Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 SKIZOAFEKTIF
3.1.1 Definisi

Gangguan skizoafektif adalah penyakit mental yang serius yang memiliki


gambaran skizofrenia dan gangguan afektif. Gangguan skizoafektif memiliki gejala
khas skizofrenia yang jelas dan pada saat bersamaan juga memiliki gejala gangguan
afektif yang menonjol. Gangguan skizoafektif terbagi dua yaitu tipe manik dan tipe
depresif. Skizofrenia adalah gangguan otak yang mendistorsi cara seseorang berpikir,
bertindak, mengungkapkan emosi, merasakan realitas, dan berhubungan dengan
orang lain. Depresi adalah penyakit yang ditandai dengan perasaan sedih, tidak
berharga, atau putus asa, serta masalah berkonsentrasi dan mengingat detail.

3.1.2 Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup pada gangguan skizoafektif kurang dari 1%, berkisar
antara 0,5%-0,8%. Tetapi gambaran tersebut masih merupakan perkiraan.Gangguan
skizoafektif tipe depresif lebih sering terjadi pada orang tua dibanding anak
muda.Prevalensi gangguan tersebut dilaporkan perempuan lebih tinggi dibandingkan
laki-laki, terutama perempuan yang sudah menikah.Usia awitan perempuan lebih
sering dibandingkan laki-laki, seperti pada skizofrenia.Laki-laki engan gangguan
skizoafektif mungkin memperlihatkan perilaku antisocial dan mempunyai afek
tumpul yang nyata atau tidak sesuai. National Comorbidity Study menyatakan dari 66
orang dengan diagnose skizofrenia, 81% perna didiagnosa gangguan afektif yang
terdiri dari 59% depresi dan 22% gangguan bipolar.

3.1.3 Etiologi

Sulit untuk menentukan penyebab dari penyakit yang telah berubah begitu
banyak dari waktu ke waktu. Dugaan saat ini bahwa gangguan skizoafektif mungkin
mirip dengan etiologi skizofrenia. Oleh karena itu etiologi mengenai gangguan
skizoafektif juga mencakup kausa genetik dan lingkungan. Penyebab gangguan
skizoafektif adalah tidak diketahui, namun empat model konseptual telah diajukan,
yaitu:

1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau suatu


tipe gangguan mood
2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama dari
skizofrenia dan gangguan afektif
3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang
berbeda, tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun gangguan
afektif
4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah kelompok
gangguan yang heterogen yang meliputi semua tiga kemungkinan yang
pertama.

Penelitian yang dilakukan untuk menggali kemungkinan-kemungkinan


tersebut telah memeriksa riwayat keluarga, petanda biologis, respon pengobtanan
jangka pendek, dan hasil akhir jangka panjang..

3.1.4 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya skizoafektif belum diketahui apakah merupakan suatu
patologi yang terpisah dari skizofrenia dan gangguan mood atau merupakan
gabungan dari keduanya yang terjadi secara bersamaan.Jika merujuk pada
kemungkinan kedua, maka telah diketahui neurobiology baik fungsional ataupun
struktural yang terlibat dalam gangguan ini.
Neurobiologi fungsional yeng mendasari gejala psikotik cukup beragam
seperti yang ditunjukkan pada table 1. Secara sederhana disimpulkan bahwa gejala
psikotik muncul dari gangguan pada sistem dopamin, serotonin, glutamate,
metabolisme otak, dll.Kelebihan dopamin atau peningkatan sensitivitas reseptor
dopamine D2 menjadi penyebab gejala psikotik positif.Serotonin dikaitkan dengan
gejala positif dan negatif.Terlihat penurunan aktivitas glutamat di beberapa regio otak
pada pasien skizofrenia, kelainan pada sistem glutamat dikaitkan dengan gejala
hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan neurotoksisitas.Gejala negatif terutama dikaitkan
dengan aktivitas norepinefrin yang menurun.

Tabel 1. Abnormalitas fungsi otak pada skizofrenia


Kelainan struktural yang diidentifikasi pada skizofrenia sebagian besar berupa
penurunan volume atau bentuk degenerasi yang bervariasi pada berbagai regio otak
yang masing-masing akan menimbulkan gejala yang khas.

Tabel 2. Abnormalitas struktur otak pada skizofrenia


Gambar 1.Area yang terlibat pada gangguan afek dan mood.

