Anda di halaman 1dari 62

LP TRAUMA KEPALA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001)

B. Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):

1. Minor

SKG 13 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

2. Sedang

SKG 9 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.

3. Berat

SKG 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

C. Etiologi
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
Cedera akibat kekerasan.

D. Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi
patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang
sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau
karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala
membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua
kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan
ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai
kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera
fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom
intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar
secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera
ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar
pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
A. Manifestasi Klinis
Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
Kebungungan
Iritabel
Pucat
Mual dan muntah
Pusing kepala
Terdapat hematoma
Kecemasan
Sukar untuk dibangunkan
Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan
telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

B. Komplikasi
Hemorrhagie
Infeksi
Edema
Herniasi

C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
Rotgen Foto
CT Scan
MRI

D. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.

E. Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran,
perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian
obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,
mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di
rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan
ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
Kesadaran GCS.
Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan
fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu,
anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
d. Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya
refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar tanyakan pola makan?
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter,
ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau afasia akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
B. Diagnosa

Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:

1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan
tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan
intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.

C. Intervensi Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal
nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran
bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala
ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan
pengisapan lendir.
Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 30
derajat.
Pemberian oksigen sesuai program.

2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan
tekanan intrakranial.

Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak
menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi:
Tinggikan posisi kepala 15 30 derajat dengan posisi midline untuk menurunkan tekanan
vena jugularis.
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava
meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
tekanan pada vena leher.
pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi
(harus bersamaan).
Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic,
hindari percakapan yang emosional.
Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan
edema serebral.
Monitor intake dan out put.
Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.

3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak
menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi
pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:
Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan minum, mengenakan pakaian, BAK
dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
Perawatan kateter bila terpasang.
Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan,
seperti bagaimana cara memandikan anak.

4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.


Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau dehidrasi yang ditandai dengan
membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.

Intervensi:
Kaji intake dan out put.
Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung
dan out put urine.
Berikan cairan intra vena sesuai program.

5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan


intrakranial.
Tujuan: Anak terbebas dari injuri.
Intervensi:
Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri,
menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
Berikan analgetik sesuai program.

6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.


Tujuan: Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital
dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya,
peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
Kurangi rangsangan.
Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu
tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji adanya drainage pada area luka.
Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam,
muntah dan kenjang.

8. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan: Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah
dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan anak.
Intervensi:
Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
Gunakan komunikasi terapeutik.

9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.


Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh.
Intervensi:
Lakukan latihan pergerakan (ROM).
Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.
Kaji area kulit: adanya lecet.
Lakukan back rub setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan pelan-pelan
agar tidak menimbulkan nyeri.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Kepala

a. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:

1. Skin atau kulit,


2. Connective tissue atau jaringan penyambung,
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika,
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar,
5. Perikanium

b. Tulang tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu
frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun
disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan
fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (Syaifuddin 2006).

c. Selaput otak

Selaput otak terdiri dari tiga lapisan:

1. Durameter

Adalah meningens terluar yang merupakan gabungan dari dua lapisan selaput yaitu: lapisan
bagian dalam (yang berlanjut ke durameter spinal) dan lapisan bagian luar (yang merupakan
lapisan periosteum tengkorak). Lapisan bagian dalam akan melebar serta melekuk membeentuk
sekat-sekat otak (falks, tentorium). Lapisan bagian luar merupakan jaringan fibrosa yang lebih
padat dan mengandung vena serta arteri untuk memberi makan tulang. Gabungan kedua lapisan
ini melekat erat dengan permukaan dalam tulang sehingga tidak ada celah diantaranya. Kedua
lapisan durameter ini pada lokasi-lokasi tertentu akan terpissah dan membentuk rongga (sinus
durameter) berisi darah vena serta berfungsi untuk drainase otak. Dibawah durameter terdapat
rongga subdural yang tidak berisi liquor cerebro spinalis.

2. Arakhnoid
Arakhnoid merupakan lapisan tengah antara durameter dan piameter. Di bawah lapisan ini
adalah rongga subarakhnoid yang mengandung trabekula dan dialiri liquor cerebro spinalis.
Lapisan arakhnoid tidak memiliki pembuluh darah, tetapi pada rongga subarakhnoid terdapat
pembuluh darah.

3. Piameter

Piameter merupakan lapisan selaput otak yang paling dalam yang langsung berhubungan dengan
permukaan jaringan otak serta mengikuti konvolusinya (Syaifuddin 2006).

d. Otak

Gambar 2. Anatomi Otak (Satyanegara 2010).

Berat otak manusia sekitar 1.400 gram, tersusun oleh sekitar 100 triliun neuron. Masing-masing
neuron mempunyai 1.000 sampai 10.000 koneksi sinaps dengan sel saraf lainnya. Otak
merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal dan terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh
tulang yaitu kranium (tengkorak). Kranium ini secara absolut tidak dapat bertambah volumenya
terutama pada orang dewasa. Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung yaitu rambut,
kulit kepala, tengkorak, selaput otak (meningens), dan cairan otak (liquor cerebro spinalis). Otak
merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari
beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik
dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan (Satyanegara 2010).
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Cerebrum (Otak Besar)

Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama Cerebral
Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan
manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa,
logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual
atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian ini.

Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Keempat
Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus
Temporal.

a. Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak Besar. Lobus
ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi,
perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan,
kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
b. Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti
tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c. Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d. Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual
yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang
ditangkap oleh retina mata (Arif,2008).

2. Cerebellum (Otak Kecil)

Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian
atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau
posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga
menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.

Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi
gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu
memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju(Arif,2008).

3. Brainstem (Batang Otak)


Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan
memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur
fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur
proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau
lari) saat datangnya bahaya.

Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu, batang otak
sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur perasaan teritorial sebagai insting
primitif. Contohnya akan merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang yang tidak dikenal
terlalu dekat.

Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas dari
batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi
dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata,
mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
b. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju
bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi otomatis otak,
seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
c. Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan
formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur(Arif,2008).

4. Limbic System (Sistem Limbik)

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat kerah baju. Limbik
berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama dimiliki juga oleh hewan
mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik antara lain
hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi
menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa
lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang. Bagian
terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah bagian
memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak(Arif,2008).

e. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan
CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari
(Satyanegara.2010).
f. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa
kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)
(Satyanegara.2010).

g. Vaskularisasi otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis
(Satyanegara.2010).

2.2 Fisiologi Trauma Kepala

Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan
parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan
tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 10 mmHg . Kenaikan TIK dapat
menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.Prognosis yang buruk
terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap. Pada saat cedera,
segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam
keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka
TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang
dinamika TIK.Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep
ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie. Doktrin Monroe-Kellie menyatakan bahwa volume
total dalam kranium selalu tetap karena tulang tengkorak tidak elastis sehingga tidak bisa
mengembang jika ada penambahan volume. Pada kondisi normal, volume intrakranial terdiri dari
80% jaringan otak, 10% LCS, dan 10% darah. Peningkatan volume dari salah satu komponen ini,
atau adanya tambahan komponen patologis (misalnya hematom intrakranial), akan menimbulkan
kompensasi melalui penurunan volume dari komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan.

Bila terdapat penambahan masa seperti hematoma akan menyebabkan tergesernya LCS akan
terdesak melaui foramen magnum ke arah rongga sub-arakhnoid spinalis dan vena akan segera
mengempis/kolaps, dimana darah akan diperas keluar dari ruangan intrakranial melalui vena
jugularis atau melalui vena emisaria dan kulit kepala. Mekanisme kompensasi ini hanya
berlangsung sampai batas tertentu saja. Namun jika mekanisme kompensasi ini terlampaui maka
kenaikan volume sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.

Dengan meningkatnya aliran darah pada pembuluh darah otak, maka perdarahan intra cerebral
akan meningkat volumenya, sehingga dapat mendorong atau menekan masa otak. Otak yang
normal mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi aliran darah serebral. Autoregulasi
menjamin aliran darah konstan melalui pembuluh serebral di atas rentang tekanan perfusi dengan
mengubah diameter pembuluh darah dalam berespon terhadap tekanan perfusi serebral. Faktor-
faktor yang mengubah kemampuan pembuluh darah serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi,
seperti iskemia, hipoksia, hiperkapnea, dan trauma otak dapat mengganggu autoregulasi.

Karbon dioksida merupakan vasodilator yang paling potensi pada pembuluh serebral,
menyebabkan kenaikan aliran darah serebral yang mengakibatkan peningkatan volume
intrakranial, mengarah pada peningkatan tekanan intrakranial. Agar autoregulasi berfungsi, kadar
karbon dioksida harus dalam batasan yang dapat diterima dan tekanannya dalam batasan :
tekanan perfusi serebral di atas 60 mmHg, tekanan arteri rata-rata dibawah 160 mmHg dan
tekanan sistolik antara 60 160 mmHg dan, TIK di bawah 30 mmHg. Cedera otak juga dapat
merusak autoregulasi. Bila autoregulasi mengalami kerusakan, alirah darah serebral berfluktuasi
berkaitan dengan tekanan darah sistemik. Pada klien dengan kerusakan autoregulasi, setiap
aktivitas yang menyebabkan tekanan darah, seperti batuk, suction, dan ansietas dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah serebral yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Otak mampu mengkompensasi atau menerima perubahan minimal pada tekanan intrakranial
dengan cara pengalihan CSS ke dalam spasium subaraknoid spinal, peningkatan absorbsi CSS,
penurunan pembentukan CSS dan pengalihan darah vena keluar dari tulang tengkorak (Hudak
and Gallo, 2010).

