Anda di halaman 1dari 16

Tinjauan Pustaka Terkait Tesis

Efek Defisiensi Zat Besi pada Miokard

dr. Rima Sagita

Pembimbing:

Prof. Dr. dr. Bambang Budi Siswanto, SpJP(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1


DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
2016
ABSTRAK

Defisiensi zat besi berkaitan dengan berbagai masalah kesehatan termasuk sistem
kardiovaskular, dan merupakan komorbid yang cukup sering ditemukan pada pasien gagal
jantung serta berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk. Defisiensi zat besi
menyebabkan degenerasi mitokondria, perubahan sarkomer dan susunan filamen pada
miokard disertai peningkatan oksidatif stres yang mendasari terjadinya dilatasi ventrikel
jantung pada uji dengan hewan. Peningkatan simpatis, inflamasi dan perubahan hemodinamik
pada pasien gagal jantung kronik dengan defisiensi zat besi berkontribusi terhadap
perkembangan penyakit yang semakin berat. Dengan demikian, mekanisme molekular
defisiensi zat besi terhadap miokard sangat penting diketahui dan menjadi landasan untuk
diberikannya terapi penggantian zat besi selain terapi standar pada pasien gagal jantung
kronik. Pemberian Fe intravena terbukti memperbaiki cadangan Fe, kapasitas fungsional, dan
fungsi ventrikel kiri pada pasien gagal jantung secara klinis.

1
PENDAHULUAN

Zat besi adalah mikronutrien esensial pada metabolisme dan pembentukan energi seluler
untuk menjaga homestasis tubuh. Defisiensi zat besi (Fe) merupakan salah satu masalah
nutrisi yang sering dijumpai dan dialami oleh lebih dari 5 juta orang diseluruh dunia.
Defisiensi Fe dipercaya memicu kerusakan pada sistem kardiovaskular, yaitu hipertrofi
jantung dan gagal jantung kronik.1 Defisiensi Fe merupakan salah satu komorbid yang cukup
sering ditemukan pada gagal jantung dengan prevalensi mencapai 50%.2,3 Defisiensi Fe lebih
sering ditemukan pada pasien dengan derajat penyakit yang lebih berat, anemia, wanita, dan
merupakan faktor prediktor independen kematian dan kesakitan pada pasien gagal jantung.2,3
Mitokondria adalah organel yang berperan dalam proses oksidatif sel, mengatur
keseimbangan pro dan anti-oksidan. Sedangkan Fe adalah kofaktor utama pada rantai
respirasi enzimatik yang banyak ditemui pada mitokondria. Kerusakan pada organel ini
mendasari patogenesis kelaian kardiovaskular.1
Perubahan hemodinamik dan non hemodinamik (preload, afterload, denyut jantung,
volume sekuncup dan eritropoetin) pada defisiensi Fe berperan pada perubahan morfologi
dan fungsi kardiovaskular. Defisiensi Fe menyebabkan dilatasi ventrikel jantung dengan
karakteristik degenerasi mitokondria, perubahan sarkomer dan susunan filamen pada miokard
disertai peningkatan oksidatif stres pada uji dengan hewan.1

I. DEFISIENSI FE
1.1 Prevalensi Defisiensi Besi pada Gagal Jantung
Prevalensi defisiensi Fe pada pasien gagal jantung kronik berkisar antara 30% hingga 50%,
bahkan tanpa adanya anemia.4 Pada Studi 955 pasien gagal jantung, didapatkan 43% dengan
anemia dan 15% pasien tanpa anemia yang mengalami defisiensi Fe.5

1.2 Definisi
Biomarker yang dipakai untuk menilai metabolisme Fe pada tubuh adalah kadar besi serum,
feritin serum, dan total iron-binding-capacity (TIBC). Saturasi transferin (Tsat) adalah rasio
dari besi serum dengan TIBC dikali 100, dan dinilai dalam persen. Kadar feritin serum
berkaitan dengan cadangan besi total tubuh, dan menjadi parameter pada pemeriksaan lab
untuk menilai cadangan besi. 6 Berdasarkan panduan European Society of Cardiology (ESC)

