Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Kegawatan pernapasan adalah keadaan kekurangan oksigen yang terjadi dalam jangka
waktu relatif lama sehingga mengaktifkan metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat.
Dimana apabila keadaan asidosis memburuk dan terjadi penurunan aliran darah ke otak maka
akan terjadi kerusakan otak dan organ lain. Selanjutnya dapat terjadi depresi pernapasan yang
dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang dan bahkan dapat menyebabkan kematian (Yu
dan Monintja, 1997). Kegawatan pernapasan sering diakibatkan oleh gagalnya sistem pernapasan
dan juga akibat sumbatan jalan napas.
Gagal napas didefinisikan secara numerik sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan
parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang tanpa atau dengan
tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan
istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup udara ruangan (Irwin dan Wilson,
2006). Secara umum, gagal napas dapat dibagi menjadi 3 tipe. Tipe I merupakan kegagalan
oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe III adalah gabungan antara kegagalan
oksigenasi dan ventilasi (Nemaa, 2003). Penegakkan diagnosis gagal napas dapat dilakukan
melalui pemeriksaan analisa gas darah maupun pemeriksaan klinis.
Obstruksi saluran napas kronis merupakan sekumpulan gejala dan tanda yang diakibatkan
oleh sumbatan di saluaran napas bagian atas.Sumbatan jalan napas karena benda asing sangat
berbahaya dan harus segera dibersihkan karena apabila tidak dapat bernapas, maka kita tidak
dapat memberikan pernapasan buatan. Sumbatan airway pada penderita yang sadar dapat
menyebabkan henti jantung. Pada sumbatan total, pernapasan akan berhenti karna benda tersebut
menyumbat airway sepenuhnya. Beberapa menit kemudian penderita yang sadar akan menjadi
tidak sadar (karena otak kekurangan oksigen) dan kematian akan terjadi jika sumbatan tidak
diatasi. Penyebab sumbatan yang banyak ditemukan adalah makanan.
Dari uraian di atas, maka perlu kiranya dilakukan pembahasan lebih sistematik dan detail
terkait kegawatan respirasi akibat gagal napas dan sumbatan jalan napas. Selain itu juga perlu
dibahas peran aiway management dalam menangani kasus-kasus kegawatan respirasi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Respirasi

2.1.1. Anatomi dan Fungsi Paru

Paru merupakan organ yang elastis dan terletak di dalam rongga dada bagian atas,
bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk, dan bagian bawah dibatasi oleh
diafragma yang berotot kuat.Paru terdiri dari dua bagian yang dipisahkan oleh
mediastinum yang berisi jantung dan pembuluh darah.Paru kanan mempunyai tiga
lobus yang dipisahkan oleh fissura obliqus dan horizontal sedangkan paru kiri hanya
mempunyai dua lobus yang dipisahkan oleh fissura obliqus.Setiap lobus paru
memiliki bronkus lobusnya masing-masing.Paru kanan mempunyai sepuluh segmen
paru, sedangkan paru kiri mempunyai sembilan segmen.
Paru diselubungi oleh lapisan tipis kontinyu yang mengandung kolagen dan
jaringan elastis, dikenal sebagai pleura visceralis, sedangkan lapisan yang
menyelubungi rongga dada dikenal sebagai pleura parietalis.Di antara kedua pleura
terdapat cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura
bergerak selama bernapas dan untuk mencegah pemisahan thoraks dan paru.Tekanan
dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer, sehingga mencegah
terjadinya kolaps paru.Selain itu rongga pleura juga berfungsi menyelubungi struktur
yang melewati hilus keluar masuk dari paru.

2
Gambar 1. Anatomi Paru Kanan dan Kiri Dilihat dari Sisi Medial

Bronkhi dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah dari arteri
bronkialis cabang dari aorta thoracalis descendens.Vena bronkialis yang berhubungan
dengan vena pulmonalis mengalirkan darah ke vena azigos dan vena
hemiazigos.Alveoli mendapat darah deoksigenasi dari cabang terminal arteri
pulmonalis dan darah yang teroksigenasi mengalir kembali melalui cabang vena
pulmonalis.Kedua vena pulmonalis mengalirkan darah kembali dari tiap paru ke
atrium kiri jantung.Drainase limfatik paru mengalir kembali dari perifer menuju
kelompok kelenjar getah bening trakeobronkial hilar dan dari sini menuju trunkus
limfatikus mediastinal.Paru dipersarafi oleh pleksus pulmonalis terletak di pangkal
tiap paru.Pleksus pulmonalis terdiri dari serabut simpatis (dari truncus simpaticus)
dan serabut parasimpatis (dari arteri vagus).Serabut eferen dari pleksus ini
mempersarafi otot-otot bronkus dan serabut aferen diterima dari membran mukosa
bronkioli dan alveoli.

2.1.2. Otot Pernapasan dan Mekanisme Kerja Otot Pernapasan

Otot skelet selain berfungsi sebagai pembentuk dinding dada juga berfungsi
sebagai otot pernapasan.Menurut fungsinya, otot pernapasan dibedakan menjadi otot
inspirasi, yang terdiri dari otot inspirasi utama dan tambahan, serta otot
3
ekspirasi.Yang termasuk dalam otot inspirasi utama yaitu m. intercostalis externus
dan m. diafragma, sedangkan yang termasuk dalam otot inspirasi tambahan yaitu m.
sternocleidomastoideus berfungsi mengangkat sternum ke superior, m. serratus
anterior berfungsi mengangkat sebagian besar costa, dan m. scalenus berfungsi
mengangkat dua costa pertama.
Selama pernapasan normal dan tenang (quiet breathing), tidak ada otot
pernapasan yang bekerja selama ekspirasi, hal ini akibat dari daya lenting elastis paru
dan dada.Namun pada keadaan tertentu, di mana terjadi peningkatan resistensi jalan
napas dan resistensi jaringan, misalnya saat serangan asma, otot ekspirasi dibutuhkan
kontribusinya. Dalam keadaan ini, otot ekspirasi yaitu m. rectus abdominis
memberikan efek tarikan ke arah inferior yang sangat kuat terhadap costa bagian
bawah, pada saat yang bersamaan otot ini dan otot abdominal lain menekan isi
abdomen ke arah diafragma, serta m. intercostalis internus juga berfungsi menarik
rongga toraks ke bawah.