Gambar 1. Tekanan intrakranial akan tetap normal dengan peningkatan volume sampai titik
dekompensasi tercapai. Di atas volume kritis ini, TIK akan meningkat dengan cepat

Aliran darah otak normalnya 50 - 60 mL/100 gr jaringan otak/menit. Bila aliran darah otak
menurun sampai 20-25 mL/100gr/menit maka aktifitas EEG akan hilang dan pada nilai 5
mL/100gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadilah kerusakan sel yang menetap.
Pada penderita non trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan aliran darah pada tingkat
yang konstan apabila MAP (mean arterial pressure) berada dikisaran 50-160 mmHg. Bila MAP
dibawah 50 mmHg, aliran darah otak sangat berkurang dan bila MAP diatas 160 mmHg terjadi
dilatasi pasif pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah meningkat.

Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera otak sekunder
karena iskemia akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja
diikuti kenaikan TIK yang curam, perfusi otak akan berkurang jauh terutama pada keadaan
hipotensi. Oleh karena itu bila terdapat hematom intrakranial, haruslah dikeluarkan sedini
mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.
Tekanan perfusi serebral/CPP (cerebral perfusion pressure/ CPP) adalah tekanan aliran darah ke
otak, normalnya konstan karena adanya autoregulasi. CPP ditentukan dengan pengurangan TIK
dengan Tekanan Arteri Rerata (MAP), dapat ditulis dengan rumus :
CPP = MAP TIK
Nilai normal CPP adalah 60 150 mmHg, mekanisme autoregulator dari otak mengalami
kerusakan akan menyebabkan CPP lebih dari 150 mmHg atau kurang dari 60 mmHg. Klien
dengan CPP kurang dari 50 mmHg memperlihatkan disfungsi neurologis yang tidak dapat pulih
kembali. Hal ini terjadi disebabkan oleh penurunan perfusi serebral yang mempengaruhi
perubahan keadaan sel dan mengakibatkan hipoksia serebral (Smeltzer and Bare, 2002).

2.3. Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala
yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. Cedera dibagi menjadi 2 yaitu cedera otak
primer dan sekunder. Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak segera
setelah trauma. Cedera otak sekunder meerupakan kerusakan yang berkembang kemudian
sebagai komplikasi (Pierce dan Neil 2006).

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Cedera
kepala merupakan keadaan yang serius dan perlu mendapatkan penanganan yang cepat.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif
dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).

2.4 Area yang Terkena

1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur
dapat berupa garis/linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk
fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup
yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang
memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.
Fraktur tengkorak : Fraktur tengkorak ialah terjadinya diskontinyuitas jaringan tulang
yang melindungi otak dan struktur lain yang meliputinya, terdiri dari :

a. Fraktur linear : Merupakan trauma yang umumnya terjadi, sering terjadi pada anak.
Fraktur linear merupakan kerusakan yang simple pada jaringan tengkorak yang mengikuti
garis lurus. Hal ini dapat terjadi setelah terjadinya trauma kepala ringan( terjatuh,
terpukul, kecelakaan sepeda motor ringan ). Fraktur linear bukanlah trauma yang serius
kecuali pada trauma yang agak berat dapat mengenai jaringan otak.
b. Fraktur impresi : Hal ini umumnya terjadi setelah bertabrakan dengan kekuatan besar
dengan benda tumpul seperti : palu, batu, atau benda berat lainnya. Trauma ini dapat
menyebabkan lekukan pada tulang tengkorak dan menekan jaringan otak. Apabila
kedalaman dari fraktur impresi ini sama dengan ketebalan tulang tengkorak ( - inchi
), operasi selalu dilakukan untuk mengangkat potongan tulang dan untuk melihat
kerusakan otak yang diakibatkan oleh trauma ini. Fraktur impresi yang minimal lebih
tipis dari ketebalan tulang. Fraktur ini umumnya tidak perlu dioperasi kecuali dijumpai
kerusakan lain. Fraktur ini dapat merobek duramater dan merusak jaringan otak
dibawahnya serta menimbulkan perdarahan.
c. Fraktur basiler :merupakan fraktur yang terjadi dasar tengkorak yang diakibatkan dari
trauma tumpul yang berat pada kepala dengan kekuatan yang signifikan. Fraktur basiler
umumnya mengenai rongga sinus. Hubungan ini dapat menyebabkan udara atau cairan
masuk kedalam tengkorak dan menyebabkan infeksi. Pembedahan umumnya tidak
diperlukan kecuali ditemukan kerusakan lain (Musliha, 2010).

2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan.
Perdarahan Intra cranial terdiri dari:

a. Subdural Hematom :Merupakan perdarahan yang terjadi diantara jaringan otak dan
duramater. Biasanya terjadi di daerah parietal. Peregangan dan robekan pada bridging
vein diantara otak dan duramater merupakan penyebab dari tipe perdarahan ini. Subdural
hematom terjadi secara akut, terjadi secara tiba tiba setelah trauma, atau kronik, proses
akumulasi yang lambat terjadi setelah trauma. Subdural hematom kronis umumnya
terjadi pada usia tua yang mempunyai bridging vein yang rapuh dan teregang dan dengan
mudah dapat mengalami perdarahan setelah trauma ringan. Bila terjadi akut, hal ini
menunjukkan trauma kepala yang berat. Sering perdarahan subdural baru manifest
setelah 2-3 minggu paska trauma. Dapat terjadi sakit kepala, kelemahan anggota gerak
sesisi dan bahkan penurunan kesadaran. Keadaan umumnya serius dan memerlukan
terapi operatif.
b. Epidural Hematom : Merupakan perdarahan yang terjadi diantara duramater dan tulang
tengorak. Perdarahan umumnya terjadi pada daerah temporal. Drah akan menekan
jaringan otak ke arah medial dan menyebabkan penekanan terhadap n.III sehingga pupil
yang sepihak dengan epidural hematom akan midriasis ( melebar) dan perangsangan
cahaya akan negatif. Hal ini umumnya terjadi ketika putusnya arteri meningia media..
Epidural hematom merupakan kasus yang serius dan selalu memerlukan pembedahan.
c. Perdarahan intra parenkim/ContusioCerebri : Merupakan perdarahan yang terjadi dalam
jaringan otak akibat putusnya pembuluh darah dalam jaringan otak. Contusio merupakan
memar pada jaringan otak. Banyak dokter menganjurkan pada pasien dengan contusion
cerebri untuk dilakukan observasi di Rumah sakit untuk mengatasi komplikasi seperti
edema cerebri. Perdarahan intra parenkimal dapat menyababkan terkumpulnya darah
pada jaringan otak. Perdarahan yang sedikit dapat berhenti tanpa dilakukan terapi tanpa
menyebabkan masalah yang serius. Perdarahan yang banyak atau perdarahan yang lebih
serius umumnya memerlukan tindakan pembedahan tetapi biasanya dengan cacat yang
menetap. Pada perdarahan intraparenkimal ini penderita akan cepat kehilangan kesadaran
(Musliha,2010).
2. Etiologi

Brain Injury Association of America memperkirakan setiap 21 detik terdapat orang yang
mengalami cedera kepala (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Penyebab utama dari
trauma kepala yang serius adalah kecelakaan lalu lintas (60% kematian yang disebabkan
kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera kepala). Namun ada penyebab lain dari trauma
kepala, antara lain: (Hernanta, 2013).

1. Kecelakaan industri
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
4. Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
5. Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras

Insiden cedera kepala dua kali lebih besar dialami oleh pria dibandingkan wanita dan paling
tinggi terjadi pada kelompok remaja, dewasa muda, dan lansia di atas 75 tahun (Morton, Dorrie,
Carolyn, & Barbara, 2008). Remaja berumur 15-17 tahun mempunyai angka tabrakan lebih dari
dua kali per 1.000 pengemudi yang terjadi 4 jam sebelum atau sesudah tengah malam dengan
penyebab utama penggunaan alkohol (Behrman, Kliegman, & Alvin, 2000). Lansia beresiko
tinggi untuk terjadinya kepala bisa disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: atrofi kortikal
pada lansia yang memungkinkan otak memiliki ruang yang lebih luas dalam rongga kranial,
lansia yang hidup sendiri, sinkop, disritmia jantung, sering berkemih pada malam hari yang
menyebabkan lansia sering bolak-balik ke kamar mandi, riwayat stroke, serta penggunaan
antikoagulan (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).

2. Manifestasi Klinis

Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki beberapa tanda dan
gejala, antara lain:

1. Cedera ringan

Tanda dan gejalanya:

a. Dapat menimbulkan hilang kesadaran


b. Periode konfusi (kebingungan) transien
c. Somnolen
d. Gelisah
e. Iritabilitas
f. Pucat
g. Muntah (satu kali atau lebih)
2. Tanda-tanda progresitivitas

a. Perubahan status mental (misalnya anak sulit dibangunkan)


b. Agitasi memuncak
c. Timbul tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-tanda vital yang tampak
jelas

3. Cedera berat

Tanda dan gejalanya:

a. Tanda-tanda peningkatan TIK


b. Perdarahan retina
c. Paralisis ekstraokular (terutama saraf kranial VI)
d. Hemiparesis
e. Kuadriplegia
f. Peningkatan suhu tubuh
g. Cara berjalan yang goyah
h. Papiledema (anak yang lebih besar) dan perdarahan retina

4. Tanda-tanda yang menyertai

a. Cedera kulit (daerah cedera pada kepala)


b. Cedera lainnya (misalnya pada ekstremitas)

Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada atu tidaknya fraktur
tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat kesadaran, dan kerusakan jaringan otak
(Tarwoto, 2013).

