Anda di halaman 1dari 12

Guru Seks Terbaik

Guru Seks Terbaik - Umurku sekarang sudah 30 tahun. Sampai sekarang aku masih
hidup membujang, meskipun sebenarnya aku sudah sangat siap kalau mau menikah.
Meskipun aku belum tergolong orang yang berpenghasilan wah, namun aku tergolong
orang yang sudah cukup mapan, punya posisi menengah di tempat kerjaku sekarang. Aku
sampai sekarang masih malas untuk menikah, dan memilih menikmati hidup sebagai
petualang, dari satu wanita ke wanita yang lain. Kisahku sebagai petualang ini, dimulai
dari sebuah kejadian kira-kira 12 tahun yang lalu.

Waktu itu aku masih kelas 3 SMU. Hari itu aku ada janji dengan Agus, sahabatku di
sekolah. Rencananya dia mau mengajakku jalan-jalan ke Mall xxxx sekedar
menghilangkan kepenatan setelah seminggu penuh digojlok latihan sepak bola habis-
habisan. Sejam lebih aku menunggu di warung depan gang rumah pamanku (aku tinggal
numpang di rumah paman, karena aku sekolah di kota yang jauh dari tempat tinggal
orangtuaku yang di desa). Jalan ke Mall xxxx dari rumah Agus melewati tempat tinggal
pamanku itu, jadi janjinya aku disuruh menunggu di warung pinggir jalan seperti biasa.
Aku mulai gelisah, karena biasanya Agus selalu tepat janji. Akhirnya aku menuju ke
telepon umum yang ada di dekat situ, pengin nelpon ke rumah Agus, memastikan dia
sudah berangkat atau belum (waktu itu HP belum musim bro, paling juga pager yang
sudah ada, tapi itupun kami tidak punya).

Sialan.. telkom ini, barang rongsokan di pasang di sini!, gerutuku karena telpon koin
yang kumasukkan keluar terus dan keluar terus. Setelah uring-uringan sebentar,
akhirnya kuputuskan untuk ke rumah Agus. Keputusan ini sebenarnya agak konyol,
karena itu berarti aku berbalik arah dan menjauh dari Mall xxxx tujuan kami, belum lagi
kemungkinan bersimpang jalan dengan Agus. Tapi, kegelisahanku mengalahkan
pertimbangan itu. Akhirnya, setelah titip pesan pada penjual di warung kalau-kalau Agus
datang, aku langsung menyetop angkot dan menuju ke rumah Agus.

Sesampai di rumah Agus, kulihat suasananya sepi. Padahal sore-sore begitu biasanya
anggota keluarga Agus (Papa, Mama dan adik-adik Agus, serta kadang pembantunya)
pada ngobrol di teras rumah atau main badminton di gang depan rumah. Setelah
celingak-celinguk beberapa saat, kulihat pembantu di rumah Agus keluar dari pintu
samping.

Bi.. Bibi.. kok sepi.. pada kemana yah? tanyaku. Aku terbilang sering main ke rumah
Agus, begitu juga sebaliknya Agus sering main ke rumah pamanku, tempatku tinggal. Jadi
aku sudah kenal baik dengan semua penghuni rumah Agus, termasuk pembantu dan
sopir papanya.

Eh, mas Didik.. pada pergi mas, pada ikut ndoro kakung (juragan laki-laki). Yang ada di
rumah cuman ndoro putri (juragan wanita), jawabnya dengan ramah.

Oh.. jadi Agus ikut pergi juga ya Bi. Ya sudah kalau begitu, lain waktu saja saya ke sini
lagi, jawabku sambil mau pergi.

Lho, nggak mampir dulu mas Didik. Mbok ya minum-minum dulu, biar capeknya
hilang.

Makasih Bi, sudah sore ini, jawabku.

Baru aku mau beranjak pulang, pintu depan tiba-tiba terbuka. Ternyata Tante Ani, mama
Agus yang membuka pintu.

Bibi ini gimana sih, ada tamu kok nggak disuruh masuk?, katanya sambil sedikit
mendelik pada si pembantu.

Udah ndoro, sudah saya suruh duduk dulu, tapi mas Didik nggak mau, jawabnya.

Eh, nak Didik. Kenapa di luaran aja. Ayo masuk dulu, kata Tante Ani lagi.

Makasih tante. Lain waktu aja saya main lagi tante, jawabku.

