Disusun oleh:
Ajeng Puspitasari
22010114210025
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Balita adalah masa yang membutuhkan perhatian ekstra baik bagi orang tua
maupun bagi kesehatan. Perhatian harus diberikan pada pertumbuhan atau
perkembangan, status gizi, sampai pada kebutuhan akan imunisasi. Status gizi balita
merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua, perlunya perhatian
lebih dalam tumbuh kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang
terjadi pada masa emas ini bersifat ireversibel atau tidak dapat pulih kembali
(Marimbi, 2010). Anak dibawah lima tahun merupakan kelompok yang menunjukkan
pertumbuhan badan yang pesat namun pada kelompok ini merupakan kelompok
tersering yang menderita kekurangan gizi. Gizi ibu yang kurang atau buruk pada
waktu konsepsi atau sedang hamil muda dapat berpengaruh kepada pertumbuhan
semasa balita, bila gizi buruk maka perkembangan otaknya pun kurang dan itu akan
berpengaruh pada kehidupannya di usia sekolah dan pra sekolah. (Proverawati, et al.,
2010).
Gizi buruk merupakan suatu kondisi seseorang yangkekurangan gizi atau gizinya
dibawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni gizi
buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan
karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan kedua-duanya. Gizi
buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan ditampakkan oleh
membusungnya perut (busung lapar). Gizi buruk adalah suatu kondisi dimana
seseorang dinyatakan kekurangan zat gizi, atau dengan ungkapanlain status gizinya
berada di bawah standar rata-rata. Zat gizi yang dimaksud bisa berupa protein,
karbohidrat dan kalori. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya
kekurangan gizi menahun (wong, et al., 2009)
Merawat balita dengan masalah gizi buruk angatlah rumit sangatlah rumit
mengingat faktor resiko terjadinya gizi buruk yang komplek. Pada jurnal internasional
salah satu intervensi yang paling efektif adaah dengan memberikan pendidikan
kesehatan kepada ibu terkait dengan pemberian ASI eksklusif, pola makan keluarga
dan sumber gizi yang dibutuhkan dan lingkungan yang mendukung dalam artian
keluarga menjadi support sistem untuk melaksanakan apa yang telah diinformasikan
3
kepada ibu tersebut (Kerrion H, 2011). Status gizi pada balita secara tidak langsung
maupun langsung dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual ibu yang rendah tingkat
pendidikan orang tua (ibu dan ayah yang rendah), kemiskinan atau status social
ekonomi, lingkungan tempat tinggal, status pengasuhan anak yang memadai,
keyakinan budaya dan akses ke tempat penyedia pelayanan kesehatan (Ramli, et al.,
2009)
Masalah gizi buruk pada balita merupakan suatu permasalahan yang rumit dan
kompleks yang tidak akan bisa diselesaikan dengan sederhana dan hanya melihat satu
faktor penyebab saja. Berdasarkan teori timbulnya masalah gizi buruk dipengaruhi
oleh banyak determinan (faktor asupan makanan yang tidak cukup dan adanya
penyakit pada balita merupakan penyebab langsung terjadinya gizi buruk yang saling
mempengaruhi). Balita gizi buruk cenderung mudah sakit dan memburuk gizinya.
Munculnya kedua penyebab langsung itu disebabkan oleh tiga penyebab tidak
langsung, yakni akses terhadap makanan dalam rumah tangga yang tidak cukup,
pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan lingkungan yang tak sehat, serta
pemeliharaan kesehatan balita dan ibu yang tidak memadai. Sampai dengan saat ini
pemenuhan gizi merupakan solusi yang diperhatikan namun keterampilan dan
perilaku ibu dalam memelihara kesehatan balitanya juga penting sebagai salah satu
penatalaksanaan dalam penangana gizi buruk.
B. TUJUAN
Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis,
melakukan pengelolaan, dan tatalaksana yang diberikan untuk kejadian gizi buruk
sesuai dengan penulisan ilmiah berdasarkan kepustakaan atau prosedur yang ada.
Tujuan umum
Untuk mengetahui cara mendiagnosis dan mengelola pasien dengan gizi buruk
sesuai kepustakaan atau prosedur yang ada.