1. Fraktur tengkorak, ada laserasi, memar

Fraktur pada tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf yang ada di otak, merobek
durameter yang dapat mengakibatkan perebesan serebrospinal. Kemungkinan tanda dan gejala
yang muncul, antara lain:

a. Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan telinga
(otorrhoe).
b. Kerusakan saraf kranial
c. Perdarahan di belakang membran timpani
d. Ekimosis periorbital

Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan terjadi gangguan pada saraf kranial dan kerusakan pada
bagian dalam telinga. Kemungkinan tanda dan gejala yang muncul, antara lain:

a. Perubahan tajam penglihatan karena terjadi kerusakan pada nervus optikus


b. Kehilangan pendengaran karena terjadi kerusakan pada nervus auditorius
c. Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot mata karena
kerusakan nervus okulomotorius
d. Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis
e. Vertigo karena kerusakan otolith pada telinga bagian dalam
f. Nistagmus karena kerusakan pada sistem vestibular
g. Warna kebiruan atau hematoma pada periorbital, dan di belakang telinga di atas mastoid
(battle sign)

2. Riwayat kejadian trauma kepala

3. Tingkat kesadaran

Hal ini tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau tidaknya amnesia retrogat, mual,
dan muntah.

4. Kerusakan jaringan otak

Untuk melihat ada tidaknya cedera kepala perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI.

2. Klasifikasi

Trauma kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek, antara lain (Hernanta, 2013):

1. Mekanisme trauma kepala

Trauma kepala dibagi atas trauma kepala tumpul dan trauma kepala tembus. Trauma kepala
tumpul bisanya disebabkan oleh kecelakaan mobil motor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
Sedangkan trauma tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput
durameter menjadi indikasi apakah suatu trauma termasuk trauma tembus atau tumpul (Hernanta,
2013).

2. Beratnya trauma

Untuk menilai beratnya trauma dilakukan pemeriksaan Glaslow Coma Scale (GCS).
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai
secara umum dalam deskripsi beratnya penderita trauma kepala (Hernanta, 2013).

a. Cedera Kepala Ringan (CKR)

Jika GCS 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau
mengalami amnesia retrogade. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral maupun
hematoma.

b. Cedera Kepala Sedang (CKS)


Jika GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrogade lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

c. Cedera Kepala Berat (CKB)

Jika GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam. Dapat mengalamai kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

Tebel 1. Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)

3. Morfologi trauma

Trauma kepala berdasarkan morfologi trauma dibagi atas fraktur kranium dan lesi intrakranial
(Hernanta, 2013).

a. Fraktur kranium

Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat terbentuk garis atau bintang, serta dapat pula
terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya diperlukan pemeriksaan CT scan untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadi
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan yang lebih rinci . tanda dan gejalanya yaitu:

1. Ekimosis periorbital (racoon eye sign)


2. Ekimosis retro aurikuler (battle sign)
3. Kebocoran cairan serebrospinal (rhonorrea, ottorhea), dan
4. Parese nervus fasialis (N VII)

b. Lesi intrakranial

Diklasifikasikan menjadi lesi lokal dan lesi difus, walaupun keduanya sering terjadi bersamaan.

1. Lesi lokal

Yang termasuk lesi lokal adalah

a. Perdarahan epidural

Perdarahan epidural adalah akumulasi darah diantara dura dan struktur bagian dalam otak, yang
biasanya disebabkan oleh laserasi arteri ekstradural (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Ciri dari perdarahan epidural adalah berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung
(Hernanta, 2013). Klien dengan perdarahan epidural awalnya dapat mengalami kehilangan
kesadaran, kembali sadar, dan kemudian dengan cepat mengalami perburukan hingga menjadi
tidak sadar kembali. Sikap tubuh dan dilatasi unilateral pupil menunjukkan tanda lanjut herniasi
serebral (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).

b. Perdarahan subdural

Perdarahan subdural adalah akumulasi darah di bawah dura dan di atas arakhnoid yang menutupi
otak (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Perdarahan subdural sering terjadi akibat
robeknya jembatan vena yang terletak antara korteks serebri dan sinus venous tempat vena tadi
bermuara, namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri permukaan otak. Perdarahan
ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih
berat. Prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural (Hernanta, 2013).

c. Kontusio dan perdarahan intra serebral

Kontusio serebral sering terjadi di frontal dan lobus temporal, namun bisa juga terjadi pada
setiap bagian otak seperti batang otak dan cerebellum. Kontusio serebral dapat terjadi dalam
beberapa hari atau jam yang kemudian mengalami evolusi membentuk perdarahan intraserebral
apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangna neurologis (Hernanta, 2013).
A B C
Gambar 1. A.Hematoma peidural B.Hematoma subdural C.Hematoma intraserebral (Morton,
Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).

2. Lesi difus

Cedera difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi. Pada
pemeriksaan CT scan menunjukkan hasil normal, namun keadaan klinis neurologis sangat buruk
bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalam dan lamanya koma dikelompokkan
menjadi kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus (CAD). Keadaan koma yang
dalam dan tetap selama beberapa waktu biasanya penderita menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebasi. Bila pulih, penderita sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan
hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom, seperti: hipotensi, hiperhidrosis,
hiperpireksia, dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer (Hernanta, 2013).

4. Kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013)

a. Komosio serebri (gegar otak)

Gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya
kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia retrogad, mual, muntah, dan nyeri
kepala.

b. Kontusio serebri (memar)

Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontunuitas otak masih utuh,
hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.

c. Laserasio serebri

Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak
terbuka. Massa otak terkelupas ke luar dari rongga intrakranial.

2. Patofisiologi

Mekanisme khas dari trauma kepala adalah (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008):

1. Akselerasi

Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak. Misalnya alat pemukul
menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala.
2. Deselerasi

Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam. Misalnya pada pada kasus jatuh atau
tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca. Akselerasi-deselerasi sering kali dalam kasus
kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan fisik.

3. Coup-contre coup

Terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan
kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali
terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera translasional karena benturan dapat berpindah ke
area otak yang berlawanan. Misalnya ketika pasien dipukul dengan objek tumpul pada bagian
kepala.

4. Cedera rotasional

Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansia alba seta robeknya pembuluh
darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam otak tengkorak.

Gambar 2. Mekanisme tipikal cedera (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).

Patofisiologi trauma kepala dapat digolongkan menjadi dua proses, yaitu proses primer dan
proses sekunder (Tarwoto, 2013).

1. Proses primer

Merupakan trauma yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma. Trauma ini
umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh darah, dan struktur
pembentuknya (Tarwoto, 2013).

2. Proses sekunder
Merupakan proses lanjutan dari proses primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.
Biasanya klien mengalami hipoksi, hipotensi, asidosis, penurunan suplai oksigen ke otak. Lebih
lanjut keadaan ini menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, nyeri kepala.
Peningkatan tekanan intrakranial harus segera ditangani karena dapat menimbulkan gangguan
perfusi jaringan otak dan herniasi serebral yang dapat mengancam kehidupan. Prinsip dari
penalaksanaan peningkatan TIK adalah dengan mengontrol cerebral blood flow (CBF) untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Keadaan CBF ditentukan oleh berbagai faktor
seperti tekanan darah sistemik, cerebral metabloic rate, dan PCO2. CBF yang adekuat akan
berpengaruh terhadap tekanan prfusi otak (CPP), sehingga kebutuhan metabolisme otak terjaga
(Tarwoto, 2013).

2. WOC

(Terlampir)

2.10 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik dan penunjang pada trauma kepala, yaitu: (Baughman & Hackley 2000;
Grace & Borley 2007; Muttaqin 2012)

1. Rontgen tengkorak: AP, lateral, dan posisi Towne


2. CT scan/ MRI: menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, dan edema serabral
3. Cerebral Angiography: menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma
4. Serial EEG: melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
6. BAER: mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF danlumbal punksi: dapat dilakukan jika dicurigai terjadi perdarahan subarachnoid.

Menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma kepala dapat dilakukan primary
dan secondary survei. Survei primer mengkaji ABCDE (airway, breathing, circulation,
disability, exposure), dan survei sekunder terdiri dari observasi ketat penting pada jam-jam
pertama sejak kejadian cedera.
Survei Primer

1. Airway

Daerah tulang servikal harus diimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar,
head block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.

2. Breathing
Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Pernapasan dinilai dengan menghitung laju
pernapasan, memperhatikan kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot
pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi napas di kedua aksila.

3. Circulation

Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktatatau Normal Salin (20
ml/kgBB) jika pasien syok, transfuse darah 10-15 ml/kgBB harus dipertimbangkan.

4. Disability

Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.Tingkat
kesadaran dapat diklasifikasikan menggunkan GCS.

Anak dengan kelainan neurologis yang berat, seperti anak dengan nilai GCS 8, harus
diintubasi.
Hiperventilasi menurunkan pCO2 dengan sasaran 35-40 mmHg, sehingga terjadi vasokontriksi
pembuluh darah di otak, yang menurunkan aliran darah ke otak dan menurunkan tekanan
intracranial. Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan intracranial.

5. Exposure

Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-anak sering datang
dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat
dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan intravena
(yang telah dihangatkans ampai 390C) (Dewanto et al.2009).

Survei Sekunder
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah dipastikan
penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka
tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dalami akibat cidera disertai observasi tanda
vital dan deficit neurologis. Selain itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:

a. Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher


b. Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher
c. Rasa baal pada lengan
d. Gangguan keseimbangan atau berjalan
e. Kelemahan umum.

Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa:

a. Penurunan kesadaran (menurut skala koma Glasgow) dari observasi awal


b. Gangguan daya ingat
c. Nyeri kepala hebat
d. Mual dan muntah
e. Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis)
f. Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan
g. Abnormlitas anatomi otak berdasarkan CT scan.

Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya di rumah.
Namun, bila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam pertama, penderita harus
dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status cidera kepala yang dialami menjadi cedera
kepala sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda.

Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum penderita diizinkan
pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita, dapat langsung dibawa kembali ke
rumah sakit. Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom
subdural (SDH), maka indikasi bedah adalah:

a. Indikasi bedah pada perdarahan epidural (EDH)

1. EDH simtomatik
2. EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal> 1 cm (EDH yang lebih besar dari pada ini
akan sulit diresopsi)
3. EDH pada pasien pediatric.

b. Indikasi bedah pada perdarahan subdural (SDH)

1. SDH simtomatik
2. SDH dengan ketebalan> 1 cm pada dewasa atau > 5 mm pada pediatric (Dewantoet al,
2009).

2.11 Komplikasi
Komplikasi akibat dari trauma kepala, antara lain: (Engram 1998; Ginsberg 2008)

1. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK)


2. Hematoma subdural kronik yang dapat terjadi pada trauma kepala ringan, dan epilepsi
pasca trauma terjadi terutama pada pasien yang mengalami kejang awal (dalam minggu
pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur
depresi kranium, atau hematoma intrakranial
3. Pasien dengan fraktur basis cranii beresiko mengalami kebocoran CSF dari hidung
(rinorea) atau telinga (otorea) yang dapat memberikan kemungkinan terjadinya
meningitis. Selain terapi infeksi, komplikasi ini membutuhkan reparasi bedah untuk
robekan dura. Bedah eksplorasi juga diperlukan apabila terjadi kebocoran CSF persisten
4. Sindrom pascakonkusi yaitu sindrom dengan beberapa gejala: nyeri kepala, vertigo,
depresi, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah trauma kepala ringan.
Vertigo dapat terjadi akibat terdapat trauma pada vestibular.
2.12 Penatalaksanaan

Terdapat bebeapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan dalam trauma kepala, yaitu: (Grace &
Borley 2007; Muttaqin 2012)

1. Mempertahan fungsi ABC (airway, breathing, circulation)


2. Menilai status neurologis (disabilitas dan pajanan)
3. Penurunan resiko iskemi serebri, dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa
meskipun pada otak yang mengalami trauma relatif memerlukan oksigen dan glukosa
yang lebih rendah
4. Mengontrol kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang
diakibatkan edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi
usaha untuk menurunkan TIK dapat dilakukan dengan menurunkan PaCO2 melalui
hiperventilasi yang menurunkan asidosis intraserebral dan meningkatkan metabolisme
intraserebral.

Tatalaksana sesuai derajat trauma kepala:

1. TraumaKepalaRingan (GCS = 1315)

Obat anti nyeri non narkotik


Toksoidpadalukaterbuka
Penderitadapatdiobservasiselama 1224 jam di RumahSakit

2.Trauma KepalaSedang (GCS = 9-12)

a. Anamnese singkat
b. Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
c. Pemeriksaan CTscan
d. Penderita harus dirawat untuk diobservasi
e. Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat apabila:

1. Status neulologis membaik


2. Hasil CT scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
3. Apabila pasien jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan pasien trauma
kepala berat.

f. Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

3.Trauma Kepala Berat (GCS 8)


Diagnosa dan terapi sangat pentingdan perlu dengan segara penanganan Tindakan stabilisasi
kardiopulmoner pada penderita Trauma Kepala Berat harus dilakukan secepatnya.
2.13 Prognosis

Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang dialami.Nilai GCS saat
pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai prognosis yang besar. Nilai GCS antara
3-4 memiliki tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki nilai
mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga perlu diperhatikan seperti
mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu berkonsentrasi dan irritable. 17% pasien sakit
cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post trauma.
Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia.

2. Monitoring ICP(Intracranial Pressure)

A. Definisi ICP

Kranium merupakan kompartemen yang kaku kecuali pada bayi, hingga setiap penambahan
massa didalamnya akan berakibat peningkatan tekanan intrakranial bila kemampuan kompensasi
sudah terlampaui. Didalamnya berisi jaringan otak, cairan serebrospinal serta darah yang
masing-masing tidak dapat diperas. Terdapat satu lubang utama yaitu foramen magnum, hingga
bila terjadi peingkatan tekanan intrakranial jaringan otak akan mencari jalan keluar melalui
lubang ini. Disamping itu pada tentorium yang memisahkan otak besar dan otak kecil terdapat
lubang yang disebut hiatus yang mana disana terletak batang otak, sehingga apabila terjadi
peninggian tekanan intrakranial pada daerah otak besar, akan terjadi pergeseran jaringan otak
besar kedalam hiatus ini hingga akan menekan batang otak yang merupakan pusat dari fungsi
vital.

Pada keadaan normal, aliran darah otak (CBF) adalah 50 cc/100 gr jaringan otak tiap menitnya.
Pada keadaan sehat dimana mekanisme autoregulasi bagus, CBF 50 cc/100 gr jaringan
otak/menit tersebut dapat dipenuhi dengan rentang CPP 40-140 mmHg. Kerusakan jaringan otak
akan irreversibel terjadi jika CBF kurang dari 18 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan
emergensi neurologi seperti infeksi atau trauma kapitis akan terjadi peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) akibat adanya edema otak. Tekanan intrakranial normal adalah < 10 mmHg
atau 15 cmH2O (rasio 3:4 untuk mmHg ke cmH2O). Dianggap meningkat bila > 20-25 mmHg.
CPP merupakan selisih dari Mean Arterial Pressure (MAP) dengan TIK, maka sangat penting
menjaga tekanan darah optimal dan mengendalikan atau menurunkan tekanan intrakranial. TIK
dapat dipantau dengan menggunakan alat monitor TIK yang biasanya tersedia di ICU sehingga
dapat dilakukan tindakan dan terapi dengan cepat dan tepat.

Hipotesis Monro-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan TIK. Teori
ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga
ruangannya meluas, dua ruang lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya
(apabila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intracranial ini terbatas, tetapi terhentinya
fungsi neural ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran CSF ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan
tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan
kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak kearah bawah atau
horizontal (herniasi) bila TIK makin meningkat.Dua mekanisme terakhir dapat berakibat
langsung pada fungsi syaraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme
kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal.

Tekanan intracranial ialah tekanan dalam ruang tengkorak, berdasarkan hipotesis Monro-Kellie:
merupakan jumlah volume darah intracranial, jaringan otak, cairan otak yang bersifat tetap,
karena berada dalam ruang tengkorak yang bersifat kaku, tekanan tersebut menjalar ke setiap sisi
ruangan di dalam tengkorak. Tekanan Intra Kranial atau Intracranial Pressure adalah tekanan
atau hubungan volume diantara kranium dan isi kubah kranium. Volume kranium terdiri atas
darah, jaringan otak dan cairan serebrospinal (CSS), (Fransisca, 2008)

B. Nilai Normal ICP

Intracranial Pressure (Tekanan Intracranial) adalah tekanan yang ada di dalam tulang kranium
yang mana berisi otak, sistem vaskuler cerebral dan cairan cerebrospinal. Tekanan biasanya
diukur melalui caioran otak dengan tekanan normal antara 5 - 15 mmHg atau antara 60 - 180
cmH2O. Tekanan diatas 250 mmH2O disebut peningkatan tekanan intracranial dan gejala-gejala
serius dari gangguan penyakit yang menyertai akan muncul. TIK yang diukur melalui lumbal
fungsi biasanya tidak terlalu akurat karena apabila ada sumbatan pada jalur kortikospinal akan
mendapatkan hasil yang kurang akurat.

TIK normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK normal adalah 7-15
mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada anak-anak, dan 1,5-6 mm Hg pada bayi
cukup umur. Definisi hipertensi intracranial tergantung pada patologi spesifik dan usia,
walaupun TIK>15 mmHg umumnya abnormal. Contohnya TIK>15 mmHg umumnya abnormal,
akan tetapi penanganan diberikan pada tingkat berbeda tergantung patologinya. TIK>15 mmHg
memerlukan penanganan pada pasien hidrosefalus, sedangkan setelah cedera kepala, penanganan
diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK bervariasi pada anak-anak dan telah
direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya dimulai selama penanganan cedera kepala
ketika TIK >15 mmHg pada bayi, 18 mmHg pada anak yang lebih tua dan remaja.

Cerebral Perfusion Pressure

1. CPP adalah perbedaan antara MAP dan ICP (atau CVP, yang nilainya lebih besar).
2. CPP dinyatakan dengan persamaan : CPP = MAP ICP
3. CPP normal 80-100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada MAP
4. Peningkatan sedang sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan CPP dan CBF,
meskipun MAP normal.
5. CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG, CPP antara 25-40 mmHg
menunjukkan gambaran flat, tekanan perfusi terus menerus < 25 mmHg menyebabkan
kerusakan otak irreversibel.
C. Tanda dan Gejala Peningkatan dan Penurunan ICP

Kenaikan Tekanan Intrakranial yang disebut PTIK yang merupakan hal yang menjadi perhatian
utama bila kita mendapatkan perhatian utama bila kita mendapatkan pasien dengan kelainan
tekanan intra kranial.Tekanan intrakranial normal berkisar antara 10-15 mmHg atau setara
dengan 136-204 mmH2O.
Peningkatan tekanan intracranial atau hipertensi intracranial adalah suatu keadaan terjadinya
peningkatan tekanan intracranial sebesar > 15 mmHg atau > 250 mmH2O. Peningkatan tekanan
intracranial merupakan komplikasi yang serius yang biasanya terjadi pada trauma kepala,
perdarahan subarahnoid, hidrosefalue, SOL, infeksi intracranial, hipoksia dan iskemi pada otak
yang dapat menyebabkan herniasi sehingga bisa terjadi henti nafas dan jantung ( Hudak & Gallo,
1998 ).

