TINJAUAN PUSTAKA
3.1 SKIZOAFEKTIF
3.1.1 Definisi
3.1.2 Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup pada gangguan skizoafektif kurang dari 1%, berkisar
antara 0,5%-0,8%. Tetapi gambaran tersebut masih merupakan perkiraan.Gangguan
skizoafektif tipe depresif lebih sering terjadi pada orang tua dibanding anak
muda.Prevalensi gangguan tersebut dilaporkan perempuan lebih tinggi dibandingkan
laki-laki, terutama perempuan yang sudah menikah.Usia awitan perempuan lebih
sering dibandingkan laki-laki, seperti pada skizofrenia.Laki-laki engan gangguan
skizoafektif mungkin memperlihatkan perilaku antisocial dan mempunyai afek
tumpul yang nyata atau tidak sesuai. National Comorbidity Study menyatakan dari 66
orang dengan diagnose skizofrenia, 81% perna didiagnosa gangguan afektif yang
terdiri dari 59% depresi dan 22% gangguan bipolar.
3.1.3 Etiologi
Sulit untuk menentukan penyebab dari penyakit yang telah berubah begitu
banyak dari waktu ke waktu. Dugaan saat ini bahwa gangguan skizoafektif mungkin
mirip dengan etiologi skizofrenia. Oleh karena itu etiologi mengenai gangguan
skizoafektif juga mencakup kausa genetik dan lingkungan. Penyebab gangguan
skizoafektif adalah tidak diketahui, namun empat model konseptual telah diajukan,
yaitu:
3.1.4 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya skizoafektif belum diketahui apakah merupakan suatu
patologi yang terpisah dari skizofrenia dan gangguan mood atau merupakan
gabungan dari keduanya yang terjadi secara bersamaan.Jika merujuk pada
kemungkinan kedua, maka telah diketahui neurobiology baik fungsional ataupun
struktural yang terlibat dalam gangguan ini.
Neurobiologi fungsional yeng mendasari gejala psikotik cukup beragam
seperti yang ditunjukkan pada table 1. Secara sederhana disimpulkan bahwa gejala
psikotik muncul dari gangguan pada sistem dopamin, serotonin, glutamate,
metabolisme otak, dll.Kelebihan dopamin atau peningkatan sensitivitas reseptor
dopamine D2 menjadi penyebab gejala psikotik positif.Serotonin dikaitkan dengan
gejala positif dan negatif.Terlihat penurunan aktivitas glutamat di beberapa regio otak
pada pasien skizofrenia, kelainan pada sistem glutamat dikaitkan dengan gejala
hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan neurotoksisitas.Gejala negatif terutama dikaitkan
dengan aktivitas norepinefrin yang menurun.
Depresi
Nafsu makan yang berkurang
Pengurangan berat badan
Perubahan dari pola tidur biasanya ( sedikit atau banyak tidur )
Agitasi
Merasa tidak ada semangat
Kehilangan rasa untuk melakukan kebiasaan sehari-hari
Merasa tidak ada harapan
Selalu merasa bersalah
Tidak dapat berkonsentrasi
Mempunyai pikiran untuk melakukan percobaan bunuh diri
Mania
Peningkatan aktivitas
Bicara cepat
Pikiran yang meloncat-loncat
Sedikit tidur
Agitasi
Percaya diri meningkat
Mudah teralihkan
Schizophrenia
Delusi (strange beliefs that are not based in reality and that the person refuses
to give up, even when presented with factual information)
Halusinasi (the perception of sensations that aren't real, such as hearing
voices)
Pemikiran yang tidak teratur
Kebiasaan yang aneh
Pergerakan yang lambat
Tidak dapat menunjukkan emosi baik pada saat berbicara atau berkativitas
Tidak memiliki motivasi
Memiliki masalah dalam berkomunikasi
3.1.6 Diagnosis
A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana, pada suatu waktu.
Terdapat baik episode depresif berat, episode manic, atau suatu episode campuran
dengan gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia
Catatan : Episode depresi berat harus termasuk kriteria A1: mood terdepresi
B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama
sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol
C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode ditemukan untuk sebagian
bermakna dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit
D. Gangguan bukan kareka efek fisiologis langsung dari suatu za (misalnya obat
yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum
Sebutkan tipe:
Tipe bipolar: Jika gangguan termasuk suatu episode manic atau campuran (atau
suatu manik suatu episode campuran dan episode depresi berat)
3.1.8 Penatalaksanaan
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan di
rumah sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Terapi psikofarmaka yang
diberikan pada skizoaktif tipe bipolar adalah obat golongan mood stabilizer, baik
lithium atatu carbamazepine sama efektifnya, sedangkan untuk tipe depresif yang
terbukti lebih efektif adalah dengan pemberian carbamazepine dibanding lithium.
Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk gangguan skizoafektif adalah
bahwa antidepresan dan antimanik diberikan sesuai bentuk afek yang menonjol dan
bahwa antipsikotik digunakan berdasarkan gejala psikotik yang muncul.Pada
skizoafektif tipe manik, terapi dilakukan lebih agresif untuk mencapai konsentrasi
obat dalam darah pada tingkat menengah sampai tinggi.Ketika pasien sudah dalam
fase maintenance, dosis dapat diturunkan untuk menghindari efek samping yang tidak
diinginkan.Pemeriksaan laboratorium secara berkala perlu dilakukan untuk menilai
fungsi thyroid, ginjal dan sel-sel darah.
Antidepresan diberikan pada pasien skizoafektif tipe depresif, tetapi harus
dengan perhatian yang ketat karena dapat terjadi pergeseran gejala dari episode
depresif menjadi episode manik pada pemberian antidepresan.Antidepresan lini
pertama yang diberikan adalah golongan SSRI, karena selain cukup efektif, obat ini
juga memiliki sedikit efek samping pada sistem kardiovaskular.Pasien skizoafektif
dengan gejala agitasi atau insomnia lebih berespon dengan obat golongan trisiklik.
2. Lithium
Lithium diabsorbsi secara komplit dan cepat setelah administrasi oral
dengan konsentrasi puncak terjadi setelah 1-1,5 jam denganbentuk sediaan
biasa, dan 4-4,5 jam dengan bentuk sediaan lambat atau lepas terkontrol.
Waktu paruh 1,3 hari pada awal pemberian dan menjadi 2,4 hari setelah
penggunaan lebih dari satu tahun.
Indikasi pemberian lithium diantaranya episode manik, episode
depresif pada gangguan bipolar, episode depresif mayor, skizofrenia dan
skizoafektif.Penggunaan lithium pada pasien skizoafektif lebih efektif pada
pasien dengan gejala afektif yang lebih dominan.Lithium memiliki risiko efek
samping yang tinggi, efek samping yang beragam terjadi pada 80% pengguna
lithium. Untuk itu pentung untuk meminimalisir risiko efek samping dengan
cara mengawasi kadar lithium dalam darah dan memberikan intervensi
farmakologi yang sesuai untuk mengatasi efek samping yang muncul. Efek
samping lithium dapat terjadi di semua sistem organ dengan tingkat keparahan
yang bervariasi.Pemberian lithium dengan antipsikotik tipikal juga perlu
mendapat perhatian serius karena interaksi antara keduanya bisa
memperburuk gejala ekstrapiramidal.
Lithium karbonat tersedia dalam bentuk kapsul (150, 300, 600 mg),
tablet (300 mg), tablet lepas terkontrol (450mg), tablet lepas lambat (300 mg),
dan sirup (8mEq/5 mL). Dosis awal untuk dewasa 300 mg tiga kali
sehari.sedangkan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal hanya dua kali
sehari. Dosis kemudian dapat ditingkatkan sampai 1800 mg per hari untuk
mencapai konsentrasi terapetik 1,2 mEq/L. Penghentian pemberian lithium
dilakukan perlahanagar tidak terjadi rekurensi gejala manik.
3. Antipsikotik atipikal
Obat antipsikotik atipikal memiliki kemampuan memblok reseptor
serotonin tipe 2 dan reseptor dopamin D2. Antispikotik atipikal bekerja lebih
spesifik di mesolimbik dibanding daerah striata. Beberapa obat golongan ini
yang sering digunakan antara lain risperidon, clozapin, olanzapin, dan
aripiprazole (golongan ketiga). Meskipun risiko terjadinya sindrom
ekstrapiramidal rendah, beberapa obat golongan atipikan sering
menyebabkan peningkatan berat badan, yang kemudian menjadi risiko
Diabetes Melitus dan Sindrom Metabolik.
Obat golongan ini efektif untuk mengatasi gejala psikosis baik akut
maupun kronis pada remaja dan dewasa.Selain mengatasi gejala positif juga
berperan dalam mengurangi gejala negatif, afektif, dan kognitif. Kasus relaps
ditemukan lebih rendah pada pasien yang diberi antipsikotik atipikal
dibanding antipsikotik tipikal
Gambar 3.Struktur molekuler antagonis serotonin-dopamin.