BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
B. Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
1. Minor
SKG 13 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
SKG 9 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
SKG 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
C. Etiologi
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
Cedera akibat kekerasan.
D. Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi
patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang
sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau
karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala
membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua
kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan
ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai
kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera
fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom
intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar
secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera
ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar
pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
A. Manifestasi Klinis
Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
Kebungungan
Iritabel
Pucat
Mual dan muntah
Pusing kepala
Terdapat hematoma
Kecemasan
Sukar untuk dibangunkan
Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan
telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
B. Komplikasi
Hemorrhagie
Infeksi
Edema
Herniasi
C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
Rotgen Foto
CT Scan
MRI
D. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
E. Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran,
perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian
obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,
mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di
rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan
ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
Kesadaran GCS.
Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan
fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu,
anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
d. Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya
refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar tanyakan pola makan?
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter,
ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau afasia akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
B. Diagnosa
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan
tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan
intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
C. Intervensi Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal
nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran
bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala
ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan
pengisapan lendir.
Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 30
derajat.
Pemberian oksigen sesuai program.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan
tekanan intrakranial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak
menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi:
Tinggikan posisi kepala 15 30 derajat dengan posisi midline untuk menurunkan tekanan
vena jugularis.
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava
meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
tekanan pada vena leher.
pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi
(harus bersamaan).
Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic,
hindari percakapan yang emosional.
Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan
edema serebral.
Monitor intake dan out put.
Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak
menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi
pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:
Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan minum, mengenakan pakaian, BAK
dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
Perawatan kateter bila terpasang.
Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan,
seperti bagaimana cara memandikan anak.
Intervensi:
Kaji intake dan out put.
Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung
dan out put urine.
Berikan cairan intra vena sesuai program.
8. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan: Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah
dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan anak.
Intervensi:
Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
Gunakan komunikasi terapeutik.
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
b. Tulang tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu
frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun
disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan
fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (Syaifuddin 2006).
c. Selaput otak
1. Durameter
Adalah meningens terluar yang merupakan gabungan dari dua lapisan selaput yaitu: lapisan
bagian dalam (yang berlanjut ke durameter spinal) dan lapisan bagian luar (yang merupakan
lapisan periosteum tengkorak). Lapisan bagian dalam akan melebar serta melekuk membeentuk
sekat-sekat otak (falks, tentorium). Lapisan bagian luar merupakan jaringan fibrosa yang lebih
padat dan mengandung vena serta arteri untuk memberi makan tulang. Gabungan kedua lapisan
ini melekat erat dengan permukaan dalam tulang sehingga tidak ada celah diantaranya. Kedua
lapisan durameter ini pada lokasi-lokasi tertentu akan terpissah dan membentuk rongga (sinus
durameter) berisi darah vena serta berfungsi untuk drainase otak. Dibawah durameter terdapat
rongga subdural yang tidak berisi liquor cerebro spinalis.
2. Arakhnoid
Arakhnoid merupakan lapisan tengah antara durameter dan piameter. Di bawah lapisan ini
adalah rongga subarakhnoid yang mengandung trabekula dan dialiri liquor cerebro spinalis.
Lapisan arakhnoid tidak memiliki pembuluh darah, tetapi pada rongga subarakhnoid terdapat
pembuluh darah.
3. Piameter
Piameter merupakan lapisan selaput otak yang paling dalam yang langsung berhubungan dengan
permukaan jaringan otak serta mengikuti konvolusinya (Syaifuddin 2006).
d. Otak
Berat otak manusia sekitar 1.400 gram, tersusun oleh sekitar 100 triliun neuron. Masing-masing
neuron mempunyai 1.000 sampai 10.000 koneksi sinaps dengan sel saraf lainnya. Otak
merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal dan terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh
tulang yaitu kranium (tengkorak). Kranium ini secara absolut tidak dapat bertambah volumenya
terutama pada orang dewasa. Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung yaitu rambut,
kulit kepala, tengkorak, selaput otak (meningens), dan cairan otak (liquor cerebro spinalis). Otak
merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari
beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik
dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan (Satyanegara 2010).
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama Cerebral
Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan
manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa,
logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual
atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian ini.
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Keempat
Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus
Temporal.
a. Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak Besar. Lobus
ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi,
perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan,
kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
b. Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti
tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c. Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d. Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual
yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang
ditangkap oleh retina mata (Arif,2008).
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian
atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau
posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga
menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi
gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu
memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju(Arif,2008).
Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu, batang otak
sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur perasaan teritorial sebagai insting
primitif. Contohnya akan merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang yang tidak dikenal
terlalu dekat.
a. Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas dari
batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi
dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata,
mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
b. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju
bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi otomatis otak,
seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
c. Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan
formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur(Arif,2008).
Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat kerah baju. Limbik
berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama dimiliki juga oleh hewan
mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik antara lain
hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi
menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa
lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang. Bagian
terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah bagian
memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak(Arif,2008).
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan
CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari
(Satyanegara.2010).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa
kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)
(Satyanegara.2010).
g. Vaskularisasi otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis
(Satyanegara.2010).
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan
parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan
tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 10 mmHg . Kenaikan TIK dapat
menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.Prognosis yang buruk
terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap. Pada saat cedera,
segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam
keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka
TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang
dinamika TIK.Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep
ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie. Doktrin Monroe-Kellie menyatakan bahwa volume
total dalam kranium selalu tetap karena tulang tengkorak tidak elastis sehingga tidak bisa
mengembang jika ada penambahan volume. Pada kondisi normal, volume intrakranial terdiri dari
80% jaringan otak, 10% LCS, dan 10% darah. Peningkatan volume dari salah satu komponen ini,
atau adanya tambahan komponen patologis (misalnya hematom intrakranial), akan menimbulkan
kompensasi melalui penurunan volume dari komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan.
Bila terdapat penambahan masa seperti hematoma akan menyebabkan tergesernya LCS akan
terdesak melaui foramen magnum ke arah rongga sub-arakhnoid spinalis dan vena akan segera
mengempis/kolaps, dimana darah akan diperas keluar dari ruangan intrakranial melalui vena
jugularis atau melalui vena emisaria dan kulit kepala. Mekanisme kompensasi ini hanya
berlangsung sampai batas tertentu saja. Namun jika mekanisme kompensasi ini terlampaui maka
kenaikan volume sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.
Dengan meningkatnya aliran darah pada pembuluh darah otak, maka perdarahan intra cerebral
akan meningkat volumenya, sehingga dapat mendorong atau menekan masa otak. Otak yang
normal mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi aliran darah serebral. Autoregulasi
menjamin aliran darah konstan melalui pembuluh serebral di atas rentang tekanan perfusi dengan
mengubah diameter pembuluh darah dalam berespon terhadap tekanan perfusi serebral. Faktor-
faktor yang mengubah kemampuan pembuluh darah serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi,
seperti iskemia, hipoksia, hiperkapnea, dan trauma otak dapat mengganggu autoregulasi.
Karbon dioksida merupakan vasodilator yang paling potensi pada pembuluh serebral,
menyebabkan kenaikan aliran darah serebral yang mengakibatkan peningkatan volume
intrakranial, mengarah pada peningkatan tekanan intrakranial. Agar autoregulasi berfungsi, kadar
karbon dioksida harus dalam batasan yang dapat diterima dan tekanannya dalam batasan :
tekanan perfusi serebral di atas 60 mmHg, tekanan arteri rata-rata dibawah 160 mmHg dan
tekanan sistolik antara 60 160 mmHg dan, TIK di bawah 30 mmHg. Cedera otak juga dapat
merusak autoregulasi. Bila autoregulasi mengalami kerusakan, alirah darah serebral berfluktuasi
berkaitan dengan tekanan darah sistemik. Pada klien dengan kerusakan autoregulasi, setiap
aktivitas yang menyebabkan tekanan darah, seperti batuk, suction, dan ansietas dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah serebral yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Otak mampu mengkompensasi atau menerima perubahan minimal pada tekanan intrakranial
dengan cara pengalihan CSS ke dalam spasium subaraknoid spinal, peningkatan absorbsi CSS,
penurunan pembentukan CSS dan pengalihan darah vena keluar dari tulang tengkorak (Hudak
and Gallo, 2010).
Gambar 1. Tekanan intrakranial akan tetap normal dengan peningkatan volume sampai titik
dekompensasi tercapai. Di atas volume kritis ini, TIK akan meningkat dengan cepat
Aliran darah otak normalnya 50 - 60 mL/100 gr jaringan otak/menit. Bila aliran darah otak
menurun sampai 20-25 mL/100gr/menit maka aktifitas EEG akan hilang dan pada nilai 5
mL/100gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadilah kerusakan sel yang menetap.
