Anda di halaman 1dari 15

PORTFOLIO KASUS ANAK

SINDROM NEFROTIK & TB PARU


Pembimbing: dr. Maria Ekawati, SpA

Disusun oleh:
dr. Denita Biyanda Utami
Dokter Internsip Periode Februari 2017
RS Dr. Suyoto Pusrehab Kemhan
Jakarta Selatan
1. Ilustrasi Kasus
Identitas Pasien
Nama : An. SAN
No. RM : 20 54 02
Usia : 6 tahun
BB /TB : 19 kg/107 cm
Tanggal lahir : 26 Oktober 2010
Alamat : Jl. Mawar 11
Pembayaran : Umum

Pasien datang ke IGD pada tanggal 8 Maret 2017 pukul 12.40 dengan
keluhan bengkak pada kedua mata kurang lebih 2 bulan dan hilang timbul.
Kaki tangan tidak bengkak. Sebelumnya pasien sempat batuk pilek dan
demam. BAB normal, BAK keruh. Pasien lemas dan cenderung tidak aktif.
Pasien sebelumnya dibawa ke RS Syarif Hidayatullah kemudian dirujuk ke
RS. Dr. Suyoto. Sebelumnya, pasien juga pernah berobat ke Puskesmas dan
dikatakan demam biasa.

Sebelumnya 1 tahun yang lalu adik pasien yang berusia 5 tahun didiagnosis
dengan limfadenitis TB dan sudah menjalani pengobatan OAT selama 6
bulan. Saat ini adik pasien dinyatakan sudah sembuh Kedua orang tua tidak
pernah didiagnosis TB paru dan mengkonsumsi OAT. Sebelumnya pasien
tidak pernah dirawat di rumah sakit dan hanya mengkonsumsi obat penurun
demam. Pasien alergi ikan dan kuning telur. Pasien adalah anak pertama dari
dua bersaudara. Pasien tinggal dengan kedua orang tua dan dua orang
adik.yang berusia 5 tahun dan 1 tahun. Ayah pasien adalah karyawan proyek
dan ibu pasien adalah ibu rumah tangga. Pasien adalah pasien umum,
keluarga pasien memiliki BPJS namun sudah lama tidak membayar iuran.

1
Pemeriksaan Fisik (IGD, 8/3/2017)
KU : Compos mentis, tampak sakit sedang
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 116/62 mmHg
Nadi : 80x/menit
SpO2 : 98%
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36.9o c

Status generalis:
Mata : Edema periorbital dekstra dan sinistra
Tenggorokan : T1/T1, faring tidak hiperemis
Jantung : S1 S2 normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Paru : Vesikuler +/+, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : membuncit, supel, shifting dullness positif, nyeri tekan tidak
ada, nyeri ketok CVA tidak ada, ballottement negatif
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 s, edema ekstremitas tidak ada

Pemeriksaan Penunjang
Hasil lab (7/03/2017)
Hb : 12.8 g/dL
Ht : 36.1%
Leukosit : 13.400 (N: 5.000 -10.000)
Trombosit : 375.000
Kolesterol : 430 (N < 200)
Total Protein : 3.29 (N: 6.2 8.4)
Albumin : 1.5 (M: 3.5 5.2)
Urin Lengkap
Warna : Sedikit Keruh (N: Jernih)
Hemoglobin : +1

2
Protein : +3

Hasil lab (8/3/2017, IGD)


Ur : 13
Cr : 0.4

Hasil lab (9/3/2017, Alamanda)


Hb : 12.1 g/dL
Ht : 38%
Leukosit : 6.600
Trombosit : 371.000
Albumin : 1.5 (N: 4.0 5.2)

Hasil lab (11/3/2017, Alamanda)


Albumin : 1.6 (N: 4.0 5.2)
Tes Mantoux Positif

Hasil lab (12/3/2017, Alamanda)


Albumin : 1.8 (N: 4.0 5.2)

Hasil lab (14/3/2017, Alamanda)