4
Gambar 2. Otot-otot Pernapasan Dinding Dada

2.1.3. Mekanisme Pernapasan

Ventilasi merupakan proses pergerakan udara keluar-masuk paru secara berkala,


dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2 diantara darah kapiler paru dengan udara
atmosfer segar. Ventilasi secara mekanis dilaksanakan dengan mengubah secara
berselang-seling arah gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus
melalui ekspansi dan penciutan berkala paru (Gambar 3). Kontraksi dan relaksasi
otot-otot inspirasi (terutama diafragma) yang berganti-ganti secara tidak langsung
akan menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan cara berkala mengembang
kempiskan rongga thorak, dan paru secara pasif mengikuti gerakannya. Kontraksi
aktif dari m. diafragma dan m. intercostalis externus meningkatkan volume rongga
thorak, sehingga menyebabkan tekanan intrapleura yang sekitar 2,5 mmHg disaat

5
mulainya inspirasi, menurun sekitar -6 mmHg dan paru ditarik ke posisi yang lebih
diperluas. Tekanan dalam saluran pernapasan menjadi sedikit negatif dan pada
akhirnya udara mengalir ke dalam paru

Gambar 3. Mekanisme Ventilasi Paru

Laju aliran udara berbanding terbalik terhadap gradien resistensi saluran


pernapasan.Hal ini dikarenakan resistensi saluran pernapasan, yang bergantung pada
kaliber saluran pernapasan, dalam keadaan normal sangat rendah, dan laju aliran
udara biasanya bergantung pada gradien tekanan yang tercipta antara alveolus dan
atmosfer.Apabila resistensi pernapasan meningkat secara patologis akibat dari
penyakit paru obstruktif kronik, gradien tekanan harus juga meningkat melalui
peningkatan aktivitas otot pernapasan agar laju aliran udara konstan.
Pada saat inspirasi dalam, m. scalenus dan m. sternocleidomastoideus
berkontraksi sebagai otot pernapasan tambahan, membantu mengangkat rongga dada,
menyebabkan tekanan intrapleura 13 berkurang sampai -30 mmHg, dan menyebabkan
derajat inflasi paru yang lebih besar.
Paru dapat diisi sampai > 5,5 liter dengan usaha inspirasi maksimum atau
dikosongkan sampai sekitar 1 liter dengan ekspirasi maksimum. Volume paru

6
bervariasi dari sekitar 2 sampai 2,5 liter karena volume udara tidal rata-rata sebesar
500 ml keluar masuk paru tiap kali seseorang bernapas..
Volume dan kapasitas paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem
pernapasan.Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas paru dapat diketahui
besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru.
a. Volume tidal Merupakan jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap kali
inspirasi atau ekspirasi pada setiap pernapasan normal. Nilai rerata pada orang
sehat kondisi istirahat adalah 500 ml.
b. Volume cadangan inspirasi Merupakan volume udara tambahan pada inspirasi
maksimal melebihi volume tidal, digunakan pada saat aktivitas fisik. Volume
cadangan inspirasi dihasilkan oleh adanya kontraksi maksimal diafragma,
musculus intercostalis eksternus dan otot inspirasi tambahan. Nilai ratarata
pada orang sehat sekitar 3.000 ml.
c. Volume cadangan ekspirasi Merupakan volume udara tambahan yang dapat
secara aktif dikeluarkan dari dalam paru melalui kontraksi otot ekspirasi
secara maksimal setelah ekspirasi biasa. Nilai rata-rata pada orang sehat
sekitar 1.000 ml.
d. Volume residual Merupakan volume udara minimal yang tersisa di dalam paru
setelah ekspirasi maksimum. Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 1.200 ml.
e. Kapasitas vital Merupakan volume udara maksimal yang dapat dikeluarkan
selama satu kali bernapas setelah inspirasi maksimal, bermanfaat untuk
menilai kapasitas fungsional paru. Subyek mula-mula melakukan inspirasi
maksimum, kemudian melakukan ekspirasi maksimum. Nilai rata-rata pada
orang sehat sekitar 4.500 ml.
f. Kapasitas inspirasi Merupakan volume udara maksimal yang dapat dihirup
pada akhir ekspirasi biasa. Nilai rata-rata pada orang yang sehat adalah sekitar
3.500 ml.
g. Kapasitas residual fungsional Merupakan volume udara dalam paru pada akhir
ekspirasi pasif normal. Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 2.200 ml.
h. Kapasitas total paru Merupakan volume udara dalam paru sesudah inspirasi
maksimal. Kapasitas total paru merupakan penjumlahan dari keempat volume

7
paru atau penjumlahan dari kapasitas vital dengan volume residual Nilai rata-
rata pada orang sehat sekitar 5.700 ml

Gambar 4. Spirogram Normal pada Dewasa Muda (Diagram yang memperlihat


peristiwa pernapasan selama bernapas normal, inspirasi maksimal dan ekspirasi
maksimal)

2.2 Kegawatan Respirasi

2.2.1. Gagal Napas

2.2.1.1. Definisi Gagal Napas


Gagal napas didefinisikan secara numerik sebagai kegagalan pernapasan bila
tekanan parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang
tanpa atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau
lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup
udara ruangan (Irwin dan Wilson, 2006)

2.2.1.2. Klasifikasi
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal napas dapat dibagi menjadi 3 tipe.
Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe III
adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi (Nemaa, 2003).

8
Gagal Napas Tipe I (Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri): Tekanan parsial
O2 dalam arteri mencerminkan: (1) Tekanan parsial O2 gas inspirasi; (2) ventilasi
semenit; (3) kuantitas darah yang mengalir melalui pembuluh kapiler paru; (4)
Saturasi O2 dalam Hb darah yang mengalir dalam kapiler paru (dipengaruhi
metabolism jaringan dan cardiac output); (5) difusi melalui membrane alveolar; dan
(6) ventilation-perfusion matching

Gagal napas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang abnormal
rendah.Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh setiap kelainan yang menyebabkan
rendahnya ventilasi perfusi atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri yang
ditandai dengan rendahnya tekanan parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat
menghirup udara ruangan), peningkatan perbedaan PAO2 PaO2, venous
admixture dan Vd/VT (Shapiro dan Peruzzi, 1994).

