Anda di halaman 1dari 9

Sayap angsa kertas

Sebelumnya, maafkan aku kalau kau kecewa...

Aku hanya tidak ingin cerita ini tersimpan lama dalam pikiranku..

Aku tidak ingin bercerita seperti mereka.

Tapi aku ingin mereka tahu, kau punya deretan cerita yang lain.

Kalau nanti kau dengar apa kata mereka,

Tutuplah telinga dan dengarkan hatimu

Karena sebenarnya

Cerita tentangmu adalah yang paling benar buatku...

Dita

Malam terasa begitu berat hari ini. Sedikit sapuan tangan menyentuh pipiku. Begitu

cepatnya waktu berlalu, pikirku. Sampai saat ini aku masih termangu pada ingatanku kemarin...

Rey, maaf ya... aku telat

Oh, Dita... tak apa. Aku baru beberapa menit di sini

Oh... iya...katanya seraya meletakkan tas gendongnya dan duduk di sampingku.

Mmm, bagaimana rencanamu setelah ini? tanyanya segera dengan senyum manis

terlukis di wajahnya.

Mmm, yaah....kurasa...aku juga belum pasti. Bagaimana denganmu? tanyaku seraya

menatap wajahnya.

Rey, Ibu ingin aku mengambil tawaran ke luar negeri. Aku juga sudah mengurus segala

sesuatunya. Jadi kupikir, aku mungkin akan pergi segera. Ia tertunduk. Kata-kata itu sontak

membuatku terbelalak kaget. Apa yang dia pikirkan? Bukankah ia pernah mengatakan menolak

tawaran melanjutkan pendidikan ke luar negeri padaku?

Rey... katanya sayup, membuyarkan pikiranku barusan.


Ii..iya, Dit. Ada apa? jawabku dengan gugup.

Kenapa kamu nggak lanjutin yang udah kamu dapat? Mmm, maksudku kamu bisa

masuk ke Jurusan kedokteran itu.... Toh, kamu juga sudah lulus kan? Jangan ditolak dong, Rey....

kan sayang, katanya lembut. Aku betul- betul tidak menyangka dia akhirnya mengatakan hal

ini. Untuk beberapa saat, kesunyian menemani kami di bangku taman ini. Aku hanya tertunduk.

Tak sanggup mengangkat wajahku dan membalas tatapan penasarannya.

Rey... Besok aku berangkat. Lanjutnya perlahan. Aku benar- benar kaget sekarang. Rasa

kecewa padanya seakan berkecamuk dalam hatiku. Kemudian, aku hanya mendesah.

Ya, aku tahu. Itu hal penting buatmu. Kau lebih membutuhkannya. Kataku kemudian.

Hhh... akhirnya... kupikir kau akan marah.katanya sembari mengulur senyum yang

tersirat rasa sendu di kelopak matanya. Tak bisa mengatakan apapun. Itu yang terjadi padaku

sekarang.

Jadi, pertemuan ini adalah perpisahan? tanyaku mencoba meyakinkan hatiku sendiri.

Mmm, kamu begitu menganggapnya malapetaka ya? Kita masih ada dalam satu dunia.

Memang sih, nggak satu negara.... Kau mengatakan hal itu seakan- akan aku akan pergi dari

duniamu secepatnya. Hahaha... Kau terlalu banyak bersajak.... katanya sembari tertawa garing.

Aku mencoba menahan rasa kecewaku sekarang dengan seulas senyum.

Kita masih bisa bertemu.... mungkin memang bukan di tempat ini. Tapi di suatu tempat

yang lebih indah. Hanya kau dan aku. Dan aku mungkin akan tetap berada di sisimu. 4 tahun

dari sekarang. Katanya dengan wajah menerawang pada langit yang semakin kelam.

Yaah... aku juga tahu itu. Berarti aku harus membiasakan diri bangun pagi tanpa teguran

dari asrama-putrimu lagi... Haahaha... susahnya kataku mencoba mencairkan suasana petang

yang masih tanpa bintang itu.


Mmm.... Rey, sebelum pergi besok, aku ingin menitipkan sesuatu untukmu. Ia

mengambil tas yang sedari tadi tergeletak di sampingnya. Sebuah kotak kardus kecil seukuran

kardus tissue. Ia membukanya dan mengambil sesuatu dari dalamnya.

Origami? tanyaku heran

Sstt.... katanya kemudian sambil menunjukkan telunjuk mengisyaratkanku untuk diam.