Tanda dan gejala spesifik PTIK adalah sebagai berikut :

1. Awal

a. Penurunan derajat kesadaran (mis : delirium, gelisah, letargi)


b. Disfungsi pupil
c. Kelemahan motorik (mono atau hemiparesis)
d. Defisit sensorik
e. Paresis nervus kranial
f. Kadang-kadang disertai nyeri kepala
g. Kadang-kadang disertai bangkitan / kejang

2. Lanjut

a. Lebih memburuknya derajat kesadaran (mis : stupor, soporokomatus, koma)


b. Mungkin disertai muntah
c. Nyeri kepala
d. Hemiplegia, dekortiasi, atau deserebasi
e. Pemburukan tanda vital
f. Pola pernafasan ireguler
g. Gangguan refleks batang otak (mis : gangguan reflrks kornea, refleks muntah)

Perwujudan klinis gejala dan tanda klinik PTIK tergantung dari :

a. Lokasi kompartemen mana terdapatnya kelainan


b. Lokasi spesifik dari massa (hemisfer cerebral, batang otak atau cerebellum)
c. Derajat kemampuan kompensasi bagian otak tersebut.

Karena pentingnya mengenali gejala-gejala tersebut diatas, maka perlu sekali mengetahui cara
pemeriksaan neurologik. Untuk memudahkan akan diuraikan secara singkat temuan- temuan
diatas.
1. Perburukan derajat kesadaran

Perburukan derajat kesadarn tak selalu memperburuknya umum bagian otak, tetapi merupakan
peringkat sensitif dan dapat dipercaya untuk mengenali adanya kemungkinan memburukkan
kondisi neurologik.
Penurunan derajat kesadaran dikarenakan :

a. Sebagian besar otak terbentuk dari sel-sel tubuh yang sangat khusus, tetapi sensitif
terhadap perubahan kadar oksigen. Respon otak terhadap tidak mencukupinya kebutuhan
oksigen terlihat sebagai somnolen dan gangguan daya nalar (kognisi).
b. Fluktuasi TIK akibat perubahan fisik pembuluh darah terminal. Oleh karena itu gejala
awal dari penurunan derajat kesadaran adalah somnolen, delirium dan letargi. Penderita
menjadi disorientasi, mula-mula terhadap waktu, lalu tempat, dan akhirnya dalam hal
memgenali seseorang, Dengan semakin meningginya TIK, derajat kesadaran semakin
rendah, dimana rangsang nyeri mulai memberi reaksi adequat, hingga akhirnya
kompensasi.

2. Disfungsi pupil

Akibat peninggian TIK supratentorial atau oedema otak, perubahan ukuran pupil terjadi.Tidak
saja ukuran pupil yang berubah, tetapi dapat juga bentuk dan reaksi terhadap cahaya. Pada tahap
awal ukuran pupil menjadi berdiameter 3,5 mm atau disebut sebagai ukuran tengah. Lalu makin
melebar (dilatasi) secara bertahap.Bentuknya dapat berubah menjadi melonjong dan reaksi
tyerhadap cahaya menjadi lamban.Perlambatan reaksi cahaya dan tau perubahan melonjong,
merupakan gejala awal dari penekanan pada saraf okulomotor. Karena sumber PTIK cenderung
berdampak sesuai kompartemen pada tahap awal, disfungsi pupil masih ipsilateral (pada sisi
yang yang sama terhadap penyebabnya). Pada tahap lanjut PTIK, pupil ipsilateral berdilatasi
bilateral dan non reaktif terhadap cahaya. Pupil menjadi berdilatasi bilateral dan non reaktif pada
fase terminal, karena PTIK menyebabkan proses herniasi

3. Abnormalitas visual

Devisit visual dapat terjadi sejak gejala masih awal. Gangguan tersebut dapat berupa Ketajaman
visus, Kabur dan Diplopia.Menurutnya ketajamanpenglihatan danpenglihatan kabur adalah
keluhan yang sering terjadi, karena diperkirakanakibat penekanan saraf-saraf nervus optikus (N.
11) melintasi hemisfer cerebri. Diplopia berkaitan dengan kelumpuhan dari satu atau lerbih
saraf-saraf penggerak bola mata ekstra-okuler(N. III, IV, VI) Sehingga pasien melihat dobel pada
posisi tertentu.Gejala-gejala visual semakin menonjol seiring semakin meningkatnya TIK.
Gangguan Diplopia / Blurring / penurunan ketajaman biasannya terjadi pada pasien dengan
peningkatan ICP.Diplopia biasa karena paralisis otot yang mengatur gerakan mata.

4. Pemburukan fungsi motorik

Pada tahap awal, monoparesis stau hemiparesis terjadi akibat penekanantraktus piramidalis
kontra lateral pada massa. Pada tahap[ selanjutnyahemiplegia,dekortikasi dan deserebrasi dapat
terjadi unilateral atau bilateral. Pada tahapakhir (terminal menjelangmati) penderita menjadi
flasid bilateral.Secara klinis sering terjadi keracunan dengan respon primitif perkembangan
manusia, yaitu reflek fleksi yang disebut trifleksi (triple fleksion).Trifleklsi terjadi akibat aktivasi
motoneuron difus dengan hasil berupa aktivasi otot-otot fleksor menjauhi rangsang nyeri (otot-
otot fleksor dipergelangan lutut, kaki, dan panggul mengkontraksikankeempatanggota badan
kearah badan).Trirefleks ini merupakan bentuk primitif refleks spinal.

5. Nyeri kepala

Pada tahap paling awal PTIK, beberapa penderita mengeluh nyeri kepala ringan atau samar-
samar.Secara umum, nyeri kepala sebenarnya tidak terlalu sering terjadi seperti diperkirakan
banyak orang.Nyeri kepala terjadi akibat pereganggan struktur intrakranial yang peka nyeri
(duramater, pembuluh darah besar basis kranji, sinus nervus dan bridging veins).Nyeri
terjadiakibat penekanan langsung akibat pelebaran pebuluh darah saat kompensasi.Nyeri kepala I
pada kelainan ini sering dilaporkan sebagi nyeri yang bertambah hebat saat bangkit dari tidur di
pagi hari.Hal ini dikarenakan secara normal terjadipeningkatan aktivitas metabolisme yang
paling tinggi saat pagi hari, dimana pada saat tidurmenjelangbangun pagi fase REM
mengaktifkan metabolisme dan produksi CO2. Dengan peningkatan kadar CO2 terjadilah
vasodilatasi.

6. Muntah

Projectile vomiting akibat peningkatan ICP.Muntah akibat PTIK tidak selalu sering dijumpai
pada orang dewasa.Muntahdisebabkan adanya kelainan di infratentorial atau akibat penekanan
langsungpada pusat muntah.Kita belum mengerti secara lengkap bagaimana mekanismerefleks
muntah terjadi.Muntah dapat didahului oleh mual / dispepsia atau tidak.Seandainya didahului
oleh perasaan mual / dispepesia, berarti terjadi aktivasi saraf-saraf ke otot.Bantu pernafasan
akibat kontraksi mendadak otot-otot aberhubungan denganomen dan thoraks.

7. Perubahan tekanan darah dan denyut nadi

Pada tahap awal tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil pada tahap selanjutnya karena
penekanan ke batang otak terjadi perubahan tekanan darah.Penekananke batang otak
menyebabkan susasana iskemik di pusat vasomotorik di batangotak.Seiring dengan
meningkatnya TIK, refleks rtespon Chusing teraktivasi agar tetap menjaga tekanan didalam
pembuluh darah serebral tetap lebih tinggi daripada TIK.

Dengan meningginya tekanan darah, curah jantungpun bertambah dengan meningkatnyakegiatan


pompa jantung yang tercermin dengan semakin memburuknya kondisipenderitaakan terjadi
penurunan tekanan darah.Pada tahap awal denyut nadi masih relatif stabil dengan semakin
meningkatnyaTIK, denyut nadi akan semakin menurun kearah 60 kali permenit sebagai
usahakompensasi. Menurunnya denyut nadi dan isi denyut terjadi sebagai upaya jatung untuk
memompa akan ireguler, cepat, halus dan akhirnya menghilang.

8. Perubahan pola pernafasan


Perubahan pola pernafasan merupakan pencerminan sampai tingkat mana TIK.Bila terjadi PTIK
akut sering terjadi oedema pulmoner akut tanpadistress syndrome (ARDS) atau dissminated
intravaskular coangulopathy (DIC).

9. Perubahan suhu badan

Peningkatan suhu badan biasanya berhubungan dengan disfungsi hipothalamus.Pada fase


kompensasi, suhu badan mungkin masih dalam batas normal. Padafase dekompensasi akan
terjadi peningkatan suhu badan sangat cepat dan sangat tinggi. Melonjaknya suhubadan dapat
juga terjadiakibat infeksi sekunder, tetapi jarang yang mencapaisangattinggi sebagaimana halnya
akibat gangguan fungsi hipothalamus.

10. Hilangnya refleks refleks batang otak

Pada tahap lanjut PTIK terjadi penekanan kebatang otak yang berakibat hilangnya atau disfungsi
refleks-refleks batang otak.Refleks-refleks ini diantaranya Refleks kornea, Oukosefalik, dan
Aukulovestibuler. Prognosis penderita akan menjadi buruk bila terjadi refleks-refleks tersebut.

11. Papiledema

Tergantung keadaan yang ada, papil oedema dapat terjadi akibat PTIK, ataumemang sudah ada
sejak awal. Papiloedema akibat PTIK tak akan terjadi seandainya belum menjadi tingkat yang
sangat tinggi. Tetapi perlu diingat bahwa tak adanya papiloedema tak beraarti tak ada PTIK.Pada
beberapa orang dapat ada jika PTIK terjadi secara bertahap.

