Aku hanya tidak ingin cerita ini tersimpan lama dalam pikiranku..
Tapi aku ingin mereka tahu, kau punya deretan cerita yang lain.
Karena sebenarnya
Dita
Malam terasa begitu berat hari ini. Sedikit sapuan tangan menyentuh pipiku. Begitu
cepatnya waktu berlalu, pikirku. Sampai saat ini aku masih termangu pada ingatanku kemarin...
Mmm, bagaimana rencanamu setelah ini? tanyanya segera dengan senyum manis
terlukis di wajahnya.
menatap wajahnya.
Rey, Ibu ingin aku mengambil tawaran ke luar negeri. Aku juga sudah mengurus segala
sesuatunya. Jadi kupikir, aku mungkin akan pergi segera. Ia tertunduk. Kata-kata itu sontak
membuatku terbelalak kaget. Apa yang dia pikirkan? Bukankah ia pernah mengatakan menolak
Kenapa kamu nggak lanjutin yang udah kamu dapat? Mmm, maksudku kamu bisa
masuk ke Jurusan kedokteran itu.... Toh, kamu juga sudah lulus kan? Jangan ditolak dong, Rey....
kan sayang, katanya lembut. Aku betul- betul tidak menyangka dia akhirnya mengatakan hal
ini. Untuk beberapa saat, kesunyian menemani kami di bangku taman ini. Aku hanya tertunduk.
Rey... Besok aku berangkat. Lanjutnya perlahan. Aku benar- benar kaget sekarang. Rasa
kecewa padanya seakan berkecamuk dalam hatiku. Kemudian, aku hanya mendesah.
Ya, aku tahu. Itu hal penting buatmu. Kau lebih membutuhkannya. Kataku kemudian.
Hhh... akhirnya... kupikir kau akan marah.katanya sembari mengulur senyum yang
tersirat rasa sendu di kelopak matanya. Tak bisa mengatakan apapun. Itu yang terjadi padaku
sekarang.
Jadi, pertemuan ini adalah perpisahan? tanyaku mencoba meyakinkan hatiku sendiri.
Mmm, kamu begitu menganggapnya malapetaka ya? Kita masih ada dalam satu dunia.
Memang sih, nggak satu negara.... Kau mengatakan hal itu seakan- akan aku akan pergi dari
duniamu secepatnya. Hahaha... Kau terlalu banyak bersajak.... katanya sembari tertawa garing.
Kita masih bisa bertemu.... mungkin memang bukan di tempat ini. Tapi di suatu tempat
yang lebih indah. Hanya kau dan aku. Dan aku mungkin akan tetap berada di sisimu. 4 tahun
dari sekarang. Katanya dengan wajah menerawang pada langit yang semakin kelam.
Yaah... aku juga tahu itu. Berarti aku harus membiasakan diri bangun pagi tanpa teguran
dari asrama-putrimu lagi... Haahaha... susahnya kataku mencoba mencairkan suasana petang
mengambil tas yang sedari tadi tergeletak di sampingnya. Sebuah kotak kardus kecil seukuran
Ini, aku membuatnya sebelum datang kemari. Mmm, maaf... aku tidak punya benda
perpisahan yang lebih mahal. Katanya lagi sambil menjulurkan lidah mengejek.
Hahaha... kau masih suka bercanda ternyata. Tapi, untuk apa ini? aku makin penasaran.
Lihat sayap angsa itu kan? tanyanya. Aku masih kebingungan melihat angsa kertas itu.
Iiih, Bukaaan... aku ingin kamu bisa seperti angsa itu. Punya kebebasan untuk terbang
dengan sepasang sayap. Jadi kau tidak harus terpaku pada jalanan yang sama. Kau bisa
memandang lebih luas. Benerkan? Terlalu banyak sok tahu nih kayaknya. Hehe... Katanya
lembut melanjutkan. Aku mencoba tertawa. Tapi kata kata itu mematahkan rasa humorku. Dia
benar, aku bisa bebas jika aku memang mau mengusahakannya. Aku masih terdiam.
Rey, simpanlah. Ini untukmu. Nanti kalau kau temui aku, hal pertama yang akan kutagih
adalah angsa kertas ini. Jangan di jual atau di goreng ya... tukasnya santai sambil tertawa puas.
Aku memandangnya. Tentu saja aku tidak akan menjual, apalagi menggoreng kertas, gumamku
dalam hati.