Patofisiologi mekanisme hipoksemia arterial:

A. Penurunan tekanan parsial O2 dalam alveoli


1. Hipoventilasi
2. Penurunan tekanan parsial O2 udara inspirasi
3. Underventilated alveoli (areas of low ventilation-perfusion)
B. Shunting intrapulmoner (areas of zero ventilation-perfusion)
C. Penurunan mixed venous O2 content (saturasi haemoglobin yang rendah)
1. Peningkatan kecepatan metabolisme
2. Penurunan cardiac output
3. Penurunan arterial O2 content (Shapiro dan Peruzzi, 1994).

Penyebab gagal napas tipe I (Kegagalan Oksigenasi):

1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)


2. Asthma
3. Oedem Pulmo
4. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
5. Fibrosis interstitial
6. Pneumonia

9
7. Pneumothorax
8. Emboli Paru
9. Hipertensi Pulmonal (Kreit dan Rogers, 1995)

Gagal Napas Tipe II (Kegagalan Ventilasi: Arterial Hypercapnia):

Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme ventilasi yang


membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan.Gagal napas
tipe II dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan central respiratory
drive, mempengaruhi tranmisi sinyal dari CNS (central nervous system), atau
hambatan kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan paru dan dinding
dada. Gagal napas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO2 arteri
yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya
PAO2 dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah
(Kreit dan Rogers, 1995)

Penyebab gagal napas tipe II:

A. Kelainan yang mengenai central ventilatory drive


1. Infark atau perdarahan batang otak
2. Penekanan masa supratentoral pada batang otak
3. Overdosis obat, narkotik, Benzodiazepines, agen anestesi, dll.
B. Kelainan yang mengenai tranmisi sinyal ke otot-otot respirasi
1. Myasthenia Gravis
2. Amyotrophic lateral sclerosis
3. Gullain-Barr syndrome
4. Spinal Cord injury
5. Multiple sclerosis
6. Paralisis residual (pelumpuh otot)
C. Kelainan pada otot-otot pernapasan dan dinding dada
1. Muscular dystrophy
2. Polymyositis
3. Flail Chest (Kreit dan Rogers, 1995)

10
Gagal Napas Tipe III (Gabungan kegagalan oksigenasi dan ventilasi)):

Gagal napas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia
(penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2).Penilaian berdasarkan pada persamaan
gas alveolar menunjukkan adanya peningkatan perbedaan antara PAO2
PaO2, venous admixture dan Vd/VT.Dalam teori, seriap kelainan yang menyebabkan
gagal napas tipe I atau tipe II dapat menyebabkan gagal napas tipe III (Nemaa, 2003).

Penyebab tersering gagal napas tipe III:

1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)


2. Asthma
3. Chronic obstructive pulmonary disease (Kreit dan Rogers, 1995)

2.2.1.3. Patofisiologi

Mekanisme Kompensasi pada Gagal Napas:

Respon terhadap hipoksemia tergantung pada kemampuan pasien untuk


mengenali adanya keadaan hipoksemia dan kemudian untuk meningkatkan cardiac
output dan ventilasi semenit untuk memperbaiki situasi tersebut.Kemoreseptor perifer
yang berlokasi di arkus aorta dan bifurcation arteri carotis mengirim sinyal aferen ke
otak (Nemaa, 2003).

Penilaian Fungsi Paru pada pasien Kritis:

Tujuan utama sistem respirasi adalah untuk pertukaran gas (hubungan


kardiopulmoner) di dalam parenkim paru.Jalan napas menyediakan saluran lewatnya
udara dari lingkungan ke paru-paru, sistem neuromuskuler meyakinkan bahwa
ventilasi dan parenkim paru menyediakan hubungan antara ventilasi dan
perfusi.Sehatnya parenkim paru dan jalan napas menentukan work of
breathing (WOB) pada sistem neuromuskuler; peningkatan WOB akibat penyakit
paru dan jalan napas dapat menekan dan memicu kegagalan sistem
neuromuskuler.Pemburukan fungsi paru pada pasien kritis dapat disebabkan oleh
tidak adekuatnya jalan napas, parenkim paru, interaksi kardiopulmoner dan sistem

11
neuromuskuler.Penilaian fungsi paru sangatlah penting untuk (1) memutuskan apakah
bantuan ventilasi diindikasikan, (2) penilaian respon terapi, (3) mengoptimalkan
manajemen ventilator, dan (4) untuk memutuskan penyapihan dari ventilator (Nemaa,
2003).

Penilaian klinis terhadap sistem respirasi sering berfokus pada penemuan


auskultasi, namun pertimbangan informasi dapat diperoleh dari inspeksi yang teliti
dan pemeriksaan pola pernapasan. Adanya wheezing, krepitasi, meningkatnya laju
respirasi, retraksi interkostal dan suprasternal, penggunaan otot bantu pernapasan, dan
pergerakan paradoksal dinding dada mengindikasikan peningkatan WOB. Terdapat
berbagai tes untuk menilai komponen yang berbeda.Pengukuran resistensi jalan napas
dan komplien paru memberikan evaluasi WOB berdasarkan komponen
neuromuskuler sedangkan penilaian fungsi pusat respirasi dan kekuatan otot-otot
respirasi memberikan evaluasi terhadap efisiensi komponen
neuromuskuler.Pengukuran tekanan penutupan jalan napas (airway occlusion pressure
/AOP) pada 0.1 detik menggambarkan hubungan tertutup intensitas darirespiratory
neural drive.(Whitelaw dan Derenne, 1993).