Pada penderita non trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan aliran darah pada tingkat
yang konstan apabila MAP (mean arterial pressure) berada dikisaran 50-160 mmHg. Bila MAP
dibawah 50 mmHg, aliran darah otak sangat berkurang dan bila MAP diatas 160 mmHg terjadi
dilatasi pasif pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah meningkat.
Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera otak sekunder
karena iskemia akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja
diikuti kenaikan TIK yang curam, perfusi otak akan berkurang jauh terutama pada keadaan
hipotensi. Oleh karena itu bila terdapat hematom intrakranial, haruslah dikeluarkan sedini
mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.
Tekanan perfusi serebral/CPP (cerebral perfusion pressure/ CPP) adalah tekanan aliran darah ke
otak, normalnya konstan karena adanya autoregulasi. CPP ditentukan dengan pengurangan TIK
dengan Tekanan Arteri Rerata (MAP), dapat ditulis dengan rumus :
CPP = MAP TIK
Nilai normal CPP adalah 60 150 mmHg, mekanisme autoregulator dari otak mengalami
kerusakan akan menyebabkan CPP lebih dari 150 mmHg atau kurang dari 60 mmHg. Klien
dengan CPP kurang dari 50 mmHg memperlihatkan disfungsi neurologis yang tidak dapat pulih
kembali. Hal ini terjadi disebabkan oleh penurunan perfusi serebral yang mempengaruhi
perubahan keadaan sel dan mengakibatkan hipoksia serebral (Smeltzer and Bare, 2002).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Cedera
kepala merupakan keadaan yang serius dan perlu mendapatkan penanganan yang cepat.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif
dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur
dapat berupa garis/linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk
fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup
yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang
memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.
Fraktur tengkorak : Fraktur tengkorak ialah terjadinya diskontinyuitas jaringan tulang
yang melindungi otak dan struktur lain yang meliputinya, terdiri dari :
a. Fraktur linear : Merupakan trauma yang umumnya terjadi, sering terjadi pada anak.
Fraktur linear merupakan kerusakan yang simple pada jaringan tengkorak yang mengikuti
garis lurus. Hal ini dapat terjadi setelah terjadinya trauma kepala ringan( terjatuh,
terpukul, kecelakaan sepeda motor ringan ). Fraktur linear bukanlah trauma yang serius
kecuali pada trauma yang agak berat dapat mengenai jaringan otak.
b. Fraktur impresi : Hal ini umumnya terjadi setelah bertabrakan dengan kekuatan besar
dengan benda tumpul seperti : palu, batu, atau benda berat lainnya. Trauma ini dapat
menyebabkan lekukan pada tulang tengkorak dan menekan jaringan otak. Apabila
kedalaman dari fraktur impresi ini sama dengan ketebalan tulang tengkorak ( - inchi
), operasi selalu dilakukan untuk mengangkat potongan tulang dan untuk melihat
kerusakan otak yang diakibatkan oleh trauma ini. Fraktur impresi yang minimal lebih
tipis dari ketebalan tulang. Fraktur ini umumnya tidak perlu dioperasi kecuali dijumpai
kerusakan lain. Fraktur ini dapat merobek duramater dan merusak jaringan otak
dibawahnya serta menimbulkan perdarahan.
c. Fraktur basiler :merupakan fraktur yang terjadi dasar tengkorak yang diakibatkan dari
trauma tumpul yang berat pada kepala dengan kekuatan yang signifikan. Fraktur basiler
umumnya mengenai rongga sinus. Hubungan ini dapat menyebabkan udara atau cairan
masuk kedalam tengkorak dan menyebabkan infeksi. Pembedahan umumnya tidak
diperlukan kecuali ditemukan kerusakan lain (Musliha, 2010).
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan.
Perdarahan Intra cranial terdiri dari:
a. Subdural Hematom :Merupakan perdarahan yang terjadi diantara jaringan otak dan
duramater. Biasanya terjadi di daerah parietal. Peregangan dan robekan pada bridging
vein diantara otak dan duramater merupakan penyebab dari tipe perdarahan ini. Subdural
hematom terjadi secara akut, terjadi secara tiba tiba setelah trauma, atau kronik, proses
akumulasi yang lambat terjadi setelah trauma. Subdural hematom kronis umumnya
terjadi pada usia tua yang mempunyai bridging vein yang rapuh dan teregang dan dengan
mudah dapat mengalami perdarahan setelah trauma ringan. Bila terjadi akut, hal ini
menunjukkan trauma kepala yang berat. Sering perdarahan subdural baru manifest
setelah 2-3 minggu paska trauma. Dapat terjadi sakit kepala, kelemahan anggota gerak
sesisi dan bahkan penurunan kesadaran. Keadaan umumnya serius dan memerlukan
terapi operatif.
b. Epidural Hematom : Merupakan perdarahan yang terjadi diantara duramater dan tulang
tengorak. Perdarahan umumnya terjadi pada daerah temporal. Drah akan menekan
jaringan otak ke arah medial dan menyebabkan penekanan terhadap n.III sehingga pupil
yang sepihak dengan epidural hematom akan midriasis ( melebar) dan perangsangan
cahaya akan negatif. Hal ini umumnya terjadi ketika putusnya arteri meningia media..
Epidural hematom merupakan kasus yang serius dan selalu memerlukan pembedahan.
c. Perdarahan intra parenkim/ContusioCerebri : Merupakan perdarahan yang terjadi dalam
jaringan otak akibat putusnya pembuluh darah dalam jaringan otak. Contusio merupakan
memar pada jaringan otak. Banyak dokter menganjurkan pada pasien dengan contusion
cerebri untuk dilakukan observasi di Rumah sakit untuk mengatasi komplikasi seperti
edema cerebri. Perdarahan intra parenkimal dapat menyababkan terkumpulnya darah
pada jaringan otak. Perdarahan yang sedikit dapat berhenti tanpa dilakukan terapi tanpa
menyebabkan masalah yang serius. Perdarahan yang banyak atau perdarahan yang lebih
serius umumnya memerlukan tindakan pembedahan tetapi biasanya dengan cacat yang
menetap. Pada perdarahan intraparenkimal ini penderita akan cepat kehilangan kesadaran
(Musliha,2010).
2. Etiologi
Brain Injury Association of America memperkirakan setiap 21 detik terdapat orang yang
mengalami cedera kepala (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Penyebab utama dari
trauma kepala yang serius adalah kecelakaan lalu lintas (60% kematian yang disebabkan
kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera kepala). Namun ada penyebab lain dari trauma
kepala, antara lain: (Hernanta, 2013).
1. Kecelakaan industri
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
4. Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
5. Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras
Insiden cedera kepala dua kali lebih besar dialami oleh pria dibandingkan wanita dan paling
tinggi terjadi pada kelompok remaja, dewasa muda, dan lansia di atas 75 tahun (Morton, Dorrie,
Carolyn, & Barbara, 2008). Remaja berumur 15-17 tahun mempunyai angka tabrakan lebih dari
dua kali per 1.000 pengemudi yang terjadi 4 jam sebelum atau sesudah tengah malam dengan
penyebab utama penggunaan alkohol (Behrman, Kliegman, & Alvin, 2000). Lansia beresiko
tinggi untuk terjadinya kepala bisa disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: atrofi kortikal
pada lansia yang memungkinkan otak memiliki ruang yang lebih luas dalam rongga kranial,
lansia yang hidup sendiri, sinkop, disritmia jantung, sering berkemih pada malam hari yang
menyebabkan lansia sering bolak-balik ke kamar mandi, riwayat stroke, serta penggunaan
antikoagulan (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
2. Manifestasi Klinis
Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki beberapa tanda dan
gejala, antara lain:
1. Cedera ringan
3. Cedera berat
Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada atu tidaknya fraktur
tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat kesadaran, dan kerusakan jaringan otak
(Tarwoto, 2013).
Fraktur pada tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf yang ada di otak, merobek
durameter yang dapat mengakibatkan perebesan serebrospinal. Kemungkinan tanda dan gejala
yang muncul, antara lain:
a. Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan telinga
(otorrhoe).
b. Kerusakan saraf kranial
c. Perdarahan di belakang membran timpani
d. Ekimosis periorbital
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan terjadi gangguan pada saraf kranial dan kerusakan pada
bagian dalam telinga. Kemungkinan tanda dan gejala yang muncul, antara lain:
3. Tingkat kesadaran
Hal ini tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau tidaknya amnesia retrogat, mual,
dan muntah.
Untuk melihat ada tidaknya cedera kepala perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI.