Semenjak saat itu, aku tidak pernah lagi menemuinya, mendengarkan suaranya, ataupun hanya
Empat tahun bukan waktu yang cepat, pikirku. Dalam batinku tersirat rindu antara ragu dan tak
sabar. Aku ingin melihatnya. Dan tentu saja akan segera menemuinya. Mungkin akan kumulai
dari rumahnya besok. Akh, mungkin dia sudah banyak berubah. Aku berpikir sembari
Segera kumasukkan stetoskop dan beberapa dokumen ke dalam tas ku sambil memikul
jas putih itu pergi, mempersiapkan pikiranku buat rencana ke kota Sleman besok.
Jakarta Sleman , terlalu menyita waktu dan tenagaku. Tapi, pagi yang begitu cerah sekarang
menghampiri, secerah suasana hatiku saat kulangkahkan kaki ini beranjak pergi. Tentu saja
dengan jas putih kebanggakanku. Dita akan sangat bangga melihatku, yah... semoga saja
Sebuah sedan merah yang kutumpangi berhenti tepat di depan halaman sebuah rumah
berukir manis, dengan genteng merah yang sebagian besarnya tertutup debu dan lumut. Tidak
Aku mengayunkan langkahku perlahan dengan sebuah kotak berukuran besar dalam
kupijak saat ini. Bunyi derak mengagetkanku ketika seseorang membukakan pintu itu
kemudian. Seorang wanita berkebaya manis dengan kain batik keemasan serta tutup kepala
yang menyembunyikan deretan uban di kepalanya. Rasa heran wanita itu menambah kerutan di
wajahnya.
Iya, selamat pagi juga, Dok balasnya masih dengan tatapan heran.
Dari puskesmas ya? Wah, tadi bapaknya sudah saya suruh ke sana tapi ndak pergi juga.
Malah sekarang jadi merepotkan Pak Dokter.... Silahkan masuk dulu. Rumahnya sederhana gini,
ndak usah dilepas sepatunya, Dok! katanya melanjutkan saat melihatku masih kebingungan
seraya melepaskan sepatuku. Aku menggeleng geleng tak percaya. Apa Bapak dan Ibu Dita
Oh, iya... silahkan duduk Dok, ta buatin minum sebentar. Dokter mau munumnya opo?
Oalah... ndak repot toh, Dok... Ndak opo-opo. Ta tinggalin bentar yo, Dok. Soalnya ndak
sendiri. Aku jadi bingung sendiri. Dita dimana ya? Apa dia tidak pulang?
Sesaat kemudian, wanita itu datang membawa secangkir minuman dengan beberapa
Yah, Ndak opo, Dokter... cuman ini aja yang ada... Mbok yo silahkan diminum, Dok...
Ngomong- ngomong, Dokter ini sejak kapan di Puskemas Desa? Maaf yo nanya- nanya,
Mm, sebenarnya saya teman sekolahnya Dita dulu, Bu.... dari Jakarta kataku akhirnya.
Ibu Dita terdiam dan sedikit kaget. Ia menatapku lama. Membiarkan kesunyian dan
Iya, Bu... saya Riyan.... balasku dengan sedikit tersenyum. Lega akhirnya Ibu bisa
mengingatku sekarang.
Udah lama ya... Ibu ndak nyangka Nak Riyan sekarang udah kayak gini. Padahal dulunya,
dari cangkir. Ibu mengangkat wajahnya menatapku heran. Kemudian tertunduk lagi. Masih
dalam bisu.
Wah, Dita pasti udah banyak berubah ya, Bu? Saya jadi penasaran sama dia sekarang.
Udah pinter dan anggun, baru pulang dari luar negeri lagi, pasti tambah cakep ya, Bu... kataku
lagi. Ibu tidak mengangkat muka. Aku tidak tahu ekspresi apa yang terukir di wajahnya.
Wah, dia pasti tinggal di rumah mewah po, Bu? Yaah, ndak heran.... Dita kan dah sukses,
Bu... Padahal saya dah datang jauh- jauh mau nemuin dia toh. Trus, Dita sekarang tinggalnya
dimana, Bu? Bisa kasih alamatnya? Nanti ta cari. Soalne, aku dah janji mau kasih sesuatu sama
dia. Jelasku panjang lebar. Ibu tidak menjawab. Ia menunduk dan menutup wajahnya,
kemudian beranjak ke dalam dengan tanpa satu katapun. Aku bingung melihat Ibu masuk tiba-
tiba. Kucoba tenangkan diri dengan menarik napas, lagi. Tak lama berselang, ibu muncul
dengan menggandeng seorang pria agak bungkuk yang tengah memegang tongkat.