Ini, aku membuatnya sebelum datang kemari. Mmm, maaf... aku tidak punya benda

perpisahan yang lebih mahal. Katanya lagi sambil menjulurkan lidah mengejek.

Hahaha... kau masih suka bercanda ternyata. Tapi, untuk apa ini? aku makin penasaran.

Lihat sayap angsa itu kan? tanyanya. Aku masih kebingungan melihat angsa kertas itu.

Mmm, Aku ingin kau seperti itu.

Hah? Kau mau aku jadi angsa? tanyaku tak percaya

Iiih, Bukaaan... aku ingin kamu bisa seperti angsa itu. Punya kebebasan untuk terbang

dengan sepasang sayap. Jadi kau tidak harus terpaku pada jalanan yang sama. Kau bisa

memandang lebih luas. Benerkan? Terlalu banyak sok tahu nih kayaknya. Hehe... Katanya

lembut melanjutkan. Aku mencoba tertawa. Tapi kata kata itu mematahkan rasa humorku. Dia

benar, aku bisa bebas jika aku memang mau mengusahakannya. Aku masih terdiam.

Rey, simpanlah. Ini untukmu. Nanti kalau kau temui aku, hal pertama yang akan kutagih

adalah angsa kertas ini. Jangan di jual atau di goreng ya... tukasnya santai sambil tertawa puas.

Aku memandangnya. Tentu saja aku tidak akan menjual, apalagi menggoreng kertas, gumamku

dalam hati.

Semenjak saat itu, aku tidak pernah lagi menemuinya, mendengarkan suaranya, ataupun hanya

berbisik dengannya, tak pernah kulakukan.

Empat tahun bukan waktu yang cepat, pikirku. Dalam batinku tersirat rindu antara ragu dan tak

sabar. Aku ingin melihatnya. Dan tentu saja akan segera menemuinya. Mungkin akan kumulai
dari rumahnya besok. Akh, mungkin dia sudah banyak berubah. Aku berpikir sembari

mengulum senyumku sendiri.

Segera kumasukkan stetoskop dan beberapa dokumen ke dalam tas ku sambil memikul

jas putih itu pergi, mempersiapkan pikiranku buat rencana ke kota Sleman besok.

Jakarta Sleman , terlalu menyita waktu dan tenagaku. Tapi, pagi yang begitu cerah sekarang

menghampiri, secerah suasana hatiku saat kulangkahkan kaki ini beranjak pergi. Tentu saja

dengan jas putih kebanggakanku. Dita akan sangat bangga melihatku, yah... semoga saja

demikian. Gumamku dalam hati.

Sebuah sedan merah yang kutumpangi berhenti tepat di depan halaman sebuah rumah

berukir manis, dengan genteng merah yang sebagian besarnya tertutup debu dan lumut. Tidak

banyak berubah. pikirku.

Aku mengayunkan langkahku perlahan dengan sebuah kotak berukuran besar dalam

pelukanku. Berusaha menenangkan diri, aku mencoba menarik napas panjang.

Tok... Tok... Tok...

Ayunan tanganku mengetuk mencoba memberi isyarat pada pemilik rumah-yang-

kupijak saat ini. Bunyi derak mengagetkanku ketika seseorang membukakan pintu itu

kemudian. Seorang wanita berkebaya manis dengan kain batik keemasan serta tutup kepala

yang menyembunyikan deretan uban di kepalanya. Rasa heran wanita itu menambah kerutan di

wajahnya.

Mm, selamat Pagi, Bu...

Iya, selamat pagi juga, Dok balasnya masih dengan tatapan heran.

Dari puskesmas ya? Wah, tadi bapaknya sudah saya suruh ke sana tapi ndak pergi juga.

Malah sekarang jadi merepotkan Pak Dokter.... Silahkan masuk dulu. Rumahnya sederhana gini,

ndak usah dilepas sepatunya, Dok! katanya melanjutkan saat melihatku masih kebingungan
seraya melepaskan sepatuku. Aku menggeleng geleng tak percaya. Apa Bapak dan Ibu Dita

tidak mengenalku lagi? Tanyaku heran dalam hati.

Nngg... Gini Bu... Saya...

Oh, iya... silahkan duduk Dok, ta buatin minum sebentar. Dokter mau munumnya opo?

Biar Ibu buatkan.

Oh, nggak usah repot repot, Bu....

