM jarang ditemukan
dengan assay ini (0,2-1%) pada penderita infeksi berulang.2
Infeksi berulang ditentukan dengan pemunculan kembali ekskresi virus pada
penderita yang diketahui telah seropositif pada masa yang lalu. Perbedaan antara reaktivasi
virus endogen dan reinfeksi dengan berbagai strain CMV memerlukan analisis restriksi enzim
DNA virus untuk memperagakan homologi antara isolat virus.1,2
Pada penderita gangguan imun, ekskresi CMV, naik pada titer IgG, dan bahkan
adanya antobodi IgM lazim, sehingga membuat perbedaan antara infeksi primer dan berulang
lebih sulit. Penentuan pengobatan pratransplantasi dan praimunosupresif status serologis
penderita adalah membantu. Peragaan adanya viremia dengan biakan buffy coat menyatakan
penyakit aktif dan prognosis lebih jelek baik tipe infeksi primer, berulang atau tidak
diketahui.2
Metode pasti untuk diagnosis infeksi CMV kongenital adalah isolasi virus atau
peragaan rangkaian DNA spesifik. Urin dan ludah merupakan spesimen yang paling baik
untuk diserahkan ke laboratorium. Uji IgG bernilai diagnostik sedikit karena hasil positif
biasanya menggambarkan imunitas ibu, walaupun hasil negatif mengesampingkan diagnosis.
Peragaan titer stabil atau naik pada spesimen sari selama usia tahun pertama tidak membantu
karena infeksi perinatal lazim ada. Pada umumnya, uji IgM sensitivitasnya dan spesifitasnya
kurang dan secara teknik banyak syaratnya. Tidak ada uji IgM yang dapat dipercaya yang
tersedia secara komersial.12
Gansiklovir telah digunakan untuk mengobati infeksi CMV yang mengancam jiwa
pada hospes ganggu imun (seperti transplan sumsum tulang, jantung, dan ginjal, serta
penderita dengan AIDS). Regimen 10 mg/kg/24 jam dengan dosis individu diberikan pada
interval 12 jam selama 2-3 minggu disertai dengan dosis rumatan 5 mg/kg/24 jam diberikan
sampai regresi manifestasi klinis, mempunyai beberapa kemanjuran. Retinitis CMV dan
penyakit saluran cerna tampak secara klinis berespons terhadap terapi, tetapi seperti ekskresi
virus, sering kumat pada penghentian. Toksisitas dengan gansiklovir adalah luas, termasuk
neutropeni, trombositopeni, disfungsi hati, pengurangan spermatogenesis, dan kelainan
7
saluran cerna dan ginjal. Tidak ada penelitian terkontrol pengobatan infeksi CMV yang
tersedia. Penelitian satu fase I-II menunjukkan hasil yang membesarkan hati dengan dosis 12
mg/kg/24 jam selama total 6 minggu. Penelitian secara acak infeksi CMV kongenital
bergejala ada dalam kemajuan.4
Pengunaan plasma hiperimun atau globulin untuk profilaksis infeksi pada resipien
transplan mengurangi penyakit bergejala tetapi tidak mencegah infeksi. Kemanjuran
imunoglobulin lebih mencolok pada keadaan di mana bahaya infeksi CMV primer terbesar,
seperti pada transplantasi sumsum tulang. Satu regimen yang dianjurkan adalah 1,0gr/Kg
imunoglobulin yang diberikan sebagai dosis intravena tunggal yang mulai dalam 72 jam
transplantasi dan sekali seminggu sesudahnya sampai hari 120 sesduah transplantasi.2
Imunisasi aktif. Peran imunitas yang bermanfaat adalah besar, seperti digambarkan oleh
kenyataan bahwa penyakit yang paling berat menyertai infeksi prrimer, terutama pada infeksi
kongenital, infeksi didapat dari transfusi, dan infeksi pada resipien transplan. Kandidat untuk
vaksin CMV adalah wanita seronegatif usia subur dan resipien transplan seronegatif. Vaksin
hidup yang dilemahkan adalah imunogenik, tetapi imunitas berkurang dengan cepat. Vaksin
pengamatan Towne menghasilkan infeksi tidak bergejala yang sembuh sendiri, yang
memyebabkan produksi respon imun humoral dan selular pada kebanyakan sukarelawan
sehat. Virus vaksin agaknya tidak dapat ditularkan. Vaksin diproteksi bila ditantang dengan
dosis tantangan rendah tetapi tidak tinggi dan sakit terjadi dari dosis vaksin yang lebih tinggi.