Tekanan penutupan diukur secara temporer dan diam-diam menutup jalan napas
selama awal inspirasi dan mengukur perubahan tekanan jalan napas setelah 0.1 detik
sebelum pasien bereaksi terhadap penutupan tersebut.Meskipun nilai AOP (Airway
Occlution Pressure) 0.1 menggambarkan tekanan negatif, tetapi biasanya dilaporkan
dalam unit tekanan positif, yang pada orang normal selama pernapasan istirahat
adalah 0.93 0.48(SD) cm H2O. Nilai AOP 0.1 yang tinggi selama gagal napas akut
mengindikasikan peningkatan respiratory drive dan neuromuscular activity dan jika
menetap, mungkin akan menyebabkan kelemahan otot-otot inspirasi. Ventilator
modern menyediakan fasilitas pengukuran resistensi jalan napas, komplien paru dan
AOP pada pasien on ventilator.Kekuatan otot dinilai dengan mengukur tekanan
maksimum inspirasi dan ekspirasi (Pimax and Pemax,) yang dihasilkan akibat
penutupan jalan napas.Pengukuran ini dapat diperoleh dengan aneroid
manometer.Kekuatan maksimal yang dapat dihasilkan oleh otot inspirasi dan
ekspirasi berhubungan dengan panjang inisiasinya.Konsekuensinya pengukuran ini

12
dilakukan pada volume residual (Pimax) atau kapasitas paru total (total lung capacity
(Pemax)).Pimax dan Pemax pada dewasa sehat kira-kira masing-masing 11134 dan
15168 cm H2O. Nilainya cenderung turun dengan umur dan lebih rendah pada
wanita (Chen dan Kuo, 1989)

Pada pasien rawat jalan dengan penyakit neuromuskuler tetapi tidak mempunyai
penyakit paru, hiperkapnea lebih mudah berkembang saat Pimax menurun 1/3 dari
nilai yang diperkirakan.Sistem respirasi berjalan terus menerus dan untuk
mempertahankan ventilasi, otot-otot respirasi harus mempunyai ketahan tanpa cepat
lelah.Beberapa teknik seperti pengukuran tekanan transdiafragma, stimulasi nervus
frenicus dan penentuan indeks tekanan-waktu digunakan untuk mendeteksi adanya
suatu kelemahan otot (Tobin dan Laghi, 1998).

Ultrasonografi diafragma telah ditemukan untuk membantu menilai fungsi


diafragma. Caranya dengan menilai perubahan ketebalan diafragma selama inspirasi
dan dengan mudah dapat mengenali adanya kelemahan diafragma (Gottesman
dan McCool, 1997).

Kapasitas vital/Vital capacity (VC) merupakan satu-satunya volume paru yang


sering diukur di ICU. Pada penelitian pasien dengan GBS (Guillain Barre syndrome),
pengukuran VC ditemukan sebagai prediktor gagal napas beberapa jam sebelum
dilakukan intubasi dan turunya VC <15 ml/kgBB mengindikasikan perlunya
dilakukan intubasi (Chevrolet dan Deleamont, 1991).

2.2.1.4. Diagnosis

Kriteria Gagal Napas

Gejala Klinis dan Pemeriksaan

Diagnosis pasti gagal napas akut adalah pemeriksaan analisa gas darah, tetapi
kadang-kadang diagnosa sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja
misalnya apnoe, dalam hal ini tidak perlu menunggu hasil AGD. Adapun Kriteria
gejala klinis dan tanda-tanda gawat napas adalah:

13
- Apnoe
- Batuk berdahak
- Sianosis
- Sesak napas/dispnoe
- Perubahan pola napas:
Frekuensi menurun (bradipnea) atau meningkat (takhipnea)
Adanya retraksi dinding dada
Penggunaan otot-otot bantu pernapasan
Pernapasan yang paradoksal
Gerakan dinding dada yang tidak simetris
Kelelahan
- Suara napas menurun atau hilang, adanya suara tambahan seperti stridor,
ronkhi atau wheezing
- Takikardia/bradikardia
- Hipertensi/hipotensi
- Gangguan irama jantung
- Gangguan kesadaran akibat hipoksia atau hiperkarbia (Muhardi, 1989)

Kriteria Gagal Napas menurut Pontoppidan:

Yaitu menentukan kriteria gagal napas berdasarkan mechanic of breathing,


oksigenasi dan ventilasi seperti pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Kriteria Gagal Napas Menurut Ponttopidan

Acceptable Gawat Napas Gagal Napas


range
Mechanic of -RR (X/menit) 12-15 25-35 >35
Breathing -Kapasitas Vital (ml/Kg) 70-30 30-15 <15
-Inspiratory force (cm H2O) 100-50 50-25 <25
Oksigenasi -AaDO2 (mmHg)* 50-200 200-350 >350
-PaO2 (mmHg) 100-75 200-70 <70

14
(room air) (On mask O2) (On mask O2)
Ventilasi -VD/VT 0,3-0,4 0,4-0,6 >0,6
-PaCO2 (mmHg) 35-45 45-60 >60^
Terapi -Fisioterapi -Intubation-
dada tracheotomy
-Oksigenasi ventilation
-Close
monitoring
Keterangan: * setelah pemberian O2 100% selama 15 menit

^ kecuali pada hiperkapnea kronik

(Wirjoatmodjo, 2000)

Dari tabel di atas, kolom paling kanan menunjukkan gagal napas yang harus
dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomy dan bantuan ventilasi.Fisioterapi,
oksigenasi dan monitoring ketat perlu dilakukan pada gawat napas sehingga pasien
tidak jatuh ke tahap gagal napas.Kesemuanya ini hanyalah merupakan pedoman saja,
yang paling penting adalah mengetahui keseluruhan keadaan pasien dan mencegah
agar pasien tidak mengalami gagal napas (Wirjoatmodjo, 2000).

Kriteria Gagal Napas menurut Shapiro (Rule of Fifty)

Kriteria gagal napas akut menurut Shapiro bila:

- Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan,


- Tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg.

Kriteri Gagal Napas menurut Petty.

Kriteria gagal napas menurut Petty adalah:

- Acute Respiratory failure:


PaO2 < 50, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2
- Acute Ventilatory Failure:
PaCO2 > 50 mmHg (Wirjoatmodjo, 2000)

15
2.2.2. Sumbatan Jalan Napas

2.2.2.1. DEFINISI
Obstruksi saluran napas kronis merupakan sekumpulan gejala dan tanda yang
diakibatkan oleh sumbatan di saluaran napas bagian atas.Sumbatan jalan napas karena
benda asing sangat berbahaya dan harus segera dibersihkan karena apabila tidak dapat
bernapas, maka kita tidak dapat memberikan pernapasan buatan.