Ah, kamu ini kayak sama orang lain saja. Ayo masuk sebentar lah, udah datang jauh-
jauh kok ya balik lagi. Ayo masuk, biar dibikin minum sama bibi dulu, kata Tante Ani
lagi sambil melambai ke arahku.

Aku tidak bisa lagi menolak, takut membuat Tante Ani tersinggung. Kemudian aku
melangkah masuk dan duduk di teras, sementara Tante Ani masih berdiri di depan pintu.

Nak Didik, duduk di dalem saja. Tante lagi kurang enak badan, tante nanti nggak bisa
nemenin kamu kalau duduk di luar.
Ya tante, jawabku sambil masuk ke rumah dengan perasaan setengah sungkan.

Agus ikut Om pergi kemana sih tante? tanyaku basa-basi setelah duduk di sofa di ruang
tamu.

Pada ke *kota X*, ke rumah kakek. Mendadak sih tadi pagi. Soalnya om-mu itu kan
jarang sekali libur. Sekali boleh cuti, langsung mau nengok kakek.

Ehm.. tante nggak ikut?

Besuk pagi rencananya tante nyusul. Soalnya hari ini tadi tante nggak bisa ninggalin
kantor, masih ada yang mesti diselesaiin, jawab Tante Ani. Emangnya Agus nggak
ngasih tahu kamu kalau dia pergi?

Nggak tante, jawabku sambil sedikit terheran-heran. Tidak biasanya Tante Ani
menyebutku dengan kamu. Biasanya dia menyebutku dengan nak Didik.

Kok bengong! Tanya Tante Ani membuatku kaget.

Eh.. anu.. eh.., aku tergugup-gugup.

Ona-anu, ona-anu. Emang anunya siapa? Tante Ani meledek kegugupanku yang
membuatku makin jengah. Untung Bibi segera datang membawa secangkir teh hangat,
sehingga rasa jengahku tidak berkepanjangan.

Mas Didik, silakan tehnya dicicipin, keburu dingin nggak enak, kata bibi sambil
menghidangkan teh di depanku.

Makasih Bi, jawabku pelan.

Itu tehnya diminum ya, tante mau mandi dulu.. bau, kata Tante Ani sambil tersenyum.
Setelah itu Tante Ani dan pembantunya masuk ke ruang tengah. Sementara aku mulai
membaca-baca koran yang ada di meja untuk.

Hampir setengah jam aku sendirian membaca koran di ruang tamu, sampai akhirnya
Tante Ani nampak keluar dari ruang tengah. Dia memakai T-shirt warna putih dipadu
dengan celana ketat di bawah lutut. Harus kuakui, meskipun umurnya sudah 40-an
namun badannya masih bagus. Kulitnya putih bersih, dan wajahnya meskipun sudah
mulai ada kerut di sana-sini, tapi masih jelas menampakkan sisa-sisa kecantikannya.

Eh, ngapain kamu ngliatin tante kayak gitu. Heran ya liat nenek-nenek.

Mati aku! kataku dalam hati. Ternyata Tante Ani tahu sedang aku perhatikan. Aku
hanya bisa menunduk malu, mungkin wajahku saat itu sudah seperti udang rebus.

Heh, malah bengong lagi, katanya lagi. Kali ini aku sempat melihat Tante Ani
tersenyum yang membuatku sedikit lega tahu kalau dia tidak marah.
Maaf tante, nggak sengaja, jawabku sekenanya.

Mana ada nggak sengaja. Kalau sebentar itu nggak sengaja, lha ini lama gitu ngeliatnya,
kata Tante Ani lagi. Meskipun masih merasa malu, namun aku agak tenang karena kata-
kata Tante Ani sama sekali tidak menunjukkan sedang marah.

Kata Agus, kamu mau pertandingan sepakbola di sekolah ya? Tanya Tante Ani.

Eh, iya tante. Pertandingan antar SMU se-kota. Tapi masih dua minggu lagi kok tante,
sekarang-sekarang ini baru tahap penggojlokan, Aku sudah mulai tenang kembali.

Pelajaran kamu terganggu nggak?

Ya sebenarnya lumayan menggangu tante, habisnya latihannya belakangan ini berat


banget, soalnya sekolah sengaja mendatangkan pelatih sepakbola beneran. Tapi, sekolah
juga ngasih dispensasi kok tante. Jadi kalau capeknya nggak ketulungan, kami dikasih
kesempatan untuk nggak ikut pelajaran. Kalau nggak begitu, nggak tahu lah tante.
Soalnya kalau badan udah pegel-pegel, ikut pelajaranpun nggak konsen.