Vaksin tidak memproteksi resipien transplan ginjal dari infeksi CMV tetapi tampak
mengurangi virulens infeksi primer. Pada penelitian kemanjuran vaksin pada wanita dewasa
normal, vaksin Towne tidak memberikan proteksi terhadap infeksi yang didapat secara
alamiah. Tipe vaksin lain seperti subunit dan rekombinan, sedang dikembangan. Penggunaan
darah dan produk-produk darah bebas CMV dan bila mungkin, penggunaan organ dari donor
darah bebas CMV merupakan cara-cara penting untuk mencegha infeksi CMV dan penyakit
pada penderita nonimun.6
Hepatitis Autoimun
Hepatitis ini umumnya adalah hepatitis kronis progresif yang penting untuk dibedakan
dari hepatitis virus kronik karena terapinya sangat berbeda. Hepatitis autoiumun ditandai
dengan destruksi progresif hepatosit yang terjadi berkaitan dengan adanya autoantibodi dalam
darah, tetapi tanpa adanya kausa lain yang dapat menyebabkan penyakit hepar kronik.
Menurut Krawitt (2006), suatu agen lingkungan-virus atau obat memicu proses-proses yang
memerantarai sel T untuk merusak antigen hati pada pasien yang rentan secara genetis.
8
Hepatitis autoimun tipe I yang dahulu disebut hepatitis lupoid, lebih sering terjadi pada
perempuan. Lebih sering dijumpai dan ditandai oleh antibodi autoimun multipel, misalnya
antibodi antinukleus (ANA) serta gen-gen leukosit manusia tertentu. Gejala dan tanda awal
adalah letargi, ikterus, dan temuan klinis penyakit hepar kronik. Berdasarkan definisi,
hepatitis autoimun terjadi tanpa adanya kausa lain penyakit hepar. Evaluasi laboratorium
memperlihatkan peningkatan aminotransferase serum yang konsisten dan sering mencolok,
hiperbilirubinemia ringan sampai berat (2-30 mg/dl) dengan >60% pigmen terkonjugasi, dan
konsentrasi globulin gama serum >2 mg/dl pada hampir semua pasien. Waktu protrombin
mungkin memanjang, dan kadar alkali fosfatase dan albumin serum mendekati kisaran
normal kecuali pasien yang berkembang menjadi sirosis. Antibodi antinukleus dijumpai pada
sebagian besar pasien. Biopsi hepar memperlihatkan penetrasi limiting plate dan zona
intralobulus oleh sel radang, plecemeal necrosis, pembentukan jembatan antara zona porta
dan sentral, dan distorsi lobulus hepar. Tidak ada kelainan saluran empedu yang signifikan.2,5
Hepatitis autoimun tipe II memperlihatkan kesamaan gambaran klinis dengan
hepatitis autoimun tipe I, tetapi ANA negatif dan dijumpai antibodi antimikrosom hepar
ginjal (anti-LKM). Pada kedua tipe hepatitis autoimun (I, positif ANA; II positif anti-LKM),
dapat dijumpai penyakit autoimun lain, misalnya tiroiditis, glomerulonefritis, anemia
hemolitik, dan aritema nodosum.2
Dahulu, harus dipastikan adanya kronisitas sebelum diagnosis hepatitis autoimun
dapat ditegakan. Namun, awitan penyakit tidak begitu jelas sehingga kronisitas sulit
dipastikan. Pasien mungkin asimtomatik dan datang hanya dengan tanda biokimiawi adanya
kerusakan parenkim hepar, atau mereka mungkin datang dengan hepatitis akut atau hepatitis
fulminan. Antibodi antinukleus, antibodi anti otot polos, dan antibodi antimikrosom hepar
ginjal mungkin tidak ada. Harus dilakukan anamnesis yang teliti mengenai riwayat asupan
obat selama 3 bulan terakhir untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kerusakan akibat zat
hepatotoksik. Penyakit Wilson dan defisiensi antitripsin alfa, harus disingkirkan.2,5
Sebagian besar (70-90%) pasien dengan hepatitis autoimun berespons terhadap
pemberian kortikosteroid. Remisi klinis dan biokimiawi didefinisikan sebagai perbaikan
gejala, penurunan kadar aminotransferase serum, dan normalisasi kadar globulin gama.