2. Klasifikasi
Trauma kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek, antara lain (Hernanta, 2013):
Trauma kepala dibagi atas trauma kepala tumpul dan trauma kepala tembus. Trauma kepala
tumpul bisanya disebabkan oleh kecelakaan mobil motor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
Sedangkan trauma tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput
durameter menjadi indikasi apakah suatu trauma termasuk trauma tembus atau tumpul (Hernanta,
2013).
2. Beratnya trauma
Untuk menilai beratnya trauma dilakukan pemeriksaan Glaslow Coma Scale (GCS).
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai
secara umum dalam deskripsi beratnya penderita trauma kepala (Hernanta, 2013).
Jika GCS 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau
mengalami amnesia retrogade. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral maupun
hematoma.
Jika GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam. Dapat mengalamai kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
3. Morfologi trauma
Trauma kepala berdasarkan morfologi trauma dibagi atas fraktur kranium dan lesi intrakranial
(Hernanta, 2013).
a. Fraktur kranium
Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat terbentuk garis atau bintang, serta dapat pula
terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya diperlukan pemeriksaan CT scan untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadi
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan yang lebih rinci . tanda dan gejalanya yaitu:
b. Lesi intrakranial
Diklasifikasikan menjadi lesi lokal dan lesi difus, walaupun keduanya sering terjadi bersamaan.
1. Lesi lokal
a. Perdarahan epidural
Perdarahan epidural adalah akumulasi darah diantara dura dan struktur bagian dalam otak, yang
biasanya disebabkan oleh laserasi arteri ekstradural (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Ciri dari perdarahan epidural adalah berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung
(Hernanta, 2013). Klien dengan perdarahan epidural awalnya dapat mengalami kehilangan
kesadaran, kembali sadar, dan kemudian dengan cepat mengalami perburukan hingga menjadi
tidak sadar kembali. Sikap tubuh dan dilatasi unilateral pupil menunjukkan tanda lanjut herniasi
serebral (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
b. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural adalah akumulasi darah di bawah dura dan di atas arakhnoid yang menutupi
otak (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Perdarahan subdural sering terjadi akibat
robeknya jembatan vena yang terletak antara korteks serebri dan sinus venous tempat vena tadi
bermuara, namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri permukaan otak. Perdarahan
ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih
berat. Prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural (Hernanta, 2013).
Kontusio serebral sering terjadi di frontal dan lobus temporal, namun bisa juga terjadi pada
setiap bagian otak seperti batang otak dan cerebellum. Kontusio serebral dapat terjadi dalam
beberapa hari atau jam yang kemudian mengalami evolusi membentuk perdarahan intraserebral
apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangna neurologis (Hernanta, 2013).
A B C
Gambar 1. A.Hematoma peidural B.Hematoma subdural C.Hematoma intraserebral (Morton,
Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
2. Lesi difus
Cedera difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi. Pada
pemeriksaan CT scan menunjukkan hasil normal, namun keadaan klinis neurologis sangat buruk
bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalam dan lamanya koma dikelompokkan
menjadi kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus (CAD). Keadaan koma yang
dalam dan tetap selama beberapa waktu biasanya penderita menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebasi. Bila pulih, penderita sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan
hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom, seperti: hipotensi, hiperhidrosis,
hiperpireksia, dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer (Hernanta, 2013).
Gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya
kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia retrogad, mual, muntah, dan nyeri
kepala.
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontunuitas otak masih utuh,
hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.
c. Laserasio serebri
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak
terbuka. Massa otak terkelupas ke luar dari rongga intrakranial.
2. Patofisiologi
Mekanisme khas dari trauma kepala adalah (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008):
1. Akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak. Misalnya alat pemukul
menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala.
2. Deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam. Misalnya pada pada kasus jatuh atau
tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca. Akselerasi-deselerasi sering kali dalam kasus
kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan fisik.
3. Coup-contre coup
Terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan
kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali
terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera translasional karena benturan dapat berpindah ke
area otak yang berlawanan. Misalnya ketika pasien dipukul dengan objek tumpul pada bagian
kepala.
4. Cedera rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansia alba seta robeknya pembuluh
darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam otak tengkorak.
Gambar 2. Mekanisme tipikal cedera (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Patofisiologi trauma kepala dapat digolongkan menjadi dua proses, yaitu proses primer dan
proses sekunder (Tarwoto, 2013).
1. Proses primer
Merupakan trauma yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma. Trauma ini
umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh darah, dan struktur
pembentuknya (Tarwoto, 2013).
2. Proses sekunder
Merupakan proses lanjutan dari proses primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.
Biasanya klien mengalami hipoksi, hipotensi, asidosis, penurunan suplai oksigen ke otak. Lebih
lanjut keadaan ini menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, nyeri kepala.
Peningkatan tekanan intrakranial harus segera ditangani karena dapat menimbulkan gangguan
perfusi jaringan otak dan herniasi serebral yang dapat mengancam kehidupan. Prinsip dari
penalaksanaan peningkatan TIK adalah dengan mengontrol cerebral blood flow (CBF) untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Keadaan CBF ditentukan oleh berbagai faktor
seperti tekanan darah sistemik, cerebral metabloic rate, dan PCO2. CBF yang adekuat akan
berpengaruh terhadap tekanan prfusi otak (CPP), sehingga kebutuhan metabolisme otak terjaga
(Tarwoto, 2013).
2. WOC
(Terlampir)
Menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma kepala dapat dilakukan primary
dan secondary survei. Survei primer mengkaji ABCDE (airway, breathing, circulation,
disability, exposure), dan survei sekunder terdiri dari observasi ketat penting pada jam-jam
pertama sejak kejadian cedera.
Survei Primer
1. Airway
Daerah tulang servikal harus diimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar,
head block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
2. Breathing
Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Pernapasan dinilai dengan menghitung laju
pernapasan, memperhatikan kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot
pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi napas di kedua aksila.
3. Circulation
Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktatatau Normal Salin (20
ml/kgBB) jika pasien syok, transfuse darah 10-15 ml/kgBB harus dipertimbangkan.
4. Disability
Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.Tingkat
kesadaran dapat diklasifikasikan menggunkan GCS.
Anak dengan kelainan neurologis yang berat, seperti anak dengan nilai GCS 8, harus
diintubasi.
Hiperventilasi menurunkan pCO2 dengan sasaran 35-40 mmHg, sehingga terjadi vasokontriksi
pembuluh darah di otak, yang menurunkan aliran darah ke otak dan menurunkan tekanan
intracranial. Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan intracranial.
5. Exposure
Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-anak sering datang
dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat
dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan intravena
(yang telah dihangatkans ampai 390C) (Dewanto et al.2009).
Survei Sekunder
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah dipastikan
penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka
tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dalami akibat cidera disertai observasi tanda
vital dan deficit neurologis. Selain itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:
Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya di rumah.
Namun, bila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam pertama, penderita harus
dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status cidera kepala yang dialami menjadi cedera
kepala sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda.
Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum penderita diizinkan
pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita, dapat langsung dibawa kembali ke
rumah sakit. Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom
subdural (SDH), maka indikasi bedah adalah:
1. EDH simtomatik
2. EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal> 1 cm (EDH yang lebih besar dari pada ini
akan sulit diresopsi)
3. EDH pada pasien pediatric.
1. SDH simtomatik
2. SDH dengan ketebalan> 1 cm pada dewasa atau > 5 mm pada pediatric (Dewantoet al,
2009).
2.11 Komplikasi
Komplikasi akibat dari trauma kepala, antara lain: (Engram 1998; Ginsberg 2008)
Terdapat bebeapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan dalam trauma kepala, yaitu: (Grace &
Borley 2007; Muttaqin 2012)
a. Anamnese singkat
b. Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
c. Pemeriksaan CTscan
d. Penderita harus dirawat untuk diobservasi
e. Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat apabila:
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang dialami.Nilai GCS saat
pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai prognosis yang besar. Nilai GCS antara
3-4 memiliki tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki nilai
mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga perlu diperhatikan seperti
mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu berkonsentrasi dan irritable. 17% pasien sakit
cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post trauma.
Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia.
A. Definisi ICP
Kranium merupakan kompartemen yang kaku kecuali pada bayi, hingga setiap penambahan
massa didalamnya akan berakibat peningkatan tekanan intrakranial bila kemampuan kompensasi
sudah terlampaui. Didalamnya berisi jaringan otak, cairan serebrospinal serta darah yang
masing-masing tidak dapat diperas. Terdapat satu lubang utama yaitu foramen magnum, hingga
bila terjadi peingkatan tekanan intrakranial jaringan otak akan mencari jalan keluar melalui
lubang ini. Disamping itu pada tentorium yang memisahkan otak besar dan otak kecil terdapat
lubang yang disebut hiatus yang mana disana terletak batang otak, sehingga apabila terjadi
peninggian tekanan intrakranial pada daerah otak besar, akan terjadi pergeseran jaringan otak
besar kedalam hiatus ini hingga akan menekan batang otak yang merupakan pusat dari fungsi
vital.