Albumin : 2.4 (N: 4.0 5.2)

Foto thorax (9/3/2017)


Cor tidak membesar, paru fokus tidak melebar, tampak infiltrat di lapangan
paru kiri bawah, sinus costrofrenikus kanan kiri tajam, diafragma kanan kiri
licin, tulang-tulang tidak tampak kelainan. Kesan: cor dalam batas normal,
infiltrate di lapangan paru kiri bawah, DD/ bronchopneumonia

3
Follow-up
Alamanda, 10 Maret 2017
S : Pasien batuk pilek, masih bengkak di bagian periorbital, namun sudah
berkurang dibanding sebelumnya. BAK warna sedikit kekuningan, demam
naik turun
O : KU: CM, TSS
N: 123x/menit, S: 35.8o c, P: 18x/menit
Mata : Edema periorbital dekstra dan sinistra
Tenggorokan : T1/T1, faring tidak hiperemis
Jantung : S1 S2 normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Paru : Vesikuler +/+, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : membuncit, supel, shifting dullness positif, nyeri tekan tidak
ada, nyeri ketok CVA tidak ada, ballottement negatif
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 s, edema ekstremitas tidak ada

Alamanda, 13 Maret 2017


S : Pasien batuk, dahak sulit dikeluarkan, bengkak pada periorbital sudah
berkurang, demam sudah tidak ada
O : KU: CM, TSS
T: 110/70, N: 123x/menit, S: 36.8o c, P: 18x/menit

4
Mata : Edema periorbital dekstra dan sinistra negatif
Tenggorokan : T1/T1, faring tidak hiperemis
Jantung : S1 S2 normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Paru : Vesikuler +/+, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan tidak ada, nyeri ketok CVA
tidak ada, ballottement negatif
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 s, edema ekstremitas tidak ada

Alamanda, 14 Maret 2017


S : Pasien batuk, dahak sulit dikeluarkan, bengkak pada periorbital sudah
berkurang, demam sudah tidak ada
O : KU: CM, TSS
T: 100/70, N: 123x/menit, S: 36.8o c, P: 18x/menit
Mata : Edema periorbital dekstra dan sinistra negatif
Tenggorokan : T1/T1, faring tidak hiperemis
Jantung : S1 S2 normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Paru : Vesikuler +/+, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan tidak ada, nyeri ketok CVA
tidak ada, ballottement negatif
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 s, edema ekstremitas tidak ada

Diagnosis
Sindrom Nefrotik
TB Paru

Rencana tatalaksana
Infus D10% 10 tpm
Rhinofed syrup (Pseudoephedrine15 mg, terfenadine 20 mg) 3 x cth
(dihentikan ketika pilek sudah tidak ada)
Tempra syrup 1 x 1 cth
Cefspan (Cefixime) 2 x 1 (puyer)

5
OAT 1 x 1
Vitamin B6 1x1
Prednisone 2 x 4 mg
Albumin 0.5 g/kgBB/hari
Observasi TTV per 6 jam
Hitung diuresis per 24 jam
Diet tinggi protein rendah garam
Cek urine lengkap rutin

Rangkuman Pembelajaran
Pasien datang dengan keluhan bengkak pada kedua mata kurang lebih
sejak 2 bulan SMRS. Keluhan disertai batuk pilek, demam, dan BAK
warna keruh
Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema periorbital dekstra dan sinistra
Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hipoalbuminemia dan
hiperkolestrolemia
Hasil tes Mantoux positif, terdapat riwayat paparan TB pada anggota
keluarga, demam lebih dari dua minggu, batuk lebih dari dua minggu,
gambaran foto toraks infiltrat pada paru kiri bawah, berdasarkan sistem
skoring TB anak, maka pada pasien ini didapatkan skor TB adalah 8
Berdasarkan hal tersebut, dipikirkan diagnosis pasien adalah sindrom
nefrotik dengan TB paru.