Remisi klinis dan biokimiawi dapat dicapai dengan prednison 1-2 mg/kg/hari. Dosis ini
dipertahankan sampai kadar aminotransferase turun menjadi lebih kecil daripada dua kali
normal (remisi), biasanya dalam 3-4 minggu. Dosis kortikosteroid harus diturunkan secara
hati-hati apabila timbul penyulit terapi yang serius, misalnya penghentian pertumbuhan,
osteoporosis, diabetes, atau hipertensi. Apabila diperlukan terapi kortikosteroid untuk
9
mempertahankan remisi, dapat ditambahkan azatioprin 1-2 mg/kg/hari ke dalam regimen
terapi agar dosis kortikosteroid dapat diturunkan secara bertahap. Azatioprin telah dibuktikan
dapat mempertahankan remisi klinis dan biokimiawi pada pasien dengan hepatitis autoimun.
Harus dilakukan biopsi hepar ulangan saat kadar aminotransferase kembali ke rentang
normal. Apabila telah terjadi resolusi lesi khas, atau jaringan memperlihatkan gambaran
hepatitis persisten, dosis pemeliharaan prednison diturunkan sebesar 5 mg setiap 2 minggu
sampai berhenti. Terapi harus dilanjutkan selama beberapa tahun apabila setiap usaha untuk
menghentikan obat imunosupresif diikuti oleh eksaserbasi kelainan klinis dan biokimiawi.
Diagnosis alternatif misalnya kolangitis sklerotikans primer, harus dipertimbangkan apabila
pasien gagal berespons terhadap imunosupresif.
Secara umum hasil akhir kehamilan pada wanita dengan hepatitis autoimun, buruk,
tetapi prognosis baik jika penyakit terkontrol. Dalam suatu penelitian Schramm dkk (2006)
melaporkan 42 kehamilan pada 22 wanita Jerman dengan hepatitis autoimun. Seperlima
mengalami kekambuhan antepartum dan separuh pascapartum. Satu wanita menjalani
transplantasi hati pada 18 minggu dan satu lainnya meninggal akibat sepsis pada 19 minggu.
Dalam ulasan 38 tahun mereka, Candia dkk (2005) mendapatkan 101 kehamilan pada 58
wanita. Mereka melaporkan bahwa preeklamsi terjadi pada sekitar seperempat dan terjadi dua
kematian ibu. Seperti penyakit autoimun lainnya, hepatitis autoimun kronik lebih sering pada
wanita dan sering timbul bersama dengan tiroiditis, kolitis ulseratif, diabetes tipe 1, dan
artritis reumatoid. Hepatitis biasanya subkinis tetapi eksaserbasi dapat menyebakan rasa lelah
dan malaise yang mungkin parah.7
Epidemiologi
Di seluruh dunia, prevalensi infeksi HBV tertinggi adalah Afrika subsahara, Cina,
bagian Timur Tengah, lembah Amazon, dan kepulauan Pasifik. Di Amerika Serikat, populasi
Eskimo di Alaska mempunyai prevalensi angka tertinggi. Diperkirakan 300.000 kasus infeksi
HBV baru terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, dengan kelompok umur 20-39 tahun pada
risiko terbesar. Dan telah menurun sekitar 80% sejak diperkenalkan vaksinasi pada tahun
1980-an (CDC, 2006; Hoffnagle, 2006).2 WHO menganggap HBV sebagai karsinogen
manusia nomor dua, hanya satu peringkat di bawah tembakau.8
Jumlah kasus baru pada anak adalah rendah tapi sukar diperkirakan karena sebagian
besar infeksi pada anak tidak bergejala. Risiko infeksi kronis berbanding terbalik dengan
umur, walaupun kurang dari 10% infeksi yang terjadi pada anak, sedangkan sekitar 70-90%
pada bayi, infeksi ini mencangkup 20-30% dari semua kasus kronik.4
Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus, dan 50% bayi yang akan berkembang menjadi
hepatitis kronik dan viremia yang persisten.1
10
Di Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) Tahun 2013 prevalensi
hepatitis adalah 1,2%, dua kali lebih tinggi dibandingkan 2007. Lima provinsi dengan
prevalensi hepatitis tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9), Sulawesi
Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%) dan Maluku (2,3%). Bila dibandingkan dengan
Riskesda 2007, Nusa Tenggara Timur masih merupakan provinsi dengan prevalensi hepatitis
tertinggi. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, kelompok terbawah menempati prevalensi
hepatitis tertinggi dibandingkan kelompok lainnya. Prevalensi semakin meningkat pada
penduduk berusia 15 tahun. Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Indonesia
adalah hepatitis B (21,8%) dan hepatitis A (19,3%).7
Etiologi
11
infeksi akut. Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus, 50% bayi akan berkembang menjadi
hepatitis kronik dan viremia persisten.3
Manifestasi klinis
Banyak kasus infeksi HBV tidak bergejala, sebagai dibuktikan dengan angka pengidap
petanda serum yang tinggi pada orang yang tidak mempunyai riwayat hepatitis akut. Episode
bergejala akut yang biasa, serupa dengan infeksi HAV dari virus hepatitis C (HCV) tetapi
mungkin lebih berat dan lebih mungkin mencangkup keterlibatan kulit dan sendi. Bukti klinis
pertama infeksi HBV adalah kenaikan ALT, yang mulai naik tepat sebelum perkembangan
kelesuan (letargi), anoreksi dan malaise sekitar 6-7 minggu sesudah pemajanan. Penyakitnya
mungkin didahului pada beberapa anak dengan prodom seperti penyakit serum termasuk
atralgia atau lesi kulit, termasuk urtikaria, ruam purpura, sindrom Gianotti-Crosti juga dapat
terjadi.