2
tahun 2012 mengenai diagnosis dan terapi gagal jantung, defisiensi Fe adalah kondisi
dimana7:
1. Feritin serum < 100 g/L ( defisiensi Fe absolut)
2. Feritin serum 100-299 g/L dan saturasi transferin < 20% (defisiensi besi
fungsional)

1.3 Klasifikasi
1.3.1 Defisiensi Fe Absolut
Defisiensi Fe absolut adalah kondisi cadangan besi pada jaringan tidak cukup ( feritin
serum < 100 g/L) dan tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh (saturasi transferin <
20%; gambar 1). Hal ini dapat disebabkan oleh asupan besi yang kurang, peningkatan
penggunaan besi, atau disebabkan perdarahan kronis.3,4

1.3.2 Defisiensi Fe Fungsional


Defisiensi Fe fungsional adalah keadaan terganggunya mobilitas besi dari cadangannya
pada jaringan sedangkan cadangan besinya normal (kadar feritin serum normal atau
tinggi), atau akibat terperangkapnya besi didalam sel-sel pada sistem retikuloendotelial
atau terganggunya asupan besi ke jaringan (kadar saturasi transferin < 20%; gambar 3).
Defisiensi Fe fungsional dijumpai pada kondisi inflamasi kronik dengan karakteristik
menurunnya besi pada sirkulasi, retensi besi di makrofag dan menurunnya absorbsi besi
pada usus. Hal ini disebabkan aktivasi pro-inflamasi akibat overproduksi hepcidin.3,4,8

3
Gambar 1. Defisiensi Fe absolut dan fungsional. Pada Defisiensi Fe absolut, cadangan
besi yang dinilai dengan feritin menurun, dan ketersediaan biologis besi yang dinilai
dengan saturasi transferin meningkat (A). Pada Defisiensi Fe fungsional , mobilitas besi
dari cadangannya dan pada sirkulasi tidak efektif, walaupun cadangan besinya normal.4

II. METABOLISME FE
Zat besi merupakan mikronutrien yang penting untuk kelangsungan hidup dan fungsi yang
optimal mahluk hidup. Zat besi memegang peran yang sangat penting dalam transport
oksigen (sebagai bagian dari hemoglobin), penyimpanan oksigen (sebagian bagian dari
myoglobin), metabolisme otot rangka dan sel otot jantung (sebagai bagian dari proses
oksidatif enzimatis dan rantai pernafasan mitokondria) serta sintesis dan degradasi protein,
lemak, asam nukleat dan fungsi mitokondria.9
Jumlah besi total tubuh (3-4g) didapatkan dari keseimbangan antara kebutuhan
tubuh, suplai besi (absorbsi makanan), dan kehilangan dari darah. Jumlah asupan Fe rata-rata
manusia dewasa sebanyak 10-20 mg/hari namun yang diserap tubuh melalui sistem transport
spesifik, terutama pada enterosit duodenum dan proksimal jejenum biasanya rendah berkisar
10-35%. Sehingga pada kondisi ideal terdapat 1-2 mg zat besi yang masuk ke dalam sirkulasi
dan keluar dalam jumlah yang sama melalui deskuamasi kulit, pengelupasan sel epitel dan
perdarahan (gambar 2).10,11