6
2. Tinjauan Pustaka

SINDROM NEFROTIK
Sindrom nefrotik adalah sindrom klinis dengan gejala proteinuria masif (> 40
mg/m2/jam), hipoalbuminemia (<2,5 g/dl), edema, dan hiperkolesterolemia yang
dikenal sebagai trias sindrom nefrotik. Angka kejadian bervariasi antara 2-7 per
100.000 anak dan ditemukan 90% pada kasus anak. Penyakit ini merupakan
penyakit ginjal anak yang paling sering ditemui di lingkungan klinis..
Perbandingan kejadian dengan sindrom nefrotik pada laki-laki dan perempuan
adalah 2:1. Pada sindrom nefrotik terkadang disertai hematuria, hipertensi, dan
penurunan fungsi ginjal. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan bengkak pada
kelopak mata, tungkai, skrotum/labia mayora, dan perut, buang air kecil
berkurang dan dapat disertai BAK kemerahan, dan tekanan darah dapat normal
atau meningkat.1

Sindrom nefrotik merupakan manifestasi klinis dari kelainan glomerulus. Sindrom


nefrotik dapat dibagi menjadi primer dan sekunder apabila penyakit ini
merupakan akibat dari penyakit sistemik lainnya seperti SLE, Henoch-Schonlein
purpura, keganasan seperti limfoma dan leukemia, dan infeksi seperti hepatitis,
HIV, dan malaria atau konsumsi obat-obatan. Kelainan pada glomerulus dapat
disebabkan oleh minimal change disease, glomerulosklerosis, glomerulonephritis
membranoproliferatif, nefropati C3, dan nefropati membran.2

Pada sindrom nefrotik, terjadi proteinuria yang merupakan kelainan utama pada
sindrom nefrotik. Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler
terhadap protein akibat kelainan atau kebocoran glomerulus. Selain itu
ditemukan juga hipoalbuminemia yang disebabkan oleh hilangnya albumin
melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Hiperlipidemia
disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun,
atau bahkan keduanya. Pada sindrom nefrotik, gejala klinis yang khas adalah
edema, di mana terjadi penurunan tekanan onkotik intravaskular yang

7
menyebabkan cairan merembes ke ruang intersitsial. Dengan meningkatnya
permeabilitas kapiler glomerulus, albumin akan keluar dan menimbulkan
albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan
penurunan pada tekanan onkotik koloid plasma intravaskular yang dapat
menyebabkan peningkatan cairan transudate melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskular ke ruang interstisial yang akan mengakibatkan terbentuknya
edema. Pada anak-anak dengan sindrom nefrotik, edema umumnya terlihat pada
kelopak mata dan seringkali hilang timbul sehingga banyak disangka sebagai
alergi.3

Tatalaksana sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi medikamentosa dan suportif.


Tatalaksana medikamentosa mencakup pemberian steroid yaitu prednison
dengan dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPT/hari (2 mg/kg/hari) dibagi dalam 3
dosis setiap hari selama 4 minggu, dilanjutkan prednison dengan dosis 2/3 dosis
penuh atau 40 mg/m2LPT/hari, 3 hari dalam seminggu, diberikan secara
alternating (selang sehari) selama 4-8 minggu.

Terapi suportif mencakup tatalaksana untuk edema yaitu diet protein normal, diet
rendah garam, dan diuretik. Diuretik yang digunakan adalah furosemide 1-2
mg/kgbb/hari. Pemberian albumin jugadilakukan untuk memarik cairan dari
jaringan intersisial dengan dosis albumin 0.5 g/kgBB/hari untuk kadar albumin
serum 1-2 g/dL atau 1 g/kgBB/hari untuk kadar albumin serum kurang dari 1
g/dL. Tekanan darah harus dipantau secara rutin untuk melihat efek samping
prednisone dan apakah pasien membutuhkan obat anti hipertensi. Selain itu,
penting juga untuk menjelaskan orang tua terkait kondisi anak dan tatalaksana
yang diperlukan. Selain itu, perlu dijelaskan bahwa diperlukan kontrol terkait
pemberian prednisone yang dapat menimbulkan efek samping.1

TUBERKULOSIS PARU

8
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua
organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru sebagai lokasi infeksi primer yang
paling sering ditemui.

