Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Usaha pertambangan, oleh sebagian masyarakat sering dianggap sebagai
penyebab kerusakan dan pencemaran lingkungan. Sebagai contoh, pada kegiatan usaha
pertambangan emas skala kecil masyarakat Kulon Progo, Yogyakarta. Kulon Progo
merupakan dataran pantai pada bagian selatan, perbukitan bergelombang di bagian
tengah dan timur, serta perbukitan terjal dan pegunungan dibaguian barat dan utara
(dikenal sebagai Perbukitan Menoreh).Di Kab. Kulon Progo terdapat 2 Daerah Aliran
Sungai (DAS), yaitu DAS Progo dan DAS Serang. Sungai Serang dengan anak-anak
sungainya memiliki daerah pengaliran seluas 3636 hektar dengan debit air minimum
0.03m3/detik dan maksimum 153,6 m3/detik. Pengolahan bijih tambang emas
masyarakat Kulon Progo dilakukan dengan proses amalgamasi dimana merkuri (Hg)
digunakan sebagai media untuk mengikat emas. Perlu dilakukan pengawasan terhadap
penyebaran logam berat tersebut agar penanggulangan nya dapat dilakukan sedini
mungkin dan lebih terarah.,maka diperlukan upaya pendekatan melalui penanganan
tailing atau limbah B3 yang berwawasan lingkungan. Tailing merupakan limbah yang
dihasilkan dari proses pengolahan mineral tambang. Tailing selalu menjadi masalah
serius, terutama dianggap sebagai perusak utama lingkungan.
Menurut Larasati dkk., tailing dari proses amalgamasi pertambangan Kulon
Progo meluap dari bak penampungan yang ada dan mengalir ke halaman rumah
masyarakat sekitar. Tailing yang meluap membentuk suatu timbunan dan dibuang tanpa
proses pengolahan di beberapa titik sekitar lokasi tambang. Menurut Setiabudi,
pertambangan emas rakyat Kulon Progo terdiri dari lokasi penambangan yang aktif
(TTA) dan tidak aktif (TTTA). Penambangan yang aktif memiliki tempat pembuangan
dan penimbunan tailing yang masih berjalan (aktif). Penambangan yang tidak aktif
merupakan tempat pembuangan dan penimbunan tailing yang sudah tidak digunakan
kembali (tidak aktif). Menurut Ogola dkk., terdapat beberapa logam berat yang terdapat
pada tailing dari proses amalgamasi, logam logam tersebut antara lain merkuri, timbal,
arsen, dan kadmium. Merkuri merupakan logam berat yang paling dominan yang
terdapat pada tailing.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran dari
buangan produk terkontaminasi merkuri adalah dengan teknologi Stabilisasi/Solidifikasi
(S/S). Proses stabilisas/solidifikasi, dengan tujuan untuk mengurangi potensi racun dan
kandungan limbah B3 dengan cara membatasi daya larut, penyebaran, dan daya racun
sebelum limbah dibuang ke tempat penimbunan akhir. Proses pengolahan limbah B3
dengan teknologi stabilisasi/solidifikasi memiliki kelebihan yaitu hemat biaya, ramah
lingkungan dan mudah untuk di aplikasikan. Teknologi ini memerlukan tambahan bahan
pengikat untuk mengkapsulasi kontaminan secara fisik maupun kimiawi agar terbentuk
formasi yang lebih stabil. Bahan pengikat yang paling umum digunakan dalam S/S
limbah B3 adalah semen portland. Semen portland memiliki kelebihan yaitu umum
digunakan, mudah didapat, dan bisa digunakan pada berbagai jenis limbah, dengan
semen portland sangat efektif digunakan untuk mengikat senyawa anorganik pada
limbah B3.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Stabilisasi/Solidifikasi ?
2. Apa yang dimaksud dengan Tailing ?
3. Apa yang dimaksud dengan uji TCLP ?
4. Bagaimana metode S/S yang dilakukan dalam mengolah timbunan tailing di
penambangan emas rakyat Kulon Progo ?
5. Bagaimana hasil dari metode S/S menggunakan semen Portland pada timbunan
tailing di penambangan emas rakyat Kulon Progo ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Stabilisasi/Solidifikasi.
2. Untuk mengetahui pengertian dari tailing.
3. Untuk mengetahui pengertian dari uji TCLP.
4. Untuk mengetahui metode S/S yang dilakukan dalam mengolah timbunan
tailing di penambangan emas rakyat Kulon Progo.
5. Untuk mengetahui hasil metode S/S menggunakan semen Portland pada
timbunan tailing di penambangan emas rakyat Kulon Progo.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PERTAMBANGAN EMAS


Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi
mineral dan bahan tambang lainnya dari bumi, salah satunya adalah pertambangan
emas. Pertambangan emas selain dikelola oleh perusahaan juga banyak dijumpai
pertambangan emas tanpa izin (PETI). Pertambangan tanpa izin ini biasa dilakukan
masyarakat setempat. Kegiatan pertambangan ini dilakukan secara tradisional, yang
biasanya dilakukan oleh masyarakat di tepi sungai dengan cara mendulang. Biji-biji
emas hasil dulang biasanya dibersihkan dengan proses amalgamasi.
Proses selanjutnya untuk mendapatkan biji emas dari campuran batuan
dilakukan proses amalgamasi dengan menggunakan merkuri. Limbah proses
amalgamasi tersebut biasanya dibuang ke sungai atau ditumpuk di daerah
pemprosesan sehingga dapat mencemari lingkungan. Data Badan Pengelolaan dan
Pelestarian Lingkungan Hidup tahun 2002, melaporkan bahwa setiap tahun
diperkirakan 10 ton Hg sisa penambangan emas tradisional di buang ke lingkungan
sekitar.

2.2 PENGOLAHAN EMAS CARA AMALGAMASI

Amalgamasi adalah proses penyelaputan partikel emas oleh air raksa dengan
membentuk amalgam (Au-Hg). Amalgamasi merupakan metode ekstraksi logam emas
yang paling sederhana dan murah, tetapi hanya sesuai untuk bijih emas dengan kadar
tinggi, mempunyai ukuran butir kasar ( >74 ) dan dalam bentuk emas murni yang
bebas (free native gold). Proses amalgamasi merupakan proses kimia fisika, apabila
amalgamnya dipanaskan, maka akan terurai menjadi elemen-elemen yaitu air raksa dan
emas.
Metode yang digunakan oleh para pengolah bijih emas adalah metode
langsung. Dalam metode ini semua material (bijih emas, media giling, kapur tohor,
air, air raksa) dimasukkan secara bersama-sama pada awal proses, sehingga proses
penghalusan bijih emas dan pengikatan emas oleh air raksa terjadi secara
bersamaan. Metode amalgamasi cara langsung ini kurang efektif dengan beberapa
alasan yaitu memerlukan jumlah air raksa relatif lebih banyak, air raksa yang
digunakan cepat rusak menjadi butir-butir kecil (flouring) , sehingga daya ikat air
raksa terhadap emas kurang, dan butir-butir air raksa yang kecil mudah terbuang
bersama ampas sewaktu dilakukan pendulangan memisahkan ampas dengan
amalgam. Akibatnya, metode ini menghadapi dua permasalahan utama yaitu
perolehan emas yang rendah dan kehilangan air raksa yang cukup tinggi. Perolehan
emas dalam metode amalgamasi jarang melebihi 85 %. Untuk tambang rakyat yang
menggunakan metode amalgamasi cara langsung perolehan emasnya lebih
rendah dari 85 %. Ini mengakibatkan terjadinya pemborosan sumber daya
mineral karena hanya bijih emas kadar tinggi saja yang diolah, sementara ampas
(tailing) sebagai sisa pengolahan yang masih mengandung emas dibuang dan
dalam jumlah yang cukup banyak.

2.3 TAILING
Tailing secara teknis didefinisikan sebagai material halus yang
merupakan mineral yang tersisa setelah mineral berharganya diambil dalam suatu
proses pengolahan bijih. Dalam kamus istilah teknik pertambangan umum tailing
diidentikkan dengan ampas. Tailing juga didefenisikan sebagai limbah proses
pengolahan mineral yang butirannya berukuran relatif halus. Sebagai limbah
sisa pengolahan batuan, tailing masih mengandung logam berat seperti yang
disajikan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kandungan Logam Berat pada Tailing Dari Salah Satu Perusahaan

Pengolahan Biji Emas

No Logam Berat Rumus kimia Kandungan

(mg/kg)
1 Merkuri Hg 30.65

2 Timbal Pb 0.28
Kadmium Cd
3 2.36
Zink Zn
4 Tembaga Cu 0.42
Aurum Au
5 0.31
Arsen As

Oleh karena itu limbah padat (tailing) yang masih mengandung logam-
logam berat dan air raksa dengan kadar yang masih tinggi akan berpotensi
mencemari lingkungan apabila dibuang secara tidak benar (sembarangan). Fakta
yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa pencemaran lingkungan karena
pembuangan limbah tailing bijih emas secara tidak benar (sembarangan)
masih banyak terjadi di beberapa lokasi pengolahan bijih emas. Hal ini
diindikasikan dengan tingginya kandungan Hg dan logam berat lainnya yang
terdapat dalam air sungai di sekitar lokasi pengolahan bijih emas.