Bapak.... kataku sembari berdiri dan mencium tangannya. Bapak membalasnya dengan
Nak Riyan, ya? Dah lama bapak ndak pernah bertemu... Kamu gagah tenan make jas
Iyah, Pak... saya sudah kangen ketemu ama Dita. Dia dimana toh sekarang,Pak? Tanyaku
lagi sembari kembali duduk bersama bapak, sementara Ibu masih berdiri dengan wajah
tertunduk.
Begini Nduk... Bapak sudah mau ngasih tahu kamu jauh- jauh hari, tapi Dita pesen
katanya ndak usah ngasih tahu Riyan. Nanti malah ngganggu kamu lagi, katanya
Trus, Dita dimana sekarang? Apa udah kembali ke luar negeri?
Nduk, Dita dah pergi... kata Ibu melanjutkan. Bapak balik menunduk. Aku kebingungan
Oh, jadi benar Dita dah kembali ke luar negeri? Tega bener ndak ngasih kabar ke aku
juga. Janjinya empat tahun, kok malah diulur sih, piye toh Dita.... bener- benerkataku menebak
Nduk, Dita dah meninggal, empat tahun, enam bulan setelah kamu ninggalin Jogja....
kata Ibu kemudian dengan berlinang air mata. Detak jantungku berdegup berkali-keli lebih
Ndak.... Ndak mungkin.... waktu itu kami janji ketemu di sini empat tahun setelah Dita
ninggalin saya ke luar negeri. Hahaha, ibu iki toh... bercandanya dah kelewatan... aku tertawa
mencoba membenarkan apa yang aku pikirkan. Ibu terduduk dii kursinya. Aku jadi benar-
Yo wez kalo gitu... kita ke makamnya Dita.... Kebetulan Bapak- dan Ibu dah mau ke sana
tadi. Kata Bapak sambil berdiri dan berjalan keluar. Aku mengikutinya dengan kotak kardus di
tanganku. Ibu dengan sapu tangan dan bunga warna-warni dalam keranjang kemudian
mengikuti kami. Tak lama berselang, kami tiba di pemakaman umum desa. Jaraknya hanya
Aku terperanjam kaget saat berada di depan nisan putih itu. Nandita Purnama Suyanti.
Deg..... Aku terpaku pada tempatku berdiri. Rasanya tubuhkan tidak mampu bergerak. Kotak
kardus itu terjatuh tanpa kusadari. Bayangan kabur mataku menghantui. Seakan waktu
berhenti, tepat di saat ini. Apa ini? Siapa yang berada di hadapanku sekarang? Tidak. Ini tidak
mungkin. Aku terjatuh di ujung tumpukan tanah berwarna merah. Ingin kuteriakkan
ketidakpercayaanku sekarang. Namun lidahku benar- benar kaku. Dimana harus kuberadu?
Dita tidak lagi di di sampingku. Aku tidak bisa menahan derai linang yang seharusnya kutahan.
Dita, ini Riyan, Nduk.... Dia sudah datang buat lihat kamu, Nak.... jadi Ibu ndak usah
menyembunyikan ini lebih lama lagi. Kata ibu Dita terbata dengan linaang dari pelupuk
Kamu betul- betul pergi Dita. Kamu betul betul membuat jarak yang jauh. Memang bukan
pada negara yang sama, atau bahkan dunia yang sama. Kamu terlalu jauh, Dita.... gumamku.
Aku menarik napas panjang. Batinku bergejolak. Hhhhh.... jelas kau akan berada di tempat yang
indah, Dit.... Tuhan terlalu bangga menjadikanmu sebagai salah satu bidadarinya di sana.
Aku datang, sekarang.... hanya untuk menunjukkan kepadamu, betapa banyak angsa kertas yang
telah kubuat dari pelajaranku bersamamu. Semuanya ku kembalikan padamu. Biarlah mereka
Tapi aku tahu, kau akan tetap bersamaku, sekalipun itu merupakan waktu empat tahun setelah
saat itu.
....
Suara bedug subuhhari membuyarkan lamunan dan layangan memoriku sedari malam tadi.
Hhh... Sudah delapan tahun rupanya. Aku bingung, apakah ini terlalu cepat? Atau memang
waktu berjalan lambat di pikiranku. Namun satu hal yag takkan mungkin kubiarkan bergulir
bersama waktu. Aku jelas takkan pernah malu, karena kepergianmu sebagai pengidap aids. Dan
akan selalu begitu, aku takkan malu. Aku tidak pernah menyangka, begitu banyak aku telah
Tutuplah telinga jika kau tak ingin mendengar apa yang mereka katakan.
Karena di sini,
karena aku telah terpatri menjadi murid yang terus belajar darimu...
dari empat tahun dari saat itu, sampai saat kita benar-benar bersama.