Kalau pegel-pegel kan tinggal dipijit saja, kata Tante Ani.

Masalahnya siapa yang mau mijit tante?

Tante mau kok, jawab Tante Ani tiba-tiba.

Ah, tante ini becanda aja, kataku.

Eh, ini beneran. Tante mau mijitin kalau memang kamu pegel-pegel. Kalau nggak
percaya, sini tante pijit, katanya lagi.

Enggak ah tante. Ya, saya nggak berani tante. Nggak sopan, jawabku sambil menunduk
setelah melihat Tante Ani nampak sungguh-sungguh dengan kata-katanya.

Lho, kan tante sendiri yang nawarin, jadi nggak ada lagi kata nggak sopan. Ayo sini tante
pijit, katanya sambil memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sebelahnya. Penyakit
gugupku kambuh lagi. Aku hanya diam menunduk sambil mempermainkan jari-jariku.

Ya udah, kalau kamu sungkan biar tante ke situ, katanya sambil berjalan ke arahku.
Sebentar kemudian sambil berdiri di samping sofa, Tante Ani memijat kedua belah
pundakku. Aku hanya terdiam, tidak tahu persis seperti apa perasaanku saat itu.

Setelah beberapa menit, Tante Ani menghentikan pijitannya. Kemudian dia masuk ke
ruang tengah sambil memberi isyarat padaku agar menunggu. Aku tidak tahu persis apa
yang dilakukan Tante Ani setelah itu. Yang aku tahu, aku sempat melihat bibi pembantu
keluar rumah melalui pintu samping, yang tidak lama kemudian disusul Tante Ani yang
keluar lagi dari ruang tengah.
Bibi tante suruh beli kue. Kue di rumah sudah habis, katanya seolah menjawab
pertanyaan yang tidak sempat kuucapkan. Ayo sini tante lanjutin mijitnya. Pindah ke
sini aja biar lebih enak, kali itu aku hanya menurut saja pindah ke sofa panjang seperti
yang disuruh Tante Ani. Kemudian aku disuruh duduk menyamping dan Tante Ani duduk
di belakangku sambil mulai memijit lagi.

Gimana, enak nggak dipijit tante? Tanya Tante Ani sambil tangannya terus memijitku.
Aku hanya mengangguk pelan.

Biar lebih enak, kaosnya dibuka aja, kata Tante Ani kemudian. Aku diam saja.
Bagaimana mungkin aku berani membuka kaosku, apalagi perasaanku saat itu sudah
tidak karuan.

Ya sudah. Kalau gitu, biar tante bantu bukain, katanya sambil menaikkan bagian bawah
kaosku. Seperti kena sihir aku menurut saja dan mengangkat kedua tanganku saat Tante
Ani membuka kaosku.

Setelah itu Tante Ani kembali memijitku. Sekarang tidak lagi hanya pundakku, tapi mulai
memijit punggung dan kadang pinggangku. Perasaanku kembali tidak karuan, bukan
hanya pijitannya kini, tapi sepasang benda empuk sering menyentuh bahkan kadang
menekan punggungku. Meski seumur-umur aku belum pernah menyentuh payudara,
tapi aku bisa tahu bahwa benda empuk yang menekan punggungku itu adalah sepasang
payudara Tante Ani.

Beberapa lama aku berada dalam situasi antara merasa nyaman, malu dan gugup
sekaligus, sampai akhirnya aku merasakan ada benda halus menelusup bagian depan
celanaku. Aku terbelalak begitu mengetahui yang menelusup itu adalah tangan Tante Ani.

Tante.. kataku lirih tanpa aku sendiri tahu maksud kataku itu. Tante Ani seperti tidak
mempedulikanku, dia malah sudah bergeser ke sampingku dan mulai membuka kancing
serta retsluiting celanaku. Sementara itu aku hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat
apa. Sampai akhirnya aku mulai bisa melihat dan merasakan Tante Ani mengelus penisku
dari luar CD-ku.

Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Sesuatu yang baru pertama kali itu aku rasakan.
Belum lagi aku sadar sepenuhnya apa yang terjadi, aku mendapati penisku sudah
menyembul keluar dan Tante Ani sudah menggenggamnya sambil sesekali membelai-
belainya. Setelah itu aku lebih sering memejamkan mata sambil sekali-kali melirik ke
arah penisku yang sudah jadi mainan Tante Ani.