2.4 DAMPAK NEGATIF MERKURI


Tailing atau limbah penambangan dari proses amalgamasi yang banyak
mengandung Merkuri langsung dibuang ke lingkungan (sungai) tanpa diproses
terlebih dahulu, sehingga sangat memungkinkan menyebabkan pencemaran bagi
lingkungan. Selain itu, lingkungan yang terkontaminasi oleh merkuri dapat
membahayakan kehidupan manusia karena adanya rantai makanan. Merkuri
merupakan satu - satunya logam yang mengalami biomagnifikasi melalui rantai
makanan dan sangat mudah mengalami transformasi menjadi bentuk - bentuk
organikyang lebih toksik (metil - merkuri, dimetil - merkuri, etil - merkuri, dan lain
- lain). Efek bahan pencemar merkuri terhadap lingkungan, antara lain pada
kondisi fisik, ekonomi, vegetasi, kehidupa binatang dan estetika. Efek lainnya,
yaitu terhadap kesehatan manusia secara umum yang dapat berupa sakit (akut
dan kronis), terganggunya fungsi fisiologis (syaraf, paru, kemampuan
sensorik), iritasi sensorik serta penimbunan bahan bahaya pada tubuh.

Gambar 2.1. Proses pencampuran merkuri

Orang-orang yang mempunyai potensial terkena kandungan Hg diantaranya


pekerja pabrik/penambang emas yang menggunakan Hg, janin bayi dan anak-
anak (Metil merkuri) dapat menembus placenta, sistem syaraf sensitif terhadap
keracunan Hg. Efek toksisitas merkuri terutama pada susunan saraf pusat (SSP) dan
ginjal, dimana merkuri terakumulasi yang dapat menyebabkan kerusakan SSP dan
ginjal antara lain tremor, kehilangan daya ingat.
Berbagai penyakit pada manusia yang disebabkan oleh merkuri adalah :
1. Toksisitas yaitu penyakit gangguan sistem pencernaan dan sistem syaraf yang
disebabkan kontak langsung dengan merkuri. Biasanya penderita akan terasa tidak
nyaman, kesakitan, bahkan kematian.
2. Akumulasi Hg dalam tubuh dapat menyebabkan tremor, parkinson,
gangguan lensa mata berwarna abu-abu, serta anemia ringan, dilanjutkan dengan
gangguan susunan syaraf yang sangat peka terhadap Hg dengan gejala pertama
adalah parestesia, ataksia, disartria, ketulian, dan akhirnya kematian.
3. Wanita hamil yang terpapar alkil merkuri bisa menyebabkan kerusakan pada
otak janin sehingga mengakibatkan kecacatan pada bayi yang dilahirkan.
4. Garam merkuri anorganik bisa mengakibatkan presipitasi protein, merusak
mukosa saluran pencernaan, merusak membran ginjal maupun membran
filterglomerulus.
5. Merkuri juga menyebabkan penyakit kulit seperti gatal-gatal bahkan kanker
kulit.
Berdasarkan uraian diatas bahwa penggunaan merkuri pada
penambangan emas tidak hanya merugikan kepada pekerja tambang tersebut,
namun juga berdampak kepada alam dan masyarakat sekitar penambangan.