Pada keadaan normal, aliran darah otak (CBF) adalah 50 cc/100 gr jaringan otak tiap menitnya.
Pada keadaan sehat dimana mekanisme autoregulasi bagus, CBF 50 cc/100 gr jaringan
otak/menit tersebut dapat dipenuhi dengan rentang CPP 40-140 mmHg. Kerusakan jaringan otak
akan irreversibel terjadi jika CBF kurang dari 18 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan
emergensi neurologi seperti infeksi atau trauma kapitis akan terjadi peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) akibat adanya edema otak. Tekanan intrakranial normal adalah < 10 mmHg
atau 15 cmH2O (rasio 3:4 untuk mmHg ke cmH2O). Dianggap meningkat bila > 20-25 mmHg.
CPP merupakan selisih dari Mean Arterial Pressure (MAP) dengan TIK, maka sangat penting
menjaga tekanan darah optimal dan mengendalikan atau menurunkan tekanan intrakranial. TIK
dapat dipantau dengan menggunakan alat monitor TIK yang biasanya tersedia di ICU sehingga
dapat dilakukan tindakan dan terapi dengan cepat dan tepat.
Hipotesis Monro-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan TIK. Teori
ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga
ruangannya meluas, dua ruang lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya
(apabila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intracranial ini terbatas, tetapi terhentinya
fungsi neural ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran CSF ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan
tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan
kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak kearah bawah atau
horizontal (herniasi) bila TIK makin meningkat.Dua mekanisme terakhir dapat berakibat
langsung pada fungsi syaraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme
kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal.
Tekanan intracranial ialah tekanan dalam ruang tengkorak, berdasarkan hipotesis Monro-Kellie:
merupakan jumlah volume darah intracranial, jaringan otak, cairan otak yang bersifat tetap,
karena berada dalam ruang tengkorak yang bersifat kaku, tekanan tersebut menjalar ke setiap sisi
ruangan di dalam tengkorak. Tekanan Intra Kranial atau Intracranial Pressure adalah tekanan
atau hubungan volume diantara kranium dan isi kubah kranium. Volume kranium terdiri atas
darah, jaringan otak dan cairan serebrospinal (CSS), (Fransisca, 2008)
Intracranial Pressure (Tekanan Intracranial) adalah tekanan yang ada di dalam tulang kranium
yang mana berisi otak, sistem vaskuler cerebral dan cairan cerebrospinal. Tekanan biasanya
diukur melalui caioran otak dengan tekanan normal antara 5 - 15 mmHg atau antara 60 - 180
cmH2O. Tekanan diatas 250 mmH2O disebut peningkatan tekanan intracranial dan gejala-gejala
serius dari gangguan penyakit yang menyertai akan muncul. TIK yang diukur melalui lumbal
fungsi biasanya tidak terlalu akurat karena apabila ada sumbatan pada jalur kortikospinal akan
mendapatkan hasil yang kurang akurat.
TIK normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK normal adalah 7-15
mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada anak-anak, dan 1,5-6 mm Hg pada bayi
cukup umur. Definisi hipertensi intracranial tergantung pada patologi spesifik dan usia,
walaupun TIK>15 mmHg umumnya abnormal. Contohnya TIK>15 mmHg umumnya abnormal,
akan tetapi penanganan diberikan pada tingkat berbeda tergantung patologinya. TIK>15 mmHg
memerlukan penanganan pada pasien hidrosefalus, sedangkan setelah cedera kepala, penanganan
diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK bervariasi pada anak-anak dan telah
direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya dimulai selama penanganan cedera kepala
ketika TIK >15 mmHg pada bayi, 18 mmHg pada anak yang lebih tua dan remaja.
1. CPP adalah perbedaan antara MAP dan ICP (atau CVP, yang nilainya lebih besar).
2. CPP dinyatakan dengan persamaan : CPP = MAP ICP
3. CPP normal 80-100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada MAP
4. Peningkatan sedang sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan CPP dan CBF,
meskipun MAP normal.
5. CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG, CPP antara 25-40 mmHg
menunjukkan gambaran flat, tekanan perfusi terus menerus < 25 mmHg menyebabkan
kerusakan otak irreversibel.
C. Tanda dan Gejala Peningkatan dan Penurunan ICP
Kenaikan Tekanan Intrakranial yang disebut PTIK yang merupakan hal yang menjadi perhatian
utama bila kita mendapatkan perhatian utama bila kita mendapatkan pasien dengan kelainan
tekanan intra kranial.Tekanan intrakranial normal berkisar antara 10-15 mmHg atau setara
dengan 136-204 mmH2O.
Peningkatan tekanan intracranial atau hipertensi intracranial adalah suatu keadaan terjadinya
peningkatan tekanan intracranial sebesar > 15 mmHg atau > 250 mmH2O. Peningkatan tekanan
intracranial merupakan komplikasi yang serius yang biasanya terjadi pada trauma kepala,
perdarahan subarahnoid, hidrosefalue, SOL, infeksi intracranial, hipoksia dan iskemi pada otak
yang dapat menyebabkan herniasi sehingga bisa terjadi henti nafas dan jantung ( Hudak & Gallo,
1998 ).
1. Awal
2. Lanjut
Karena pentingnya mengenali gejala-gejala tersebut diatas, maka perlu sekali mengetahui cara
pemeriksaan neurologik. Untuk memudahkan akan diuraikan secara singkat temuan- temuan
diatas.
1. Perburukan derajat kesadaran
Perburukan derajat kesadarn tak selalu memperburuknya umum bagian otak, tetapi merupakan
peringkat sensitif dan dapat dipercaya untuk mengenali adanya kemungkinan memburukkan
kondisi neurologik.
Penurunan derajat kesadaran dikarenakan :
a. Sebagian besar otak terbentuk dari sel-sel tubuh yang sangat khusus, tetapi sensitif
terhadap perubahan kadar oksigen. Respon otak terhadap tidak mencukupinya kebutuhan
oksigen terlihat sebagai somnolen dan gangguan daya nalar (kognisi).
b. Fluktuasi TIK akibat perubahan fisik pembuluh darah terminal. Oleh karena itu gejala
awal dari penurunan derajat kesadaran adalah somnolen, delirium dan letargi. Penderita
menjadi disorientasi, mula-mula terhadap waktu, lalu tempat, dan akhirnya dalam hal
memgenali seseorang, Dengan semakin meningginya TIK, derajat kesadaran semakin
rendah, dimana rangsang nyeri mulai memberi reaksi adequat, hingga akhirnya
kompensasi.
2. Disfungsi pupil
Akibat peninggian TIK supratentorial atau oedema otak, perubahan ukuran pupil terjadi.Tidak
saja ukuran pupil yang berubah, tetapi dapat juga bentuk dan reaksi terhadap cahaya. Pada tahap
awal ukuran pupil menjadi berdiameter 3,5 mm atau disebut sebagai ukuran tengah. Lalu makin
melebar (dilatasi) secara bertahap.Bentuknya dapat berubah menjadi melonjong dan reaksi
tyerhadap cahaya menjadi lamban.Perlambatan reaksi cahaya dan tau perubahan melonjong,
merupakan gejala awal dari penekanan pada saraf okulomotor. Karena sumber PTIK cenderung
berdampak sesuai kompartemen pada tahap awal, disfungsi pupil masih ipsilateral (pada sisi
yang yang sama terhadap penyebabnya). Pada tahap lanjut PTIK, pupil ipsilateral berdilatasi
bilateral dan non reaktif terhadap cahaya. Pupil menjadi berdilatasi bilateral dan non reaktif pada
fase terminal, karena PTIK menyebabkan proses herniasi
3. Abnormalitas visual
Devisit visual dapat terjadi sejak gejala masih awal. Gangguan tersebut dapat berupa Ketajaman
visus, Kabur dan Diplopia.Menurutnya ketajamanpenglihatan danpenglihatan kabur adalah
keluhan yang sering terjadi, karena diperkirakanakibat penekanan saraf-saraf nervus optikus (N.
11) melintasi hemisfer cerebri. Diplopia berkaitan dengan kelumpuhan dari satu atau lerbih
saraf-saraf penggerak bola mata ekstra-okuler(N. III, IV, VI) Sehingga pasien melihat dobel pada
posisi tertentu.Gejala-gejala visual semakin menonjol seiring semakin meningkatnya TIK.