Tak berapa lama kemudian aku merasakan kenikmatan yang jauh lebih mencengangkan.
Kepala penisku seperti masuk ke satu lubang yang hangat. Ketika aku melirik lagi,
kudapati kepala penisku sudah masuk ke mulut Tante Ani, sementara tangannya naik
turun mengocok batang penisku. Aku hanya bisa terpejam sambil mendesis-desis
keenakan. Beberapa menit kemudian aku merasakan seluruh tubuhku mulai mengejang.
Aku merasakan Tante Ani melepaskan penisku dari mulutnya, tapi mempercepat
kocokan pada batang penisku.
Sssshhhh.. creettt creett Sambil mendesis menikmati sensasi rasa yang luar biasa
aku merasakan cairan hangat menyemprot sampai ke dadaku, cairan air mani ku sendiri.

Ah, dasar anak muda, baru segitu aja udah keluar, Tante Ani berbisik di dekat telingaku.
Aku hanya menatap kosong ke wajah Tante Ani, yang aku tahu tangannya tidak berhenti
mengelus-elus penisku. Tapi ini juga kelebihan anak muda. Udah keluarpun, masih
kenceng begini, bisik Tante Ani lagi.

Cerita Sex Dengan Guru -


Setelah itu aku lihat Tante Ani
melepas T-Shirtnya, kemudian
berturut-turut, BH, celana dan
CD-nya. Aku terus terbelalak
melihat pemandangan seperti
itu. Dan Tante Ani seperti
tidak peduli kemudian
meluruskan posisi ku,
kemudian dia mengangkang
duduk di atasku. Selanjutnya
aku merasakan penisku
digenggam lagi, kali ini di
arahkan ke selangkangan
Tante Ani.

Sleppp. Aaaaahhhhh
suara penisku menembus
vagina Tante Ani diiringi
desahan panjangnya.
Kemudian Tante Ani bergerak
turun naik dengan cepat sambil
mendesah-desah. Mulutnya
terkadang menciumi dada,
leher dan bibirku.

Ada beberapa menit Tante Ani


bergerak naik turun, sampai
akhirnya dia mempercepat
gerakannya dan mulai
menjerit-jerit kecil dengan liarnya. Akupun kembali merasakan kenikmatan yang luar
biasa. Tak lama kemudian

Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh.. , Tante Ani melenguh panjang, bersamaan dengan


teriakanku yang kembali merasakan puncak yang kedua kali. Setelah itu Tante Ani
terkulai, merebahkan kepalanya di dadaku sambil memeluk pundakku.

Terima kasih Dik, bisiknya lirih diteruskan kecupan ke bibirku.


Sejak kejadian itu, aku mengalami syok. Rasa takut dan bersalah mulai menghantui aku.
Sulit membayangkan seandainya Agus mengetahui kejadian itu. Perubahan besar mulai
terjadi pada diriku, aku mulai sering menyendiri dan melamun.

Namun selain rasa takut dan bersalah, ada perasaan lain yang menghinggapi aku. Aku
sering terbayang-bayang Tante Ani dia telanjang bulat di depanku, terutama waktu
malam hari, sehingga aku tiap malam susah tidur. Selain seperti ada dorongan keinginan
untuk mengulangi lagi apa yang telah Tante Ani lakukan padaku.

Perubahan pada diriku ternyata dirasakan juga oleh paman dan bibiku dan juga teman-
temanku, termasuk Agus. Tentu saja aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Situasi seperti itu berlangsung sampai seminggu lebih yang membuat kesehatanku mulai
drop akibat tiap malam susah tidur, dan paginya tetap kupaksakan masuk sekolah. Akibat
dari itu pula, akhirnya aku memilih mundur dari tim sepakbola sekolahku, karena
kondisiku tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti latihan-latihan berat.

Kira-kira seminggu setelah kejadian itu, aku berjalan sendirian di trotoar sepulang
sekolah. Aku menuju halte yang jaraknya sekitar 300 meter dari sekolahku. Sebenarnya
persis di depan sekolahku juga ada halte untuk bus kota, namun aku memilih halte yang
lebih sepi agar tidak perlu menunggu bus bareng teman-teman sekolahku.