4
Gambar 2. Diagram dari input, output dan distribusi besi pada tubuh.11

Zat besi yang terkandung dalam makanan sehari-hari berada dalam 2 bentuk, Fe3+
(inorganic/non-heme) dan Fe2+ (organic/heme). Fe3+ direduksi menjadi Fe2+ oleh enzim
duodenal cytochrome b (DcytB), kemudian melalui protein transporter divalent metal
transporter 1 (DMT 1) yang berada pada membran apikal enterosit duodenum masuk ke
sitoplasma. Sedangkan heme iron masuk ke dalam sel melalui mediasi reseptor dengan
protein transport heme carrier protein 1 (HCP1).10,11
Besi organik (heme iron) didalam sel kemudian dimetabolisme didalam vesikel oleh
heme oxygenase 2 dan menghasilkan biliverdin dan karbon monoksida serta melepas besi
inorganik (non-heme iron) yang kemudian di transfer ke sitoplasma via DMT1. Fe2+ di dalam
enterosit akan disimpan dalam cangkang ferritin, digunakan untuk proses seluler di
mitokondria, atau dipompa keluar melalui protein transporter ferroportin (FPN) yang terletak
pada membran basolateral enterosit.10,11
Feropontin dengan bantuan enzim hepahestin merubah Fe2+ menjadi Fe3+ untuk
dilepas ke plasma/sirkulasi dalam bentuk yang mudah berikatan dengan transferrin (Tf). Fe2+
di plasma, diubah menjadi Fe3+ oleh ceruloplasmin.12 FPN juga terdapat pada membran
basolateral sel-sel yang menjadi tempat penyimpanan Fe seperti sel syncytiothropoblast di
plasenta, hepatosit, dan sel makrofag 11,12 Hepcidin, suatu hormon peptida yang diproduksi sel
hepar, menghambat fungsi FPN melalui fosforilasi, internalisasi dan digesti lisosom (gambar

5
3). Kondisi anemia menghambat tanskripsi hepcidin, sebaliknya dengan interleukin 6 (IL6)
pada keadaan inflamasi.11

Gambar 3. Skema transpot Fe kedala enterosit. Absorbsi, distribusi intraseluler, dan pengeluaran ke
ekstraseluler.11

Pada kondisi normal, hampir seluruh Fe yang masuk ke dalam sirkulasi berikatan
dengan transferrin (Tf). Pada kondisi defisiensi Fe, jumlah besi yang dilepaskan ke plasma
dalam bentuk Fe3+ dan berikatan dengan Tf lebih besar dibandingkan yang disimpan sebagai
cadangan dalam bentuk feritin.11, 13
Molekul Tf yang membawa atom Fe akan berikatan dengan resptor spesifik (TfR) di
permukaan sel. TfR merupakan glikoprotein yang banyak diekspresikan pada permukaan sel
yang memiliki kebutuhan Fe yang tinggi, seperti sel-sel prekusor eritroid, plasenta, sel
limfosit yang teraktivasi dan sel-sel tumor. Kadarnya dalam sirkulasi akan meningkat pada
kondisi defisiensi Fe dan pada keadaan eritropoiesis yang tidak efektif.13 Pada sel erythroid
sebagian besar Fe kemudian akan masuk ke dalam mitokondria untuk digunakan dalam
sintesis heme, sedangkan pada sel-sel nonerythroid, Fe akan disimpan dalam bentuk ferritin

6
dan hemosiderin. Kadar ferritin/hemosiderin dalam jaringan dan sirkulasi bervariasi diatur
melalui mekanisme pengaturan keseimbangan intraselular dan sistemik.14

III. EFEK DIFISENSI FE


Defisiensi besi menyebabkan gangguan eritropoesis, metabolisme oksidatif, dan produksi
energi. Hal ini memegang peranan penting pada gagal jantung kronik. Defisiensi Fe kronis
menyebabkan gangguan kapasitas latihan yang berkaitan dengan penurunan cadangan
oksigen pada mioglobin, dan penurunan efisiensi energi serta disfungsi mitokondria (gambar
4).4

Gambar 4. Konsekuensi defisiensi Fe pada jaringan hematopoetik dan non-hematopoetik pada


pasien gagal jantung.4
Pasien defisiensi Fe dengan anemia tanpa kelaian jantung dan aritmia dan diterapi
dengan preparat besi oral hingga anemia terkoreksi, dilakukan pemeriksaan ekokardiografi
sebelum dan setelah terapi. Pada pengukuran awal, terdapat peningkatan diameter, indeks
massa, indeks volume atrium kiri dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Pada akhir terapi, pada
kelompok dengan terapi Fe intravena didapatkan hasil signfikan berupa penurunan ukuran
diameter akhir diastolik, diameter akhir sistolik, indeks massa dan tekanan pengisian
ventrikel kiri.15