Sumbatan airway pada penderita yang sadar dapat menyebabkan henti


jantung. Pada sumbatan total, pernapasan akan berhenti karna benda tersebut
menyumbat airway sepenuhnya. Beberapa menit kemudian penderita yang sadar akan
menjadi tidak sadar (karena otak kekurangan oksigen) dan kematian akan terjadi jika
sumbatan tidak diatasi. Penyebab sumbatan yang banyak ditemukan adalah
makanan.

2.2.2.2. ETIOLOGI
1. Kelainan kogenital hidung atau jaringan
- Atresia koana
- Stenosis supra glottis, glottis dan infra glottis
- Kista dukstus tiroglosus
- Kista brankiogen yang besar
- Laringokel yang besar
2. Trauma
3. Tumor
4. Infeksi akut
5. Paralisis satu atau kedua plika vokalis
6. Pangkal lidah jatuh kebelakang pada pasien tidak sadar
7. Benda asing

Benda- benda asing tersebut dapat tersangkut pada :

A. Laring

Terjadi obstruksi pada laring dapat diketahui melalui tanda-tanda sebagai


berikut, yakni secara progresif terjadi stridor, dispnoe, apnea, disfagia,

16
hemoptisis, pernapasan otot-otot napas tambahan atau dapat pula terjadi
sianosis.Gangguan oleh benda asing ini biasanya terjadi pada anak-anak yang
disebabkan oleh berbagai biji-bijian dan tulang ikan yang tak teratur bentuknya.

B. Saluran napas

Berdasarkan lokasi benda-benda yang tersangkut dalam saluran napas


maka dapat dibagi pada bagian atas pada trachea, dan pada brongkus.

2.2.2.3. KLASIFIKASI

a. Sumbatan parsial
Tersendak terjadi bila benda asing masuk ke arah paru-paru dan
menyumbat jalan napas ke arah paru-paru. Bila penderita bisa menghilangkan
penyumbatan denga cara batuk-batuk keras, maka tidak perlu dilakukan
pertolongan lagi. Tetapi bila penderita terus tersedak sehingga sesak napas maka
perlu segera dilakukan pertologan pertama.
Gejala :
- Tersedak, tetapi tetap bisa bernapas batuk dan berbicara
- Sesak bicara
b. Sumbatan total

Perlu tindakan segera dan anda hanya mempunyai waktu 3 menit untuk
mengambil sumbatan, sebelum terjadi kerusakan otak karena kekurangan oksigen.

Gejala :

- Tersedak dan tidak bisa bernapas, batuk atau bicara


- Muka menjadi biru

Kelainan klinis yang terjaid ditentukan oleh 3 faktor :

1. Lokasi dari obstruksi yang terjadi

Bila obstruksi terjadi sebelum karina, maka obstruksi tersebut berbahaya


dibandingkan bila terjadi di bagian distal dari bronkus. Hal ini disebabkan oleh
karena obstruksi ini bersifat total, disamping itu mekanisme konpensasi pada
obstruksi distal lebih baik dari obstruksi di proksimal.

17
2. Tingkat dari obstruksi yang terjadi

Makin total suatu tingkat obstruksi, maka makin berbahaya. Tetapi suatu
obstruksi parsial dapat pula menimbulkan check valve phenomen, artinya udara
dapat masuk pada jalan pernapasan akan tetapi tidak dapat keluar sehingga
menimbulkan emfisema yang disebabkan oleh karena udara yang terperangkap
(air tappering)

3. Fase obstruksi yang terjadi

Pada obstruksi yang akut, kelainan perubhan faal baru, maupun


hemodinamik lebih cepat timbul tanpa sempat dikompensasi oleh mekanisme
tubuh.

2.2.2.4. MANIFESTASI KLINIS


- Tidak dapat bicara, bernapas, bersuara
- Menunjukkan sikap tercekik (pasien memegang leher)
- Cyanosis
- Gerakan napas tidak teratur(tidak normal)
- Colaps, tidak sadar

2.2.2.5. KOMPLIKASI
1. Nyeri abdomen,ekimosis
2. Fraktur iga
3. Cedera atau trauma pada organ-organ di bawah abdomen dan dada.
4. Gagal napas, kor pulmonal, septikemia

2.2.2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Radiologi
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperolah akan timbul bayangan
radiologi yang diakibatkan oleh dua sebab, yakni:
- Bila benda asing itu bersifat radioopaque, maka bayangan yang terjadi
adlah disebabkan oleh benda asing itu sendiri.
- Bila bayangan yang terjadi disebabkan karna komlikasi, misalnya
ateoetksis dan emfisema,maka akan terkantung pada tipe obstruksi
yang terjadi
18
b. Pemeriksaan faal baru
Dari pemeriksaan faal paru didapatkan defek obstruktif faal paru dan ini
tergantung kepada lokasi obstruksi yang terjadi di daerah laringotrakeal, maka
akan terjadi pengurangan dari kecepatan aliran (flowrate). Bila obstruksi terjadi
disuparstrnal notch, maka akan terjadi pengurangan dari kecepatan aliran inspirasi
(inspiratory flow rate), sedangkan bila terjadi di bawah suparsternal nocht, maka
akan terjadi pengurangan dari kecepatan aliran ekspirasi (expiratory flow rate)
c. Pemeriksaan gas darah
Pada pase permulaan obstruksi dapat menimbulkan peningkatan PaCo2
. kecepat pernapasan yang 30 kali/menit masih dapt mengkompensasi sehingga
tidak terjadi hipoksemia akan tetapi pada penyumbatan yang sifatnya proksimal
maka total perburukan gas dan pH terjadi secara cepat

2.3 Airway Management

2.3.1. Definisi
Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka. Menurut The
Commitee on Trauma: American College of Surgeon tindakan paling penting untuk
keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernapasan, yaitu dengan
triple airway maneuver dan maneuver Heimlich.