2.5 SOLIDIFIKASI/STABILISSI
Dua hal penting yang berkaitan dengan pencemaran tanah oleh logam berat
seperti merkuri adalah mobilitas dan pelepasan logam berat ke dalam tanah.
Mobilitas logam berat berkaitan dengan gerakan senyawa -senyawa berbahaya
dalam tanah ke aliran air tanah dan efeknya bila terjadi kontak dengan material
biologi. Pelepasan logam berat berkaitan dengan efek kontak fisik dengan
kontaminan, termasuk kemungkinan masuknya kontaminan ke dalam material.
Salah satu pengolahan limbah logam berat seperti merkuri dapat diatasi dengan
proses stabilisasi/solidifikasi
Stabilisasi/solidifikasi (S/S) adalah proses yang melibatkan pencampuran
limbah dengan zat pengikat untuk mengurangi pelepasan kontaminan baik secara
fisik maupun kimia dan mengkonversi atau mengubah limbah berbahaya ke
dalam bentuk yang bersahabat dengan lingkungan untuk keperluan konstruksi atau
penimbunan tanah. Proses S/S telah digunakan dalam penanganan limbah lebih dari
20 tahun, dan beberapa istilah diberikan pada langkah penanganan yang berbeda
yang termasuk dalam proses S/S.
1. Limbah berbahaya adalah limbah yang dapat meningkatkan tingkat
keracunan akut dan kematian, atau dengan kata lain limbah merupakan
substansi yang berpotensi sebagai racun terhadap kesehatan manusia
atau lingkungan apabila tidak ditangani, diangkut, disimpan atau diatur
dengan benar. Badan Perlindungan Lingkungan (EPA, Environmental
Protection Agency) mendefinisikan limbah sebagai hasil proses produksi yang
memenuhi salah satu atau lebih karakteristik, yaitu mudah terbakar, korosif, reaktif
dan toksik. Prosedur Peluluhan Karakteristik Toksisitas TCLP (Toxicity
Characteristic Leaching Procedure) merupakan uji untuk limbah beracun. Proses
S/S biasanya dipakai untuk menguji limbah beracun.
2. Solidifikasi adalah suatu penanganan yang menghasilkan padatan limbah
yang memiliki identitas struktural yang tinggi. Proses solidifikasi
menyebabkan kontaminan tidak dapat berinteraksi dengan reagen
solidifikasi. Hal ini terjadi karena secara mekanik, kontaminan dikunci atau
dijebak dalam padatan yang terbentuk dari proses solidifikasi.
3. Stabilisasi adalah suatu teknik yang didesain untuk meminimalkan
mobilitas atau kelarutan kontaminan baik dengan atau tanpa terjadi
perubahan sifat fisik dari limbah. Proses stabilisasi biasanya melibatkan
penambahan material ke dalam limbah berbahaya dan menciptakan produk
yang lebih tidak berbahaya.
4. Pengikat (binder), biasanya semen atau material seperti semen, atau
resin yang digunakan untuk mengikat partikel secara bersama-sama.
Penambahan air atau bahan aditif lain sangat dimungkinkan. Pengikat akan
menciptakan bentuk limbah yang terstabilkan. Semen Portland merupakan
pengikat yang paling umum digunakan dalam proses S/S.
5. Bahan aditif adalah material yang ditambahkan ke dalam binder untuk
meningkatkan keberhasilan proses S/S. Bahan aditif, seperti silika dapat
memperlambat proses pengerasan, lempung dapat meningkatkan ketahanan
terhadap air atau kontaminan, dan surfaktan dapat meningkatkan penyatuan
senyawa organik. Bahan aditif biasanya ditambahkan hanya dalam jumlah
kecil.

