16/7/2017
Aip kecil, adalah anak yang berani. Ia seringkali menyusupkan senjata saat jaman penjajahan. Pernah
mencuri peluru dari markas kolonial. Pernah memasang bom batok, dan melempar granat sendirian.
Saat berusia belasan tahun. Ayahnya meninggal dunia. Punya dua kakak yang dewasa dan enam adik
yang kecil kecil. Ia pun pergi ke kota untuk mencari ilmu di sekolah guru dengan bekal sekadar untuk
ongkos pergi. Tentu saja, dengan statusnya sebagai anak yatim, ia punya banyak tanggung jawab.
Namun semangatnya mencari ilmu tak pupus begitu saja.
Kemudian ia menjadi aktifis di Pelajar Islam Indonesia (PII), beliau merintis PII Cabang Garut Timur, dan
aktif mengikuti berbagai kongres di seluruh nusantara.
Selesai pendidikan, ia pun membaktikan diri menjadi sosok Oemar Bakri. saat itu ia telah mempunyai
dua anak. Gajinya tak cukup untuk membeli tempe kebutuhan anak keduanya. Di samping itu, ia juga
ikut mengurus ibu dan adik adiknya.
Ia pun diangkat menjadi PNS. Pada jaman orde baru, PNS diwajibkan untuk memilih partai Golkar.
Namun meski mendapat banyak tekanan, ia tetap pada pendiriannya. Lebih memilih partai yang sesuai
dengan jiwanya.
Tak hanya mengajar, ia pun mendirikan yayasan dan lembaga pendidikan madrasah. Juga membantu
penggalangan dana untuk pembangunan asrama santri dan aula pesantren. Agar ia leluasa dalam tugas
ini, ia pun mengajukan pensiun dini dari jabatan kepala sekolah.
Sahabat seperjuangannya berkisah, ia pernah menerima gaji sebulan. Lalu dipakai membeli dua porsi
kupat tahu, dan sisanya disumbangkan untuk membangun rumah orang jompo yang sudah reyot.
Ternyata tak hanya sekali ia begitu, membangun rumah jompo merupakan kebiasaannya di banyak
tempat.
Padahal, hidupnya bersama istri dan 11 anak jauh dari berkecukupan. Namun ia masih menerima orang-
orang lain untuk tinggal serumah baik itu para santri, famili, atau para aktifis.
Pintu rumahnya hampir tak pernah dikunci. Siapapun daoat datang dan pergi kapanpun. Rumah kami
ibarat terminal, markas, atau basecamp. Hampir semua anaknya, pergi kuliah dengan bekal yang tak
menentu. Kadang menumpang hidup kepada famili.
Hingga usianya renta, menyantuni adalah panggilan jiwanya. Tiap malam takbiran, ia selalu berusaha
agar bisa membagikan uang receh kepada anak anak sekampung. Kadang pada saat yang sama, anak
anaknya sedang tak punya uang.
Selama hayatnya, ia sangat suka bertualang dan bersilaturahim. Ia ingin menjalankan prinsip, jika orang
lain tak mampu mengunjungimu, kitalah yang harus mengunjunginya. Pergaulannya relatif luas dan dari
berbagai kalangan. Ia sangat memerhatikan jika ada undangan, kedukaan, atau kegiatan
kemasyarakatan.
Para anak, mantu, cucu dan famili lainnya sangat sayang kepadanya. Sayang yang saling melengkapi.
Kasih sayang dua arah. Kasih sayang tulus tanpa pamrih. Sayang yang tanpa batas. Tiap saya pulang ke
rumah, jika anak cucunya tidur malam, ia masih sering menyelimuti mereka agar tak kedinginan.
Berbagai penyakit yang dideritanya, jantung, vertigo, dan lainnya selama bertahun tahun, tak
menghilangkan kesabaran dan kesejukan jiwanya. Tak melunturkan semangatnya dalam beribadah.
Tahun lalu, ia rajin sholat tarawih 23 rokaat dimana tiap malamnya dibacakan satu juz Al Quran.
Semoga hal ini memotivasi kami dan orang lain untuk hidup lebih bermakna. Semoga kita bisa
meneladani kebaikannya. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.
Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji'un.
Telah wafat ayah kami Syarif Hidayat bin Moch. Ijazi di Garut