Pengelolaan Prostat Hiperplasi Dengan Operatif
Pengelolaan Prostat Hiperplasi Dengan Operatif
Oleh :
A. Hamid Rochanan
PENDAHULUAN
Prostat Hiperplasi (PH) merupakan penyakit yang sangat sering terjadi pada
laki-laki tua dan merupakan problem yang makin lama makin banyak, mengingat
angka harapan hidup manusia Indonesia yang juga semakin tinggi.
Terjadinya obstruksi saluran kemih bagian bawah akibat prostat hiperplasi dinilai
pada bagian tengah kelenjar yaitu kelenjar periuretra dan zona transisional, yang kemudian
menekan jaringan prostat di bagian feriter (zona periter), sehingga terbentuklah batas antara
zona transisional dan zona periler fang disebut dengan Oleh adanya surgical capsule
inilah yang menjadikan prostat hiperplasi dapat dikeluarkan dengan bermacam-macam
tehnik operasi.
Gejala yang terjadi akibat prostat hiperplasi disebut sindroma prostatismus yang
terdiri atas gejala obstruktif dan gejala iritatif.
A. Gejala Obstruktif :
- Hesitancy (delayed urination)
- Loss of force dan Terminal dribbling
- Straining (mengejan)
- Intermittency
- Tak puas akhir kencing
- Kaliber mengecil
- Retensio urine partial atau total
B. Gejala Iritatif
- Frequency (polakisuria = sering kencing)
- Urgency (sukar menahan kencing)
- Nokturia (sering kencing malam hari)
- Disuria (sakit waktu kencing)
Tanda-tanda dan gejala tersebut diatas dapat berdiri sendiri atau bersamaan.
Untuk menetukan berat ringannya gejala serta untuk melihat kemajuan
pengobatan, telah banyak dikenal heherapa symptom score yaitu : Boyarsky (1977), Medsen
Iversen (198' ), Fowler (1988), Danish (1991), AUA (1991) dan IPSS (1992).
PENGELOLAAN
Beberapa macam cara pengelolaan prostat hiperplasi, yaitu :
A. Non Operatif
1. Medikamentosa
a. Hormonal : - LHRH agonist
- Estrogen / Progesteron
- Anti androgen steroid
- 5 reductase inhibitor
b. Non Hormonal : - Fito farmaka / Ekstrak tanaman
- Kalsium antagonis Kolesterol lowering agents
- adrenergik antagonis ( bloker)
2. Non : Minimal invasif
- Dilatasi dengan balon (Balloon Dilatation of the Prostate = BDP)
- Urethral Stents / Prostatic Stent
- Laser (Visual Laser Ablation of the Prostate = VILAP)
- Hipertermi (Transurethral Microwave Thermotherapy = TUMT)
- Radio frekuensi (Trans Urethral Needle Ablation = TUNA)
- Cryosurgery (dengan N2)
- Focused Extracorporeal Pyrotherapy = FEP
B. Operatif
1. Secara Tertutup :
- Transurethral Resection of the Prostate = TURP
- Transurethral Incision of the Prostate = TUIP
2. Secara Terbuka :
- Transvesikal Suprapubik Prostatektomi = TVP
- Retropubik Ekstravesikal Prostatektomi = TMP
(Terence Millin Prostatektomi)
- Transperineal Prostatektomi = TPP
Pada kesempatan ini akan dibahas tentang pengelolaan prostat hiperplasi
dengan cara operatif khususnya Transvesikal Suprapubik Prostatektomi (TVP)
dan Retropubik Ekstravesikal Prostatektomi (TMP).
INDIKASI PROSTATEKTOMI
Secara umum indikasi prostatektomi adalah
1. Retensi urine akut.
2. Infeksi saluran kemih rekuren atau persisten.
3. Adanya tanda-tanda obstruksi bladder outlet secara nyata atau
berkepanjangan.
4. Hematuri mendadak atau berulang yang disebabkan oleh prostat hiperplasi.
5. Perubahan patofisiologi saluran kemih yaitu ginjal, ureter, kandung kemih
yang disebabkan olch obstruksi prostat.
6. Menurunnya aliran kencing dengan atau tanpa peningkatan tekanan
intravesikal.