2.6 TUJUAN PROSES SOLIDIFIKASI/STABILISASI

Proses Solidifikasi/Stabilisasi (S/S) didesain untuk mengakomodasikan


salah satu atau lebih dari tujuan berikut
1. Menurunkan mobilitas atau kelarutan kontaminan.
2. Meningkatkan penanganan dan karakteristik fisik limbah dengan cara
menciptakan suatu matrik padatan yang tidak bebas air.
3. Menurunkan luas muka limbah dengan cara mentransfer kontaminan
yang mungkin terdapat dalam padatan limbah.
Untuk mengetahui keberhasilan tujuan dari proses S/S dilakukan dengan cara
melakukan uji standard dan uji termodifikasi. Tiga hal yang umumnya dilakukan
dalam pengujian proses S/S adalah :
1. Fisik, mencakup kelembaban, kerapatan, kepadatan, kekuatan dan daya
tahan.
2. Kimiawi, mencakup pH, reaksi redoks, kapasitas penetralan asam,
kebasaan, dan kandungan senyawa organik.
3. Peluluhan, mencakup TCLP, prosedur ekstraksi bertingkat, peluluhan
dinamis prosedur peluluhan pengendapan asam sintetis (SPLP, Synthetic
Acid Precipitation Leaching Procedure) dan ekstraksi berurutan. Penanganan
dengan proses S/S dikatakan berhasil bila dihasilkan produk
limbah yang kuat dan tahan lama yang tidak akan meluluhkan logam dalam
jangka waktu pendek maupun panjang. Bentuk limbah yang tidak kuat dan padat
akan mudah berkurang seiring dengan berjalannya waktu, mudah hancur menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil, sehingga akan meningkatkan resiko peluluhan.
Bentuk limbah harus tahan lama dalam lingkungan yang selalu berubah dan
mempunyai tingkat ketahanan terhadap siklus kering/basah dan
pembekuan/pencairan.
2.7 Semen Portland
Semen portland atau biasa disebut semen adalah bahan pengikat hidrolis
berupa bubuk halus yang dihasilkan dengan cara menghaluskan klinker (bahan ini
tertuma terdiri dari silika-silika kalsium yang bersifat hidrolis), dengan batu gips
sebagai bahan tambahan.
Semen portland yang digunakan di Indonesia harus memenuhi syarat
SII.0013-8 1 atau Standar Uji Bahan Bangunan Indonesia 1986 dan harus memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam standar tersebut (PB. 1989:3.2-8) .
a. Sifat Sifat Semen Portland
Menurut (Samekto dan Candra, 2001) semen portland memiliki beberapa
sifat yang diantaranya dijelaskan sebagai berikut:
1) Kehalusan Butir
Pada umumnya semen memiliki kehalusan sedemikian rupa sehingga kurang
lebih 80 % dari butirannya dapat menembus ayakan 44 mikron. Makin halus butiran
semen, makin cepat pula persenyawaannya. Makin halus butiran semen, maka luas
permukaan butir untuk suatu jumlah berat semen akan semakin menjadi besar.
Makin besar luas permukaan butir ini , makin banyak pula air yang dibutuhkan bagi
persenyawaannya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menentukan
kehalusan butir semen. Cara yang paling sederhana dan mudah dilakukan ialah
dengan mengayaknya.
2) Kekekalan Bentuk
Yang dimaksud dengan kekekalan bentuk adalah sifat dari bubur semen yang
telah mengeras, dimana bila adukan semen dibuat suatu bentuk tertentu bentuk itu
tidak berubah. Buka benda dari adukan semen yang telah mengeras. Apabila benda
menunjukkan adanya cacat (retak, melengkung, membesar atau menyusut), berarti
semen itu tidak baik atau tidak memiliki sifat tetap bentuk.
3) Kekuatan Semen
Kekuatan mekanis dari semen yang mengeras merupakan sifat yang
perlu diketahui di dalam pemakaian. Kekuatan semen ini merupakan
gambaran mengenai daya rekatnya sebagai bahan perekat/pengikat. Pada umumnya,
pengukuran kekuatan daya rekat ini dilakukan dengan menentukan kuat lentur, kuat
tarik atau kuat tekan (desak) dari campuran semen dengan pasir.
b. Bahan Penyusun Semen Portland
Bahan utama pembentuk semen portland adalah Kapur (CaO), Silica (SiO3),
Alumina (Al2O3), sedikit Magnesia (MgO), dan terkadang sedikit Alkali. Untuk
mengontrol komposisinya, terkadang ditambahkan Oksida Besi, sedangkan Gipsum
(CaSO4.2H2O) ditambahkan untuk mengatur waktu ikat semen. [18
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Stabilisasi/Solidifikasi


Solidifikasi adalah suatu penanganan yang menghasilkan padatan limbah yang
memiliki identitas struktural yang tinggi. Proses solidifikasi menyebabkan kontaminan
tidak dapat berinteraksi dengan reagen solidifikasi. Hal ini terjadi karena secara
mekanik, kontaminan dikunci atau dijebak dalam padatan yang terbentuk dari proses
solidifikasi, sedangkan stabilisasi adalah suatu teknik yang didesain untuk
meminimalkan mobilitas atau kelarutan kontaminan baik dengan atau tanpa terjadi
perubahan sifat fisik dari limbah. Proses stabilisasi biasanya melibatkan penambahan
material ke dalam limbah berbahaya dan menciptakan produk yang lebih tidak
berbahaya.
Stabilisasi/solidifikasi (S/S) adalah proses yang melibatkan pencampuran limbah
dengan zat pengikat untuk mengurangi pelepasan kontaminan baik secara fisik maupun
kimia dan mengkonversi atau mengubah limbah berbahaya ke dalam bentuk yang
bersahabat dengan lingkungan untuk keperluan konstruksi atau penimbunan tanah.

