Anda di halaman 1dari 13

Breaking News

Tolong Korban meski Cuma Satu Kaki Olah Sampah Sebelum Dibuang Ditabrak
Tongkang, Jembatan Muara Anjir Ambruk Tabalong Ethnik Carnival Begitu Meriah
Disnakertras Dukung Pansus PT Conch Kental Nilai Budaya, Mulai Bausung hingga
Wayang Banjar Berpikir Positif Warga Banua Menangkan Kontes Foto Bidik Ketua
PAN, Baru Anggota DPR Jangan Jadi Parpol Pendukung
Tolong Korban meski Cuma Satu Kaki Olah Sampah Sebelum Dibuang Ditabrak
Tongkang, Jembatan Muara Anjir Ambruk Tabalong Ethnik Carnival Begitu Meriah
Disnakertras Dukung Pansus PT Conch Kental Nilai Budaya, Mulai Bausung hingga
Wayang Banjar Berpikir Positif Warga Banua Menangkan Kontes Foto Bidik Ketua
PAN, Baru Anggota DPR Jangan Jadi Parpol Pendukung

pencarian b

Angka Kematian Ibu dan Bayi Masih Tinggi

Uploader: Wawan Surya Saputra


|
Sabtu, 19 Desember 2015 - 12:12:52 WIB
|
dibaca: 161 pembaca
|

KASIH SAYANG: Peran seluruh pihak diperlukan untuk menekan angka kematian bayi dan
ibu saat melahirkan.(foto net)

Harian Umum Media Kalimantan,

Program harapan hidup di Kota Seribu Sungai harus terus ditingkatkan.


Wartawan: Mahmud Husein/MK

ANGKA Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Banjarmasin masih
tinggi.

Data Dinas Kesehatan Kalsel, periode Januari hingga Agustus 2015, Banjarmasin dengan 56
kasus kematian bayi, menempati posisi kelima dari 13 kabupaten/kota di Kalsel yang AKI
dan AKB-nya tertinggi.

Urutan pertama AKI adalah Kabupaten Banjar dengan 85 kasus, urutan kedua Hulu Sungai
Selatan (HSS) sebanyak 68 kasus.

Disusul Hulu Sungai Utara (HSU) 66 kasus, serta Batola di urutan keempat dengan 63 kasus
kematian bayi.

Sementara pada periode Januari hingga Oktober 2015, jumlah kematian ibu saat melahirkan
sebanyak 10 kejadian.

Dengan data itu, menempatkan Banjarmasin di posisi kedua kasus AKI tertinggi setalah
Batola dengan 11 kejadian. Kabupaten Banjar 9 kejadian, dan Kotabaru sebanyak 8 kasus.

Namun, angka tersebut trennya terus menurun. Sejak 2010 terus mengalami penurunan 611
kasus AKI. Sementara, AKB mengalami penurunan sejak 2010 sebanyak 109 kejadian,
menjadi 79 kasus per Oktober 2015.

Kabid Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kalsel Nor Ali Purnama mengatakan, penyebab
masih tingginya AKI dan AKB, dimulai dari pendarahan, infeksi, kejang pada wanita hamil
(eklamsi), hingga penyebab lainnya, seperti kehamilan muda dan keterlambatan penanganan
kelahiran.

Hal itu yang menyebabkan AKI dan AKB, khususnya pendarahan, katanya.

Terkait hal itu, anggoa Komisi IV DPRD Banjarmasin Siti Rahimah mengatakan, untuk
menekan AKI dan AKB, telah ada Perda Nomor 8 tahun 2013 tentang Kesehatan Ibu, Bayi
Baru Lahir, Bayi dan Anak Balita (KIBBLA).

Ditetapkan, Pemkot Banjarmasin bertanggungjawab dalam menekan angka kematian ibu,


bayi baru lahir, bayi dan anak balita serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dan
dilaksanakan melalui optimalisasi pelayanan KIBBLA.

Tujuan utama Perda itu, adalah percepatan penurunan AKI dan AKB. Apakah ini sudah
diterapkan secara optimal? katanya.