Saat asyik berjalan sambil menunduk, aku dikejutkan mobil yang tiba-tiba merapat dan
berhenti agak di depanku. Lebih terkejut lagi saat tahu itu mobil itu mobil papanya Agus.
Setelah memperhatikan isi dalam mobil, jantungku berdesir. Tante Ani yang mengendari
mobil itu, dan sendirian.

Dik, cepetan masuk, ntar keburu ketahuan yang lain, panggil Tante Ani sambil
membuka pintu depan sebelah kiri. Sementara aku hanya berdiri tanpa bereaksi apa-apa.

Cepetan sini! kali ini suara Tante Ani lebih keras dan wajahnya menyiratkan
kecemasan.

I.. Iya.. tante, akhirnya aku menuruti panggilan Tante Ani, dan bergegas masuk mobil.

Nah, gitu. Keburu ketahuan temen-temenmu, repot. kata Tante Ani sambil langsung
menjalankan mobilnya.

Di dalam mobil aku hanya diam saja, meskipun aku bisa sedikit melihat Tante Ani
beberapa kali menengok padaku.

Tumben kamu nggak bareng Agus, Tanya Tante Ani tiba-tiba.

Enn.. Enggak tante. Saya lagi pengin sendirian saja. Tante nggak sekalian jemput Agus?
aku sudah mulai menguasai diriku.

Kan, emang Agus nggak pernah dijemput, jawab Tante Ani.


Eh, iya ya, jawabku seperti orang bloon.

Setelah itu kami lebih banyak diam. Tante Ani mengemudikan mobilnya dengan
kecepatan sedang. Setelah sampai di sebuah komplek pertokoan Tante Ani melambatkan
mobilnya sambil melihat-lihat mungkin mencari tempat parkir yang kosong. Setelah
memarkirkan mobilnya, yang sepertinya mencari tempat yang agak jauh dari pusat
pertokoan, Tante Ani mengajak aku turun.

Setelah turun, Tante Ani langsung menyetop taksi yang kebetulan sedang melintas.
Terlihat dia bercakap-cakap dengan sopir taksi sebentar, kemudian langsung
memanggilku supaya ikut naik taksi. Setelah masuk taksi, Tante Ani memberi isyarat
padaku yang terbengong-bengong supaya diam, kemudian dia menyandarkan kepalanya
pada jok taksi dan memejamkan matanya, entah kecapaian atau apa. Kira-kira 20 menit
kemudian taksi memasuki pelataran sebuah hotel di pinggiran kota.

Dik, kamu masuk duluan, kamu langsung aja. Ada kamar nganggur yang habis dipakai
tamu kantor tante. Nanti tante nyusul, kata Tante Ani memberikan kunci kamar hotel
sambil setengah mendorongku agar keluar.

Kemudian aku masuk ke hotel, aku memilih langsung mencari petunjuk yang ada di hotel
itu daripada tanya ke resepsionis. Dan memang tidak sulit untuk mencari kamar dengan
nomor seperti yang tertera di kunci. Singkat cerita aku sudah masuk ke kamar, namun
hanya duduk-duduk saja di situ.

Kira-kira 15 menit kemudian terdengar ketukan di pintu kamar, ternyata Tante Ani. Dia
langsung masuk dan duduk di pinggir ranjang.

Agus bilang kamu keluar dari tim sepakbola ya?! tanyanya tanpa ba-bi-bu dengan nada
agak tinggi.

I.. iya tante, jawabku pelan.

Kamu juga nggak pernah lagi kumpul sama temen-temen kamu, nggak pernah main lagi
sama Agus, Tante Ani menyemprotku yang hanya bisa diam tertunduk.

Kamu tahu, itu bahaya. Orang-orang dan keluargaku bisa tahu apa yang sudah terjadi..
, kata-kata Tante Ani terputus dan terdengar mulai sedikit sesenggukan.

Tapi.. saya nggak pernah ngasih tahu siapa-siapa, kataku.

Memang kamu belum ngasih tahu, tapi kalau ditanyain terus-terusan bisa-bisa kamu
cerita juga, katanya lagi sambil sesenggukan. Apa yang terjadi dengan keluarga tante
jika semuanya tahu!

Tante memang salah, tante yang membuat kamu jadi begitu, kata Tante Ani, kali ini
agak lirih sambil menahan tangisnya. Tapi kalau kamu merasakan seperti yang tante
rasakan.. terputus lagi.
Merasakan apa tante?