Tujuan Khusus
4
3. Mahasiswa mampu melakukan pengelolaan secara komprehensif dan holistik
pada kasus ini
4. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi untuk kasus ini
C. MANFAAT
BAB II
PENYAJIAN KASUS
I. IDENTITAS
5
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lebak 3/5
M.R.S : 13 Agustus 2016
Nama Ibu :
Umur :
Pendidikan :
Agama :
Pekerjaan :
Alamat : Lebak 3/5
6
bertambah bila ditekan. Anak mual bila sebelum makan, menyebabkan anak tidak
mau makan, muntah (-). BAK (+) jernih, tiap kencing terasa nyeri, jumlah cukup.
Tidak ada mata cekung. Anak masih sadar, anak dibawa ke RSDK rabu malam.
Riwayat Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini
Riwayat Postnatal :
Periksa di bidan dan dinyatakan sehat
7
Riwayat Imunisasi :
Berapa kali Umur
1. B.C.G. 1x saat lahir skar (+)
8
Anak laki-laki 1 tahun, berat badan 11,2 kg, panjang badan cm.
Kesan umum : sadar, menangis, nafas spontan
Tanda vital
- Frekuensi Nadi : 108 x/menit
- Frekuensi Pernafasan : 24 x/menit
- Suhu : 35 0C
LILA : 5 cm
Keadaan Tubuh
Anemi : +
Sianotik : +
Ikterik : -
Turgor : kembali dengan cepat
Tonus : normotonus
Kulit : sianosis (-), hiperpigmentasi (-)
Edema : -
Serebral : kejang (-)
Dispneu : (-)
Kepala :
Kepala : Lingkar kepala : 31 cm
Mata : anemis (+/+), ikterik (-/-)
Telinga : discharge -, nyeri tekan tragus
Hidung : discharge -, nafas cuping
Bibir : sianosis (-)
Mukosa : sianosis -
Mulut : sianosis -
Lidah : anomali -, lidah kotor (+), tremor -, papil atrofi
Gigi : karies-, gusi berdarah -
Tenggorok: T1-1, faring hiperemis -
Leher : pembesaran nnll (-)
9
Thorax :
Paru Inspeksi : simetris, retraksi (-)
Palpasi : sulit dinilai
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler
Suara tambahan : Hantaran (-/-)
Wheezing (-/-)
Ronkhi (-/-)
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler
V. STATUS ANTROPOMETRI
Seorang anak laki-laki usia 1 tahun BB : 11,2 kg, PB : cm
10
WAZ :
HAZ :
WHZ :
Kesan :
11
1. Demam 3 hari 10-08-2016
2. Batuk 10-08-2016
3. Sesak 10-08-2016
4. BB : 3 kg 10-08-2016
5. Konjungtiva 10-08-2016
ikterik
6. 10-08-2016
Anemia (Hb: 11,
7 gr%)
VIII. DIAGNOSIS
1. Kolestasis
DD/ intrahepatik
ekstrahepatik
12
- Menjelaskan pemberian urdafalk yang diindikasikan untuk pasien
dengan kolestasis
13
BAB III
PEMBAHASAN
I. GIZI BURUK
Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya manusia.
Gizi buruk tidak hanya meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian tetapi juga
menurunkan produktifitas, menghambat pertumbuhan sel-sel otak yang
mengakibatkan kebodohan dan keterbelakangan. Berbagai masalah yang timbul
akibat gizi buruk antara lain tingginya angka kelahiran bayi dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) yang disebabkan jika ibu hamil menderita KEP akan berpengaruh
pada gangguan fisik, mental dan kecerdasan anak, juga meningkatkan resiko bayi
yang dilahirkan kurang zat besi. Bayi yang kurang zat besi dapat berdampak pada
gangguan pertumbuhan sel-sel otak, yang dikemudian hari dapat mengurangi IQ anak.
Faktor penyebab gizi buruk dapat berupa penyebab tak langsung seperti kurangnya
jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat
bawaan, menderita penyakit kanker dan penyebab langsung yaitu ketersediaan pangan
rumah tangga, perilaku dan pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain
faktor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan,
pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh karena itu, untuk
mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor1
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari
14
derajat dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi
disebabkan oleh karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya.
Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya
pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak
yang sehat. Gizi buruk ringan sering ditemukan pada anak-anak dari 9 bulan sampai 2
tahun, akan tetapi dapat dijumpai pula pada anak yang lebih besar. Pertumbuhan yang
terganggu dapat dilihat dari pertumbuhan linier mengurang atau terhenti, kenaikan
berat badan berkurang, terhenti dan adakalanya beratnya menurun, ukuran lingkar
lengan atas menurun, maturasi tulang terlambat, rasio berat terhadap tinggi normal
atau menurun, tebal lipat kulit normal atau mengurang, anemia ringan, aktivitas dan
perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat, adakalanya dijumpai
kelainan kulit dan rambut. Gizi buruk berat memberi gejala yang kadang-kadang
berlainan, tergantung dari dietnya, fluktuasi musim, keadaan sanitasi dan kepadatan
penduduk1
Gizi buruk berat dapat dibedakan tipe kwashiorkor, tipe marasmus dan tipe
marasmik-kwashiorkor. Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala tampak sangat kurus
dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh, perubahan status
mental, rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa
rasa sakit, rontok, wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu, pembesaran
hati, kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas, cengeng dan rewel. Tipe marasmus ditandai
dengan gejala tampak sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit
keriput,perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat
kendur dan keriput. Tipe marasmik-kwashiorkor merupakan gabungan beberapa
gejala klinik kwashiorkor marasmus2
Pengukuran antropometrik lebih ditujukan untuk menemukan gizi buruk ringan
dan sedang. Pada pemeriksaan antropometrik, dilakukan pengukuran-pengukuran
fisik anak (berat, tinggi, lingkar lengan, dan lain-lain) dan dibandingkan dengan angka
standar (anak normal). Untuk anak, terdapat tiga parameter yang biasa digunakan,
yaitu berat dibandingkan dengan umur anak, tinggi dibandingkan dengan umur anak
dan berat dibandingkan dengan tinggi/panjang anak. Parameter tersebut lalu
dibandingkan dengan tabel standar yang ada. Untuk membandingkan berat dengan
umur anak, dapat pula digunakan grafik pertumbuhan yang terdapat pada KMS.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan kadar hemoglobin
15
darah merah (Hb) dan kadar protein (albumin/globulin) darah. Dengan pemeriksaan
laboratorium yang lebih rinci, dapat pula lebih jelas diketahui penyebab malnutrisi
dan komplikasi-komplikasi yang terjadi pada anak tersebut. Pada gizi buruk terdapat
perubahan nyata dari komposisi tubuhnya seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak,
mineral, dan protein terutama protein otot. Tubuh mengandung lebih banyak cairan.
Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot dan jaringan lain. Cairan ekstra
sel terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak dibandingkan tanpa
edema. Kalium total tubuh menurun terutama dalam sel sehingga menimbulkan
gangguan metabolik pada organ-organ seperti ginjal, otot dan pankreas. Dalam sel
otot kadar natrium dan fosfor anorganik meninggi dan kadar magnesium menurun2
Kelainan organ sering terjadi seperti sistem alimentasi bagian atas (mulut, lidah
dan leher), sistem gastrointestinum (hepar, pankreas), jantung, ginjal, sistem endokrin
sehingga gizi buruk harus segera ditangani dengan cepat dan cermat2
16
kalori, protein dan cukup vitamin-mineral untuk mencapai status gizi optimal. Nutrisi
gizi buruk diawali dengan pemberian makanan secara teratur, bertahap, porsi kecil,
sering dan mudah diserap. Frekuensi pemberian dapat dimulai setiap 2 jam kemudian
ditingkatkan 3 jam atau 4 jam4
Penting diperhatikan aneka ragam makanan, pemberian ASI, makanan,
mengandung minyak, santan, lemak dan buah-buahan. Selain itu faktor lingkungan
juga penting dengan mengupayakan pekarangan rumah menjadi taman gizi. Perilaku
harus diubah menjadi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ( PHBS) dengan
memperhatikan makanan gizi seimbang, minum tablet besi selama hamil, pemberian
ASI eksklusif, mengkonsumsi garam beryodium dan memberi bayi dan balita kapsul
vitamin A5
B. PENGATURAN DIET
a. Fase Stabilisasi
Pada fase ini, peningkatan jumlah formula diberikan secara bertahap
dengan tujuan memberikan makanan awal supaya anak dalam kondisi stabil.