3.1.5 Manifestasi Klinis.

Seseorang dengan gangguan schizoafektif memiliki perubahan suasana hati


berat dan beberapa gejala psikotik skizofrenia, seperti halusinasi, delusi, dancara
berpikir yang tidakteratur. Salah satu gejala psikotikpada gangguan schizoaffective
adalah ketidakmampuan seseorang untuk membedakan kenyataan dan apa yang
sedang dipikirkan. Gejala gangguan skizoafektif mungkins angat bervariasi dari
satuorang ke orang lain dan mungkin ringan atau berat. Gejala gangguan skizoafektif
mungkin termasuk :

Depresi
Nafsu makan yang berkurang
Pengurangan berat badan
Perubahan dari pola tidur biasanya ( sedikit atau banyak tidur )
Agitasi
Merasa tidak ada semangat
Kehilangan rasa untuk melakukan kebiasaan sehari-hari
Merasa tidak ada harapan
Selalu merasa bersalah
Tidak dapat berkonsentrasi
Mempunyai pikiran untuk melakukan percobaan bunuh diri

Mania
Peningkatan aktivitas
Bicara cepat
Pikiran yang meloncat-loncat
Sedikit tidur
Agitasi
Percaya diri meningkat
Mudah teralihkan

Schizophrenia
Delusi (strange beliefs that are not based in reality and that the person refuses
to give up, even when presented with factual information)
Halusinasi (the perception of sensations that aren't real, such as hearing
voices)
Pemikiran yang tidak teratur
Kebiasaan yang aneh
Pergerakan yang lambat
Tidak dapat menunjukkan emosi baik pada saat berbicara atau berkativitas
Tidak memiliki motivasi
Memiliki masalah dalam berkomunikasi
3.1.6 Diagnosis

Konsep gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostic baik skizofrenia


maupun gangguan mood, beberapa elvolusi dalam kriteria diagnostic untuk gangguan
skizoafektif mencerminkan perubahan yang telah terjadi di dalam kriteria diagnosis
untuk kedua kondisi lain.

Tabel 3. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif (DSM-IV)


Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Skizoafektif

A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana, pada suatu waktu.
Terdapat baik episode depresif berat, episode manic, atau suatu episode campuran
dengan gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia
Catatan : Episode depresi berat harus termasuk kriteria A1: mood terdepresi
B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama
sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol
C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode ditemukan untuk sebagian
bermakna dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit
D. Gangguan bukan kareka efek fisiologis langsung dari suatu za (misalnya obat
yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum
Sebutkan tipe:

Tipe bipolar: Jika gangguan termasuk suatu episode manic atau campuran (atau
suatu manik suatu episode campuran dan episode depresi berat)

Tipe depresif: Jika gangguan hanya termasuk episode depresi berat


Tabel dari DSM-IV, diagnostic and statistical manual of mental disorders.Ed.4.Hak cipta American Psychiatric
Association. Washington. 1994

DSM-IV juga membantu klinisi untuk menentukan apakah pasien menderita


gangguan skizoafektif, tipe bipolar, atau gangguan skizoafektif tipe depresif.Seorang
pasien diklasifikasikan menderita tipe bipolar jika episode yang ada adalah dari tipe
manic atau suatu episode campuran dan episode depresif berat.Selain itu, pasien
diklasifikasikan menderita tipe depresif.

Pada PPDGJ-III, gangguan skizoafektif diberikan kategori yang terpisah


karena cukup sering dijumpai sehingga tidak dapat diabaikan begitiu saja. Kondisi-
kondisi lain dengan gejala-gejala afektif saling bertumpang tindih dengan atau
membentuk sebagian penyakit skizoafektif yang sudah ada, atau dimana gejala-gejala
itu berada bersama-sama atau secara bergantian dengan gangguan-gangguan waham
menetap jenis lain, diklasifikasikan dalam kategori yang sesuali dalam F20-
F29.Waham atau halusinasi yang tak serasi dengan suasana perasaan (mood) pada
gangguan afektif tidak dengan sendirinya menyokong diagnosis gangguan
skizoafektif.