Akhirnya Tante Ani cerita panjang lebar tentang rumah tangganya. Tentang suaminya
yang sibuk mengejar karir, sehingga hampir tiap hari pulang malam, dan jarang libur.
Tentang kehidupan seksualnya sebagai akibat dari kesibukan suaminya, serta beratnya
menahan hasrat biologisnya akibat dari semua itu.

Kalau kamu mau marah, marahlah. Entah kenapa, tante nggak sanggup lagi menahan
dorongan birahi waktu kamu ke rumah minggu kemarin. Terserah kamu mau
menganggap tante kayak apa, yang penting kamu sudah tahu masalah tante. Sekarang
kalau mau pulang, pulanglah, tante yang ngongkosin taksinya, kata Tante Ani lirih
sambil membuka tasnya, mungkin mau mengeluarkan dompet.

Nggak.. nggak usah tante.. aku mencegah. Saya belum mau pulang, saya nggak mau
membiarkan tante dalam kesedihan. Entah pengaruh apa yang bisa membuatku seketika
bisa bersikap gagah seperti itu. Aku hampiri Tante Ani, aku elus-elus kepalanya. Hilang
sudah perasaan sungkanku padanya. Tante Ani kemudian memeluk pinggangku dan
membenamkan kepalanya dalam pelukanku.

Setelah beberapa lama, aku duduk di samping Tante Ani. Kuusap-usap dan sibakkan
rambutnya. Kusap pipinya dari airmata yang masih mengalir. Pelahan kucium
keningnya. Kemudian, entah siapa yang mulai tiba-tiba bibir kami sudah saling bertemu.
Ternyata, kalau tidak sedang merasa sungkan atau takut, aku cukup lancar juga
mengikuti naluri kelelakianku.

Cukup lama kami berciuman bibir, dan makin lama makin liar. Aku mulai mengusap
punggung Tante Ani yang masih memakai baju lengkap, dan kadang turun untuk
meremas pantatnya. Tante Ani pun melakukan hal yang sama padaku.

Tante Ani sepertinya kurang puas bercumbu dengan pakaian lengkap. Tangannya mulai
membuka kancing baju seragam SMU-ku, kemudian dilepasnya berikut kaos dalam ku.
Kemudian dia melepaskan pelukanku dan berdiri. Pelan-pelan dia membuka pakain
luarnya, sampai hanya memakai CD dan BH. Meskipun aku sudah melihat Tante Ani
telanjang, tapi pemandangan yang sekarang ada di depanku jauh membuat nafsuku
bergejolak, meskipun masih tertutup CD dan BH. Aku langsung berdiri, kupeluk dan
kudorong ke arah dinding, sampai kepala Tante Ani membentur dinding, meski tidak
begitu keras.

Ah, pelan-pelan doonnng, kata Tante Ani manja diiringi desahannya desahannya.

Aku semakin liar saja. Kupagut lagi bibir Tante Ani, sambil tanganku meremas-remas
buah dadanya yang masih memakai BH. Tante Ani tidak mau kalah, bahkan tangannya
sudah mulai melepaskan melorotkan celana luar dan dalamku. Kemudian, diteruskannya
dengan menginjaknya agar bisa melorot sempurna. Aku bantu upaya Tante Ani itu
dengan mengangkat kakiku bergantian, sehingga akhirnya aku sudah telanjang bulat.
Setelah itu Tante Ani membantuku membuka pengait BH-nya yang ada di belakang.
Rupanya dia tahu aku kesulitan untuk membuka BH-nya. Sekarang aku leluasa meremas-
remas kedua buah dada Tante Ani yang cukup besar itu, sedang Tante Ani mulai
mengelus dan kadang mengocok penisku yang sudah sangat tegang.

Kemudian tante setengah menjambak Tante Ani mendorong kepalaku di arahkan ke buah
dadanya yang sebelah kiri. Kini puting susu itu sudah ada di dalam mulutku, kuisap-isap
dan jilati mengikuti naluriku.

Aaaaahh.. oooouhghhh desahan Tante Ani makin keras sambil tangannya tak
berhenti mempermainkan penisku.