D. Monitoring ICP

Tujuan utamamonitoring tekanan intrakranial(ICP) adalah untuk mengidentifikasitekanan


intrakranialdan evaluasi terapiintervensiuntuk meminimalkancederaiskemikpada pasien yang
megalamicedera otak. (G. Werren. 2014).

Interpretasi gelombang pada monitor TIK


Selain nilai absolut TIK, gelombang TIK dapat memberikan informasi tentang compliance.
Bentuk gelombang TIK digolongkan menjadi komponen P1, P2, P3, dengan tiap elemen
gelombang lebih kecil dari sebelumnya. Gelombang P1 menunjukkan gelombang arterial, P2
menunjukkan rebound, dan P3 menunjukkan outflow vena. Peningkatan gelombang P2
merupakan tanda compliance yang jelek. Compliance dapat diukur dengan pengaturan drainase
volume CSF dan memeriksa perubahan pada tekanan yang ditimbulkan (volume/tekanan).
Jika compliance TIK yang rendah dan kritis, disertai dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat,
dapat mengakibatkan gelombang Lundberg.
Gambar 1 .Bentuk gelombang TIK .7. Gelombang TIK patologik (Sumber : Guide to the Care of
the Patient with Intracranial Pressure Monitoring)

Gelombang Lundberg A (gelombang plateau) menunjukkan peningkatan TIK tiba-tiba dari 20 ke


100 mmHg yang bertahan dari menit ke jam, menyebabkan penurunan CBF/CPP dan iskemik
otak. Gelombang Lundberg B sedikit meningkat, biasanya 5-20 mmHg, bertahan 1-5 menit,
berhubungan dengan variasi respirasi, dan digolongkan dengan ketajaman gelombang.
Gelombang Lundberg ini merupakan penanda untuk compliance intrakranial rendah kritis dan
mungkin mengakibatkan hipoperfusi jaringan, pembesaran arteriolar yang progresif, dan
peningkatan CBV. Gelombang Lundberg A harus diterapi dengan agresif dengan meningkatkan
CPP menggunakan vasopressor, dan menurunkan TIK dengan terapi osmotik dan hiperventilasi.

Penting untuk dicatat bahwa pasien dapat terjadi herniasi dengan nilai TIK normal. Pasien
asimptomatik dengan kurva compliance normal, TIK dapat tiba-tiba naik (seperti saat batuk, atau
membalik badan).

Interpretasi Hasil Pemantauan Tekanan Intrakranial

a. Tipe waveform tekanan intrakranial

Terlihat adanya variasi dalam rekaman pengukuran ICP normal yang berasal dari denyutan kecil
yang ditransmisikan dari tekanan darah sistemik ke rongga intrakranial. Dalam melakukan
pemeriksaan dasar apakah sinyal ICP benar-benar representatif terhadap tekanan intrakranial,
dokter harus memastikan bahwa terdapat kurva tekanan berosilasi dengan penurunan progresif
dari notche P1, P2 dan P3, yang menunjukkan propagasi dari pulsasi tekanan jantung (Gbr. 1)
b. Waveform patologis

Analisis kurva tekanan lebih lanjut juga dapat digunakan dengan mengidentifikasi gelombang
Lundberg A dan B. Gelombang A (juga dikenal sebagai gelombang plateau) yang ditandai
dengan peningkatan dan penurunan yang cepat pada tekanan sampai nilai 50-100 mmHg dan
berlangsung dari 5 sampai 20 menit dengan durasinya yang bervariasi. Mereka adalah tanda dari
gangguan autoregulasi serebral yang lebih parah. Gelombang B yang berosilasi secara ritmik
muncul dengan frekuensi 1/2-2 kali per menit, dan dapat menjadi tanda disfungsi serebral.
Dengan meningkatnya ICP, akan terjadi penurunan compliance otak, pulsasi arteri menjadi lebih
jelas, dan komponen vena menghilang. Waveform patologis termasuk Lundberg tipe A, B, dan
C. Gelombang Lundberg A atau gelombang plateau adalah elevasi ICP ke nilai yang lebih tinggi
dari 50 mmHg berlangsung selama 5 sampai 20 menit. Gelombang ini disertai dengan
peningkatan simultan dari MAP, tetapi tidak jelas dipahami apakah perubahan MAP adalah
sebagai penyebab atau efek Gelombang Lundberg B atau pulsasi tekanan, memiliki amplitudo 50
mmHg dan terjadi setiap 30 detik sampai 2 menit. Gelombang Lundberg C memiliki amplitudo
20 mmHg dan frekuensi 4 sampai 8 kali per menit, dapat terlihat pada waveform ICP normal,
akan tetapi amplitudo gelombang C yang tinggi dapat tumpang tindih dengan gelombang
plateau.

Algoritma Monitoring ICP

E. Personel Monitoring ICP

Pemantauan ICP adalah tugas kompleks yang membutuhkan pengetahuan dan pemahaman
tentang komponen teknis dari sistem pemantauan cairan, patofisiologi sistem saraf pusat, dan
interaksi antara sistem tersebut. Personil melakukan pengaturan, pengumpulan data, atau
prosedur perawatan harus memegang kepercayaan , yaitu RRT, CRT, atau RN, dan kompetensi
yang harus didokumentasikan yaitu (G. Werren. 2014) :

a. Penyiapan teknis dan operasi pemantauan tekanan sistem CCMD Share / lr / Kebijakan /
Prosedur / Monitoring Klinis
b. Central sistem fisiologi saraf dan patofisiologi
c. Analisis gelombang ICP
d. Respon tepat untuk efek samping
e. Penerapan Universal Precaution

F. Indikasi Monitoring ICP

Menurut Twomey 2009, dapat mencakup hidrosefalus, perdarahan, tumor, meningitis atau cedera
otak traumatis.
Indikasi dapat mencakup (G. Werren. 2014) :

1. Cedera otak traumatis yang berat


2. Perdarahan intrakranial
3. Edema serebral
4. Pasca kraniotomi
5. Ruang yang dapat mengalami lesi seperti hematoma epidural dan subdural, tumor, abses,
atau aneurisma dapat menyumbat saluran CSF
6. Pasien sindrom Reye yang mengalami koma dan tanggapan yang abnormal terhadap
rangsangan.
7. Encephalopathy , krisis hipertensi, atau kerusakan hati
8. Meningitis / ensefalitis mengakibatkan malabsorpsi CSF

G. Kontraindikasi

1. Infeksi sistem saraf pusat


2. Gangguan Koagulasi
3. Terapi antikoagulan
4. Infeksi kulit kepala
5. Pergeseran garis tengah mengakibatkan perpindahan ventrikel
6. Edema serebral mengakibatkan kehancuran ventrikel
7. Pasien memiliki abses otak

H. Komplikasi dan Precaution

Komplikasi yang terjadi menurut G. Werren. 2014, yaitu :

1. Infeksi intracranial
2. Kejang
3. Stroke
4. Perdarahan intraserebral
5. Kebocoran CSF ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
6. Cairan CSF yang berlebihan yang menyebabkan kehancuran dan herniasi
7. Hilangnya pemantauan atau pembuangan disebabkan oleh sumbatan kateter pada jaringan
otak atau darah
8. Terapi yang tidak tepat karena salah pembacaan ICP disebabkan oleh bentuk gelombang
yang tidak tepat, kegagalan elektromekanis, atau kesalahan operator
9. Kerusakan saraf
10. Kematian

I. Pencegahan PTIK

Pencegahan PTIK menurut G. Werren (2014)

1. Untuk meminimalkan risiko infeksi sistem saraf pusat, teknik aseptik harus digunakan
setiap saat ketika perawatan, memanipulasi, atau memonitoring cairan.
2. Sambunganyang kuatharus dipertahankan, dansistem harus tetap bebas dari udara untuk
memastikan keakuratan maksimal.
3. Jangan gunakan alat bilas untuk pemantauan ICP. Hanya gunakan NaCl0,9% untuk
mengisi tabung tekanan. Jangan menggunakan larutan heparin.
4. Untuk memastikan akurasi yang optimal, perataan yang tepat dan penekanan dari sistem
harus dipertahankan. Tingkatan yang tepat untuk transduser adalah pada foramen Monro
untuk diukur tingkat kantus bagian luar pada mata atau sebagai alternatif ditulang
belakang lumbal untuk pembuangan.
5. Harus sangat hati-hati dalam memposisikan dan mengubah pasien untuk menghindari
pergerakan kanulasi atau pemutusan selang saat pengambilan .
6. Pasien diletakkan degan posisi kepala 30 sampai 45 derajat dan posisi netral bila
diperlukan untuk meminimalkan ICP. Dilakukan secara hati-hati ketika memposisikan
pasien dan melakukan terapi untuk meminimalkan kenaikan ICP dan degradasi terkait di
CPP. Hindari posisi fleksi dan hiperekstensi leher dan pasien dalam posisi trendelenberg,
yang semuanya dapat meningkatkan ICP. CATATAN: Sebuah alarm untuk peningkatan
ICP harus dijaga ON setiap saat
7. Lakukan dengan hati-hati saat memanipulasi sistem drainase untuk menghindari filter
agar tidak basah. Drainase silinder harus selalu dalam posisi tegak. Jika filter diharuskan
untuk basah, dan apabila drainase ingin diperlambat atau dihentikan, dibutuhkan waktu
agar filter dapat mengering sebelum drainase dapat diatur kembali.
8. Cordis EDS dan sistem tekanan transduser hanya dapat digunakan pada satu pasien saja.
Tidak dianjurkan untuk mensterilkan setiap bagian dari sistem sekali pakai tersebut untuk
digunakan secara bergantian dengan pasien lain.
9. Tidak dianjurkan untuk melakukan drainase secara simultan dan pemantauan tekanan.
Untuk memastikan pengukuran tekanan yang tepat, melakukan monitoring tekanan hanya
dapat dilakukan saat threeway tertutup untuk sistem drainase.
10. Hanya sejumlah kecil dari CSF (sekitar dua ml) yang harus didrainase dalam satu waktu.
Dekompresi otak secara cepat dari CSF yang terlalu didrainase dapat menyebabkan
herniasi. Drainase secara berlebihan dapat terjadi jika sistem tidak sengaja dibiarkan
terbuka, atau jika pasien dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi dari titik acuan
pada sistem (sesuai instuksi dokter).