Oalah... ndak repot toh, Dok... Ndak opo-opo. Ta tinggalin bentar yo, Dok. Soalnya ndak

ada pelayan di rumah. Katanya tersenyum kemudian sembari melangkah meninggalkanku

sendiri. Aku jadi bingung sendiri. Dita dimana ya? Apa dia tidak pulang?

Sesaat kemudian, wanita itu datang membawa secangkir minuman dengan beberapa

camilan. Aku hanya bisa menarik napas.

Wah, nggak usah repot-repot lho, Bu. Sebenarnya... kataku sungkan.

Yah, Ndak opo, Dokter... cuman ini aja yang ada... Mbok yo silahkan diminum, Dok...

Wah saya bener- bener ngerepotin Ibu jadinya. Sebenarnya sa...

Ngomong- ngomong, Dokter ini sejak kapan di Puskemas Desa? Maaf yo nanya- nanya,

Ibu juga ndak tahu toh, soalnya baru lihat ini.

Mm, sebenarnya saya teman sekolahnya Dita dulu, Bu.... dari Jakarta kataku akhirnya.

Ibu Dita terdiam dan sedikit kaget. Ia menatapku lama. Membiarkan kesunyian dan

kebingungan menguasai kami sendiri.

Oalah... kamu ini, jangan- jangan... Riyan yo? tanyanya memastikan.

Iya, Bu... saya Riyan.... balasku dengan sedikit tersenyum. Lega akhirnya Ibu bisa

mengingatku sekarang.

Udah lama ya... Ibu ndak nyangka Nak Riyan sekarang udah kayak gini. Padahal dulunya,

ampun...kata-katanya mengalir akrab. Aku hanya tersenyum- senyum malu.


Mmm, Dita sedang dimana toh, Bu? tanyaku sembari menyeruput minuman hangat

dari cangkir. Ibu mengangkat wajahnya menatapku heran. Kemudian tertunduk lagi. Masih

dalam bisu.

Wah, Dita pasti udah banyak berubah ya, Bu? Saya jadi penasaran sama dia sekarang.

Udah pinter dan anggun, baru pulang dari luar negeri lagi, pasti tambah cakep ya, Bu... kataku

lagi. Ibu tidak mengangkat muka. Aku tidak tahu ekspresi apa yang terukir di wajahnya.

Ndoo... Dita sekarang ndak disini... katanya perlahan seakan berbisik.

Wah, dia pasti tinggal di rumah mewah po, Bu? Yaah, ndak heran.... Dita kan dah sukses,

Bu... Padahal saya dah datang jauh- jauh mau nemuin dia toh. Trus, Dita sekarang tinggalnya

dimana, Bu? Bisa kasih alamatnya? Nanti ta cari. Soalne, aku dah janji mau kasih sesuatu sama

dia. Jelasku panjang lebar. Ibu tidak menjawab. Ia menunduk dan menutup wajahnya,

kemudian beranjak ke dalam dengan tanpa satu katapun. Aku bingung melihat Ibu masuk tiba-

tiba. Kucoba tenangkan diri dengan menarik napas, lagi. Tak lama berselang, ibu muncul

dengan menggandeng seorang pria agak bungkuk yang tengah memegang tongkat.

Bapak.... kataku sembari berdiri dan mencium tangannya. Bapak membalasnya dengan

senyum simpul di wajah.

Nak Riyan, ya? Dah lama bapak ndak pernah bertemu... Kamu gagah tenan make jas

dokter, Nduk katanya

Ah, ndak juga kok, Pak...

Kamu nyari Dita, ya Nduk?

Iyah, Pak... saya sudah kangen ketemu ama Dita. Dia dimana toh sekarang,Pak? Tanyaku

lagi sembari kembali duduk bersama bapak, sementara Ibu masih berdiri dengan wajah

tertunduk.

Begini Nduk... Bapak sudah mau ngasih tahu kamu jauh- jauh hari, tapi Dita pesen

katanya ndak usah ngasih tahu Riyan. Nanti malah ngganggu kamu lagi, katanya
Trus, Dita dimana sekarang? Apa udah kembali ke luar negeri?

Nduk, Dita dah pergi... kata Ibu melanjutkan. Bapak balik menunduk. Aku kebingungan

setengah mati dibuatnya.

Oh, jadi benar Dita dah kembali ke luar negeri? Tega bener ndak ngasih kabar ke aku

juga. Janjinya empat tahun, kok malah diulur sih, piye toh Dita.... bener- benerkataku menebak

dengan nada kecewa.