Pada triple airway maneuver terdapat tiga perlakuan yaitu:

Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah leher, sedangkan


tangan yang lain pada dahi. Leher diangkat dengan satu tangan dan kepala
ditengadahkan ke belakang oleh tangan yang lain.
Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah obstruksi
hipofaring oleh dasar lidah. Kedua gerakan ini meregangkan jaringan antara
laring dan rahang bawah.
Menarik atau mengangkat dasar lidah dari dinding faring posterior.

Maneuver Heimlich

19
Maneuver Heimlich merupakan metode yang paling efektif untuk mengatasi
obstruksi saluran pernapasan atas akibat makanan atau benda asing yang
terperangkap dalam faring posterior atau glotis.
Korban menjadi pucat yang diikuti dengan sianosis, anoksia dan kematian.
Pada kondisi tersebut di atas, maneuver dapat dilaksanakan dengan posisi penolong
berdiri atau berbaring.

a. Korban dalam keadaan sadar


Penolong berdiri di belakang korban dan memeluk pinggang korban
dengan kedua belah tanggan, kepalan salah satu tangan digenggam oleh tangan
yang lain. Sisi ibu jari kepalan penolong menghadap abdomen korban diantara
umbilicus dan thoraks. Kepalan tersebut ditekankan dengan sentakan ke atas yang
cepat pada abdomen korban. Penekanan tersebut tidak boleh memantul, dan pada
waktu di puncak tekanan perlu diberi waktu untuk menahan 0.5-1 detik dan
setelah itu tekanan dilepas, perbuatan ini harus diulang-ulang beberapa kali.
Naiknya diafragma secara mendadak menekan paru-paru yang dibatasi oleh
dinding rongga dada, meningkatkan tekanan intrathorakal dan memaksa udara
serta benda asing keluar dari dalam saluran pernapasan.

Gambar 5. Heimlich manuever

b. Korban dalam keadaan tidak sadar


Korban berbaring terlentang dan penolong berlutut melangkahi panggul
korban. Penolong menumpukan kedua belah tanggannya dan meletakkan pangkal

20
salah satu telapak tangan pada abdomen korban, kemudian melaksanakan
prosedur yang sama pada posisi berdiri.

Gambar 6. Penilaian Jalan Napas (Look, Listen and Feel)

Untuk menilai jalan napas, terdapat 3 tahapan, yaitu:

1. Look (lihat sumbatan pada jalan napas, daerah bibir, dan pengembangan
dada),
2. Listen (dengar suara napas),
3. Feel (rasakan hembusan napas).
Sumbatan jalan napas dapat total atau partial. Tanda-tanda obstruksi partial:
1. Stridor.
2. Retraksi otot dada kedalam di daerah supraklavikula, suprasternal, sela iga
dan epigastrium selama inspirasi.
3. Napas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar
bukannya mengembang/membesar).
4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah.
5. Napas makin berat dan sulit (kerja otot-otot pernapasan meningkat).
6. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan napas yang lebih
berat.
Tanda-tanda obstruksi total:

Serupa dengan obstruksi partial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan
stridor justru menghilang.

21
1. Retraksi lebih jelas.
2. Gerak paradoksal lebih jelas.
3. Kerja otot napas tambahan meningkat dan makin jelas.
4. Balon cadangan tidak kembang kempis lagi.
5. Sianosis lebih cepat timbul.
Sumbatan total tidak berbunyi dan menyebabkan asfiksia (hipoksemia
ditambah hiperkarbia), henti napas dan henti jantung (jika tidak dikoreksi) dalam
waktu 5 10 menit. Sumbatan partial berisik dan harus pula dikoreksi segera,
karena dapat menyebabkan kerusakan otak, serta dapat menyebabkan henti napas
dan henti jantung sekunder.

2.3.2. Pengelolaan Jalan Napas Darurat


Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras atau selipkan papan
kalau pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat faring
dan epiglotis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab utama
tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal ini
dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
1. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift maneuver)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu
dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglotis terbuka.
2. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust maneuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong kedepan pada
sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Lidah ikut tertarik dan jalan napas
terbuka karena lidah melekat pada rahang bawah.

22
Gambar 7. Tindakan Pembebasan Jalan Napas - Jawthrust

Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan maneuver triple airway (kepala tengadah, rahang didorong
kedepan, mulut dibuka) dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda asing
lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan napas buatan.
Pasien tidak sadar hendaknya diletakan horizontal, tetapi kalau diperlukan
pembersihan jalan napas maka pasien dapat diletakkan dengan posisi kepala dibawah
(head down tilt) untuk mengeluarkan benda asing cair oleh gravitasi. Jangan
meletakkan pasien pada posisi telungkup karena muka sukar dicapai, menyebabkan
sumbatan mekanis dan mengurang kekembungan dada.
Posisi lurus terlentang ditopang dianjurkan untuk pasien koma diawasi yang
memerlukan resusitasi. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal atau handuk yang
dilipat dibawahnya mempermudah ekstensi kepala. Akan tetapi jangan sekali-kali
meletakkan bantal dibawah kepala pasien yang tidak sadar (dapat menyebabkan leher
fleksi sehingga menyebabkan sumbatan hipofaring) kecuali pada intubasi trakea.
Pada kasus trauma pertahankanlah kepala-leher-dada pada satu garis lurus.
Ekstensikan kepala sedang, jangan maksimum. Jangan memutar kepala korban
kesamping, jangan memfleksikan kepalanya. Jika korban harus dimiringkan untuk
membersihkan jalan napasnya, pertahankanlah kepala-leher-dada tetap dalam satu
garis lurus, sementara penolong lain memiringkan korban. Posisi mantap dianjurkan
utnuk pasien koma bernapas spontan.

2.3.3. Pengelolaan Jalan Napas dengan Alat


Hilangnya tonus otot jalan napas bagian atas pada pasien yang dianestesi
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring.
Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk
membebaskan jalan napas. Untuk mempertahankan jalan napas bebas, jalan napas
buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk
menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian
posterior. Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau

23
spasme laring pada saat memasang jalan napas artifisial bila refleks laring masih
intak. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks
jalan napas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral
airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/oropharyngeal airway No 3),
medium (90 mm/oropharyngeal airway no 4), dan besar (100 mm/oropharyngeal
airway no 5).