Dinas Kesehatan, bebernya, terus berupaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi, baik
dengan mempersiapkan tenaga kesehatan khususnya bidan, dan mengintensifkan sosialisasi
di tiap pusat pelayanan kesehatan, seperti Posyandu.

Langkah lainnya, melakukan kerjasama dengan unsur pendidikan, Kementerian Agama, TNI
dan Polri, untuk menyosialisasikan program keselamatan ibu dan bayi.
Termasuk meminimalisir perkawinan di bawah umur, karena ini rentan terjadinya
kecelakaan saat persalinan, pungkasnya

Sumber Berita: www.teraskreasi.com

http://mediakalimantan.com/artikel-9491-angka-kematian-ibu-dan-bayi-masih-tinggi.html
#ixzz40xytQO7x
Angka Kematian Ibu

LAPORAN
Angka Kematian Ibu (AKI)
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah komputer

2013

Disusun oleh:
Ayu Retno Ajeng

Tingkat I-C

DIII Kebidanan

STIKes Muhammadiyah Ciamis


Jalan K.H Ahmad Dahlan 20 Telp. (0265) 773052 Ciamis 46211

2013-2014
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas tentang Angka Kematian Ibu (AKI)

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang
Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Wassalamualaikum WR.WB
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN

Angka Kematian

Grafik

Tabel

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Saran
BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang
Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat
kesehatan masyarakat. Di Indonesia Angka Kematian Ibu tertinggi dibandingkan negara-negara
ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per 100.000 kelahiran hidup, Malaysia 39 per 100.000
kelahiran hidup, danSingapura 6 per 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2003). Berdasarkan SDKI 2007
Indonesia telah berhasil menurunkan Angka Kematian Ibu dari 390/100.000 kelahiran hidup (1992)
menjadi 334/100.000 kelahiran hidup (1997). Selanjutnya turun menjadi 228/100.000 kelahiran
hidup (Kemenkes RI, 2008). Meskipun telah terjadi penurunan dalam beberapa tahun tarakhir akan
tetapi penurunan tersebut masih sangat lambat (Wilopo, 2010). Angka Kematian Ibu di Indonesia
bervariasi, Provinsi dengan Angka Kematian Ibu terendah adalah DKI Jakarta dan tertinggi adalah
Provinsi Nusa Tenggara Barat (Profil Kesehatan 2009). Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, ditemukan
angka kematian ibu sebesar 99 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008, tahun 2009 menjadi
130 per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2010 sebesar 114 per 100.000 kelahiran hidup. Tingginya
Angka Kematian ibu di Provinsi Nusa Tenggara Barat tidak terlepas dari tingginya angka kematian ibu
pada beberapa Kabupaten/Kota khususnya di Pulau Lombok.

Penyebab kematian ibu yang paling umum di Indonesia adalah penyebab obstetri langsung
yaitu perdarahan 28 %, preeklampsi/eklampsi 24 %, infeksi 11%, sedangkan penyebab tidak langsung
adalah trauma obstetri 5 % dan lainlain 11 % (WHO, 2007).

Upaya percepatan penurunan angka kematian ibu telah banyak dilakukan, antara lain
melalui peningkatan aksessibilitas serta kualitas pelayanan. Upaya peningkatan aksessibilitas
pelayanan kesehatan dilakukan dengan mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
melalui paket penempatan tenaga bidan dan polindes di berbagai pelosok pedesaan serta tenaga
dokter di daerah terpencil atau sangat terpencil. Sedangkan dari aspek kualitas pelayanan, dilakukan
melalui upaya peningkatan kemampuan/kompetensi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dasar
dan rujukan (PONED/PONEK), serta berbagai program intervensi lain (Kemenkes RI, 2008).