Beberapa kali aku isap puting susu Tante Ani bergantian, mengikuti sebelah mana yang
dia maui. Setelah puas buah dadanya aku mainkan, Tante Ani mendorong tubuhku pelan
ke belakang. Kemudian dia berputar, berjalan mundur sambil menarikku ke arah
ranjang. Sampai di pinggir ranjang, Tante Ani sengaja menjatuhkan dirinya sehingga
sekarang dia telentang dengan aku menindih di atasnya, sementara kakinya dan kakiku
masih menginjak lantai. Setelah itu, dia berusaha melorotkan CD-nya, yang kemudian
aku bantu sehinggap Tante Ani kini untuk kedua kalinya telanjang bulat di depanku.

Usai melepas CD-nya aku masih berdiri memelototi pemandangan di depanku. Tante Ani
yang telentang dengan nafas memburu dan mata agak saya menatapku. Gundukan di
selangkangannya yang ditumbuhi bulu tidak begitu lebat nampak benar menantang,
seperti menyembul didukung oleh kakinya yang masih menjuntai ke lantai. Bibir
vaginanya nampak mengkilap terkena cairan dari dalamnya. (Waktu itu aku belum bisa
menilai dan membanding-bandingkan buah dada, mana yang kencang, bagus dan
sebagainya. Paling hanya besar-kecilnya saja yang bisa aku perhatikan).

Sini sayaangg.. , panggil Tante Ani yang melihat aku berdiri memandangi tiap jengkal
tubuhnya. Aku menghampirinya, menindih dan mencoba memasukkan penisku ke
lubang vaginanya. Tapi, Tante Ani menahanku. Nampak dia menggeleng sambil
memandangku. Kemudian tiba-tiba kepalaku didorong kebawah. Terus didorong cukup
kuat sampai mulutku persis berada di depan lubang vaginanya. Setelah itu Tante Ani
berusaha agar mulutku menempel ke vaginanya. Awalnya aku ikuti, tapi setelah mencium
bau yang aneh dan sangat asing bagiku, aku agak melawan.

Mengetahui aku tidak mau mengikuti kemauannya, dia bangun. Ditariknya kedua
tanganku agar aku naik ke ranjang, ditelentangkannya tubuhku. Sempat aku melihat
bibirnya tersenyum, sebelum di mengangkang tepat di atas mulutku.

Bleepp aku agak gelagapan saat vagina Tante Ani ditempel dan ditekankan di
mulutku. Tante Ani memberi isyarat agar aku tidak melawan, kemudian pelan-pelan
vaginanya digesek-gesekkan ke mulutku, sambil mulutnya mendesis-desis tidak karuan.
Aku yang awalnya rada-rada jijik dengan cairan dari vagina Tante Ani, sudah mulai
familiar dan bisa menikmatinya. Bahkan, secara naluriah, kemudian ku keluarkan
lidahku sehingga masuk ke lubang vagina Tante Ani.
Oooohhh sssshhh pinter kamu sayang oh gerakan Tante Ani makin cepat sambil
meracau. Tiba-tiba, dia memutar badannya. Kagetku hanya sejenak, berganti kenikmatan
yang luar biasa setelah penisku masuk ke mulut Tante Ani. Aku merasakan kepala
penisku dikulum dan dijilatinya, sambil tangannya mengocok batang penisku. Sementara
itu, vaginanya masih menempel dimulutku, meskipun gesekannya sudah mulai
berkurang. Sambil menikmati aku mengelus kedua pantat Tante Ani yang persis berada
di depan mataku.

Setelah puas dengan permainan seperti itu, Tante Ani mulai berputar dan bergeser.
Masih mengangkang, tapi tidak lagi di atas mulutku, kali ini tepat di atas ujung penisku
yang tegak.

Sleep.. blesss ooooooooooooohhhhhh, penisku menancap sempurna di dalam vagina


Tante Ani diikuti desahan panjangnya, yang malah lebih mirip dengan lolongan.

Tante Ani bergerak naik turun sambil mulutnya meracau tidak karuan. Tidak seperti yang
pertama waktu di rumah Tante Ani, kali ini aku tidak pasif. Aku meremas kedua buah
dada Tante Ani yang semakin menambah tidak karuan racauannya. Rupanya, aksi Tante
Ani itu tidak lama, karena kulihat tubuhnya mulai mengejang. Setengah menyentak dia
luruskan kakinya dan menjatuhkan badannya ke badanku.

Ooooooooohhh. Aaaaaaaaahhh.. Tante Ani ambruk, terkulai lemas setelah


mencapai puncak.