7
Studi oleh Dong Feng dkk, yang membandingkan tikus dengan defisiensi Fe dengan
kontrol selama 12 minggu menunjukkan terjadinya perubahan berupa degenerasi
mitokondria, perubahan sarkomer dan susunan filamen pada miokard disertai peningkatan
oksidatif stres yang mengakibatkan disfungsi ventrikel kiri disertai dilatasi pada kelompok
defisiensi besi dibandingkan kontrol.1 Berikut ini hasil dari studi-studi tersebut:

3.1 Gambaran Umum Hewan Uji Kelompok Kontrol vs Defisiensi Fe


Seperti pada tabel 1, kelompok tikus dengan defisiensi Fe mengalami anemia dibanding
kelompok kontrol. Berat organ ginjal, otak, dan ukuran otak lebih kecil pada kelompok
perlakuan. Sedangkan berat absolut dan ukuran jantung (rasio jantung/ berat tubuh) secara
bermakna lebih besar pada kelompok defisiensi Fe (tabel 1).1
Selain itu parameter morfometrik berupa panjang, diameter, dan volume ventrikel kiri
pada kelompok defisiensi Fe meningkat secara bermakna dibanding kontrol, hal ini
menandakan terjadinya cardiomiopati dilatasi (tabel 2).1Hal yang sama juga didapatkan pada
studi oleh Goldstein D dkk, dimana kadar hemoglobin pada kelompok perlakuan menurun,
dan konsekuensi morfologi atas hal ini adalah hipertrofi kardiak yang ditunjukkan dengan
peningkatan rasio jantung/ berat tubuh). Demikian juga dengan parameter berupa panjang,
lebar, diameter ventrikel kiri pada kelompok defisiensi Fe mengalami penambahan ukuran
dibanding kontrol.16

Tabel 1. Gambaran Umum tikus kelompok kontrol vs defisiensi Fe1

8
Tabel 2. Ukuran kardiak pada tikus kontrol vs defisiensi Fe.1

3.2 Gambaran Mikroskop Elektron pada Jantung Tikus kontrol vs Defisiensi Fe


Gambaran mikroskop elektron dari ventrikel jantung pada kelompok kontrol adalah normal
(gambar 5A dan 5C). Namun pada kelompok defisiensi Fe, didapatkan kerusakan fokal
ekstensif pada jaringan miokard (gambar 5B dan 5D), berupa pembengkakan mitokondria,
perubahan ukuran dan hilangnya integritas membran, gangguan struktur sarkomer dan
kontraktil filamen. Sedangkan jumlah mitokondria tidak berbeda pada kedua kelompok.1

Gambar 5. Perubahan ultrastruktur dan jumlah mitokondria berdasarkan gambaran mikroskop


elektron pada miosit ventrikel kiri tikus kelompok kontrol vs defisiensi Fe. Mitokondria dari miosit
kelompok kontrol (A), dan kelompok defisiensi Fe (B). Pada gambar B, mitokondria membengkak
dengan perubahan morfologi (pembesaran X15.000). Dengan pembesaran yang lebih kuat (X 30.000)
pada kelompok kontrol (C), dan defisiensi Fe menunjukkan degenerasi mitrkondria dengan kerusakan
membran (D).1

9
Miosit tikus kelompok defisiensi Fe menunjukkan distrupsi sarkomer dan mitokondria
interfibriler dibandingkan kelompok kontrol yang susunan sarkomer dan mitokondria
interfibrilernya teratur (gambar 6).1

Gambar 6. Perubahan ultrastruktur mikroskopik sarkomer miosit ventrikel jantung tikus kelompok
kontrol vs defisiensi Fe. A) miosit kelompok kontrol menunjukkan gambaran sarkomer dan
mitokondria interfibriler yang teratur, B) miosit kelompok defisiensi Fe menunjukkan gambaran
sarkomer yang terputus.1