Meskipun berbagai upaya tersebut telah dilakukan namun jumlah kasus kematian yang
terjadi di Pulau Lombok masih tinggi dan jauh dari target nasional yang diharapkan. Sesuai target
Nasional menurut MDGs yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu sebesar dari Angka Kematian Ibu
pada tahun 1990 (450 per 100.000) menjadi 102 per 100.000 pada tahun 2015 (Aganet al, 2010). Hal
ini menunjukkan bahwa status kesehatan masyarakat di Pulau Lombok masih perlu mendapatkan
penanganan terutama masalah kesehatan ibu. Hal ini terjadi karena intervensi yang diberikan masih
bersifat parsial dan pada lokasi tertentu saja, disamping itu juga masih banyak program intervensi
yang kurang tepat sasaran (Pemda Prov. NTB,2008). Melihat tingginya angka kematian ibu akibat
perdarahan di Pulau Lombok peneliti tertarik untuk meneliti factor-faktor risiko yang ada dan
berperan dalam terjadinya perdarahan dalam rangka mencari upaya untuk menurunkan kematian
ibu akibat perdarahan.
BAB II PEMBAHASAN

Angka Kematian
Untuk mencapai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang baik maka harus memperhatikan
Umur Harapan Hidup (UHH) masyarakat karena UHH menggambarkan tingkat derajat kesehatan
masyarakatnya. Tahun 2007, UHH Kabupaten Lombok Barat mencapai 59,54 dan IPM Lombok Barat
59,34. UHH yang tinggi berarti warga masyarakat mendapatkan jaminan hidup yang lebih baik.
Kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap resiko kesakitan dan kematian sehingga harus
mendapatkan perhatian yang serius adalah Bayi, Ibu bayi dan Balita. Ukuran-ukuran yang
digunakan untuk menilainya adalah Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Ibu dan prevalensi gizi
buruk pada Balita.

Berdasarkan laporan surveilans, jumlah kematian bayi dan ibu di Kabupaten Lombok Barat
dari tahun 2009 hingga tahun 2011 menunjukan penurunan. Tahun 2009 jumlah kematian bayi
adalah 201 , tahun 2010 sebanyak 161 orang dan tahun 2011 menurun menjadi 144 bayi. Sedangkan
untuk kematian ibu tahun 2009, 18 orang, tahun 2010 turun menjadi 17 orang demikian pula tahun
2011 turun menjadi 12 ibu. Dari 12 ibu tersebut, 8 diantaranya meninggal saat kondisi nifas (setelah
bersalin) 2 pada saat hamil, dan 2 pada saat persalinan.

Berbicara angka kematian, tentunya angka-angka ini akan berbeda jumlahnya dengan yang
dilaporkan oleh BPS yang didasarkan pada hasil survey karena angka dalam profil adalah jumlah
kejadian kasus kematian yang tercatat dan dilaporkan oleh puskesmas dan jaringannya termasuk
swasta dengan mekanisme Pemantauan Wilayah Setempat (PWS).

Tahun 2010 menurun sebesar 20 persen dan pada tahun 2011 menurun lagi sebesar 10,6
persen. Jika dikalkulasikan menurut hitungan per 1000 bayi lahir hidup maka kita akan dapatkan
data yang sangat rendah. Angka kematian bayi sementara pada tahun 2009 adalah 17 per 1000
kelahiran penduduk dan pada tahun 2010 turun menjadi hanya 12,44 per 1000 kelahiran hidup.
Angka-angka ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan hasil yang dikeluarkan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS). Target AKB untuk tahun 2011 dalam RPJMD adalah 27 per 1.000 kelahiran
hidup. Perlu menjadi catatan bahwa angka terlapor yang tertera dalam profil ini tidak dapat
langsung dibandingkan kepada target RPJMD tersebut, karena bukan merupakan angka resmi dari
BPS.