Formula hendaknya hipoosmolar rendah laktosa, porsi kecil dan sering. Setiap
100 ml mengandung 75 kal dan protein 0,9 gram. Diberikan makanan formula
75 (F 75). Resomal dapat diberikan apabila anak diare/muntah / dehidrasi, 2 jam
pertama setiap jam, selanjutnua 10 jam berikutnya diselang seling dengan
F754
b. Fase Transisi
Pada fase ini anak mulai stabil dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak
(cathup). Diberikan F100, setiap 100 ml F100 mengandung 100 kal dan protein
2,9 gram.
c. Fase Rehabilitasi
Terapi nutrisi fase ini adalah untuk mengejar pertumbuhan anak. Diberikan
setelah anak sudah bisa makan. Makanan padat diberikan pada fase rehabilitasi
berdasarkan BB< 7 kg diberi MP-ASI dan BB 7 kg diberi makanan balita.
Diberikan makanan formula 135 (F 135) dengan nilai gizi setiap 100 ml F135
mengandung energi 135 kal dan protein 3,3 gram4
d. Fase tindak lanjut dilakukan di rumah
Setelah anak dinyatakan sembuh, bila BB/TB atau BB/PB -2 SD, tidak ada
gejala klinis dan memenuhi kriteria selera makan sudah baik, makanan yang
17
diberikan dapat dihabiskan, ada perbaikan kondisi mental, anak sudah dapat
tersenyum, duduk, merangkak, berdiri atau berjalan sesuai umurnya, suhu tubuh
berkisar antara 36,5 37, 7 oC, tidak muntah atau diare, tidak ada edema,
terdapat kenaikan BB sekitar 50g/kg BB/minggu selama 2 minggu berturut
turut4
Mineral Mix dapat diberikan sebagai nutrisi gizi buruk yang terbuat dari
bahan yang terdiri dari KCl, tripotasium citrat, MgCl2.6H2O, Zn asetat 2H2O
dan CuSO4.5H2O, bahan ini dijadikan larutan. Mineral mix ini dikembangkan
oleh WHO dan telah diadaptasi menjadi pedoman Tatalaksana Anak Gizi Buruk
di Indonesia. Mineral mix digunakan sebagai bahan tambahan untuk membuat
Rehydration Solution for Malnutrition(ReSoMal) dan Formula WHO4
18
banyak anak mau, feses yang keluar dan muntah. Penggantian jumlah
Resomal pada jam 4,6,8,10 dengan F75 jika rehidrasi masih dilanjutkan
pada saat itu. Monitoring tanda vital, diuresis, frekuensi berak dan muntah,
pemberian cairan dievaluasi jika RR dan nadi menjadi cepat, tekanan vena
jugularis meningkat, jika anak dengan edem, oedemnya bertambah.
(4). Koreksi gangguan elektrolit.
Berikan ekstra Kalium 150-300mg/kgBB/hari, ekstra Mg 0,4-0,6
mmol/kgBB/hari dan rehidrasi cairan rendah garam (Resomal)
(5). Mencegah dan mengatasi infeksi.
Antibiotik (bila tidak komplikasi : kotrimoksazol 5 hari, bila ada
komplikasi amoksisilin 15 mg/kgBB tiap 8 jam 5 hari. Monitoring
komplikasi infeksi ( hipoglikemia atau hipotermi)
(6). Mulai pemberian makan.
Segera setelah dirawat, untuk mencegah hipoglikemi, hipotermi dan
mencukupi kebutuhan energi dan protein. Prinsip pemberian makanan fase
stabilisasi yaitu porsi kecil, sering, secara oral atau sonde, energi100
kkal/kgBB/hari, protein 1-1,5 g/kgBB/hari, cairan 130 ml/kgBB/hari untuk
penderita marasmus, marasmik kwashiorkor atau kwashiorkor dengan
edem derajat 1,2, jika derajat 3 berikan cairan 100 ml/kgBB/hari.
19
Mainan digunakan sebagai stimulasi, macamnya tergantung kondisi, umur
dan perkembangan anak sebelumnya. Diharapkan dapat terjadi stimulasi
psikologis, baik mental, motorik dan kognitif.