3.3 Efek Defisiensi Fe terhadap Kadar Cytochrome c, Ekspresi eNOS, iNOS, NADPH
oksidase, RhoA, Caveolin-I, -actin, dan Pembentukan Protein Nitrotirosin
Untuk menjelaskan faktor apa yang berperan terhadap pembesaran jantung pada tikus dengan
defisiensi Fe, kerusakan mitokondria dan sarkomer, dilakukan pemeriksaan penanda
kerusakan mitokondria yaitu cytochrome c, dan molekul-molekul yang terlibat pada proses
oksidatif (reactive nitrogen species/ RNS).1 Analisa secara imunologi menunjukkan
terjadinya peningkatan kadar cytochrome c dari mitokondria di sitosol (setidaknya 70%) pada
kelompok tikus defisiensi Fe dibanding kontrol (gambar 7). Hal ini menunjukkan translokasi
cytochrome c dari mitokondria yang merupakan penanda injuri dan kunci terjadinya proses
apoptosis. Sedangkan ekspresi protein -actin sama pada kedua kelompok.1

10
Gambar 7. Efek defisiensi Fe terhadap pelepasan cythocrome c.1

Ekspresi eNOS dan iNOS meningkat secara bermakna pada ekstrak sel kelompok defisiensi
Fe. Ekspresi iNOS meningkat bermakna pada fraksi mitokondria kelompok defisiensi Fe, namun
eNOS tidak meningkat (gambar 8). Ekspresi p47phox subunit NADPH oksidase meningkat kadarnya
pada kelompok defisiensi Fe. Hal ini menunjukkan mekanisme peningkatan pembentukan tirosin
melalui O2- yang akhirnya menjadi ONOO-, yang bersifat toksik terhadap jaringan jantung. Kadar
caveolin-1 (protein struktur membran) yang mengatur ativitas NO dengan menghambat eNOS , dan
protein G RhoA (menunjukkan kontribusi pengaturan protein G yang menyebabkan distrupsi
sarkomer) meningkat bermakna pada jaringan ventrikel jantung kelompok defisiensi Fe dibanding
kontrol. Over ekspresi RhoA menyebabkan prolongasi durasi potensial aksi dan mengurangi
kontraktilitas ventrikel. RhoA berperan terhadap progresi terjadinya hipertrofi kardiak melalui
regulaasi sitoskeleton aktin dan miosin. Caveolin-1 menyebabkan supresi pertumbuhan dan proliferasi
sel dan berkaitan dengan apoptosis. Diduga meningkatnya caveolin-1 pada defisiensi Fe
menyebabkan miokar mengalami apoptosis via aktivasi enzimatis apoptosis.17 Selain itu pembentukan
protein nitrosin, penanda injuri yang dimediasi RNS juga meningkat kadarnya pada fraksi
mitokondria, namun tidak pada ekstrak sel kelompok defisiensi Fe dibandingkan kontrol.1

11
Gambar 8. Efek defisiensi Fe terhadap ekspresi protein eNOS (A) dan iNOS (B)1

NO mengatur suplai oksigen dan substrat proses respirasi ke mitokondria dan


redistribusi panas yang diproduksi di mitokondria. Namun, NO juga bersifat sitotoksik
dengan menginaktifasi enzim-enzim pada proses respirasi mitokondria yang akhirnya
memicu apoptosis. Kadar NO yang berlebih yang diproduksi dari eNOS atau iNOS, akan
bereaksi dengan O2- untuk membentuk ONOO- menyebabkan pembentukan nitrotyrosine.
Baik eNOS dan iNOS ditemukan mitokondria pada miosit kardiak.1
Studi sebelumnya oleh Goldstein dkk menjelaskan terjadinya perubahan fungsi
miokard berupa perubahan pada kontraktilitas ventrikel, laju maksimal kontraksi dan
relaksasi, potensial aksi dan aliran L-type Ca2+ pada tikus dengan defisiensi Fe. Selain itu
durasi kejut pada miokard juga memanjang, hal ini juga dijumpai pada pasien diabetes dan
gagal jantung. Perubahan elektrofisiologi ini berkontribusi terhadap menurunnya fungsi
kardiak pada defisiensi Fe.18 Defisiensi Fe juga memicu terjadinya hipertrofi eksentrik.
Kesemua ini mendukung etiologi terjadinya disfungsi kardiak pada pasien dengan defisiensi
Fe.19
Studi oleh Toblli dkk menunjukkan bahwa Defisiensi Fe memicu terjadinya stres
oksidatif pada kardiak, stres nitrosatif, inflamasi, dan perubahan fungsional/ morfologi
ventrikel jantung ( peningkatan EDD, ESD, massa ventrikel kiri) dan penurunan FS (Fraction
of Shortening) yang semakin memberat dengan terapi doksrubisin dan dapat berkembang
menjadi gagal jantung.20