CATATAN: Ketinggian dari silinder drainase menentukan kecepatan di mana CSF akan
didrainase. Instruksi dokter untuk drainase harus mencakup pembacaan tekanan baik mm Hg
atau cm H2O di mana ketinggian (seperti yang ditandai pada kartu pemasangan) silinder drainase
harus diperhatikan. Titik referensi nol untuk pemantauan ICP selalu berada di luar canthus mata
(termasuk untuk drainase lumbal dan tulang belakang).

J. Efek Samping dan Intervensi

Efek samping yang dapat terjadi antara lain:

1. Jika darah divisualisasikan dalam tabung tekanan (dari perdarahan intrakranial),


Beritahukan dokter.
2. Jika gelombang yang baik atau ICP yang akurat tidak dapat diperoleh, dapat dicoba
membilas sistem pemantauan dengan cairan 0,9% NaCl steril. Untuk sesak semua
penghubung pertama harus diperiksa. Jangan membilas sementara system itu terbuka
untuk pasien. Tutup kran untuk pasien dan kemudian cobalah untuk mengejutkan sistem
pemantauan. Lanjutkan pemantauan tekanan dengan membuka sistem untuk pasien. Jika
gelombang buruk terus berlanjut, masalah sistem seperti debubbling, releveling dan
penekanan, dan mengubah kabel listrik. Jika semua manuver ini gagal untuk
memperbaiki bentuk gelombang yang buruk, Kateter dapat tersumbat dengan darah atau
jaringan yang memerlukan intervensi dokter. CATATAN: ICP akut rendah mungkin
menunjukkan dekompresi akut akibat kebocoran atau overdrainage CSF. Beritahu dokter
dan perawat segera.
3. Dalam kasus dekompensasi akut (yaitu berkelanjutan ICP lebih besar dari atau sama
dengan 15 mm Hg), bersiaplah untuk hiperventilasi pasien dengan resusitasi pengguna
terhubung ke 100% oksigen. Beritahu dokter atau perawat.
4. Jika pasien menunjukkan tanda-tanda dekompensasi termasuk tingkat kesadaran yang
berubah, gelisah, agitasi, lesu, kebingungan, kelemahan motorik, kejang, perubahan
dalam pola pernapasan, peningkatan tekanan darah, bradikardia, muntah, decortication /
decerebration, atau koma, beritahu perawat dan dokter segera. (G. Werren. 2014)

K. Peralatan Pemasangan ICP

1. Cordis EDS with mounting card


2. Pressure transducer with 48-inch pressure tubing
3. Sterile 0.9% NaCl with sterile 20-ml syringe
4. Pressure monitoring cable
5. Intravenous cable
6. Manual resusitator, mask, and 100% oxygen source
7. Cardiopulmonary monitor
8. Universal precautions attire (G. Werren, 2014)

L. Prosedur Monitoring

1. Kumpulkan Cordis EDS sesuai dengan instruksi pada setiap paket dan pada setiap kartu
pemasangan pada diagram petunjuk menggunkan 0,9% NaCl untuk membilas sistem.
Tempatkan tabung 48 inci dengan terhubung transduser tekanan pada kartu pemasangan
plastic.
2. Tempatkan pasien pada posisi semi Fowler dan posisi titik acuan nol pada canthus luar
mata
3. Awasi gelombang tekanan ICP pada monitor cardiopulmonal. Nyalakan kran yang
paling dekat dengan pasien sehingga gelombang ICP divisualisasikan.
4. Untuk drainase yang berkelanjutan, nyalakan kran yang paling dekat dengan pasien
sehingga drainase dapat dikaji dan tekanan monitor dapat dihentikan sesuai indikasi. (G.
Werren, 2014)

M. Metode pemantauan TIK

Ada dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif (secara langsung) dan non invasive (tidak
langsung). Metode non invasif (secara tidak langsung) dilakukan 8 pemantauan status klinis,
neuroimaging dan neurosonology (Trancranial Doppler Ultrasonography/TCD). Sedangkan
metode invasif (secara langsung) dapat dilakukan di beberapa lokasi anatomi yang berbeda yaitu
intraventrikular, intraparenkimal, subarakhnoid/subdural, dan epidural. Metode yang umum
dipakai yaitu intraventrikular dan intraparenkimal (microtransducer sensor). Metode
subarakhnoid dan epidural sekarang jarang digunakan karena akurasinya rendah. Pengukuran
tekanan LCS lumbal tidak memberikan estimasi TIK yang cocok dan berbahaya bila dilakukan
pada TIK meningkat. Beberapa metode lain seperti Tympanic Membrane Displacement/TMD,
Optic nerve sheath diameter/ONSD namun akurasinya sangat rendah.

1. Pemantauan secara tidak langsung

Pemantauan status klinis Beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada peningkatan TIK yaitu

a. Tingkat kesadaran (GCS)


b. Pemeriksaan pupil
c. Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III dan VI)
d. Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis
e. Adanya mual atau muntah
f. Keluhan nyeri kepala
g. Vital sign saat itu

Oftalmoskopi

Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada peningkatan TIK.Papil edema
ditemukan bila peningkatan TIK telah terjadi lebih dari sehari. Tapi sebaiknya tetap dinilai pada
evaluasi awal, ada atau tidak ada papil edema dapat memberikan informasi mengenai proses
perjalanan penyakit.
Gambar oftalmoskopi

Neuroimaging

Pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT scan kepala.
Neuroimaging digunakan untuk menetapkan diagnosa yang mengakibatkan TIK meningkat, serta
melengkapi informasi yang diperoleh dari anamnesa dan pemeriksaan.Pencitraan tidak dapat
menggantikan pemantauan TIK invasif. Pengulangan CT scan dapat digunakan ketika status
klinis pasien hanya membutuhkan penempatan monitor TIK dalam waktu singkat. Dalam
keadaan ini, pengulangan pencitraan setiap kali perubahan status pasien dapat
mendokumentasikan munculnya temuan baru (misalnya, hematoma cedera kepala) yang
kemudian memerlukan penempatan monitor. Pendekatan ini dapat digunakan untuk menunda
atau menghindari penempatan monitor TIK dalam kasus di mana kebutuhan untuk itu awalnya
kurang jelas.

Gambar neuroimaging

Neurosonology

TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang berguna untuk penilaian aliran darah
arteri basal otak.Semua cabang utama arteri intrakranial biasanya dapat diinsonasi baik arteri
kranial anterior, media dan posterior melalui tulang temporal (kecuali pada 10% pasien, dimana
insonasi transtemporal tidak memungkinkan), arteri oftalmika dan carotid siphon melalui orbita,
dan arteri vertebral dan arteri basilar melalui foramen magnum.TCD mengukur kecepatan aliran
darah, dalam sentimeter per detik, yang biasanya berkisar 40-70. Variabel pemantauan esensial
kedua berasal dari rekaman gelombang yang menggunakan indikator pulsatility index (PI), rasio
perbedaan antara kecepatan aliran sistolik dan diastolik dibagi rata-rata kecepatan aliran,
biasanya kurang lebih sama dengan 1. Penggunaan klinis yang paling umum dari TCD adalah
pemantauan untuk vasospasme, terutama setelah SAH.

Penyempitan lumen arteri, peningkatan aliran sistolik dan penurunan diastolik (aliran sistolik 120
sangat sugestif dan 200 konfirmasi dari penurunan diameter lumen), mengakibatkan peningkatan
PI (nilai di atas 3:1 sangat sugestif terjadi penyempitan lumen). Penilaian TCD serial dapat
mendeteksi perubahan progresif dalam kecepatan aliran dan PI akibat vasospasme pada SAH.
Penyempitan lumen dapat diproduksi oleh penyempitan arteri intrinsik sendiri seperti dalam
autoregulasi dan vasospasme yang benar, atau dengan hiperplasia intimal seperti dalam
"vasospasme" pada SAH. Vasospasme juga bisa terjadi karena kompresi ekstrinsik dari arteri
terutama peningkatan difus TIK mengakibatkan penekanan yang menyebabkan penyempitan
arteri basal.Seluruh peningkatan dalam kecepatan aliran dan PI dapat menunjukkan kompresi
ekstrinsik difus arteri karena TIK meningkat. Sayangnya, TCD kurang sensitif dan spesifik untuk
memberikan alternatif pemantauan TIK noninvasif. TCD tidak dapat menggantikan pemantauan
TIK langsung. Para dokter yang menggunakan TCD untuk monitor pasien SAH harus selalu
ingat bahwa perubahan penyempitan lumen yang difus mungkin menunjukkan peningkatan TIK.
Beberapa upaya telah dilakukan memanfaatkan TCD untuk menilai hilangnya autoregulasi dan
menilai adanya MAP kritis yang membahayakan CPP.

Gambar neurosonologi

2. Pemantauan secara langsung

Pemantauan TIK secara langsung dapat dilakukan dibeberapa lokasi sesuai dengan anatomi
kepala

1. Subarachnoid Screw
Subarachnoid screw dihubungkan ke tranducer eksternal melalui tabung. Alat ini ditempatkan ke
dalam tengkorak berbatasan dengan dura. Ini adalah sekrup berongga yang memungkinkan CSF
untuk mengisi baut, memungkinkan tekanan untuk menjadi sama. Keuntungan metode ini adalah
infeksi dan risiko perdarahan rendah. Aspek negatif termasuk kemungkinan kesalahan
permantauan TIK, salah penempatan sekrup, dan oklusi oleh debris.