Nduk, Dita dah meninggal, empat tahun, enam bulan setelah kamu ninggalin Jogja....

kata Ibu kemudian dengan berlinang air mata. Detak jantungku berdegup berkali-keli lebih

cepat dari biasanya. Aku betul-betul tidak percaya.

Ndak.... Ndak mungkin.... waktu itu kami janji ketemu di sini empat tahun setelah Dita

ninggalin saya ke luar negeri. Hahaha, ibu iki toh... bercandanya dah kelewatan... aku tertawa

mencoba membenarkan apa yang aku pikirkan. Ibu terduduk dii kursinya. Aku jadi benar-

benar takut sekarang.

Yo wez kalo gitu... kita ke makamnya Dita.... Kebetulan Bapak- dan Ibu dah mau ke sana

tadi. Kata Bapak sambil berdiri dan berjalan keluar. Aku mengikutinya dengan kotak kardus di

tanganku. Ibu dengan sapu tangan dan bunga warna-warni dalam keranjang kemudian

mengikuti kami. Tak lama berselang, kami tiba di pemakaman umum desa. Jaraknya hanya

beberapa blok dari tempat tinggal Dita, tak jauh memang.

Aku terperanjam kaget saat berada di depan nisan putih itu. Nandita Purnama Suyanti.

Deg..... Aku terpaku pada tempatku berdiri. Rasanya tubuhkan tidak mampu bergerak. Kotak

kardus itu terjatuh tanpa kusadari. Bayangan kabur mataku menghantui. Seakan waktu

berhenti, tepat di saat ini. Apa ini? Siapa yang berada di hadapanku sekarang? Tidak. Ini tidak

mungkin. Aku terjatuh di ujung tumpukan tanah berwarna merah. Ingin kuteriakkan

ketidakpercayaanku sekarang. Namun lidahku benar- benar kaku. Dimana harus kuberadu?
Dita tidak lagi di di sampingku. Aku tidak bisa menahan derai linang yang seharusnya kutahan.

Aku benar- benar tidak bisa menerima ini.

Dita, ini Riyan, Nduk.... Dia sudah datang buat lihat kamu, Nak.... jadi Ibu ndak usah

menyembunyikan ini lebih lama lagi. Kata ibu Dita terbata dengan linaang dari pelupuk

matanya yang tak jua berhenti.

Kamu betul- betul pergi Dita. Kamu betul betul membuat jarak yang jauh. Memang bukan

pada negara yang sama, atau bahkan dunia yang sama. Kamu terlalu jauh, Dita.... gumamku.

Aku menarik napas panjang. Batinku bergejolak. Hhhhh.... jelas kau akan berada di tempat yang

indah, Dit.... Tuhan terlalu bangga menjadikanmu sebagai salah satu bidadarinya di sana.

Aku datang, sekarang.... hanya untuk menunjukkan kepadamu, betapa banyak angsa kertas yang

telah kubuat dari pelajaranku bersamamu. Semuanya ku kembalikan padamu. Biarlah mereka

menjadi teman sang bidadari di tempat tertinggi dengan kepakan sayapnya.

Aku masih tidak bisa menerima,

Tapi aku tahu, kau akan tetap bersamaku, sekalipun itu merupakan waktu empat tahun setelah

saat itu.

....

Suara bedug subuhhari membuyarkan lamunan dan layangan memoriku sedari malam tadi.

Hhh... Sudah delapan tahun rupanya. Aku bingung, apakah ini terlalu cepat? Atau memang

waktu berjalan lambat di pikiranku. Namun satu hal yag takkan mungkin kubiarkan bergulir

bersama waktu. Aku jelas takkan pernah malu, karena kepergianmu sebagai pengidap aids. Dan

akan selalu begitu, aku takkan malu. Aku tidak pernah menyangka, begitu banyak aku telah

belajar dari kepergianmu.


Sekarang, kau dengar?

Sudah kuceritakan deretan cerita lain darimu.

Tutuplah telinga jika kau tak ingin mendengar apa yang mereka katakan.

Karena di sini,

di dalam hati ini, aku akan terus menjadi pendengar

karena aku telah terpatri menjadi murid yang terus belajar darimu...

dari empat tahun dari saat itu, sampai saat kita benar-benar bersama.

Selamat Jalan, Dita..

Sleman, Juli 2012

Anda mungkin juga menyukai