Gambar 8. Jalur Pernapasan Oropharyng

Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung
ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Nasal
airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan
adenoid karena adanya risiko epistaksis. Nasal airway jangan digunakan pada pasien
dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal
airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakeal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih
ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan.

2.3.3.1. Bentuk dan Teknik Face Mask


Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas
anestesi dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat.
Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orifisium face
mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor. Face

24
mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan. Face
mask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk menyesuaikan dengan
bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook dipakai untuk mengkaitkan head
scrap sehingga face mask tidak perlu terus dipegang. Beberapa macam mask untuk
pediatrik dirancang untuk mengurangi dead space.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan napas yang bebas dan face mask yang
rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan
reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya
kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi
dengan pergerakan dada dan suara pernapasan yang minimal menunjukkan adanya
obstruksi jalan napas.

Gambar 9. Face mask

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk
melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memompa breathing bag. Face
mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu
jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi
atlantooccipital joint. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan
lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan napas. Jari
kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust maneuver
yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.

25
Gambar 10. Face mask dengan teknik dua tangan

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust
yang adekuat dan face mask yang rapat karena itu diperlukan seorang asisten untuk
memompa bag. Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena tekanan kuat dari
face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Terkadang sulit memasang face mask
rapat ke muka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau
memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi
kesulitan ini. Tekanan normal ventilasi jangan melebihi 20 cmH2O untuk mencegah
masuknya udara ke lambung.
Kebanyakan jalan napas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan
oral atau nasalairway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat
menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila
face mask dan ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering
diubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus
diplester untuk menghindari risiko aberasi kornea.

2.3.3.2. Bentuk dan Teknik Laryngeal Mask Airway (LMA)


Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan
TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT

26
pada pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama
bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkoskop. LMA memiliki kelebihan
istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan napas dibandingkan
combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang,
LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk
memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan
Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan napas yang
sulit.

Gambar 11. Pemasangan LMA

27
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang diakhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit napas dengan konektor berukuran 15 mm, dan
dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa.
Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke
hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara
laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk
memasukan oral airway. Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior,
sinus pyriforme di bagian lateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika
esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin
terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien.
Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki
masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya
lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon
merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan
penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau bronkoskop fiberoptik (FOB)
menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon dikembungkan
sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA
melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan
LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai reflek jalan napas pasien
pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan
perintah. LMA yang dapat dipakai lagi dibuat dari karet silikon, dapat di autoklaf
(bebas lateks) dan tersedia dalam berbagai ukuran.

28
Tabel 2. Ukuran LMA

Tabel 3. Perbandingan LMA dengan Facemask

29
Tabel 4. Langkah pemasangan LMA

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),
sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau
compliance paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan napas) yang memerlukan
tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cmH2O. Secara tradisional, LMA
dihindari pada pasien dengan bronkospasme akan tetapi, bukti-bukti baru
menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakea, penggunaan LMA
mengurangi kejadian bronkospasme dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata
tidak sebagai pengganti untuk trakeal intubasi, LMA terbukti sangat membantu
terutama pada pasien dengan jalan napas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau
diintubasi) karena mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif

30
besar (95 - 99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet (elastic gum,
bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm).
Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT
yang lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat
dilakukan dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan napas
harus bebas seraya pasiennya sadar.

2.3.3.3. Bentuk dan Teknik Esophageal Tracheal Combitube (ETC)


Pipa kombinasi esofagus trakea terbuat dari gabungan 2 pipa, masing-
masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang lebih
panjang ujung distalnya ditutup. Pipa yang transparan berukuran yang lebih pendek
punya ujung distal terbuka. ETC ini biasanya dipasangkan secara buta melalui mulut
dan dimasukkan sampai 2 lingkaran hitam pada batang batas antara gigi atas dan
bawah. ETC mempunyai 2 balon untuk dikembungkan, 100 ml untuk balon prosikmal
dan 15 ml untuk balon distal, keduanya harus dikembungkan secara penuh setelah
pemasangan. Pipa bening yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi
lambung. Pilihan lain, jika ETC masuk ke dalam trakea, maka ventilasi langsung ke
trakea melalui pipa yang bening. Meskipun pipa kombinasi masih terdaftar sebagai
pilihan untuk penanganan jalan napas yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac
Life Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih suka
memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan napas yang sulit.

2.3.3.4. Bentuk dan Teknik Tracheal Tube (TT)


TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trachea dan
mengontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar TT (American
National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT kebanyakan terbuat
dari polyvinylchloride. Bentuk dan kekakuan dari TT dapat diubah dengan
pemasangan mandrin. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan
pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (Murphys Eye)
untuk mengurangi risiko sumbatan pada bagian distal tuba bila menempel dengan
karina atau trakea.

31
Gambar 12. Endotracheal tube

Tabel 5. Ukuran ETT

Tahanan aliran udara tergantung terutama dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Pemilihan pipa perlu
dipertimbangkan antara memaksimalkan aliran gas dengan pipa ukuran besar dan
meminimalkan trauma jalan napas dengan ukuran pipa yang kecil.
Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri dari
katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangan balon, dan balon (cuff).
Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk
memberikan petunjuk kasar dari balon yang dikembungkan. Inflating tube
dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakea yang rapat, balon TT
memungkinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan
aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak.

32
Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan
tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya
iskemia mukosa trakea dan kurang nyaman untuk intubasi waktu lama. Balon tekanan
rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas area kontak
mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit (karena adanya
floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi kerusakan mukosa rendah, balon
tekanan rendah lebih dianjurkan.
Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,
diameter balon yang berhubungan dengan trakea, trakea dan komplians balon, dan
tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan balon
dapat naik selama anestesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari mukosa
trakeal ke balon TT.
TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur,
spiral, wire reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada operasi
kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja
menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim (contoh pasien bangun dan menggigit
pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus lainnya
termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double lumen tube).
Semua TT bersifat radioopak.