Penjelasan di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa penyebab kematian bayi paling
besar adalah BBLR (berat bayi lahir rendah) yaitu sebanyak 37 % meskipun kondisinya menurun dari
tahun 2010 lalu (43%). BBLR ini terjadi pada usia bayi 0 sampai 28 hari, selanjutnya Asfiksia sebanyak
28 kasus (19%) Penyebab kematian ketiga yaitu cacat bawaan sebanyak 16 kasus, kemudian
ISPA/Penumonia 13 kasus (9 %) dan dilaporkan terjadi pada bayi usia 29 hari sampai < 12 bln. Untuk
kasus lain-lain, mencapai 30 kasus tercata untuk bayi 0 12 bln. BBLR bisa terjadi karena kurangnya
asupan gizi pada saat bayi masih didalam kandungan sehingga hal ini berhubungan dengan
kesehatan ibu hamil. Kematian neonatus adalah kematian pada bayi baru lahir sampai dengan usia
28 hari. Tercatat untuk kematian neonatus sebanyak 110 kasus, dan 95 diantaranya meninggal pada
usia 0 -7 hari. Kondisi ini dikenal sebagai fenomena 2/3 kematian bayi.

Untuk mengatasi permasalahan ini perlu ditingkatkan kualitas kegiatan kunjungan neonatus
yang dalam kebijakan program dilaksanakan sampai 3 kali selama usia neonatal (0 28 hari).
Sedangkan untuk upaya penurunan kematian bayi yang disebabkan oleh BBLR dilakukan terobosan
dengan meningkatkan asupan gizi dan pengetahuan ibu hamil yaitu dengan memberikan
multivitamin pada ibu hamil KEK (Kurang Energi Kronis) serta dengan melaksanakan kelas ibu dan
kelas gizi bagi ibu hamil tersebut.

Kematian bayi akibat ISPA atau pneumonia disebabkan karena banyak faktor yaitu karena
lingkungan yang tidak sehat, dan untuk masyarakat yang belum berperilaku hidup bersih dan sehat.
Keduanya memberikan kontribusi yang cukup tinggi karena pneumonia merupakan salah satu
penyakit yang berbasis lingkungan, jika lingkungan tidak dijaga kebersihannya maka penyakit
berbasis lingkungan juga semakin meningkat. Penatalaksanaan kasus yang tepat sangat dibutuhkan
dalam penanganan kasus pneumonia ini karena itu program MTBS dan MTBM (Manajemen Terpadu
Balita Sakit dan Manajemen Terpadu Bayi Muda) perlu dilaksanakan secara optimal agar penemuan
kasus bayi dengan pneumonia dapat segera ditangani.

Grafik

Grafik . Penyebab kematian Ibu tahun 2009 2011

di Kabupaten Lombok Barat


Tabel

Tahun Penyebab

Abortus Pendarahan Infeksi Preklamasi Partus lama Lain-lain

2009 0 3 0 3 0 11

2010 0 2 2 2 0 11

2011 0 1 1 6 0 4
Berdasarkan grafik diatas, penyebab kematian ibu kontributornya paling tinggi tahun ini
disebabkan karena eklamsia/pre eklamsie yaitu sebanyak 50 % (6 kasus). Penyebab lain sebanyk 4
kasus, perdarahan 1 kasus dan infeksi 1 kasus.

Berbagai faktor yang mempengaruhi penyebab kematian tersebut, antara lain masih
banyaknya bumil dengan anemia yang disebabkan rendahnya konsumsi Fe, terlambatnya
pengambilan keputusan ke tempat pelayanan kesehatan, terlambatnya transportasi ke tempat
pelayanan, terlambatnya penangangan di tempat pelayanan kesehatan dan karena belum
tersedianya darah yang cukup. Padahal telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengatasinya,
misalnya dengan kebijakan desa siaga dimana salah satu kegiatannya adalah cepat tanggap terhadap
ibu melahirkan dan menyiapkan pendonor darah didesa tersebut. Konsep desa siaga yang juga
termasuk untuk siaga persalinan, dimana diharapkan ada kontribusi dari desa masalah angkutan
sebagai ambulan desa cukup membantu masyarakat dalam mengantarkan ibu hamil dan melahirkan
ke lokasi pelayanan kesehatan. Hal ini menyebabkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang
berkompeten cukup meningkat dari cakupan tahun sebelumnya.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan :

1. Analisa deskriptif dari AKB dan variabel prediktor, mengindikasikan daerah-daerah yang berdekatan
memiliki dependensi spasialsehingga terjadi pengelompokan-pengelompokan wilayah berdasarkan
karakteristiknya.

