Chapter 2
Chapter 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Definisi
Abses peritonsil (Quinsy) adalah kumpulan nanah/pus dalam ruang
peritonsil, diantara kapsul fibrous tonsil dengan muskulus konstriktor
faringeal superior, biasanya pada bagian kutub atas (Cowan, 1997;
Dingra, 2007).
Etiologi
Patogenesis
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar sehingga infiltrasi atau supurasi ke ruang peritonsil tersering
menempati area ini, sehingga palatum mole tampak membengkak. Infeksi
biasanya berasal dari kripta magna yang ada di dekat kutub atas
(Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).
Pada stadium permulaan ditandai dengan area infiltrat yang
bengkak dan hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga
daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong
tonsil dan uvula kearah kontralateral (Ballenger, 1997; Surarso, 2011).
Bila proses peradangan berlanjut ke area sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada muskulus pterigoid interna sehingga timbul
trismus. Abses peritonsil dapat pecah spontan dan menimbulkan
komplikasi aspirasi ke paru (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).
Dalam penelitian terbaru menyatakan adanya keterlibatan kelenjar
weber yang berperan dalam terjadinya abses peritonsil. Kelenjar weber
merupakan kumpulan sekitar 20-25 kelenjar ludah yang berada langsung
diatas rongga tonsil, didalam palatum mole dan dihubungkan dengan
permukaan tonsil oleh sebuah saluran. Kelenjar weber berperan untuk
membersihkan daerah tonsil dari debris dan sisa-sisa makanan yang
terperangkap. Jika kelenjar weber mengalami inflamasi dapat terjadi
selulitis lokal. Pada proses infeksi yang berlanjut terus, saluran yang
berbeda pada permukaan tonsil menjadi tersumbat. Nekrosis jaringan dan
Tanda-tanda Klinis
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus.
Orofaring terlihat asimetris. Palatum mole tampak membengkak dan
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan (Steyer, 2002; Dhingra, 2007):
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Aspirasi abses
Aspirasi abses merupakan gold standard untuk menegakkan
diagnosa abses peritonsil
4. Pemeriksaan laboratorium
Pus yang didapat dari tindakan aspirasi dikirim ke laboratorium
untuk dilakukan pewarnaan gram dan kultur untuk menentukan
regimen terapi yang sesuai
5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan
diagnosa abses peritonsil adalah CT Scan dan MRI.
Penatalaksanaan
A. Konservatif
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis tinggi dan obat
simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres
dingin pada leher. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri
dapat diberikan analgetik (lokal) dengan menyuntikkan xylocain atau
novocaine 1% di ganglion sfenopalatina. Ganglion ini terletak di bagian
belakang atas lateral dari konka media. Ganglion sfenopalatina
mempunyai nervus palatina anterior, media dan posterior yang
mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum molle di atas tonsil.
Komplikasi
Abses dapat pecah spontan dan menyebabkan perdarahan dan
aspirasi paru (Lee KJ, 1997; Surarso, 2011).
1. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring yang dapat
menyebabkan abses parafaring. Penyebaran infeksi melalui m.
konstriktor faringeus superior dapat menyebabkan abses parafaring
dimana bagian luar tonsil terikat longgar pada m. konstriktor
faringeus superior.
2. Infeksi meluas masuk ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis. Infeksi dapat turun ke bawah (mediastinum) melalui
ruang visceral vascular. Ruangan ini adalah ruang potensial dalam
carotid sheath yang berada mulai dari dasar tengkorak hingga ke
medistinum dan menerima kontribusi dari seluruh tiga lapisan fasia
profunda dan dapat menjadi tempat infeksi sekunder yang
menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher dalam termasuk
dari ruang peritonsil.
3. Bila abses menjalar ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak. Infeksi dapat
menyebar ke atas (intrakranial) melalui ruang visceral vascular
yang mulai dari dasar tengkorak menyebabkan trombus sinus
kavernosus. Abses peritonsil yang berkomplikasi menjadi abses
parafaring dapat meluas ke intrakranial dimana dasar ruang
parafaring berada di dasar tengkorak (pars petrosus os temporal
dan os sfenoid)
Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang
retrofaring ialah (Facruddin 2007):
1. Infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfadenitis
retrofaring.
2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang
ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi
endotrakea dan endoskopi.
3. Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).
Penatalaksanaan
A. Medikamentosa
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi,
untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral.
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk membasmi infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah komplikasi.
B. Tindakan bedah
Dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskop langsung
dalam posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera
diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam
analgesia lokal atau anesthesia umum. Pasien dirawat inap sampai
gejala dan tanda infeksi reda. Kadang-kadang, intubasi endotrakeal
atau krikotirotomi mungkin diperlukan jika pasien menunjukkan
tanda-tanda obstruksi saluran napas atas (Fachruddin, 2007; Khan
JH, 2010).
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang
parafaring, ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan napas
sampai asfiksia. Bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan
tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung
jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan
otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang
parafaring dari fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil,
faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat
merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan
tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT Scan (Bailey, 2006;
Fachruddin,2007).
Terapi
Terapi yang berhasil mencakup perbaikan jalan napas, antibiotik
parenteral, dan drainase bedah. Drainase eksternal adalah melalui fosa
submaksillaris seperti yang dijelaskan oleh Mosher tahun 1929 (Bailey,
2006).
Untuk terapi medikammentosa pada abses parafaring adalah
dengan pemberian antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap
kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila
tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara
eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral
(Surarso, 2011).
Insisi dari luar dilakukan 2 jari di bawah dan sejajar mandibula.
Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.
sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial
mandibula dan m. pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen
atau langsung ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung
karotis mencapai mediastinum. Komplikasi yang paling berbahaya dari
infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah
sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Juga dapat
terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis
interna. Komplikasi ini dapat memberi kesan dengan adanya perdarahan
awal yang kecil (perdarahan tersamar) (Adam, 1997; Fachruddin, 2007).
Etiologi
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus
terkadang sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan
Terapi
Etiologi
Penyebab angina ludovici adalah trauma bagian dalam mulut,
infeksi lokal pada mulut, karies gigi, terutama gigi molar dan premolar,
tonsillitis dan peritonsilitis, trauma pada ekstraksi gigi, angina vincent,
erysipelas wajah, otitis media dan eksterna serta ulkus pada bibir dan
hidung. Jika infeksi berasal dari gigi, organism pembentuk gas tipe
anaerob sangat dominan. Jika infeksi bukan berasal dari gigi, biasanya
disebabkan oleh streptokokus (Adam, 1997).
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, gejala dan
tanda klinik. Pada Pseudo Angina Ludovici, dapat terjadi fluktuasi
(Fachruddin, 2007).
Diagnosis menurut kriteria Grodinsky yaitu :
Keterlibatan secara bilateral atau lebih ruang leher dalam
Gangren yang disertai dengan pus serosanguinous
Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai
struktur kelenjar.
Penyebaran melalui ruang fasial lebih sering daripada melalui sistem
limfatik (Lemonick, 2002).
Terapi
Sebagai gold standard dalam penanganan angina ludovici adalah
bebaskan jalan nafas, kemudian diberikan terapi antibiotika dengan dosis
tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan diberikan secara parenteral.
Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi
(mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada angina ludovici jarang
terdapat pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis tengah
secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula), dengan
demikian menghentikan ketegangan yang terbentuk di dasar mulut.
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah (Medina, 2005; Facruddin,
2007):
1. Sumbatan jalan napas
2. Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum
3. Sepsis
2.13. Kekerapan
Lee dan kawan-kawan (2007) melaporkan 158 kasus infeksi leher
dalam dari tahun 1995-2004. Ditemukan 89 penderita laki-laki dan 69
penderita perempuan. Usia penderita mulai dari 1-89 tahun dengan nilai
umur rata-rata 35,4 tahun.
Yang dan kawan-kawan (2008) pada 100 kasus infeksi leher dalam
yang dilakukan April 2001 sampai Oktober 2006 mendapatkan
perbandingan laki-laki dan perempuan 3:2. Usia 1-88 tahun dengan nilai
rata-rata usia 49,2 tahun. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial
Keluhan Utama
Etiologi Gejala Klinis
Umur Infeksi Leher Dalam Lokasi
Jenis Kelamin Mikrobiologi
Radiologi
Peritonsil
Retrofaring
Parafaring
Submandibula
Penatalaksanaan Penatalaksanaan