IV. EFEK TERAPI FE TERHADAP MIOKARD


Studi oleh Toblli dkk, menilai efek terapi ferric carboxymaltose (FCM) intravena pada tikus
dengan terapi doksorubisin kronik. Salah satu komplikasi paling sering pada pasien kanker

12
adalah defisiensi besi dan anemia. Sedangkan terapi kanker dengan doksorubsin diketahui
bersifat kardiotoksik dan nefrotoksik.20
Hasil studi ini menunjukkan bahwa pada tikus yang diterapi doksorubisin dengan diet
rendah Fe maupun diet normal terjadi penurunan kadar Hb dibandingkan kelompok tanpa
terapi. Pemberian terapi FCM pada tikus tersebut secara bermakna memperbaiki struktur dan
fungsi ventrikel kiri akibat defisiensi Fe dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu terapi
FCM menurunkan kadar marker stres oksidatif secara bermakna, dan terjadi perbaikan pada
miosit jantung.20
Dengan demikian, data klinis tentang efek terapi Fe (FCM) pada pasien gagal jantung
kronik dengan defisiensi Fe yaitu perbaikan status fungsional, kualitas hidup, kapasitas
latihan21,22 bersesuaian dengan hasil studi hewan ini yaitu perbaikan defisiensi Fe, dan
perbaikan oksidatif stres dan kerusakan kardiak akibat doksorubisin dengan terapi FCM.20
Besarnya dampak yang dapat ditimbulkan terhadap morbiditas dan mortalitas, diagnosis
dan manajemen defisiensi Fe menjadi bagian yang sangat penting dalam tatalaksana gagal
jantung.