Beberapa saat dia menikmati kepuasannya sambil terkulai di atasku, sampai kemudian
dia berguling ke samping tanpa melepas vaginanya dari penisku, dan menarik tubuhku
agar gantian menindihnya.

Sekaraang gantian aku mendorong keluar-masuk penisku dari posisi atas. Tante Ani terus
membelai rambut dan wajahku, tanpa berhenti tersenyum. Beberapa waktu kemudian
aku mempercepat sodokanku, karena terasa ada bendungan yang mau pecah.

Tanteeeeee. Oooooohhh. gantian aku yang melenguk panjang sambil


membenamkan penisku dalam-dalam. Tante Ani menarik tubuhku menempel ketat ke
dadanya, saat aku mencapai puncak.

Setelah sama-sama mencapai puncak kenikmatan, aku dan Tante Ani terus ngobrol
sambil tetap berpelukan yang diselingi dengan ciuman. Waktu ngobrol itu pula Tante Ani
banyak memberi tahu tentang seks, terutama bagian-bagian sensitif wanita serta
bagaimana meng-eksplor bagian-bagian sensitif itu.

Setelah jam 4 sore, Tante Ani mengajak pulang. Aku sebenarnya belum mau pulang, aku
mau bersetubuh sekali lagi. Tapi Tante Ani berkeras menolak.

Tante janji, kamu masih terus bisa menikmati tubuh tante ini. Tapi ingat, kamu harus
kembali bersikap seperti biasa, terutama pada Agus. Dan kamu harus kembali ke tim
sepakbola. Janji?
He-em, aku menganggukkan kepala.

Ingat, kalau kamu tepat janji, tante juga tepat janji. Tapi kalau kamu ingkar janji,
lupakan semuanya. Oke? Aku sekali mengangguk.

Sebelum aku dan Tante Ani memakai pakaian masing-masing, aku sempatkan mencium
bibir Tante Ani dan tak lupa bibir bawahnya. Setelah selesai berpakaian, Tante Ani
memberiku ongkos taksi dan menyuruhku pulang duluan.

Sejak itu perasaanku mulai ringan kembali, dan aku sudah normal kembali. Aku juga
bergabung kembali ke tim sepakbola sekolahku, yang untungnya masih diterima. Dari
sepakbola itulah yang kemudian memuluskan langkahku mencari kerja kelak. Dan Tante
Ani menepati janjinya. Dia benar-benar telah menjadi pasangan kencanku, dan guru sex-
ku sekaligus. Paling sedikit seminggu sekali kami melakukannya berpindah-pindah
tempat, dari hotel satu ke hotel yang lain, bahkan kadang-kadang keluar kota. Tentu saja
kami melakukannya memakai strategi yang matang dan hati-hati, agar tidak diketahui
orang lain, terutama keluarga Tante Ani.

Sejak itu pula aku mengalami perubahan yang cukup drastis, terutama dalam
pergaulanku dengan teman-teman cewek. Aku yang awalnya dikenal pemalu dan jarang
bergaul dengan teman cewek, mulai dikenal sebagai play boy. Sampai lulus SMU,
beberapa cewek baik dari sekolahku maupun dari sekolah lain sempat aku pacari, dan
beberapa di antaranya berhasil kuajak ke tempat tidur. (Lain waktu, kalau sempat saya
ceritakan petualangan saya tersebut).

Begitulah kisah awalku dengan Tante Ani, yang akhirnya merubah secara drastis
perjalanan hidupku ke depannya. Sampai saat ini, aku masih berhubungan dengan Tante
Ani, meskipun paling-paling sebulan atau dua bulan sekali. Meskipun dari segi daya tarik
seksual Tante Ani sudah jauh menurun, namun aku tidak mau melupakannya begitu saja.
Apalagi, Tante Ani tidak pernah berhubungan dengan pria lain, karena dianggapnya
resikonya terlalu besar.

Begitulah, Tante Ani yang terjepit antara hasrat seksual menggebu yang tak terpenuhi
dengan status sosial yang harus selalu dijaga

Guru Seks Terbaik, Guru Seks, Ngentod dengan Guru Seks, Bercinta dengan Guru Seks,
Ml Dengan Guru Seks, Guru Seksku, Guru Sex Terbaik, Cinta Satu Malam Dengan Guru
Sex, Guru Seks Terpanas, Cerita Sex Dengan Guru

Anda mungkin juga menyukai