(10). Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah.
Setelah BB/PB mencapai -1SD dikatakan sembuh, tunjukkan kepada orang
tua frekuensi dan jumlah makanan, berikan terapi bermain anak, pastikan
pemberian imunisasi boster dan vitamin A tiap 6 bulan6
II. KOLESTASIS
DEFINISI
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah
normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit
sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum.7
20
Hambatan aliran empedu menyebabkan retensi berbagai substansi yang seharusnya
dieksresikan ke kandung empedu dengan bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total
<5 mg/dL atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total >5
mg/dL.6 Berdasarkan the North American Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition Indikator kolestasis:8
Bilirubin direk >17mol/L(1,0 mg/dL)
Bilirubin direk >20% dari konsentrasi serum bilirubin total,jika jumlah
bilirubin >85mol/L(5,0 mg/dL)
21
c. Atresia Biliaris
Atresia biliaris ditandai dengan tidak terbentuknya sistem bilier ekstrahepatik,
sehingga terjadi obstruksi aliran empedu. Terjadi peningkatan kadar bilirubin direk
dan gama glutamiyl transferase >10 kali. Gangguan tersebut merupakan penyebab
paling umum pembedahan pada kolestasis yang ditemui selama periode baru lahir.
Jika tidak dikoreksi melalui pembedahan, dapat terjadi sirosis bilier dan hipertensi
potral.11
Prognosis atresia bilier tergantung pada beberapa faktor. Prosedur Kasai dilakukan
pada bayi usia sebelum 6 minggu akan memberikan 80% probabilitas survival rate 5
tahun jaundice-free, dengan tingkat kelangsungan hidup 10-tahun adalah 90% hingga
dilakukan prosedur transplan hati.8
Obstruksi intrahepatik yang terjadi biasanya jarang seberat obstruksi ekstrahepatik,
sehingga kolestasis intrahepatik umumnya hanya meningkatkan alkali fosfatase yang
tidak begitu tinggi, dan hanya terdapat sedikit pigmen dalam feses atau bilirubin urin
bila dibandingkan dengan kolestasis ekstrahepatik.7 dengan manifestasi klinis yang
dapat terjadi:
22
DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Riwayat prenatal, neonatal, prematuritas, riwayat morbiditas ibu selama kehamilan
misalnya infeksi Toksoplasma, others, rubela, cytomegalovirus, dan Herpes
(TORCH), hepatitis B, riwayat pemberian nutrisi parenteral, transfusi darah, serta
penggunaan obat hepatotoksik, riwayat pemberian ASI, riwayat feses dempul, air
kencing berwarna gelap, riwayat mulai tampak kuning.9
b. Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum pasien, adanya dismorfik atau makroglosi, adanya kulit tampak
ikterik, pucat, seklera ikterik, kulit ikterik, hepatomegali, spleenomegali, kelainan
jantung, hernia umbilikalis, venektasi, petechie /purpura, hidrokel, asites
atau clubbing.8,13,14,12
23
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan serum bilirubin direk dan indirek. 8
2. Feses seperti dempul atau pucat (akholic)
Pada pemeriksaan feses ini dapat dilakukan dengan teknik 3 porsi, diambil
contoh feses selama 3 kali berturut-turut dan dibandingkan untuk melihat
warna dari pada feses atau dengan menggunakan kartu warna feses.17
3. Urine berwarna gelap, pemeriksaan urine analisis dan bilirubin dalam urine
4. Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi hati: Alanin aminotransferase,
Aspartat aminotransferase, Gama Glutamin Transpeptidase, alkali phospatase,
albumin, Protombine time dan tromboplastin dan Infeksi TORCH.16,13
5. Pemeriksaan Ultra Sonografi 2 fase (atresia biliaris, duktus choledokus, batu
empedu, slude bilier, atau tumor) ataupun MRCP, ERCP, Skintigrafi,
kolangiografi.
6. Biopsi Hati.18
TATALAKSANA
Pada bayi dengan usia 2-3 minggu yang masih mengalami kuning dianjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan terutama pemeriksaan bilirubin direk. Bagi tenaga medis yang
mendapatkan bayi dengan keadaan tersebut diharapkan dapat mengivestigasi lebih
dini kemungkinan terjadinya kolestasis.