Tabel 4. Pedoman Diagnostik Gangguan Skizoafektif berdasarkan PPDGJ-III

Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala


definitive adanyaskizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan afektif
dama-sama menonjol pada saat yang bersamaan (stimultaneously), atau
dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode
penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode
penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik
atau depresif.
Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gelaja skizofrenia
dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbedah.
Bila seseorang pasien skizoafrenik menunjukkan gejala depresif setelah
mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F.20.4 (Depresi
Pasca-skizofrenia)
Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoefektif berulang, baik
berjenis manic (F25.0) maupun depresif (F.25.1) atau campuran dari
keduanya (F.25.2). pasien lain mengalami satu atau dua episode manic atau
depresi (F30-F33)
3.1.7 Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai
prognosis di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan prognosis
pasien dengan gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan
skizoafektif memiliki prognosis yang jauh lebih buruk daripada pasien dengan
gangguan depresif, memiliki prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan
gangguan bipolar, dan memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan
skizofrenia. Generalitas tersebut telah didukung oleh beberapa penelitian yang
mengikuti pasien selama dua sampai lima tahun setelah episode yang ditunjuk dan
yang menilai fungsi sosial dan pekerjaan, dan juga perjalanan gangguan itu sendiri.
Data menyatakan bahwa pasien dengan gangguan skizoafketif, tipe bipolar,
mempunyai prognosis yang mirip dengan prognosis pasien dengan gangguan bipolar
I dan bahwa pasien dengan premorbid yang buruk; onset yang perlahan-lahan; tidak
ada faktor pencetus; menonjolnya gejala pskotik, khususnya gejala defisit atau gejala
negatif; onset yang awal; perjalanan yang tidak mengalami remisi; dan riwayat
keluarga adanya skizofrenia. Lawan dari masing-masing karakeristik tersebut
mengarah pada hasil akhir yang baik.Adanya atau tidak adanya gejala urutan pertama
dari Schneider tampaknya tidak meramalkan perjalanan penyakit.
Walaupun tampaknya tidak terdapat perbedaan yang berhubungan dengan
jenis kelamin pada hasil akhir gangguan skizoafektif, beberapa data menyatakan
bahwa perilaku bunuh diri mungkin lebih sering pada wanita dengan gangguan
skizoafektif daripada laki-laki dengan gangguan tersebut.Insidensi bunuh diri di
antara pasien dengan gangguan skizoafektif diperkirakan sekurangnya 10 persen.

3.1.8 Penatalaksanaan
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan di
rumah sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Terapi psikofarmaka yang
diberikan pada skizoaktif tipe bipolar adalah obat golongan mood stabilizer, baik
lithium atatu carbamazepine sama efektifnya, sedangkan untuk tipe depresif yang
terbukti lebih efektif adalah dengan pemberian carbamazepine dibanding lithium.
Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk gangguan skizoafektif adalah
bahwa antidepresan dan antimanik diberikan sesuai bentuk afek yang menonjol dan
bahwa antipsikotik digunakan berdasarkan gejala psikotik yang muncul.Pada
skizoafektif tipe manik, terapi dilakukan lebih agresif untuk mencapai konsentrasi
obat dalam darah pada tingkat menengah sampai tinggi.Ketika pasien sudah dalam
fase maintenance, dosis dapat diturunkan untuk menghindari efek samping yang tidak
diinginkan.Pemeriksaan laboratorium secara berkala perlu dilakukan untuk menilai
fungsi thyroid, ginjal dan sel-sel darah.
Antidepresan diberikan pada pasien skizoafektif tipe depresif, tetapi harus
dengan perhatian yang ketat karena dapat terjadi pergeseran gejala dari episode
depresif menjadi episode manik pada pemberian antidepresan.Antidepresan lini
pertama yang diberikan adalah golongan SSRI, karena selain cukup efektif, obat ini
juga memiliki sedikit efek samping pada sistem kardiovaskular.Pasien skizoafektif
dengan gejala agitasi atau insomnia lebih berespon dengan obat golongan trisiklik.