Gangguan Diplopia / Blurring / penurunan ketajaman biasannya terjadi pada pasien dengan
peningkatan ICP.Diplopia biasa karena paralisis otot yang mengatur gerakan mata.
Pada tahap awal, monoparesis stau hemiparesis terjadi akibat penekanantraktus piramidalis
kontra lateral pada massa. Pada tahap[ selanjutnyahemiplegia,dekortikasi dan deserebrasi dapat
terjadi unilateral atau bilateral. Pada tahapakhir (terminal menjelangmati) penderita menjadi
flasid bilateral.Secara klinis sering terjadi keracunan dengan respon primitif perkembangan
manusia, yaitu reflek fleksi yang disebut trifleksi (triple fleksion).Trifleklsi terjadi akibat aktivasi
motoneuron difus dengan hasil berupa aktivasi otot-otot fleksor menjauhi rangsang nyeri (otot-
otot fleksor dipergelangan lutut, kaki, dan panggul mengkontraksikankeempatanggota badan
kearah badan).Trirefleks ini merupakan bentuk primitif refleks spinal.
5. Nyeri kepala
Pada tahap paling awal PTIK, beberapa penderita mengeluh nyeri kepala ringan atau samar-
samar.Secara umum, nyeri kepala sebenarnya tidak terlalu sering terjadi seperti diperkirakan
banyak orang.Nyeri kepala terjadi akibat pereganggan struktur intrakranial yang peka nyeri
(duramater, pembuluh darah besar basis kranji, sinus nervus dan bridging veins).Nyeri
terjadiakibat penekanan langsung akibat pelebaran pebuluh darah saat kompensasi.Nyeri kepala I
pada kelainan ini sering dilaporkan sebagi nyeri yang bertambah hebat saat bangkit dari tidur di
pagi hari.Hal ini dikarenakan secara normal terjadipeningkatan aktivitas metabolisme yang
paling tinggi saat pagi hari, dimana pada saat tidurmenjelangbangun pagi fase REM
mengaktifkan metabolisme dan produksi CO2. Dengan peningkatan kadar CO2 terjadilah
vasodilatasi.
6. Muntah
Projectile vomiting akibat peningkatan ICP.Muntah akibat PTIK tidak selalu sering dijumpai
pada orang dewasa.Muntahdisebabkan adanya kelainan di infratentorial atau akibat penekanan
langsungpada pusat muntah.Kita belum mengerti secara lengkap bagaimana mekanismerefleks
muntah terjadi.Muntah dapat didahului oleh mual / dispepsia atau tidak.Seandainya didahului
oleh perasaan mual / dispepesia, berarti terjadi aktivasi saraf-saraf ke otot.Bantu pernafasan
akibat kontraksi mendadak otot-otot aberhubungan denganomen dan thoraks.
Pada tahap awal tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil pada tahap selanjutnya karena
penekanan ke batang otak terjadi perubahan tekanan darah.Penekananke batang otak
menyebabkan susasana iskemik di pusat vasomotorik di batangotak.Seiring dengan
meningkatnya TIK, refleks rtespon Chusing teraktivasi agar tetap menjaga tekanan didalam
pembuluh darah serebral tetap lebih tinggi daripada TIK.
Pada tahap lanjut PTIK terjadi penekanan kebatang otak yang berakibat hilangnya atau disfungsi
refleks-refleks batang otak.Refleks-refleks ini diantaranya Refleks kornea, Oukosefalik, dan
Aukulovestibuler. Prognosis penderita akan menjadi buruk bila terjadi refleks-refleks tersebut.
11. Papiledema
Tergantung keadaan yang ada, papil oedema dapat terjadi akibat PTIK, ataumemang sudah ada
sejak awal. Papiloedema akibat PTIK tak akan terjadi seandainya belum menjadi tingkat yang
sangat tinggi. Tetapi perlu diingat bahwa tak adanya papiloedema tak beraarti tak ada PTIK.Pada
beberapa orang dapat ada jika PTIK terjadi secara bertahap.
D. Monitoring ICP
Penting untuk dicatat bahwa pasien dapat terjadi herniasi dengan nilai TIK normal. Pasien
asimptomatik dengan kurva compliance normal, TIK dapat tiba-tiba naik (seperti saat batuk, atau
membalik badan).
Terlihat adanya variasi dalam rekaman pengukuran ICP normal yang berasal dari denyutan kecil
yang ditransmisikan dari tekanan darah sistemik ke rongga intrakranial. Dalam melakukan
pemeriksaan dasar apakah sinyal ICP benar-benar representatif terhadap tekanan intrakranial,
dokter harus memastikan bahwa terdapat kurva tekanan berosilasi dengan penurunan progresif
dari notche P1, P2 dan P3, yang menunjukkan propagasi dari pulsasi tekanan jantung (Gbr. 1)
b. Waveform patologis
Analisis kurva tekanan lebih lanjut juga dapat digunakan dengan mengidentifikasi gelombang
Lundberg A dan B. Gelombang A (juga dikenal sebagai gelombang plateau) yang ditandai
dengan peningkatan dan penurunan yang cepat pada tekanan sampai nilai 50-100 mmHg dan
berlangsung dari 5 sampai 20 menit dengan durasinya yang bervariasi. Mereka adalah tanda dari
gangguan autoregulasi serebral yang lebih parah. Gelombang B yang berosilasi secara ritmik
muncul dengan frekuensi 1/2-2 kali per menit, dan dapat menjadi tanda disfungsi serebral.
Dengan meningkatnya ICP, akan terjadi penurunan compliance otak, pulsasi arteri menjadi lebih
jelas, dan komponen vena menghilang. Waveform patologis termasuk Lundberg tipe A, B, dan
C. Gelombang Lundberg A atau gelombang plateau adalah elevasi ICP ke nilai yang lebih tinggi
dari 50 mmHg berlangsung selama 5 sampai 20 menit. Gelombang ini disertai dengan
peningkatan simultan dari MAP, tetapi tidak jelas dipahami apakah perubahan MAP adalah
sebagai penyebab atau efek Gelombang Lundberg B atau pulsasi tekanan, memiliki amplitudo 50
mmHg dan terjadi setiap 30 detik sampai 2 menit. Gelombang Lundberg C memiliki amplitudo
20 mmHg dan frekuensi 4 sampai 8 kali per menit, dapat terlihat pada waveform ICP normal,
akan tetapi amplitudo gelombang C yang tinggi dapat tumpang tindih dengan gelombang
plateau.
Pemantauan ICP adalah tugas kompleks yang membutuhkan pengetahuan dan pemahaman
tentang komponen teknis dari sistem pemantauan cairan, patofisiologi sistem saraf pusat, dan
interaksi antara sistem tersebut. Personil melakukan pengaturan, pengumpulan data, atau
prosedur perawatan harus memegang kepercayaan , yaitu RRT, CRT, atau RN, dan kompetensi
yang harus didokumentasikan yaitu (G. Werren. 2014) :
a. Penyiapan teknis dan operasi pemantauan tekanan sistem CCMD Share / lr / Kebijakan /
Prosedur / Monitoring Klinis
b. Central sistem fisiologi saraf dan patofisiologi
c. Analisis gelombang ICP
d. Respon tepat untuk efek samping
e. Penerapan Universal Precaution
Menurut Twomey 2009, dapat mencakup hidrosefalus, perdarahan, tumor, meningitis atau cedera
otak traumatis.
Indikasi dapat mencakup (G. Werren. 2014) :
G. Kontraindikasi
1. Infeksi intracranial
2. Kejang
3. Stroke
4. Perdarahan intraserebral
5. Kebocoran CSF ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
6. Cairan CSF yang berlebihan yang menyebabkan kehancuran dan herniasi
7. Hilangnya pemantauan atau pembuangan disebabkan oleh sumbatan kateter pada jaringan
otak atau darah
8. Terapi yang tidak tepat karena salah pembacaan ICP disebabkan oleh bentuk gelombang
yang tidak tepat, kegagalan elektromekanis, atau kesalahan operator
9. Kerusakan saraf
10. Kematian
I. Pencegahan PTIK
1. Untuk meminimalkan risiko infeksi sistem saraf pusat, teknik aseptik harus digunakan
setiap saat ketika perawatan, memanipulasi, atau memonitoring cairan.
2. Sambunganyang kuatharus dipertahankan, dansistem harus tetap bebas dari udara untuk
memastikan keakuratan maksimal.
3. Jangan gunakan alat bilas untuk pemantauan ICP. Hanya gunakan NaCl0,9% untuk
mengisi tabung tekanan. Jangan menggunakan larutan heparin.