2. Hasil pengolahan didapatkan bahwa dari 7 variabel bebas, hanya 2 variabel saja yang signifikan yaitu
X1 (Persentase Penolong persalinan oleh tenaga medis) dan X2 (rata-rata lama pemberian ASI
eksklusif). Model regresi spasial yang terbentuk dengan menggunakan matriks penimbang spasial
Rook Contiguity murni maupun Queen Contiguity menghasilkan model yang sama, karena matriks
penimbangnya tidak ada perbedaan. Secara geografis, kabupaten/kota mempunyai bentuk wilayah
yang tidak simetris, sehingga Rook Contiguity dan Queen Contiguity mengasilkan matriks penimbang
yang sama. Model AKB yang terbentuk ada 7, kemudian dipilih model terbaik dengan menggunakan
4 kriteria. Kriteria tersebut adalah nilai R2 semakin besar semakin baik suatu model, sebaliknya nilai-
nilai dari AIC, MSE dan Schwarz Criterion semakin kecil maka semakin bagus modelnya. Lebih lanjut
didapatkan bahwa Spatial Error Model (SEM) adalah model AKB yang terbaik. Nilai koefisien
determinasi yang tinggi (R2= 85,6 %), mengisyaratkanbahwa model dengan 2 variabel bebas, mampu
menjelaskan 85,6% variansi dari AKB. Sedangkan 14,4% dijelaskan oleh variable lain diluar model.
Jadi model SEM sangat layak digunakan untuk memodelkan AKB di Jawa Timur.
Saran :
1. Adanya multikolineariti dari variabel prediktor perlu dilakukan tindakan lebih lanjut tanpa harus
membuang variabelnya. Diantara metode yang direkomendasikan yaitu dengan membuat regresi
spasial simultan dan regresi spasial panel. Nilai lebih dari regresi spasial simultan yaitu bisa
mendeteksi adanya dependensi spasial baik pada variabel respon maupun variable prediktor,
misalnya PKM diduga erat kaitannya dengan keberadaan rumah sakit rujukan. Apabila PKM dibuat
model spasial, diharapkan akan mengatasi multikolineariti dari variabel-variabel prediktor yang lain.
Sedangkan keuntungan menggunakan regresi spasial panel, bias didapatkan informasi spasial baik
secara cross-section maupun time series.

2. Pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota hendaknya


mengintensifkan sosialisasi tentang pentingnya pemberian ASIeksklusif sampai 6 bulan. ASI eksklusif
yang optimal bisa meningkatkan daya tahan tubuh bayi sehingga bisa menurunkan Angka Kematian
Bayi.

3. Ada beberapa daerah yang memiliki persentase penolong kelahiran oleh tenaga medis (PKM) yang
rendah. Hal ini perlu diatasi dengan menambah sarana dan jumlah tenaga medis serta
pemerataannya di setiap wilayah, sehingga semakin mudah diakses oleh masyarakat. Kampanye
tentang pentingnya PKM ini perlu ditingkatkan, karena dengan hal ini bias menyadarkan dan
merubah paradigma masyarakat agar melakukan persalinanhanya dengan tenaga medis saja.
Manfaat yang diharapkan ialah agar ibu dan anak selamat, sehingga Angka Kematian Ibu (AKI) dan
Angka Kematian Bayi (AKB menjadi turun.

4. Daerah-daerah di kawasan budaya Madura dan kawasan budaya Pandalungan perlu mendapatkan
perhatian lebih dari pemerintah, karena mempunyai AKB yang lebih tinggi dari daerah lain, serta dari
beberapa aspek, relatif tertinggal daripada daerah lainnya (kawasan budaya Arek maupun kawasan
budaya Mataraman).
Diposkan oleh ayu retnoajeng di 23.31

Anda mungkin juga menyukai