3.2 Pengertian Tailing


Tailing secara teknis didefinisikan sebagai material halus yang merupakan
mineral yang tersisa setelah mineral berharganya diambil dalam suatu proses pengolahan
bijih. Dalam kamus istilah teknik pertambangan umum tailing diidentikkan dengan ampas.
Tailing juga didefenisikan sebagai limbah proses pengolahan mineral yang butirannya
berukuran relatif halus. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan, tailing masih
mengandung logam berat.

3.3 Pengertian uji TCLP


Uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) merupakan salah satu cara
untuk menentukan karakteristik limbah beracun. Uji TCLP adalah cara untuk menentukan
kecenderungan limbah mengalami pelindian atau leaching. Sifat tersebut amat penting untuk
menentukan apakah limbah boleh di kubur dalam tanah (landfill)
Pengujian TCLP dalam industri yang menghasilkan/landfilling limbah B-3 atau
tanah terkontaminasi B-3 perlu dilakukan secara rutin namun biayanya cukup mahal. Untuk
mengurangi biaya, pihak industri sebaiknya mampu melakukannya sendiri. Peralatan
laboratorium, baik instrumen modern maupun metoda konvensional dapat dimanfaatkan.

3.4 Metode S/S yang dilakukan dalam mengolah timbunan tailing di penambangan
emas rakyat Kulon Progo
Ada beberapa metode yang dilakukan dalam mengolah timbunan tailing di wilayah
penambangan emas rakyat Kulon Progo, yaitu :
A. Variabel Penelitian
Dalam kasus ini menggunakan 2 variabel penelitian. Variabel pertama merupakan
variasi jenis timbunan tailing, yaitutimbunan tailing aktif dan timbunan tailing tidak
aktif. Variabel kedua merupakan variasi komposisi timbunan tailing aktif dan tidak
aktif terhadap semen portland dalam proses S/S.
B. Pengambilan Sampel Timbunan Tailing
Pengambilan sampel dilakukan di 10 titik, diambil di lokasi penambangan emas
Dusun Sangon II, Desa Kalirejo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. 5 titik untuk
timbunan tailing aktif dan 5 titik untuk timbunan tailing tidak aktif. Pengambilan
sampel dilakukan dengan metode core samplers yang mengacu pada US EPA.
Metode core samplers yang digunakan yaitu subsampling and compositing (multiple
core samples) dengan kedalaman yang digunakan yaitu 30 cm, 60cm, dan 90 cm
pada setiap titik.
C. Preparasi dan pengujian awal sampel
Preparasi sampel yaitu dengan melakukan penghalusan menggunakan bond balls
mill dan pengeringan dengan suhu 50oC. Kemudian sampel dihitung berat kering dan
kadar air. Hal ini dilakukan karena salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas
produk S/S yaitu jumlah penambahan air dan ukuran partikel. Proses stabilisasi pada
sampel yang kering akan lebih mudah dan murah dibandingkan dengan sampel yang
basah. Pada proses S/S, sampel yang digunakan juga tidak boleh memiliki ukuran
yang besar, karena dapat mengganggu proses operasi dari mixer. Sampel diuji
karakteristik awal meliputi kadar logam berat awal, pH, suhu, dan kadar air. Semen
Portland (OPC) diambil di PT Varia Usaha Gresik untuk disiapkan dalam pembuatan
benda uji sesuai dengan variasi yang telah ditentukan.
D. Pembuatan Benda Uji
Pembuatan benda uji diawali dengan uji konsistensi normal untuk menentukan
jumlah air yang dibutuhkan dalam membuat benda uji. Konsistensi normal adalah
kadar air pasta
semen yang apabila jarum vicat diletakkan di permukaannya selama 30 detik akan
terjadi penetrasi sedalam 10 mm. Pengujian konsistensi normal berdasarkan ASTM
C187-11e1
dimana sampel diayak pada saringan 300 m sebelum pengujian konsistensi normal.
Pembuatan benda uji dibuat seberat 300 gram dari total campuran dengan
penambahan
akuades sesuai hasil uji konsistensi normal. Benda uji dibuat menyesuaikan ukuran
specimen mold yang memiliki sisi 5 cm. Setelah benda uji dibuat maka dilakukan
perawatan mortar curing selama 28 hari. Curing bertujuan untuk memperoleh
kekuatan tertentu dengan mencegah penguapan air yang cepat selama terjadinya
hidrasi antara semen dan air. Metode curing yang digunakan yaitu burlap curing
yang menggunakan kain burlap yang dibasahi secara berkala dan diletakkan di atas
benda uji.
E. Pengujian Kuat Tekan dan Uji TCLP
Setelah proses curing berlangsung, maka dilakukan uji kuat tekan dan uji TCLP. Uji
kuat tekan adalah besarnya beban persatuan luas yang menyebabkan benda uji
hancur bila diberi gaya tertentu oleh mesin tekan. Seluruh benda uji dilakukan uji
kuat tekan dimana harus memenuhi syarat baku mutu yang diizinkan oleh KepKa
Bapedal No. 3 Tahun 1995 yaitu sebesar 10 ton/m. Prosedur uji kuat tekan mengacu
pada ASTM C109 tentang Compressive Strength Hydraulic Cement Mortars (ukuran
50 mm). Kemudian dilakukan uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching
Procedure) untuk mengetahui potensi pelindian merkuri yang terdapat pada
timbunan tailing aktif maupun tidak aktif. Baku mutu uji. TCLP mengacu pada PP
No. 101 Tahun 2014 dimana kadar merkuri maksimum pada tailing yaitu sebesar
0,05 mg/L. Uji TCLP mengacu pada metode US EPA Method 1311.