7. Raw bull sekunder oleh karena obstruksi
PERSIAPAN PENDERITA
1. Riwayat adanya prostatismus dan pemeriksaan fisik (colok dubur).
2. Laboratorium : Darah rutin, CT, BT, urin rutin, ureum, kreatinin, elektrolit dan
PSA.
Bila urin steril diberikan antibiotika profilaksis perioperatif.
Bila terjadi infeksi saluran kemih antibiotika diberikan 24-36 jam sebelum
operasi.
3. Bila terjadi retensio urin dipasang kateter.
4. Pemeriksaan EKG.
5. Perneriksaan USG prostat.
6. Pemeriksaan sisitoskopi merupakan bagian dari evaluasi preoperatif, tetapi tidak
rutin dilakukan.
PROSEDUR OPERASI
A. Anestesi
Dilakukan dengan spinal anestesi atau epidural anestesi. Bila terdapat
kontraindikasi obat-obat spinal atau epidural anestesi dapat dikerjakan dengan
general anestesi.
B. Posisi Penderita
Penderita dalam posisi tcrlentang dengan pemberian bantalan pada pantat, hal
tersebut untuk mempermudah gerakan tangan dan memperjelas penampakan
daerah retropuhik. Tetapi ada heberapa ahli yang tidal: setuju dengan
pemasangan bantal pada pantat karena posisi tersebut tidak berpengaruh pada
saat enukleasi kelenjar prostat.
C. Tehnik Operasi
1. Operator right handed berdiri di kiri penderita.
2. Desinfeksi dengan povidon iodine 10 % pada daerah perut batas umbilikus,
penis, skrotum sampai pertengahan paha dan dipersempit dengan duk steril.
3. Insisi kulit vertikal midline / median di antara umbilikus dan simpisis,
diperdalam sampai dengan linea alba dan perdarahan subkutis dirawat.
4. M. rectus abdominis displitting ke kiri dan kanan secara tumpul sampai
tampak daerah prevesikal. (Gb. 1)
5. Refleksi peritoneum dan jaringan lemak prevesikal yang menutupi sebagian
permukaan anterior buli disingkirkan ke kranial secara tumpul dan hati-hati.
Kemudian dipasang retraktor otomatik.
6. Pasang kateter melalui uretra untuk melakukan irigasi bull kemudian
masukkan NaCl atau air steril sebanyak 200-250 cc, kemudian kateter dilepas
dan dilakukan ikatan ringan pada penis.
7. Dibuat teugel 2 jahitan di bagian anterior buli kiri dan kanan. Jahitan tersebut
juga herfungsi sebagai penggantung sementara dinding buli pada saat dibuka,
untuk mencegah dinding buli anterior berdekatan dengan dinding buli
posterior pada saat pembukaan dinding buli.
8. Dinding buli dibuka kecil dengan cauter diantara jahitan teugel tersebut pada
daerah avaskuler, selanjutnya diperlebar dengan pean bengkok. Cairan dalam
buli yang keluar disuction.
9. Langenbeck ditempatkan pada lubang dinding buli yang telah diperlebar
dengan pean bengkok, kemudian ditarik kekanan dan kekiri untuk membuka
buli secara tumpul untuk mengurangi perdarahan. Ikatan ringan pada penis
dilepas. (Gb. 2)
10. Pasang hak atau retraktor Deaver / Malleable ukuran medium untuk menarik
buli kearah superior dan menahan peritoneum serta organ intraperitoneal
supaya tidak menghalangi lapangan operasi atau menjadikan cedera organ
tersebut.
KOMPLIKASI
1. Perdarahan. Perdarahan pada operasi dipengaruhi oleh derajat sklerosis vaskuler,
perubahan inflamasi, besarnya adenoma dan yang kurang penting adalah proses
fibrinolitik.
2. Infeksi terdapat pada luka bull-bull, uretra, ginjal, epidedemis, pubis dan pelvis.
3. Inkontinen. Biasanya terjadi segera setelah operasi. Inkontinen yang perpanen
biasanya jarang (kurang dari 1 %).
4. Fistula urin. Jarang terjadi, hal ini terjadi karena penutupan kapsul prostat atau
buli yang tidak baik. Keadaan roll diperberat dengan tidak lancarnya kateter. Jika
kateter lancar maka fistel akan cepat sembuh.