2.3.4. Kesulitan dalam Pengelolaan Jalan Napas


Beberapa pasien menunjukkan anatomi yang normal dan tidak sulit, tetapi ada
juga yang sulit untuk diintubasi. Hal ini dapat menyebabkan masalah anestesi yang
tidak terduga. Sebaiknya kita dapat mengantisipasi kesulitan daripada menemukan
sesuatu yang tidak diharapkan.Beberapa faktor anatomi yang membuat kontrol jalan
napas dan intubasi yang sulit:

Leher pendek
Gigi yang lengkap, gigi kelinci
Lengkung langit-langit (palate) yang tinggi

33
Pembukaan mulut yang buruk: jarak antara gigi atas dan gigi bawah kurang dari
tiga jari
Mandibula yang mundur
Tidak dapat menggerakkan/ subluksasi rahang (penonjolan maju dari gigi seri
bawah melebihi gigi seri atas)
Beberapa tes klinis digunakan dalam menilai jalan napas. Tidak satupun dapat
diandalkan dalam memprediksi jalan napas atau intubasi yang sulit, dan semuanya
harus digunakan dalam kombinasi sehingga penilaian jalan napas dapat lebih baik.

Sistem Skoring Mallampati


Skoring Mallampati dapat memprediksi sekitar 50% dari intubasi yang sulit.
Penilaian dapat dilakukan pada pasien dengan posisi tegak lurus atau terlentang.
Dasarnya adalah terlihatnya struktur faring saat mulut dibuka selebar-lebarnya. Pasien
diklasifikasi sebagai berikut

Gambar 13. Penjelasan anatomi dari skor Mallampati

Tabel 6. Sistem Skoring Mallampati

34
Kelas Definisi
I Faucial pillars, soft palate, dan uvula terlihat
Faucial pillars, soft palate terlihat, tapi uvula sedikit ditutupi
II
oleh dasar lidah
III Hanya soft palate yang terlihat
IV Soft palate tidak terlihat

Gambar 14. Anatomi Rongga Mulut

Pasien dengan kelas III dan IV perlu dipikirkan mengarah pada intubasi yang
sulit, dan kelas I dan II mengarah ke intubasi yang mudah. Harus diperhatikan bahwa
sistem ini tidaklah mutlak, dan pasien dengan kelas II terkadang juga tidak dapat
diintubasi.

Pergerakan kepala dan leher


Fleksi dan ekstensi >900 pada orang normal.

Pergerakan rahang dan mandibula


Periksa apakah pembukaan mulut pada pasien normal yaitu harus memiliki
jarak interinsisivus >5 cm (lebar sekitar tiga jari). Periksa bila pasien tidak memiliki

35
gigi kelinci atau rahang yang mundur. Idealnya, gigi seri bawah (insisivus bawah)
harus dapat dijulurkan melebihi gigi seri atas. Jika tes ini tidak dapat dilakukan maka
jalan napas mungkin akan sulit untuk dikendalikan.

Jarak tiromental
Jarak tiromental (Tes Patil) adalah jarak dari kartilago tiroid ke bagian paling
menonjol dari dagu saat leher dibentangkan penuh ke atas. Dalam ketiadaan dari
faktor anatomis lainnya, jika jarak >6.5 cm, masalah seharusnya tidak ada saat
intubasi. Jarak <6 cm memberi kesan laringoskopi akan tidak mungkin, dan jarak 6-
6.5 cm mengesankan laringoskopi tampak sulit tapi mungkin dilakukan. Pengukuran
ini dapat memprediksi hingga 75% untuk intubasi yang sulit.

Gambar 15. Jarak Tiromental

Jarak sternomental
Jarak ini diklaim dapat memprediksi hingga 90% untuk intubasi yang sulit.
Jarak dari batas atas manubrium sterni ke ujung dagu paling atas, dengan mulut
ditutup dan kepala dibentangkan penuh keatas. Jarak <12.5 cm mengindikasikan
intubasi yang sulit.

36
BAB III

KESIMPULAN

Kegawatan pernapasan dapat disebabkan oleh gagalnya sistem pernapasan maupun


sumbatan pada jalan pernapasan. Gagal napas tipe I atau dikenal dengan kegagalan oksigenasi
ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang abnormal rendah.Mungkin hal tersebut
diakibatkan oleh setiap kelainan yang menyebabkan rendahnya ventilasi perfusi. Gagal napas
tipe II atau dikenal dengan kegagalan ventilasi dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang
menurunkan central respiratory drive, mempengaruhi tranmisi sinyal dari CNS (central nervous
system), atau hambatan kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan paru dan dinding
dada.
Obstruksi saluran napas kronis merupakan sekumpulan gejala dan tanda yang diakibatkan
oleh sumbatan di saluaran napas bagian atas.Sumbatan jalan napas karena benda asing sangat
berbahaya dan harus segera dibersihkan karena apabila tidak dapat bernapas, maka kita tidak
dapat memberikan pernapasan buatan. Sumbatan jalan napas pada kegawatan pernapasan dapat
dibagi menjadi sumbatan parsial dan sumbatan total. Umumnya, manifestasi klinis yang terjadi
adalah tidak dapat bicara, bernapas, bersuara, menunjukkan sikap tercekik, cyanosis, gerakan
napas tidak teratur(tidak normal), kolaps, ataupun tidak sadar.
Tatalaksana yang digunakan pada kegawatan respirasi adalah airway management yang
merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk memastikan jalan napas tetap terbuka. Kegawatan
respirasi pada seseorang dapat dinilai dengan 3 cara yaitu look, listen, dan feel. Hal pertama yang
dapat dilakukan untuk membebaskan jalan napas adalah dengan triple airway maneuver dan
maneuver Heimlich. Secara umum, pengelolaan jalan napas dapat dilakukan tanpa menggunakan
alat (head tilt-chin lift dan jawthrust) maupun dengan alat (face mask, laryngeal mask airway,
esophageal-tracheal combitube, dan tracheal tube). Selain itu, kesulitan-kesulitan dalam
pengelolaan jalan napas seperti kelainan anatomis pada leher dan rongga mulut harus
diperhatikan untuk memastikan keberhasilan akan pertolongan yang diberikan.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
2. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th ed. 2000
3. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF, Stelting RK,
editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2006, p.
791-811
4. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and ventilation in the
lung: gravity is not the only factor. British Journal of Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical Anesthesilogy 4th
ed. McGraw-Hill; 2007

38

Anda mungkin juga menyukai