3.5 Hasil metode S/S menggunakan semen Portland pada timbunan tailing di
penambangan emas rakyat Kulon Progo
Karakteristik timbunan tailing aktif dan tidak aktif yaitu berbentuk seperti lumpur
berwarna cokelat keabu-abuan. Timbunan taling aktif dan tidak aktif mengandung unsur
clay dengan permeabilitas sekitar 7,32 x 10 cm/detik. Kadar air timbunan tailing aktif yaitu
sebesar 31,77% dengan pH 6,58. Sementara kadar air timbunan tailing tidak aktif sebesar
28% dengan pH 7,3. Konsentrasi merkuri awal pada timbunan tailing aktif dan tidak aktif
melebihi baku mutu PP No. 101 Tahun 2014 sebesar 75 mg/kg, dimana timbunan tailing
aktif mengandung merkuri dengan total konsentrasi sebesar 160318 mg/kg. Timbunan
tailing tidak aktif mengandung merkuri dengan total konsentrasi sebesar 94-99 mg/kg.
Sementara konsentrasi logam berat lain berada dibawah baku mutu yang ditetapkan.
Metode S/S menggunakan semen portland pada timbunan tailing terkontaminasi
merkuri mampu memenuhi nilai kuat tekan minimum yang diisyaratkan dan memenuhi nilai
TCLP yang ditetapkan. Seluruh variasi komposisi timbunan tailing aktif dan tidak aktif
memiliki nilai kuat tekan jauh lebih tinggi dari baku mutu dan nilai TCLP yang jauh lebih
rendah dari baku mutu. Komposisi 100% timbunan tailing aktif dan tidak aktif mampu
mengikat merkuri dengan nilai
kuat tekan masing masing sebesar 53 ton/m dan 117 ton/m2 dan nilai TCLP <0,0005 mg/L.
Komposisi tersebut dapat dikatakan sebagai komposisi optimum pada penelitian ini.
Meskipun demikian, penambahan semen Portland sebagai binder akan menghasilkan nilai
kuat tekan dan TCLP yang jauh lebih baik.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Stabilisasi/solidifikasi (S/S) adalah proses yang melibatkan pencampuran limbah
dengan zat pengikat untuk mengurangi pelepasan kontaminan baik secara fisik maupun
kimia dan mengkonversi atau mengubah limbah berbahaya ke dalam bentuk yang
bersahabat dengan lingkungan untuk keperluan konstruksi atau penimbunan tanah. Tailing
juga didefenisikan sebagai limbah proses pengolahan mineral yang butirannya berukuran
relatif halus. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan, tailing masih mengandung logam
berat. Uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) merupakan salah satu cara
untuk menentukan karakteristik limbah beracun. Uji TCLP adalah cara untuk menentukan
kecenderungan limbah mengalami pelindian atau leaching. Sifat tersebut amat penting untuk
menentukan apakah limbah boleh di kubur dalam tanah (landfill). Ada beberapa metode
yang dilakukan dalam mengolah timbunan tailing di wilayah penambangan emas rakyat
Kulon Progo, yaitu: Variabel Penelitian, Pengambilan Sampel Timbunan Tailing, Preparasi
dan pengujian awal sampel, Pembuatan Benda Uji dan Pengujian Kuat Tekan dan Uji TCLP.