Keadaan-keadaan ekstrahepatik lain yang disertai dengan infeksi HBV termasuk
polioarteritis, glomerulonefritis dna anemia aplastik. Ikterus yang ada pada sekitar 25%
individu terinfeksi, biasanya mulai sekitar 8 minggu sesudah pemajanan dan berakhir selama
sekitar 4 minggu. Pada perjalanan penyembuhan infeksi HBV yang biasa, gejala-gejala
muncul selama 6-8 minggu. Presentase orang-orang yang pada perkembangan bukti klinis
lebih tinggi pada HBV daripada HAV, dan angka hepatitis fulminan juga lebih besar.
Hepatitis kronis juga terjadi dan bentuk kronis aktif dapat menyebabkan sirosis dan
karsinoma hepatoselular.4
Pada pemeriksaan fisik, kulit dan membrana mukosa adalah ikterik, terutama sklera dan
mukosa bawah lidah. Hati biasanya membesar dan nyeri pada palpasi. Bila hati tidak dapat
teraba dibawah tepi kosta, nyeri dapat diperagakan dengan memukul iga dengan lembut di
atas hati dengan tinju menggenggam. Sering ada splenomegali dan limfadenopati.4
Penatalaksanaan
Vaksinasi
a. Semua bayi yang lahir pada ibu dengan HBsAg positif harus mendapatkan vaksinasi
HBV secepat mungkin setelah kelahiran dengan booster selama masa kanak-kanak. Di
Amerika ini merupakan bagian dari program imunisasi standar, di Inggris ini terbatas
pada bayi dengan risiko tinggi. Di Amerika, HBIG untuk perlindungan jangka pendek
dari antibodi pasif diberikan dalam 12 jam masa kelahiran bagi bayi dengan ibu HBsAg
positif. Di Inggris ini terbatas pada ibu yang HBsAg positif.6
12
Tabel 2. Jadwal imunisasi anak umur 0-18 tahun.6
b. Rekomendasi Imunisasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2014, pemberian
vaksin hepatitis B paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului
pemberian injeksi vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberi vaksin hepatitis
B dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Dosis
setengah mili liter HBIG diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir di bagian
anterolateral otot paha atas. Vaksin HBV dengan dosis 5-10 ug diberikan dalam 12 jam
pada posisi lain, diulang pada 1 dan 6 bulan. Vaksinasi hepatitis B selanjutnya dapat
menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi. Vaksin kombinasi
(Twinrix-GlaxoSmithKline) mengandung 20 ug protein HBsAg (Engerik B) dan >720
unit elisa hepatitis A virus yang dilemahkan (Havrix) memberikan proteksi ganda
dengan pemberian suntikan 3 kali berjarak 0,1 dan 6 bulan.1
c. Imunoprofilaksis pada infeksi yang ditularkan melalui darah HBV.
1. Imunoprofilaksis vaksin hepatitis B sebelum paparan. Imunisasi ini universal untuk
bayi baru lahir, grup resiko tinggi, dan vaksin catch up untuk anak sampai umur 19
(bila belum divaksinasi). Vaksin rekombinan ragi yang mengandung HBsAg
sebagai imunogen. Sangat imunogenik, menginduksi kadar proteksi anti HBsAg
pada >95% pasien dewasa muda sehat setelah pemberian komplit 3 dosis.
