Anda di halaman 1dari 2

Tanggal :

Penulis : humas_ua
Kategori : Berita F O K U S

Mengurai Polemik Obat Palsu FH-Warta Unair


Berita :

Sudah amankah obat yang kita minum?. Yakinkah Kita tidak sedang mengkonsumsi obat Palsu?. WHO
menyatakan, peredaran obat palsu di dunia sekitar 10 persen, sedangkan di negara berkembang seperti
Indonesia, bisa mencapai 25 persen. Sejauh ini, obat-obatan yang dipalsukan adalah obat yang banyak
dikonsumsi masyarakat, baik obat generik maupun paten. Bahkan, obat bebas, seperti obat flu dan obat
sakit kepala hingga obat Disfungsi Ereksi (DE) pun jadi sasaran sindikat pengedar obat palsu. Dampak
yang bisa dirasakan oleh masyarakat akibat mengkonsumsi obat palsu adalah terancamnya kesehatan dan
keselamatan hingga dapat mengakibatkan kematian, sakit yang berkepanjangan biasanya karena resistensi
antibiotik, kerugian finasial karena hilangnya produktivitas, dan hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap dokter karena berpandangan bahwa obat yang diresepkan kurang manjur, sehingga lebih
memilih berobat ke luar negeri.
Definisi obat palsu berdasarkan PERMENKES NO.1010/MENKES/PER/XI/ 2008 adalah obat yang
diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar. Hal
tersebut diungkapkan oleh Halim Nababan, Kepala Bidang Penyidikan Narkotika dan Psikotropika, Pusat
Penyidikan Obat dan Makanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, dalam diskusi yang
bertajuk ”upaya meminimalisasi pemalsuan obat” yang diselenggarakan oleh Sekretariat
Wakil presiden RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Masyarakat Indonesia
Anti Pemalsuan (MIAP), di Ruang 303 Gedung A FH UNAIR (9/8).
Halim mangatakan bahwa polemik peredaran obat palsu di Indonesia dipicu oleh penanggulangan tindak
pidana obat di masing-masing sektor terkait penegak hukum masih bersifat parsial, tindak pidana obat
memiliki jaringan yang umumnya terorganisasi, dan putusan hakim umumnya masih belum menimbulkan
efek jera dimana sanksi pidana yang diberikan cukup ringan. Strategi yang telah dilakukan BPOM dalam
pemberantasan obat palsu adalah memutus mata rantai supply-demand obat palsu. “Harus diusut
hingga ke akar permasalahan dengan meningkatkan penegakan hukum secara konsisten dan
berkesinambungan (sustainable law enforcement)", ungkap Halim.
Hal ini dilakukan melalui pembentukan National Single Point of Contact (Nat-SPOC) pada tahun 2008
yang beranggotaka Departemen Kesehatan, International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG),
Kepolisian, Kejaksaan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Ikatan
Bidan Indonesia (IBI) dan Badan POM, serta mengungkap modus operandi, aktor intelektual dan luas
jaringannya. “Hendaknya juga dilakukan penyitaan dan pemusnahan obat palsu secara massal
agar dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya" tuturnya.
Praktek pemalsuan obat ibarat jamur yang tumbuh di musim penghujan,bedanya adalah praktek ini tidak
mengenal musim. Sepanjang tahun tumbuhterus. Faktor keuntungan ekonomi yang tinggi merupakan salah
satu doronganutama bagi para pemalsu untuk meneruskan prakteknya ini. Sebisa mungkin parapemalsu
menekan biaya produksi hingga sekecil mungkin. Akibatnya mereka tidak memperhatikan elemen Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), seperti mencampur bahan obat dengan menggunakan mesin
pengaduk semen, meracik berbagai zat kimia sebagai bahan obat secara sembarangan, tanpa
memperhatikan higienitas apalagi mematuhi kaidah current -Good Manufacturing Practices (c-GMP).
Widyaretna Buenastuti, Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) mengungkapkan bahwa
perilaku masyarakat sebagai konsumen juga berpengaruh pada perkembangan peredaran obat palsu ini.
Masyarakat cenderung lebih suka mencari obat dengan harga yang lebih miring, bukan di tempat
penjualan resmi obat (apotek). Padahal kebanyakan pemalsu lebih memilih memalsukan obat-obat mahal
dari pada obat murah karena keuntungannya akan lebih besar, obat palsu pun dijual dengan selisih harga
tidak jauh dari harga asli atau bahkan lebih mahal. “Apakah benar ini yang disebut murah oleh
masyarakat ?” tegasnya.
“Kerugian ekonomi yang dialami negara akibat pemalsuan obat sebesar 1,37 trilyun berdasarkan

Page 1
Tanggal :
Penulis : humas_ua
Kategori : Berita F O K U S

studi singkat yang dilakukan oleh LPEM FEUI bersama MIAP” papar Widya. Oleh karena itu,
perlu diberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya obat palsu dan bagaimana mengenali obat
palsu dan asli, meskipun antara yang palsu dan asli sulit dibedakan. Kesadaran masyarakat perlu
ditingkatkan untuk bisa menjadi smart shopper dengan selalu kritis bertanya kepada dokter atau apoteker
dan praktisi kesehatan lainnya tentang obat yangdiresepkan, mencari informasi di internet untuk
memastikan bahwa kemasan obat yang standar sudah terpenuhi pada obat yang mereka beli, melihat
secara teliti dan hati-hati kemasan obat seperti penulisan merek, penulisan zat aktif, nama produsen,
nomor ijin edar BPOM apakah sesuai kaidah yang berlaku, dan menolak diberikan obat apabila kemasan
rusak atau kurang meyakinkan, dan yang terpenting selalu membeli obat di tempat resmi penjualan obat.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Rahmi Jened, SH., MH. seorang Pakar dan Praktisi Bidang
Aplikasi Hak Kekayaan Intelektual dari Fakultas Hukum UNAIR, meyatakan bahwa metode edukasi yang
tepat dan efektif untuk membangun kesadaran dan sikap anti pemalsuan dan peduli produk asli adalah
dengan memberikan edukasi dan sosialisasi yang berkelanjutan, mengadakan focus group discussion
(FGD) untuk topik khusus, adanya reward and punishment untuk pemberantasan obat palsu,
menggencarkan publikasi dan promosi, membentuk kelompok kerja (pokja) untuk monev, serta menguatkan
peraturan terkait kebijakan pemberantasan obat palsu dan pengaturan tentang obat di Indonesia.
Dalam diskusi ini juga menghadirkan Dr. Erni Widyastari, Apt. M.Si. selaku Kasubdit pemeriksaan Paten
III, bidang Kimia, Farmasi dan Biologi, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang menjelaskan masalah counterfeiting product hak kekayaan
intelektual di bidang sosial-ekonomi.

Universitas Airlangga :

http://unair.ac.id
http://jurnal.unair.ac.id
http://mail.unair.ac.id
http://alumni.unair.ac.id
http://blog.unair.ac.id
http://onmedia.unair.ac.id
http://opensource.unair.ac.id
c44e503833b64e9f27197a484f4257c0

Page 2

Anda mungkin juga menyukai