3.1.9 Farmakologi Anti Depresan


1. Carbamazepine
Absorbsi carbamazepine lambat dan tidak terprediksi. Pemberian
bersama makanan mempercepat proses absorbs. Konsentrasi puncak dicapai
dalam 2-8 jam setelah pemberian dosis tunggal dengan waktu paruh rata-rata
26 jam.Pada penggunaan jangka panjang, waktu parah dapat menurun hingga
rata-rata 12 jam. Carbamazepine terdiri dari dua bentuk sediaan, yaitu
extended release dan kombinasi intermediate, extended-release, dan very
slow-release beads. Bentuk pertama diberikan setelah makan untuk menjamin
waktu transit gastrointestinal yang normal,bentuk kedua lebih cocok diberikan
pada malam hari.
Efek carbamazepine diduga akibat ikatannya dengan berikatan pada
voltage-dependent sodium channel di fase inaktif sehingga memperpanjang
masa inaktifnya. Selain itu juga diduga bekera pada NMDA glutamate-
receptor channel, competitive antagonism of adenosine A1 receptor, dan
sistem katekolamin.
Indikasi pemberian carbamazepine diantaranya episode manik akut;
profilaksis gangguan bipolar, skizoafektif, dan manik disforia; episode depresi
akut.Respon terhadap episode manik terlihat setelah 2-3 minggu pemberian.
Efek samping carbamazepine diantaranya diplopia, vertigo, gangguan
gastrointestinal, efek hematologi, agranulositosis, sindrom steven Johnson,
anemia aplastic, sirosis hepatis.
Dosis target untuk efek antimanik sekitar 1.200 mg per hari dengan
pemberian 3-4 kali per hari carbamazepine 300-400 mg dalam bentuk
immediate release. Carbamazepine extended release tersedia dalam sediaan
kapsul dan tablet 100, 200, dan 300 mg. Obat dapat diberikan dengan atau
tanpa makan terlebih dahulu.

2. Lithium
Lithium diabsorbsi secara komplit dan cepat setelah administrasi oral
dengan konsentrasi puncak terjadi setelah 1-1,5 jam denganbentuk sediaan
biasa, dan 4-4,5 jam dengan bentuk sediaan lambat atau lepas terkontrol.
Waktu paruh 1,3 hari pada awal pemberian dan menjadi 2,4 hari setelah
penggunaan lebih dari satu tahun.
Indikasi pemberian lithium diantaranya episode manik, episode
depresif pada gangguan bipolar, episode depresif mayor, skizofrenia dan
skizoafektif.Penggunaan lithium pada pasien skizoafektif lebih efektif pada
pasien dengan gejala afektif yang lebih dominan.Lithium memiliki risiko efek
samping yang tinggi, efek samping yang beragam terjadi pada 80% pengguna
lithium. Untuk itu pentung untuk meminimalisir risiko efek samping dengan
cara mengawasi kadar lithium dalam darah dan memberikan intervensi
farmakologi yang sesuai untuk mengatasi efek samping yang muncul. Efek
samping lithium dapat terjadi di semua sistem organ dengan tingkat keparahan
yang bervariasi.Pemberian lithium dengan antipsikotik tipikal juga perlu
mendapat perhatian serius karena interaksi antara keduanya bisa
memperburuk gejala ekstrapiramidal.
Lithium karbonat tersedia dalam bentuk kapsul (150, 300, 600 mg),
tablet (300 mg), tablet lepas terkontrol (450mg), tablet lepas lambat (300 mg),
dan sirup (8mEq/5 mL). Dosis awal untuk dewasa 300 mg tiga kali
sehari.sedangkan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal hanya dua kali
sehari. Dosis kemudian dapat ditingkatkan sampai 1800 mg per hari untuk
mencapai konsentrasi terapetik 1,2 mEq/L. Penghentian pemberian lithium
dilakukan perlahanagar tidak terjadi rekurensi gejala manik.

3. Antipsikotik atipikal
Obat antipsikotik atipikal memiliki kemampuan memblok reseptor
serotonin tipe 2 dan reseptor dopamin D2. Antispikotik atipikal bekerja lebih
spesifik di mesolimbik dibanding daerah striata. Beberapa obat golongan ini
yang sering digunakan antara lain risperidon, clozapin, olanzapin, dan
aripiprazole (golongan ketiga). Meskipun risiko terjadinya sindrom
ekstrapiramidal rendah, beberapa obat golongan atipikan sering
menyebabkan peningkatan berat badan, yang kemudian menjadi risiko
Diabetes Melitus dan Sindrom Metabolik.
Obat golongan ini efektif untuk mengatasi gejala psikosis baik akut
maupun kronis pada remaja dan dewasa.Selain mengatasi gejala positif juga
berperan dalam mengurangi gejala negatif, afektif, dan kognitif. Kasus relaps
ditemukan lebih rendah pada pasien yang diberi antipsikotik atipikal
dibanding antipsikotik tipikal
Gambar 3.Struktur molekuler antagonis serotonin-dopamin.

Anda mungkin juga menyukai