Efektifitas sebesar 85-95% dalam mencegah HBV. Booster hanyak untuk individu
dengan imunokompromais jika titer di bawah 10 mU/mL. Peran imunoterapi untuk
pasien HBV kronik sedang dalam penelitian. Pemberian IM (deltoid) dosis dewasa
untuk dewasa, untuk bayi, anak sampai umur 19 tahun dengan dosis anak (1/2 dosis
dewasa) diulang pada 1 dan 6 bulan kemudian.1
13
Komplikasi
Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada virus hepatitis lain, dan
risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila infeksi bersama atau superinfeksi dengan
HDV. Mortalitas hepatitis fulminan lebih besar 30%. Transplantasi hati adalah satu-satunya
intervensi efektif, perawatan pendukung yang ditunjukkan untuk mempertahankan penderita
sementara memberi waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi sel hati adalah satu-satunya
pilihan lain.4
Infeksi HBV juga dapat menyebabkan hepatitis kronik, yang dapat menyebabkan
sirosis dan karsinoma hepatoselular primer. Interferon alfa-2b tersedia untuk pengobatan
hepatitis B kronis pada orang-orang berumur 18 tahun atau lebih dengan penyakit hati
kompensata dan replikasi HBV. Glomerulonefritis membranosa dengan pengendapan
komplemen dan HBeAg pada kapiler glomerulonefritis merupakan komplikasi infeksi HBV
yang jarang.4
Prognosis
14
rendah bila dibanding dengan orang dewasa. Penularan vertikal ini sebenarnya dapat dicegah
dengan vaksinasi atau pemberian HBIg pada bayi yang dilahirkan.11
Pencegahan
1. Imunisasi bayi universal dengan vaksin hepatitis B sekarang dianjurkan oleh American
Academy of Pediatrics (AAP). Semua bayi yang lahir pada ibu dengan HBsAg positif
harus mendapatkan vaksinasi HBV secepat mungkin setelah kelahiran dengan booster
selama masa kanak-kanak. Di Amerika ini merupakan bagian dari program imunisasi
standar, di Inggris ini terbatas pada bayi dengan risiko tinggi. Di Amerika, HBIG untuk
perlindungan jangka pendek dari antibodi pasif diberikan dalam 12 jam masa kelahiran
bagi bayi dengan ibu HBsAg positif. Di Inggris ini terbatas pada ibu yang HBsAg
positif. Bayi yang dilahirkan dari wanita yang HBsAg positif harus mendapat vaksin
pada saat lahir, umur 1 bulan, dan 6 bulan. Dosis pertama harus disertai dengan
pemberian 0,5 ml IGBH sesegera mungkin sesudah lahir karena efektivitasnya
berkurang dengan cepat dengan bertambahnya waktu sesudah lahir. AAP
merekomendasikan bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu yang HBsAg negatif mendapat
dosis vaksin pertama saat lahir, kedua pada umur 1-2 bulan, dan ketiga antara umur 6
dan 18 bulan.6,8
2. Penapisan pranatal dengan imunisasi aktif dan pasif untuk neonatus dari ibu seropositif
dan dengan vaksinasi aktif selama kehamilan pada wanita seronegatif. Hasil dari
sebuah penelitian di Cina (Xu dkk, 2009) menunjukkan bahwa lamivudin yang
ditambahkan ke imunoprofilaksis neonatus akan menurunkan angka infeksi lebih jauh,
menurunkan angka infeksi perinatal dari 40% menjadi 20% pada wanita yang sangat
viremik dengan memberikan lamivudin dari usia gestasi 32 minggu sampai 4 minggu
pascapartum.9
3. Untuk ibu berisiko tinggi yang seronegatif, vaksin aktif dapat diberikan selama
kehamilan. Ingardia (2004) melaporkan bahwa wanita yang diimunisasi selama satu
kehamilan memperlihatkan angka seropositif 85% pada kehamilan berikutnya. Setelah
dosis pertama, vaksinasi diulang pada 1 dan 6 bulan, pada 1 dan 4 bulan, atau pada 2
dan 4 bulan. Sheffield ddk (2006) melaporkan bahwa regimen 3 dosis yang diberikan
prenatal pada awalnya dan pada 1 dan 4 bulan menghasilkan angka serokonversi
masing-masing 56, 77, dan 90%. Hal ini dibandingkan dengan angka 96% untuk wanita
pascapartum yang diberi 3 dosis lengkap (Jurenia dkk, 2001).9
4. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologist (2007) melahirkan
secara cesar belum ada laporan dapat menurunkan angka risiko.9
15
Tujuannya ialah untuk mengetahui data kesehatan ibu hamil dan perkembangan bayi
intrauterin sehingga kesehatan yang optimal dapat dicapai dalam menghadapi persalinan,
puerperium, dan laktasi, serta mempunyai pengetahuan yang cukup tentang persalinan
bayinya. Jadwal antenatal care adalah sebagai berikut:10
1. Trisemester I dan II
a. Sebulan sekali.
b. Pengambilan data hasil pemeriksaan laboratorium.
c. Pemeriksaan USG.
d. Nasihat diet
1) Empat sehat lima sempurna.