4.2 Saran
Perlu berhati-hati dan teliti dalam melakukan Uji TCLP agar mendapatkan hasil
yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

Albinas Gailius, dkk (2010). Hazardous Wastes Recycling by


Solidification/Stabilization Method. Journal of Materials Science, Vol.16, No.2
(2010), hal. 166-169.

Astuti, Widi, dkk. Studi Pemanfaatan Lumpur Limbah Cair B-3 yang
Mengandung Pb dan Cr dari Industri Percetakan sebagai Bahan Baku Tambahan
Pembuatan Paving Block, Media Komunikasi Teknik Sipil (Juni, 2005), Vol.13,
No.2, hal 78-83

BSN (1989). SNI 03-0349-1989 : Bata Beton Untuk Pasangan Dinding.


Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Caijun Shi and Jimenez, A. Fernandez (2006). Stabilization/Solidification of


Hazardous and Radioactive Wastes With Alkali-Activated Vements". Journal of
Hazardous Materials B137 hal. 1656-1662

Chandrayanti, Lucy. Pemanfaatan Limbah Sekam Dan Serat Rami (Goni)


Untuk Pembuatan Papan Semen. Tugas Akhir Sekolah Tinggi Teknik
Lingkungan. Yayasan Lingkungan Hidup. Yogyakarta, 2003.

Fatimawali, dll. Analisis Kandungan Merkuri Pada Krim Pemutih yang


Beredar di Kota Manado, Farmasi FMIPA UNSRAT, Vol.2, No.01
(Februari,
2013)

Febriansyah, dkk,. Pengaruh Penambahan Limbah Padat Abu Terbang Batubara


(Fly Ash) Terhadap Kekuatan Tekan Dan Porositas Genteng Tanah Liat
Kabupaten Pringsewu. Universitas Lampung, 2013.

Febriyatno Hendy. Pemanfaatan Limbah Bahan Padat Sebagai Agregat Kasar


Pada Pembuatan Beton Normal. Universitas Gunadarma, 2005.
Grasso, D. (1993). Hazardous Waste Site Remediation, Source Control,
Lewis Publishers.

Junita Nita Ratna. Risiko Keracunan Merkuri (Hg) Pada Pekerja Penambang
Emas Tanpa Izin (Peti) Di Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabupaten
Bogor. Universitas Islam Negri, 2013.

Mizwar Andi,dkk. Pemanfaatan limbah lumpur berminyak Melalui Proses


Stabilisasi/Solidifikasi dengan Semen Untuk Pembuatan Bata Beton Berlubang,
Lampung: Universitas Lampung, (2006).

Murdock, L.J.;et al. Bahan dan Praktek Beton. Edisi ke-4. Erlangga. Jakarta,
1999.

Pamayo Aulia Ihsan dan Yulinah Trihadiningrum. stabilisasi/solidifikasi


timbunan tailing penambangan emas rakyat kulon progo. Surabaya: ITS, 2015

Pranjoto dan Endang. Kajian tentang Proses Solidifikasi/Stabilisasi Logam


Berat Dalam Limbah dengan Semen Portland. Yogyakarta: UNY,
(Agustus,
2007).

Prasetyo, radian. Kajian Pemanfaatan Limbah Penambangan Emas.


Jakarta: Universitas Indonesia, (2007).

Rianto Sugeng. Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan


Keracunan Merkuri pada Penambang Emas Tradisional di Desa Jendi Kecamatan
Selogiri Kabupaten Wonogiri, Universitas Diponegoro, Semarang, 2010.

Santanu, Paria dan Pak K. Yuet (2006). Solidification/Stabilization of Organic


and Inorganic Contaminants using Portland Cement. Published in
Environmental, Vol.14, hal. 220-223.

Sri, Mulyani, dkk. Identifikasi Cemaran Logam Pb dan Cd pada Kangkung yang
Ditanam di Daerah Kota Denpasar. Jurnal Bumi Lestari, Vol.12, No.2
(Agustus, 2012), hal. 346
Tri Mulyono. Teknologi Beton, Penerbit ANDI Yogyakarta (2003).

Utomo, M. Pranjoto dan Laksono, Endang Widjajanti. Kajian Tentang


Proses Solidifikasi/Stabilisasi Logam Berat Dalam Limbah Dengan Semen
Portland, UNY (2007).

Widodo. Pemanfaatan Tailing Pengolahan Bijih Emas Cara Amalgamasi untuk


Bata Cetak, Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI,
(2010).

Anda mungkin juga menyukai