4. Untuk memastikan akurasi yang optimal, perataan yang tepat dan penekanan dari sistem
harus dipertahankan. Tingkatan yang tepat untuk transduser adalah pada foramen Monro
untuk diukur tingkat kantus bagian luar pada mata atau sebagai alternatif ditulang
belakang lumbal untuk pembuangan.
5. Harus sangat hati-hati dalam memposisikan dan mengubah pasien untuk menghindari
pergerakan kanulasi atau pemutusan selang saat pengambilan .
6. Pasien diletakkan degan posisi kepala 30 sampai 45 derajat dan posisi netral bila
diperlukan untuk meminimalkan ICP. Dilakukan secara hati-hati ketika memposisikan
pasien dan melakukan terapi untuk meminimalkan kenaikan ICP dan degradasi terkait di
CPP. Hindari posisi fleksi dan hiperekstensi leher dan pasien dalam posisi trendelenberg,
yang semuanya dapat meningkatkan ICP. CATATAN: Sebuah alarm untuk peningkatan
ICP harus dijaga ON setiap saat
7. Lakukan dengan hati-hati saat memanipulasi sistem drainase untuk menghindari filter
agar tidak basah. Drainase silinder harus selalu dalam posisi tegak. Jika filter diharuskan
untuk basah, dan apabila drainase ingin diperlambat atau dihentikan, dibutuhkan waktu
agar filter dapat mengering sebelum drainase dapat diatur kembali.
8. Cordis EDS dan sistem tekanan transduser hanya dapat digunakan pada satu pasien saja.
Tidak dianjurkan untuk mensterilkan setiap bagian dari sistem sekali pakai tersebut untuk
digunakan secara bergantian dengan pasien lain.
9. Tidak dianjurkan untuk melakukan drainase secara simultan dan pemantauan tekanan.
Untuk memastikan pengukuran tekanan yang tepat, melakukan monitoring tekanan hanya
dapat dilakukan saat threeway tertutup untuk sistem drainase.
10. Hanya sejumlah kecil dari CSF (sekitar dua ml) yang harus didrainase dalam satu waktu.
Dekompresi otak secara cepat dari CSF yang terlalu didrainase dapat menyebabkan
herniasi. Drainase secara berlebihan dapat terjadi jika sistem tidak sengaja dibiarkan
terbuka, atau jika pasien dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi dari titik acuan
pada sistem (sesuai instuksi dokter).
CATATAN: Ketinggian dari silinder drainase menentukan kecepatan di mana CSF akan
didrainase. Instruksi dokter untuk drainase harus mencakup pembacaan tekanan baik mm Hg
atau cm H2O di mana ketinggian (seperti yang ditandai pada kartu pemasangan) silinder drainase
harus diperhatikan. Titik referensi nol untuk pemantauan ICP selalu berada di luar canthus mata
(termasuk untuk drainase lumbal dan tulang belakang).
L. Prosedur Monitoring
1. Kumpulkan Cordis EDS sesuai dengan instruksi pada setiap paket dan pada setiap kartu
pemasangan pada diagram petunjuk menggunkan 0,9% NaCl untuk membilas sistem.
Tempatkan tabung 48 inci dengan terhubung transduser tekanan pada kartu pemasangan
plastic.
2. Tempatkan pasien pada posisi semi Fowler dan posisi titik acuan nol pada canthus luar
mata
3. Awasi gelombang tekanan ICP pada monitor cardiopulmonal. Nyalakan kran yang
paling dekat dengan pasien sehingga gelombang ICP divisualisasikan.
4. Untuk drainase yang berkelanjutan, nyalakan kran yang paling dekat dengan pasien
sehingga drainase dapat dikaji dan tekanan monitor dapat dihentikan sesuai indikasi. (G.
Werren, 2014)
Ada dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif (secara langsung) dan non invasive (tidak
langsung). Metode non invasif (secara tidak langsung) dilakukan 8 pemantauan status klinis,
neuroimaging dan neurosonology (Trancranial Doppler Ultrasonography/TCD). Sedangkan
metode invasif (secara langsung) dapat dilakukan di beberapa lokasi anatomi yang berbeda yaitu
intraventrikular, intraparenkimal, subarakhnoid/subdural, dan epidural. Metode yang umum
dipakai yaitu intraventrikular dan intraparenkimal (microtransducer sensor). Metode
subarakhnoid dan epidural sekarang jarang digunakan karena akurasinya rendah. Pengukuran
tekanan LCS lumbal tidak memberikan estimasi TIK yang cocok dan berbahaya bila dilakukan
pada TIK meningkat. Beberapa metode lain seperti Tympanic Membrane Displacement/TMD,
Optic nerve sheath diameter/ONSD namun akurasinya sangat rendah.
Pemantauan status klinis Beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada peningkatan TIK yaitu
Oftalmoskopi
Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada peningkatan TIK.Papil edema
ditemukan bila peningkatan TIK telah terjadi lebih dari sehari. Tapi sebaiknya tetap dinilai pada
evaluasi awal, ada atau tidak ada papil edema dapat memberikan informasi mengenai proses
perjalanan penyakit.
Gambar oftalmoskopi
Neuroimaging
Pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT scan kepala.
Neuroimaging digunakan untuk menetapkan diagnosa yang mengakibatkan TIK meningkat, serta
melengkapi informasi yang diperoleh dari anamnesa dan pemeriksaan.Pencitraan tidak dapat
menggantikan pemantauan TIK invasif. Pengulangan CT scan dapat digunakan ketika status
klinis pasien hanya membutuhkan penempatan monitor TIK dalam waktu singkat. Dalam
keadaan ini, pengulangan pencitraan setiap kali perubahan status pasien dapat
mendokumentasikan munculnya temuan baru (misalnya, hematoma cedera kepala) yang
kemudian memerlukan penempatan monitor. Pendekatan ini dapat digunakan untuk menunda
atau menghindari penempatan monitor TIK dalam kasus di mana kebutuhan untuk itu awalnya
kurang jelas.
Gambar neuroimaging
Neurosonology
TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang berguna untuk penilaian aliran darah
arteri basal otak.Semua cabang utama arteri intrakranial biasanya dapat diinsonasi baik arteri
kranial anterior, media dan posterior melalui tulang temporal (kecuali pada 10% pasien, dimana
insonasi transtemporal tidak memungkinkan), arteri oftalmika dan carotid siphon melalui orbita,
dan arteri vertebral dan arteri basilar melalui foramen magnum.TCD mengukur kecepatan aliran
darah, dalam sentimeter per detik, yang biasanya berkisar 40-70. Variabel pemantauan esensial
kedua berasal dari rekaman gelombang yang menggunakan indikator pulsatility index (PI), rasio
perbedaan antara kecepatan aliran sistolik dan diastolik dibagi rata-rata kecepatan aliran,
biasanya kurang lebih sama dengan 1. Penggunaan klinis yang paling umum dari TCD adalah
pemantauan untuk vasospasme, terutama setelah SAH.
Penyempitan lumen arteri, peningkatan aliran sistolik dan penurunan diastolik (aliran sistolik 120
sangat sugestif dan 200 konfirmasi dari penurunan diameter lumen), mengakibatkan peningkatan
PI (nilai di atas 3:1 sangat sugestif terjadi penyempitan lumen). Penilaian TCD serial dapat
mendeteksi perubahan progresif dalam kecepatan aliran dan PI akibat vasospasme pada SAH.
Penyempitan lumen dapat diproduksi oleh penyempitan arteri intrinsik sendiri seperti dalam
autoregulasi dan vasospasme yang benar, atau dengan hiperplasia intimal seperti dalam
"vasospasme" pada SAH. Vasospasme juga bisa terjadi karena kompresi ekstrinsik dari arteri
terutama peningkatan difus TIK mengakibatkan penekanan yang menyebabkan penyempitan
arteri basal.Seluruh peningkatan dalam kecepatan aliran dan PI dapat menunjukkan kompresi
ekstrinsik difus arteri karena TIK meningkat. Sayangnya, TCD kurang sensitif dan spesifik untuk
memberikan alternatif pemantauan TIK noninvasif. TCD tidak dapat menggantikan pemantauan
TIK langsung. Para dokter yang menggunakan TCD untuk monitor pasien SAH harus selalu
ingat bahwa perubahan penyempitan lumen yang difus mungkin menunjukkan peningkatan TIK.
Beberapa upaya telah dilakukan memanfaatkan TCD untuk menilai hilangnya autoregulasi dan
menilai adanya MAP kritis yang membahayakan CPP.