2) Protein 0,5/kgBB ditambah satu telur/hari.
e. Observasi
1) Penyakit yang dapat mempengaruhi kehamilan.
2) Komplikasi kehamilan.
f. Rencana
1) Mengobati penyakit
2) Menghindari terjadinya komplikasi kehamilan I/II.
3) Imunisasi tetanus I.
2. Trisemester III
a. Setiap dua minggu, kemudian seminggu sampai tanda kelahiran tiba.
b. Evaluasi data laboratorium untuk melihat hasil pengobatan.
c. Diet empat sehat lima sempurna.
d. Pemeriksaan USG.
e. Imunisasi tetanus II.
f. Rencana pengobatan.
g. Nasihat dan petunjuk tentang tanda inpartu, kemana harus datang melahirkan.
h. Observasi.
1) Penyakit yang menyertai kehamilan.
2) Komplikasi hamil trisemster III.
3) Berbagai kelainan kehamilan trisemster III.
Di negara maju, ANC dilakukan sebanyak 12-13 kali selama kehamilan, tetapi di
negara berkembang cukup dilakukan 4 kali sebagai kasus tercatat.10
16
Keuntungan ANC sangat besar karena dengan segera dapat diketahui berbagai
penyakit, risiko, dan komplikasi kehamilan sehingga dapat diarahkan untuk melakukan
referal ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup.10
Dengan jalan demikian, diharapakan angka kematian ibu dan perinatal yang justru
sebagian besar terjadi pada saat pertolongan pertama, dapat diturunkan secara bermakna.10
Kesimpulan
Hepatitis virus merupakan infeksi disebabkan virus HBV dengan famili hepadnavirus
dengan penularan melalui Jalan lahir, ASI, kontak darah, hubungan seksual, jarum suntik.
Semua jenis hepatitis yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis
B yang merupakan virus DNA. Walaupun virus tersebut berbeda, akan tetapi semua jenis
virus tersebut memperlihatkan kesamaan dalam perjalanan penyakitnya. Dalam kasus ini
perlu di perhatikan pemberian vaksin secepat mungkin pada bayi yang baru lahir dengan
suspek hepatitis B.
17
Daftar Pustaka
1. Sanityoso. Hepatitis Virus Akut. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Keempat.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.h.427-42.
2. Brooks GF, Butel JS, Morse SAM. Mikrobiologi Kedokteran (Jawetz, Melnick,
Adelbergs Medical Microbiology), Edisi 23. Hartanto H dkk, penerjemah. Jakarta:
EGC; 2008. hal. 476.
3. Cahyono SB. Hepatitis B. Yogyakarta: Kanisius; 2010.h.38-51.
4. Behrman RE & Kliegman RM. Ilmu kesehatan anak nelson. Vol. 2. Wahab AS,
penerjemah. Jakarta: EGC; 2000.h.1100-22.
5. Murray, Wilkinson IB, Davidson EH, Foulkes A, Mafi AR. Acute Hepatitis, Oxford
HandbookOf Clinical Medicine. Oxford University Press; 2011.p.406-8.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal imunisasi IDAI 2014. 22 April 2014. Diunduh
21 agustus 2016 Pukul 10.22 WIB.
http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal/imunisasi/idai/2014.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar,
Riskesda 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013.h.71-5.
8. Marcdante KJ, Behrman RE, Kliegman RM. Nelson essentials of pediatrics. Edisi 6.
IDAI, penerjemah. Siangapore: Saunders Elsevier; 2014.h.109-114.
9. Cunningham FG et.al. Williams obstetrics. Edisi 23. Brahm U dkk, penerjemah.
Jakarta: EGC; 2013.h.1128-30.
10. Saputra L. Hepatitis virus akut, dalam The Merck Manual Jilid 2, ed 16. Jakarta: Bina
Rupa Aksan; 1999.h.252-3.
11. Hadi S. Hepatologi. Bandung: Penerbit Mandar Maju; 2000.h.33-34.
18