5. Stenosis leher buli. Karena pada penyernbuhan terjadi banyak jaringan librous
yang timbulnya dipacu oleh infeksi pada buli.
6. Striktur uretra. Timbul pada uretra posterior sebesar 2-5 %.
7. Kerusakan pada ureter. Terjadi karena terikatan ureter pada waktu melakukan
ikatan hemostasis.
8. Impotensi Ini terjadi bila ada kerusakan kapsul. Lebih banyak pada penderita tua.
9. Retrograd ejakulasi.
10. Hiperplasi sisa prostat, biasanya timbul sesudah 10-20 tahun post operasi
Tehnik ini pertama kali dilakukan oleh Von Stockum tahun 1909 dan
dipopulerkan oleh Terrance Millin tahun 1945. Tindakan operasi ini dilakukan pada
prostat hiperplasi yang tidak disertai kelainan atau patologi didalam buli.
PERSIAPAN PENDERITA
1. Riwayat adanya prostatismus dan pemeriksaan fisik (colok dubur).
2. Laboratorium : Darah rutin, CT, BT, urin rutin, ureum, kreatinin, elektrolit dan
PSA.
Bila urin steril diberikan antibiotika profilaksis perioperatif.
Bila terjadi infeksi saluran kemih antibiotika diberikan 24-36 jam sebelum
operasi.
3. Bila terjadi retensio urin dipasang kateter.
4. Pemeriksaan EKG.
5. Pemeriksaan USG prostat.
6. Pemeriksaan sisitoskopi merupakan bagian dari evaluasi preoperatif, tetapi tidak
rutin dilakukan.
ALAT-ALAT YANG DIPERLUKAN
1. Transfusi set tipe Y dan cairan infuse untuk iv line.
2. Transfusi set tipe 1 dan NaCl 0,9% untuk drip kateter.
3. Infuse set untuk drain.
4. Foley kateter 3 ja1ur no. 22 F atau 24 F dan urine bag.
5. Scapel dan pisau.
6. Pinset anatornis dan pinset sirurgis.
7. Gunting jaringan dan gunting benang.
8. Retraktor.
9. Nalpouder, jarum dan benang (side 3/0, dexon. 2/0 dan chromic 2/0).
10. Klem arteri Ellis klem, kocher, pean hengkok dan Langenbeck.
11. Suction dan cauter.
12. Kassa steril, roll kass dan darm kass.
13. Glass spuit 200 cc dan disposible spuit 20 cc.
PROSEDUR OPERASI
A. Anestesi
Dilakukan dengan spinal anestesi atau epidural anestesi. Bila terdapat
kontraindikasi obat-obat spinal atau epidural anestesi dapat dikerjakan dengan
general anestesi.
B. Posisi Penderita
Penderita dalam posisi terlentang dengan pemberian bantalan pada pantat, hal
tersebut untuk mempermudah gerakan tangan dan memperjelas penampakan
daerah retropubik. Tetapi ada beberapa ahli yang tidak setuju dengan pemasangan
bantal pada pantat karena posisi tersebut tidak berpengaruh pada saat enukleasi
kelenjar prostat.
C. Teknik Operasi
1. Operator right handed berdiri di kiri penderita.
2. Desinfeksi dengan povidon iodine 10 % pada daerah perut batas umbilikus,
penis, skrotum sampai pertengahan paha dan dipersempit dengan duk steril.
3. Insisi kulit vertikal midline/ median di antara umbilikus dan simpisis, atau
modifikasi insisi Pfannensteil 2 cm diatas simpisis pubis diperdalam, sampai
dengan linea alba dan perdarahan subkutis dirawat.
4. M. rectus abdominis displitting ke kiri dan kanan secara tumpul sampai
tampak daerah prevesikal.
5. Refleksi peritoneum dan jaringan lemak prevesikal yang menutupi sebagian
permukaan anterior buli diisingkirkan ke kranial secara tumpul dan hati-hati.
Kemudian dipasang retraktor otomatik.
6. Identifikasi dan raba leher buli.
7. Dipasang kassa kiri dan kanan di daerah prostat, sehingga kelenjar prostat
tampak semakin menenjol.