Pada anak, gejala TB berbeda dengan dewasa dan seringkali tidak khas. Gejala
TB pada anak antara lain meliputi:
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (> 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas.
Etiologi demam berkepanjangan lain perlu disingkirkan terlebih dahulu,
seperti infeksi saluran kemih, malaria, demam tifoid.
3. Batuk lama > 3 minggu, bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah), dan sebab lain batuk telah
disingkirkan.
4. Napsu makan tidak ada atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
thrive).
5. Lesu, malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap > 2 minggu yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare, atau terdapat perut membesar karena cairan
atau teraba massa dalam perut.

Selain itu, pada anak, pemeriksaan fisik yang ditemukan juga seringkali tidak
khas, namun gejala spesifik terkait organ dapat ditemui apabila mengenai organ
tertentu seperti TB kelenjar, meningitis TB, spondilitis TB, dan skofuloderma.
Pada anak, pemeriksaan penunjang yang umum dilakukan adalah dengan cara
Mantoux, yaitu dengan menyuntikkan 0,1 ml tuberkulin PPD RT 23 2 TU secara
intrakutan di volar lengan bawah dengan arah suntikan memanjang lengan
(longitudinal).. Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan dan indurasi
transversal diukur dan dilaporkan dalam milimeter berapapun ukurannya. Hasil

9
tes positif apabila ditemukan indurasi > 10 dan negatif apabila Indurasi < 5 mm.
Indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu diulang dengan jarak waktu minimal 2
minggu. Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan
TB aktif (sakit TB) pada anak. Selain itu foto toraks juga dapat dilakukan dengan
gambaran sugestif meliputi pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal,
konsolidasi segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura, atelektasis, atau
kalsifikasi. Pada anak, pengambilan sampel dahak cukup sulit untuk dilakukan. 1

Diagnosis TB pada anak harus dipikirkan apabila ditemui penurunan berat badan
2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh, demam tanpa
sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu, batuk kronik 3 minggu,
dengan atau tanpa wheeze, dan riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa.
Untuk memudahkan diagnosis TB pada anak, dibuatlah sistem skoring TB di
Indonesia oleh IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), di mana anak dengan skor
6, dapat didiagnosis dan harus ditatalaksana sebagai pasien TB dengan
mendapat OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara
klinis kecurigaan ke arah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik
lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung untuk mendapatkan sputum,
patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi,
funduskopi, CT-Scan dan lain-lainnya sesuai indikasi. Berikut adalah sistem
skoring TB anak:

10
Tabel 13. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB anak
PARAMETER 0 1 2 3 SKOR
Kontak dengan pasien TB Tidak jelas Laporan keluarga, kontak dgn Kontak dengan pasien
pasien BTA negatif atau tidak BTA positif
tahu, atau BTA tidak jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif ( 10 mm, atau 5 mm
pada keadaan imunosupresi)
Berat badan/Keadaan gizi Gizi kurang: BB/TB < 90% Gizi buruk: BB/TB <70%
(dengan KMS atau tabel) atau BB/U < 80% atau BB/U < 60%
Demam tanpa sebab jelas 2 minggu
Batuk 3 minggu
Pembesaran kelenjar 1 cm
limfe koli, aksila, inguinal Jumlah 1, Tidak nyeri
Pembengkakan tulang/ Ada pembengkakan
sendi panggul, lutut,
falang
Foto dada Normal/ tidak jelas Sugestif TB
JUMLAH SKOR
Catatan:
o Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter .
o Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.