Gambar neurosonologi
Pemantauan TIK secara langsung dapat dilakukan dibeberapa lokasi sesuai dengan anatomi
kepala
1. Subarachnoid Screw
Subarachnoid screw dihubungkan ke tranducer eksternal melalui tabung. Alat ini ditempatkan ke
dalam tengkorak berbatasan dengan dura. Ini adalah sekrup berongga yang memungkinkan CSF
untuk mengisi baut, memungkinkan tekanan untuk menjadi sama. Keuntungan metode ini adalah
infeksi dan risiko perdarahan rendah. Aspek negatif termasuk kemungkinan kesalahan
permantauan TIK, salah penempatan sekrup, dan oklusi oleh debris.
Kateter subdural / epidural adalah metode lain untuk memantau TIK. Metode ini kurang invasif
tetapi juga kurang akurat.Hal ini tidak dapat digunakan untuk mengalirkan CSF, namun kateter
memiliki risiko yang lebih rendah dari infeksi atau perdarahan.
Kateter subdural / epidural Kateter subdural / epidural adalah metode lain untuk memantau TIK.
Metode ini kurang invasif tetapi juga kurang akurat. Hal ini tidak dapat digunakan untuk
mengalirkan CSF, namun kateter memiliki risiko yang lebih rendah dari infeksi atau perdarahan.
1. Kateter intraventrikuler/Ventriculostomy
Tehnik intraventrikular merupakan gold standard pemantauan TIK, yaitu kateter diinsersikan ke
dalam ventrikel lateral biasanya melalui burr hole kecil di frontal kanan. Tehnik ini juga dapat
digunakan untuk mengalirkan LCS dan memberikan obat intratekal seperti pemberian antibiotika
pada kasus ventrikulitis yang kemungkinan disebabkan oleh pemasangan kateter itu sendiri.
Sistem tranduser kateter ventrikular eksternal tradisional hanya memungkinkan pemantauan TIK
intermiten bila saluran ventrikel ditutup.Kateter ventrikel tersedia secara komersial memiliki
transduser tekanan dalam lumennya, sistem ini memungkinkan pemantauan TIK dan drainase
LCS simultan.
Beberapa komplikasi bisa terjadi akibat pemasangan kateter ventrikel antara lain kebocoran LCS,
masuknya udara ke ruang subarachnoid dan ventrikel, drainase LCS yang berlebihan dapat
menyebabkan kolaps ventrikel dan herniasi, atau terapi tidak sesuai berkaitan dengan pembacaan
TIK dengan gelombang kecil, kegagalan elektromekanikal, dan kesalahan operator. Lubang-
lubang kecil di ujung kateter dapat tersumbat oleh gumpalan darah atau deposit fibrin, dan
kateter dapat berpindah sehingga sebagian atau seluruh ujung kateter terletak dalam parenkim
otak bukan dalam ventrikel. Dalam kasus tersebut, drainase LCS akan menghasilkan gradien
tekanan signifikan antara lumen kateter ventrikel dan ventrikel. Jika diduga ada obstruksi kateter,
irigasi dengan NaCl 0,9% 2 ml dapat mengembalikan patensi kateter. Prosedur ini harus
dilakukan dengan memperhatikan asepsis, dimana manipulasi berulang berhubungan dengan
tingginya insiden infeksi sistem saraf pusat.Jadi irigasi rutin tidak dianjurkan. Ventrikulitis dan
meningitis adalah komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa, yang disebabkan oleh
kontaminasi langsung kateter selama pemasangan atau secara retrograde oleh kolonisasi bakteri
pada kateter. Kejadian infeksi dilaporkan sekitar 5-20%.Penggunaan sistem drainase tertutup dan
sampling LCS aseptik dan pembilasan kateter dan pengangkatan yang benar kateter yang tidak
dibutuhkan dapat meminimalkan risiko infeksi terkait kateter.LCS dapat mencetuskan infeksi
karena pengulangan akses ke sistem drainase.Sampling LCS lebih diindikasikan karena kriteria
klinis khusus daripada menjadi sampling rutin.
Posisi pasien saat pengukuran ditinggikan 30-45 derajat. Tranduser harus sama tinggi dengan
titik referensi. Titik referensi yang paling umum adalah foramen Monro. Titik referensi 0 adalah
garis imajiner anatara puncak telinga dan kantus bagian luar mata.
amanya waktu pemakaian kateter ventrikuler bervariasi.Secara umum lama waktu pemakaian
adalah dua minggu atau tergantung kondisi pasien. Risiko infeksi meningkat pada pemakaian
yang lebih lama. Pemberian antibiotik profilaksis dikaitkan dengan tingginya insiden infeksi
LCS yang resisten antibiotika. Sebaliknya, penggunaan antibiotik dapat menurunkan kejadian
infeksi berhubungan dengan kateter. Setelah dicabut, ujung kateter harus dikirim untuk kultur,
dimana pertumbuhan bakteri berkaitan dengan risiko tinggi terjadi meningitis, dan tes sensitivitas
antibiotika berdasarkan atas analisis mikrobiologi dapat menjadi pedoman terapi (IB, Adi, 2013).
1. Primary Survey
Menurut Rab, Tabrani 2007, pengkajian primer dalam asuhan kegawatdaruratan meliputi :
a. Airway
b. Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun
sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau
wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas pasien.
c. Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya takikardi,
bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil.Kaji juga kondisi akral dan nadi
pasien.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan nilai
GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama
sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat
dengan metode AVPU.Namun sebelum melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A
yaitu aman penolong, aman korban dan aman lingkungan.
A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga korban, pada
tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut
ke P.
P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah menekan bagian
putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah
tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra orbital).
U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi maka pasien
berada dalam keadaan unresponsive.
Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
Ciri :
e. Exposure of extermitas
Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas, laserasi, contusio,
bullae, atau abrasi.
2. Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to
toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai
stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian
penting dari pengkajian pasien.Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah
kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.(Emergency Nursing
Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera
yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah, maksilo-
fasial, servikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain,
fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga
(Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani pengobatan
hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah diderita,
obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam sebelum
kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang menyebabkan
adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi pasien.
Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa pertanyaan di
bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
C. have you ever felt should Cut down your drinking?
A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or get rid of a
hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses
pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : dalam setahun terakhir ini
seberapa sering pasanganmu (Emergency Nursing Association, 2007):
1. Hurtyou physically?
2. Insulted or talked down to you?
3. Threathened you with physical harm?
4. Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
1. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? apa yang membuat nyerinya lebih
baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri?
apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
2. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien mengatakan
dengan kata-katanya sendiri)
3. Radiates: apakah nyerinya menyebar? menyebar kemana? apakah nyeri terlokalisasi di
satu titik atau bergerak?
4. Severity : seberapa parah nyerinya? dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan
10 adalah nyeri hebat
5. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? berapa lama nyeri itu
timbul? apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini
sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera ringan,
tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan
inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa,
kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp
& Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat
cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan
menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan
skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakahisokor atau anisokor serta
bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus,
ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya
kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta
diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman, apabila ada
deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, perdarahan, penurunan atau hilangnya
pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya
hemotimpanum
4) Rahang atas :periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna, kelembaban, dan
adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan
tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi
amati adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma
tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka, frekuensi dan kedalaman
pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan
ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(Lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi jantung
(murmur, gallop, friction rub)
e. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal
dengan pemakaian GCS.Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis
atau saraf perifer.Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan
alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal.Kesalahan yang sering
dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga
penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu.Jelaslah bahwa seluruh tubuh
penderita memerlukan imobilisasi.Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis.Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan
intra cranial.Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang
perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC).Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural
subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau
hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran dalam mengkoordinasi otot),
rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori
3. Pemeriksaan Penunjang
4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
Airway Management:
Setelah diberikan asuhan
1. Auskultasi suara napas, catat
keperawatan selamajam
adanya suara napas tambahan
jalan napas klien bebas
(ronchi, wheezing,gurgling)
dengan KH:
2. Lakukan fiksasi pada daerah
kepala leher untuk meminimalkan
a. RR normal (12-
terjadinya gerakan
24x/menit)
3. Lakukan pembebasan jalan napas
Ketidakefektifan b. Ritme pernapasan
secara manual dengan teknik jaw
bersihan jalan napas reguler
1. thrust maneuver secara hati-hati
bd akumulasi secret, c. Klien mampu untuk
untuk mencegah terjadinya
sisa muntahan mengeluarkan secret,
gerakan leher
sisa muntahan
4. Lakukan pembebasan jalan napas
d. Tidak terdengar suara
dengan alat (nasophaaryngeal
napas tambahan
airway/oropharyngeal airway)
(ronchi, wheezing,
jika dibutuhkan
gurgling)
5. Monitoring pernapasan dan
status oksigenasi klien
6. Berikan oksigen tambahan
Manajemen nyeri :
Seorang laki-laki bernama Tn. H (45) dibawa ke IGD karena mengalami kecelakaan lalu
lintas.Saat dilakukan pengkajian klien tampak bingung dan mengalami penurunan kesadaran.