V. KESIMPULAN
Defisiensi Fe merupakan komorbid yang sering ditemukan pada gagal jantung dan
berhubungan dengan kapasitas fungsional dan prognosis yang lebih buruk.
Defisiensi Fe menyebabkan dilatasi ventrikel jantung dengan karakteristik degenerasi
mitokondria, perubahan sarkomer dan susunan filamen pada miokard.
Uji pada hewan menunjukkan bahwa pemberian terapi Fe memperbaiki struktur dan
fungsi ventrikel kiri dan kondisi stres oksidatif.
Data klinis tentang efek terapi Fe (FCM) pada pasien gagal jantung kronik dengan
defisiensi Fe menunjukkan perbaikan cadangan Fe, status fungsional, kualitas hidup,
kapasitas latihan.
Pedoman tatalaksana gagal jantung merekomendasikan untuk mencari dan mengatasi
defisiensi Fe pada gagal jantung.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Dong F, Zhang X, Culver B, Chew HG, Kelley RO, et. Al. Dietary iron deficiency induces
ventricular dilation, mitochondrial ultrastructural aberrations and cytochrome c release:
involvement of nitric oxide synthase and protein tyrosine nitration. Clinical Science
2005;09:277-286.
2. Klip UT, Colet JC, Voors A, Ponikowski P, Vledhulsen D, Rozentryt P, et al. Prevalence,
predictor, and prognosis of iron deficiency in patients with chronic heart failure: an
international pooled analysis of 1,506 patients. Moderated poster at 61st Annual Scientific
Session & Expo ACC 2012
3. Jankowska EA, von Haehling S, Anker SD, et al. Iron deficiency and heart failure: diagnostic
dilemmas and therapeutic perspectives. Eur Heart J. 2012;34:816-29.
4. Solal AC, Leclercq C, Deray G, Lasocki S, wt al. Iron deficiency: an emerging therapeutic
target in heart failure. Heart jnl 2014;0:1-7.
5. de Silva R, Rigby AS, Witte KK, et al. Anemia, renal dysfunction , and their interaction in
patients with chronic heart failure. Am J Cardiol 2006;98:3918.
6. Jankowska EA, Rozentryt P, Witkowska A, Nowak J, Hartmann O, Ponikowska B,
Borodulin-Nadzieja L, Banasiak W, Polonski L, Filippatos G, McMurray JJ, Anker SD,
Ponikowski P. Iron deficiency: an ominous sign in patients with systolic chronic heart failure.
Eur Heart J 2010;31:18721880.
7. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology.
Developed in collaboration with the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur Heart J
2012;33:1787847.
8. Wish JB. Assessing iron status: beyond serum ferritin and transferrin saturation. Clin J Am
Soc Nephrol 2006;1(Suppl1):S4S8.
9. Munoz M, Garca-Erce JA, Remacha AF. Disorders of iron metabolism. Part 1: molecular
basis of iron homoeostasis. J Clin Pathol 2011;64:281286.
10. Anderson GJ, Frazer DM, McLaren GD. Iron absorption and metabolism. Curr Opin
Gastroenterol 2009;25:129135.
11. Toblli JE, Angerosa M. Optimazing iron delivery in the management of anemia: patient
considerations and the role of ferric carboxymaltose. Dovepress 2014;8:2475-2491.
12. Hower V, Mendes P, Torti FM, Laubenbacher R, Akman S, Shulaev V, Torti SV. A general
map of iron metabolism and tissue-specific subnetworks. Mol Biosyst 2009;5:422443.
13. Dunn LL, Rahmanto YS, Richardson DR. Iron uptake and metabolism in the new millennium.
Trends Cell Biol 2007;17:93100.
14. Galy B, Ferring-Appel D, Sauer SW, Kaden S, Lyoumi S, Puy H, Ko lker S, Grone HJ,
Hentze MW. Iron regulatory proteins secure mitochondrial iron sufficiency and function. Cell
Metab 2010;12:194201.
15. Cho, I.J.; Mun, Y.C.; Kwon, K.H.; Shin, G.J. Effect of anemia correction on left ventricular
structure and filling pressure in anemic patients without overt heart disease. Korean J. Intern.
Med.2014; 29: 445453.
16. Goldstein D, Felzen B, Youdim M, at al. Experimental iron deficiency in rats: mechanical and
electrophysiological alteration in the cardiac muscle. Clinical Science 1996;91:233-239.
17. Liu J, Lee P, Galbiati F, Kitsis N, Lisanti MP. Caveolin-1 expression sensitizes broblastic
and epithelial cells to apoptotic stimulation. Am J Physiol. 2001; 280: C823C835.
18. Goldstein D, Felzen B,Youdim M, Lotan R and Binah O. Experimental iron deciency in
rats: mechanical and electrophysiological alterations in the cardiac muscle.Clin.Sci
1996;91:233239.

14
19. Medeiros DM, Beard,JL. Dietary iron deciency results in cardiac eccentric hypertrophy in
rats. Proc Soc Exp Biol Med 1998; 218:370375.
20. Toblli JE, Rivas C, Cao G, Giani JF, Funk F, et al. Ferric carboymaltose-mediated attenuation
of doxorubicin-induced cardiotoxicity in an iron deficiency rat model. Chemotherapy research
and practice. Hindawi. 2014;570241:1-9.
21. Jankowska EA, Anker SD, Macdougall IC, Ponikowski P. Iron deficiency and heart failure:
diagnostic dilemmas and therapeutic perspectives, European Heart Journal.2013;2:816-829.
22. Anker SD, Colet JC, Filippatosetal G. Ferriccarboxymal tose in patients with heart failure and
iron deficiency. NEJM.2009;361:2436-2448.

15

Anda mungkin juga menyukai