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis:
Medikamentosa supportif kolestasis dapat diberikan UDCA, multivitamin
yang larut dalam lemak (vitamin A,D,E,K), MCT, dan hepatoprotektor.8
Terapi bedah dilakukan portoenterostomy Kasai, pasien yang dioperasi kasai
tetap hidup sampai 4 tahun pascaoperasi 30hari (49%), 31-90 hari (36%),
dan >90 hari (23%).26 dan harus dilanjutkan dengan transplan hati.8
Antibiotik ataupun antiviral pada neonatal hepatitis.18
BAB VI
KESIMPULAN
Dilaporkan seorang bayi laki-laki 4 bulan, berat badan 3 kg, panjang badan 50
cm, pada anamnesis diperoleh bahwa 3 hari sebelum masuk rumah sakit bayi demam,
24
demam dirasa naik turun, batuk, sesak, sering menangis rewel, BAB dalam batas
frekuensi normal, feces warnanya seperti dempul. Ketika di RSUD Kartini Jepara,
telah dilakukan pemeriksaan fisik, dengan didapatkan hasil berat badan 3 kg, dengan
panjang badan 50 cm, Lila 5 cm, lingkar kepala 31 cm, sclera ikterik, terdapat
hepatosplenomegali, darah rutin yaitu Hb 11,7 gr%, bilirubin total 27,36 mg%,
bilirubin direk 17,09 mg%, lalu didiagnosis dengan gizi buruk dan kolestasis.
Pada saat ini telah menjalani hari perawatn ke dua di bangsal anak HND
anyelir RSUD RA Kartini Jepara. Penderita mendapat terapi inf kaen 4B, inj.
Cefepime 2x150 mg, Inj. Amikasin 1x25 mg, inj. Vit. K 1x1, urdafalk 25 mg, dan
asam folat 1x1. Penderita dibolehkan pulang, bila keadaan klinis membaik, berat
badan bertambah, cukup aktif, nafsu makan membaik, dan tidak dijumpai adanya
komplikasi.
Pada orang tua dijelaskan tentang dampak dari gizi buruk pada anak yaitu
adanya gangguan perkembangan, orang ttua diberikan agar memberikan nutrisi
kepada anak yang cukup, orang tua juga dijelaskan mengenai kolestasis,.
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
25
option=com _content&view=article&id=66:gizi-
buruk&catid=47:kesehatan&Itemid=, Kamis 07 -01-2010.
2. Solihin Pudjiadi. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi keempat. 2000. FKUI.
Jakarta
4. Anonim-4. Terapi Gizi Pada Anak Gizi Buruk. 2009. Available www.
Mat.Inti 5 Tatalaksana Gizi Buruk-Aceh.pdf.
5. Anonim-2. Deteksi Dini Anak Gizi Buruk Dan Tindak Lanjutnya. 2009,
Available www.ypha.or.id/files/Lingkaran_setan.pdf
7. Karpen SJ. Update on the etiologies and management of neonatal cholestasis. Clin
Perinatol. 2002;29:159-80.
8. Moyer V, Freese DK, Whintington PF, Olson AD, Brewer F, Colleti RB, et
al. Guidelines for the evaluation of cholestatic jaundice in infants : recommendation
of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2004;39:115-128.
26
13. J. Mckiernan. Neonatal cholestasis in Seminars in Neonatology, Elsevier,
Birmingham, UK, April 2002;7(2): 15365
14. De Bruyne R, Van Biervliet S, Vande Velde S, Van Winckel M. Clinical practice:
neonatal cholestasis, Eur J Pediatr. 2011 Mar;170(3): 279-84.
Cholestasis in baby. Diunduh
darihttp://www.duq.edu/academics/schools/nursing/newborn-assessment/skin
15 Eric I. Benchimol et al. Early diagnosis of neonatal cholestatic jaundice Test at 2
weeks, Can Fam Physician. December 2009; 55:1184-92.
16. Shan-Ming Chen et al. Screening for Biliary Atresia by Infant Stool Color Card in
Taiwan. Pediatrics April 1, 2006;117(4):1147-54
17 K. Yachha. Consensus Report on Neonatal Cholestasis Syndrome. Indian Pediatrics
2000;37: 845-51
27