TUBERKULOSIS
o Berat badan dinilai saat pasien datang lihat tabel berat badan pada lampiran 5.
o Demam dan batuk tidak respons terhadap terapi sesuai baku Puskemas.
o Foto dada bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
o Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
o Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13).
o Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
115

4. BATUK

Tatalaksana TB dilakukan berdasarkan hasil skoring TB, dimana skor 6, dapat


didiagnosis dan harus ditatalaksana sebagai pasien TB dengan mendapat OAT
(Obat Anti Tuberkulosis) selama dua bulan dan dievaluasi. Apabila respons
positif atau membaik, terapi TB dilanjutkan dan apabila tidak ada respons maka
harus dicari penyebabnya sambil meneruskan terapi TB.

Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan pertama)


dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah
minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan
dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada

11
TB berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif
maupun tahap lanjutan.

OAT disediakan dalam bentuk paket dengan satu paket dibuat untuk satu pasien
untuk satu masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif,
yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), sedangkan untuk tahap
lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniasid (H). Berikut adalah dosis untuk anak:

Selain itu, tersedia bentuk Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose
Combination = FDC) untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum
obat. Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:
Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H
(Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.

12
TUBERKULOSIS
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum.
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan
Bilakomposisi
paket KDTdari KDT tersedia,
belum tersebut. Berikut dosis obatpaket
dapat digunakan KDT untuk anak:4
OAT Kombipak Anak.
Dosisnya seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 15a. Dosis OAT Kombipak-fase-awal/intensif pada anak


JENIS OBAT BB < 10 KG BB 10 20 KG BB 20 32 KG
(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel 15b. Dosis OAT Kombipak-fase-lanjutan pada anak


JENIS OBAT BB < 10 KG BB 10 20 KG BB 20 32 KG
(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB


milier, meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain:
4. BATUK

SINDROM NEFROTIK & TUBERKULOSIS PARU


Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin,
Anak dengan sindrom nefrotik mudah terkena infeksi akibat dari penurunan
Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin).
imunitas
Pada(cell-mediated
tahap lanjutanimmunity),
diberikan gangguan fungsi limfosit
INH dan Rifampisin T, dan
selama 10 penggunaan
bulan.
Untuk kasus
kortikosteroid. TB TB tertentu
dapat munculyaitu TB milier,
sesudah atau efusi pleura dengan
bersamaan TB, perikarditis
sindrom
TB, TB
nefrotik endobronkial,
sehingga meningitis TB respon
dapat mempengaruhi dan peritonitis TB diberikan
kortikosteroid dan/atau
kortikosteroid
mempercepat (prednison)
proses gangguandengan dosispasien.
ginjal pada 12 mg/kg BB/hari,itu,dibagi
Oleh karena dalam
skrining TB
3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 24 minggu dengan dosis
sebelum memulai penggunaan kortikosteroid adalah langkah yang penting pada
penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu 26 minggu. Tujuan
tatalaksana pasien anakini
dengan 5
pemberian steroid untuksindrom nefrotik.
mengurangi proses inflamasi dan mencegah
terjadi perlekatan jaringan.
Perhatian: Hindarkan pemakaian streptomisin pada anak bila memungkin-
kan, karena penyuntikan terasa sakit, dapat terjadi kerusakan permanen
syaraf pendengaran, dan terdapat risiko penularan HIV akibat perlakuan yang
tidak benar terhadap alat suntikan.

118

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati


ED. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta: IDAI.
2009
2 . Pais P, Avner ED. Nephrotic Syndrome. In: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BM, editors. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed. Elsevier
Health Sciences; 2016.
3. Wirya W. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H,Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO,
editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Jakata: Balai Penerbit FKUI; 2002. p. 381-422.
4. World Health Organization. Country Office for Indonesia Pedoman pelayanan
kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/ WHO ;
alihbahasa, Tim Adaptasi Indonesia. Jakarta : WHO Indonesia, 2008
5. Gaur S, Iyengar A. Tuberculosis in nephrotic syndrome and chronic
kidney disease: an appraisal. Pediatric Infectious Disease. 2012 Apr
1;4(2):57-60.

14

Anda mungkin juga menyukai