8. Ligasi vena pada permukaan anterior prostat dan pasang teugel di kranial dan
kaudal tempat insisi kapsul prostat
9. Insisi transversal dengan elektrokauter 1 cm kaudal leher buli diantara ligasi
vena tersebut selebar pembesaran prostat atau hingga adenoma prostat
tampak jelas.
10. Retraktor dilepas untuk memberi lapangan gerak tangan.
11. Selanjutnya jari telunjuk kanan dimasukkan ke dalam uretra prostatika
melalui insisi tersebut mulai dari puncak adenoma prostat, kemudian
dilakukan pembebasan secara tumpul dengan gerakan jari melingkar untuk
tindakan enukleasi. Kelenjar prostat yang telah dienukleasi akan keluar
melalui insisi tersebut.
12. Perdarahan prostatik bad ditampon dengan rool kass kurang lebih 5 menit
untuk mengurangi perdarahan (hemostatik). Perdarahan yang terjadi lebih
sedikit bila dibandingkan dengan tehnik TVP.
13. Setelah hemostatik selesai, dimasukkan kateter folley 3 jalur no. 22 F melalui
uretra dengan isi balon 30 cc, kemudian dilakukan traksi ringan dari arah
keluarnya kateter di penis dengan paha distal penderita.
14. Dilakukan penjahitan antara mukosa leher bull dengan kapsul prostat dengan
jahitan interupted atau kontinyu menggunakan benang chromic 2/0 atau
dexon 00 yang sekaligus berfungsi sebagai hemostatik.
15. Dilakukan tes buli dengan memasukkan NaCI atau air steril kira-kira 150-200
cc, bila masih terdapat kebocoran dapat ditambah jahitan.
16. Dipasang drain dengan infuse set pada cavum Retzii yang dialirkan ke luar
melalui luka kulit di sebelah insisi luka operasi.
17. Otot dijahit aproksimasi dengan chromic catgut 2/0.
18. Linea alba dijahit kontinyu dengan benang dexon no. 1.
19. Kemudian kulit dijahit dengan side no. 000.
KOMPLIKASI
1. Perdarahan. Perdarahan pada operasi dipengaruhi oleh derajat sklerosis vaskuler,
perubahan inflamasi, besarnya adenoma dan yang kurang penting adalah proses
fibrinolitik.
2. Infeksi pada luka leher buli, uretra, ginjal, epidedemis, pubis dan pelvis.
3. Inkontinen. Biasanya terjadi segera setelah operasi. Inkontinen yang perpanen
biasanya jarang (kurang dari 1%).
4. Fistula urin. Jarang terjadi, hal ini terjadi karena penutupan kapsul prostat atau
buli yang tidak baik. Keadaan ini diperberat dengan tidak lancarnya kateter. Jika
kateter lancar maka fistel akan cepat sembuh.
5. Stenosis leher buli. Karena pada penyembuhan terjadi banyak jaringan fibrous
yang timbulnya dipacu oleh infeksi pada buli.
6. Striktur uretra.
Timbul pada uretra posterior sebesar 2-5%.
7. Impotensi. Ini terjadi bila ada kerusakan kapsul. Lebih banyak pada penderita
tua.
8. Retrograd ejakulasi.
9. Hiperplasi sisa prostat, biasanya timbul sesudah 10-20 tahun post operasi.
KEPUSTAKAAN
1. Oesterling JE. Retropubic and suprapubic prostatectomy. In : Campbells urology.
Ed seventh. WB Sauders Company, Philadelphia. 1998; 1529-41.
2. Banowsky LHW. Suprapubic prostatectomy. In : Stewarts operative urology Ed.
Second. Williams & Wilkins-Baltimore. 1989; 601-7.
3. Straffon RA. Simple retropubic prostatectomy. In : Stewarts operative urology.
Ed second. Williams & Wilkins-Baltimore 1989; 616-20.
4. Sidharta S. Penanganan prostat hiperplasi dengan cara operasi. Sug bagian bedah
urologi FK Undip Semarang.
5. Peter HCL. The management of post prostatectomy incontinence. Medical
Progress Januari 2000; 11-14.