Hasil pengkajian menunjukkan Tn. H merintih kesakitan, membuka mata, tangannya
melokalisasi sumber nyeri, sempat muntah dannilai GCSnya adalah 11(E4 , M5 ,V2). Hasil CT
Scan menunjukkan adanya perdarahan yang menuju ke jaringan serebral. Terdapat cedera pada
lobus temporal, kebiruan pada kedua bola mata , terdapat edema pada wajah dan perdarahan
hidung, ada suara napas tambahan (gargling). Pada saat pengkajian TD: 110/70, Suhu: 38.5, RR:
24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt reguler, Riwayat alergi dan penyakit dahulu disangkal.
1. Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway + cara mengontrol cairan cerebrospinal
a. Breathing
b. Circulation
TD: 110/70, Suhu: 38.5,RR: 24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt regular, CRT > 2 detik, kebiruan pada
kedua bola mata dan terdapat edema pada wajah akral dingin, basah, pucat.
c. Disability
d. Exposure of extermitas
Luka bagian kepala, suhu 38.5
2. Secondary survey
a. Anamnesis
A : Klien tidak memiliki riwayat Alergi
M : Klien tidak mengkonsumsi obat-obatan
P : Klien tidak pernah menderita penyakit sebelumnya.
L : Sebelum kejadian, klien mengkonsumsi obat-obatan
E : Klien akan pulang ke rumah setelah pulang kerja dan mengalami kecelakaan.
b. Pemeriksaan fisik
a. B1 (breathing) : RR 24x/menit, tidak ada tanda sesak, terdapat suara napas tambahan
(gargling)yang menunjukkan adanya sumbatan jalan napas berupa sisa muntahan,
pergerakan dada simetris, adanya penggunaan otot bantu pernafasan
b. B2 (blood) : TD: 110/70, Suhu: 37.5,RR: 24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt regular, CRT > 2
detik, kebiruan pada kedua bola mata dan terdapat edema pada wajah akral dingin, basah,
pucat
c. B3 (brain) : dilatasi pupil ipsilateral, penurunan kesadaran.
d. B4 (bladder) : perut simetris, tidak ada jejas, tidak ada distensi kandung kemih,
terpasang kateter, warna urine kuning
e. B5 (bowel) : bising usus +, tidak ada benjolan, perabaan massa tidak ada,sempat
muntah, asites ( - ).
f. B6 (bone) : pergerakan terbatas, tidak ada kelainan bentuk tulang.
2. Analisa data
3. Diagnosa Keperawatan
4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
Airway Management:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
Ketidakefektifan 1. Auskultasi suara napas sebelum
selama 1x24 jam jalan
bersihan jalan nafas bd dan sesudah dilakukan pembebasan
1. napas klien kembali
akumulasi sisa jalan napas, catat hasilnya
paten (terbebas dari
muntahan 2. Lakukan fiksasi pada daerah kepala
sumbatan), dengan
leher untuk meminimalkan
kriteria hasil:
terjadinya gerakan
3. Lakukan pembebasan jalan napas
a. RR normal (12- secara manual dengan teknik jaw
24x/menit) thrust maneuver secara hati-hati
b. Ritme untuk mencegah terjadinya gerakan
pernapasan leher
reguler 4. Lakukan pembebasan jalan napas
c. Klien mampu dengan alat oropharyngeal
untuk airwayjika dibutuhkan
mengeluarkan 5. Monitoring pernapasan dan status
sisa muntahan oksigenasi klien
d. Tidak terdengar 6. Berikan oksigen
suara gurgling
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 2x24 jam klien Monitoring tekanan intrakranium:
menunjukan status
sirkulasi dan perfusi 1. Kaji, observasi, evaluasi tanda-
jaringan serebral yang tanda penurunan perfusi serebral:
membaik dengan KH: gangguan mental, pingsan, reaksi
pupil, penglihatan kabur, nyeri
a. TD dalam kepala, gerakan bola mata.
rentang normal 2. Hindari tindakan valsava manufer
(120/80 mmHg) (suction lama, mengedan, batuk
b. Tidak ada tanda terus menerus).
peningkatan 3. Berikan oksigen sesuai instruksi
Resiko ketidakefektifan
TIK dokter
perfusi jaringan
2. c. Klien mampu 4. Lakukan tindakan bedrest total
cerebral bd edema
bicara dengan 5. Minimalkan stimulasi dari luar.
cerebral
jelas, 6. Monitor Vital Sign serta tingkat
menunjukkan kesadaran
konsentrasi, 7. Monitor tanda-tanda TIK
perhatian dan 8. Batasi gerakan leher dan kepala
orientasi baik 9. Kolaborasi pemberian obat-obatan
d. Fungsi sensori untuk meningkatkan volume
motorik cranial intravaskuler Manitol dengan dosis
utuh :kesadaran 1 gram/kg BB bolus IV dan
membaik (GCS Furosemid dengan dosis 0,3 0,5
15, tidak ada mg/kg BB IV
gerakan
involunter)
5. Evaluasi Keperawatan
1. Jalan napas menjadi bersih dan tidak ada sisa muntahan dan sekret
2. Perfusi jaringan baik
3. Luka tertangani dengan baik dan tidak ada tanda-tanda infeksi
Daftar Pustaka
Aritonang,S.2007.Trauma Kepala.Artikel.eprints.undip.ac.id/29403/3/Bab_2.pdf
Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Behrman, Kliegman, & Alvin, N. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 1. Jakarta: EGC.
Baughman, Diane C., JoAnn C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku untuk
Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC, p.66.
Brain Trauma Foundation, 2007. Journal of Neurotrauma, Volume 24, Suplement 1.
Bulechek, M.G., Howard, K.B., Joanne, M.D. (eds). 2013. Nursing Interventions Classification
(NIC). USA: Mosby Elsevier
Cullagh S Mc, Feinstein A Outcome after mild traumatic brain injury: an examination of
recruitment biasJ Neurol Neurosurg Psychiatry 2003;74:3943
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC.
Doengoes, Marilyn, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta: EGC
Doenges M.E. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ).
Philadelpia, F.A. Davis Company.
Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda. 2009. Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: ECG.
David S, Stephen A M, Jennifer A F. Management of Elevated Intracranial Pressure in Decision
Making in Neurocritical Care. Thieme. New York. 2009; 195-218.
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics Monitoring and
Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology and Neurosurgery. Surez, J.I.
editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-55.
Engram, barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah Vol.3. Jakarta: EGC
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Volume 3. Jakarta:
EGC, p. 642.
Emergency Nurses Association. 2007. Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St. Louis
Missouri : Elsevier Mosby.
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics Monitoring and
Irwana, Olva. 2009. Cedera Kepala.Faculty Of Medicine.Article pdf.Universitas Pekan Baru
Riau
Hudak CM & Gallo BM, 2010, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi 6, EGC, Jakarta
Hernanta, I. (2013). Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains. Jogjakarta: D-MEDIKA.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions &
Classification, 20152017. 10nded. Oxford: Wiley Blackwell
Grace, Pierce Adan Borley, Neil R. 2006. At A Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga.
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, p.91
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga, p.117.
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, p.92.
MakalahCederaKepala.pdf.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21501/4/
Chapter%20II.pdf
Mark S Greenberg. Intracranial Pressure in Handbook of Neurosurgery. 6th ed. Thieme. New
York. 2006; 647-663
Musliha.2010.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika
Morton, P. G., Dorrie, F., Carolyn, M. H., & Barbara, M. G. (2008). Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik, Ed. 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta:Salemba Medika, p.161.
Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology and Neurosurgery. Surez, J.I.
editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-55.
Muttaqin, arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th ed. USA: Mosby
New South Wales Health Government. 2012. Closed Head Injury in Adults-Initial Management.
2nd Edition. NSW Health, p.8. Diakses pada
http://www0.health.nsw.gov.au/policies/pd/2012/pdf/PD2012_013.pdf
Purnama,Eka.2007.Makalah Cedera Kepala.digilib.unimus.ac.id/files/.../jtptunimus-gdl-
ekapurnama-5391-2-babii.pdf
Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Suriadi& Rita Yuliani. 2001. AsuhanKeperawatanPadaAnak, Edisi I. Jakarta: CV SagungSeto.
Syaifuddin.2006. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC.
0 0 Google +0 8