1. Kateter subdural / epidural

Kateter subdural / epidural adalah metode lain untuk memantau TIK. Metode ini kurang invasif
tetapi juga kurang akurat.Hal ini tidak dapat digunakan untuk mengalirkan CSF, namun kateter
memiliki risiko yang lebih rendah dari infeksi atau perdarahan.
Kateter subdural / epidural Kateter subdural / epidural adalah metode lain untuk memantau TIK.
Metode ini kurang invasif tetapi juga kurang akurat. Hal ini tidak dapat digunakan untuk
mengalirkan CSF, namun kateter memiliki risiko yang lebih rendah dari infeksi atau perdarahan.

1. Intraparenkimal (microtransducer sensor)

Pemantauaan TIK intraparenkimal menggunakan microtransducer yang diletakkan di parenkim


otak melalui lubang kecil dan baut tengkorak yang memungkinkan pemantauan TIK simultan,
mikrodialisis serebral dan oksigenasi jaringan otak. Posisi pilihan perangkat tersebut adalah pada
subtansia alba regio frontal nondominan pada cedera otak difus, atau parenkim perikontusional
pada cedera otak fokal. Probe tekanan intraparenkimal ditempatkan pada hemisfer kontralateral
dari hematoma intraserebral. Perangkat yang berbeda juga tersedia, termasuk fiberoptic dan
teknologi pneumatik. Monitor TIK pneumatic Spiegelberg juga memungkinkan kalibrasi in vivo
dan pemantauan intrakranial. Monitor TIK Neurovent-P adalah kateter serbaguna yang
menggabungkan TIK, oksigenasi jaringan otak dan pemantauan temperatur otak. Nilai TIK harus
diinterpretasikan dengan hati-hati dan berhubungan dengan penilaian klinis dan radiologis
pasien. Ketika ada perbedaan yang signifikan antara nilai pemantauan dan gejala klinis,
penggantian atau penempatan kembali probe harus dipertimbangkan.

1. Kateter intraventrikuler/Ventriculostomy

Tehnik intraventrikular merupakan gold standard pemantauan TIK, yaitu kateter diinsersikan ke
dalam ventrikel lateral biasanya melalui burr hole kecil di frontal kanan. Tehnik ini juga dapat
digunakan untuk mengalirkan LCS dan memberikan obat intratekal seperti pemberian antibiotika
pada kasus ventrikulitis yang kemungkinan disebabkan oleh pemasangan kateter itu sendiri.

Sistem tranduser kateter ventrikular eksternal tradisional hanya memungkinkan pemantauan TIK
intermiten bila saluran ventrikel ditutup.Kateter ventrikel tersedia secara komersial memiliki
transduser tekanan dalam lumennya, sistem ini memungkinkan pemantauan TIK dan drainase
LCS simultan.

Beberapa komplikasi bisa terjadi akibat pemasangan kateter ventrikel antara lain kebocoran LCS,
masuknya udara ke ruang subarachnoid dan ventrikel, drainase LCS yang berlebihan dapat
menyebabkan kolaps ventrikel dan herniasi, atau terapi tidak sesuai berkaitan dengan pembacaan
TIK dengan gelombang kecil, kegagalan elektromekanikal, dan kesalahan operator. Lubang-
lubang kecil di ujung kateter dapat tersumbat oleh gumpalan darah atau deposit fibrin, dan
kateter dapat berpindah sehingga sebagian atau seluruh ujung kateter terletak dalam parenkim
otak bukan dalam ventrikel. Dalam kasus tersebut, drainase LCS akan menghasilkan gradien
tekanan signifikan antara lumen kateter ventrikel dan ventrikel. Jika diduga ada obstruksi kateter,
irigasi dengan NaCl 0,9% 2 ml dapat mengembalikan patensi kateter. Prosedur ini harus
dilakukan dengan memperhatikan asepsis, dimana manipulasi berulang berhubungan dengan
tingginya insiden infeksi sistem saraf pusat.Jadi irigasi rutin tidak dianjurkan. Ventrikulitis dan
meningitis adalah komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa, yang disebabkan oleh
kontaminasi langsung kateter selama pemasangan atau secara retrograde oleh kolonisasi bakteri
pada kateter. Kejadian infeksi dilaporkan sekitar 5-20%.Penggunaan sistem drainase tertutup dan
sampling LCS aseptik dan pembilasan kateter dan pengangkatan yang benar kateter yang tidak
dibutuhkan dapat meminimalkan risiko infeksi terkait kateter.LCS dapat mencetuskan infeksi
karena pengulangan akses ke sistem drainase.Sampling LCS lebih diindikasikan karena kriteria
klinis khusus daripada menjadi sampling rutin.

Posisi pasien saat pengukuran ditinggikan 30-45 derajat. Tranduser harus sama tinggi dengan
titik referensi. Titik referensi yang paling umum adalah foramen Monro. Titik referensi 0 adalah
garis imajiner anatara puncak telinga dan kantus bagian luar mata.

amanya waktu pemakaian kateter ventrikuler bervariasi.Secara umum lama waktu pemakaian
adalah dua minggu atau tergantung kondisi pasien. Risiko infeksi meningkat pada pemakaian
yang lebih lama. Pemberian antibiotik profilaksis dikaitkan dengan tingginya insiden infeksi
LCS yang resisten antibiotika. Sebaliknya, penggunaan antibiotik dapat menurunkan kejadian
infeksi berhubungan dengan kateter. Setelah dicabut, ujung kateter harus dikirim untuk kultur,
dimana pertumbuhan bakteri berkaitan dengan risiko tinggi terjadi meningitis, dan tes sensitivitas
antibiotika berdasarkan atas analisis mikrobiologi dapat menjadi pedoman terapi (IB, Adi, 2013).

Tipe Monitor Keuntungan Kerugian


Gold standard, pengukuran
Angka infeksi tinggi (5-
Intraventrikular TIK global, digunakan untuk
20%), resiko perdarahan 2%
diagnosis dan terapi
Mengukur TIK regional,
Angka infeksi dan perdarahan
tidak dapat dikalibrasi ulang
Intraparenkimal rendah (1%), penempatan
setelah ditempatkan,
mudah
penyimpangan (3 mmHg)
Angka infeksi dan perdarahan Pengukuran tidak dapat
Subarakhnoid/subdural
rendah percaya, jarang digunakan
Resiko perdarahan lebih
rendah jika dibandingkan
dengan monitor Pengukuran tidak dapat
Epidural
intraventrikular dan dipercaya
intraparenkimal, kadang
dipakai pada pasien dengan
koagulopati

Tabel 1. Monitor tekanan intrakranial (Sumber : Decision Making in Neurocritical Care)

Gambar pemantauan secara langsung.

2.15 Asuhan Keperawatan Umum


Pengkajian Kegawatdaruratan

1. Primary Survey

Menurut Rab, Tabrani 2007, pengkajian primer dalam asuhan kegawatdaruratan meliputi :

a. Airway

Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.


L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna
mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi perawat

b. Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun
sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau
wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas pasien.

c. Circulation

Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya takikardi,
bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil.Kaji juga kondisi akral dan nadi
pasien.

d. Disability

Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan nilai
GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama
sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat
dengan metode AVPU.Namun sebelum melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A
yaitu aman penolong, aman korban dan aman lingkungan.
A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga korban, pada
tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut
ke P.
P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah menekan bagian
putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah
tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra orbital).
U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi maka pasien
berada dalam keadaan unresponsive.
Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :

1. Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)

Ciri :

a. Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)


b. Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
c. Tidak ada intoksikasi alkoholatau obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
f. Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.

2. Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang) dengan ciri :

a. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)


b. Konkusi
c. Amnesia pasca trauma
d. Muntah
e. Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata rabun,hemotimpanum,otorhea
atau rinorhea cairan serebrospinal).

3. Cidera kepala berat (kelompok resiko berat) dengan ciri :

a. Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)


b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda neurologis fokal
d. Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.

e. Exposure of extermitas

Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas, laserasi, contusio,
bullae, atau abrasi.

2. Secondary Survey

Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to
toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai
stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

1. Anamnesis

Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian
penting dari pengkajian pasien.Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah
kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.(Emergency Nursing
Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian.

Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera
yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah, maksilo-
fasial, servikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain,
fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga
(Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani pengobatan
hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah diderita,
obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam sebelum
kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang menyebabkan
adanya keluhan utama)

Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi pasien.
Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa pertanyaan di
bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
C. have you ever felt should Cut down your drinking?
A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or get rid of a
hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses
pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : dalam setahun terakhir ini
seberapa sering pasanganmu (Emergency Nursing Association, 2007):

1. Hurtyou physically?
2. Insulted or talked down to you?
3. Threathened you with physical harm?
4. Screamed or cursed you?

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :

1. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? apa yang membuat nyerinya lebih
baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri?
apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
2. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien mengatakan
dengan kata-katanya sendiri)
3. Radiates: apakah nyerinya menyebar? menyebar kemana? apakah nyeri terlokalisasi di
satu titik atau bergerak?
4. Severity : seberapa parah nyerinya? dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan
10 adalah nyeri hebat
5. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? berapa lama nyeri itu
timbul? apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini
sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda


vital.Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat
badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut Emergency Nurses
Association(2007).

Komponen Nilai normal Keterangan


Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
Suhu 36,5-37,5 esophageal probe, atau monitor
tekanan intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Dalam pemeriksaan nadi perlu
dievaluais irama jantung,
Nadi 60-100x/menit
frekuensi, kualitas dan
kesamaan.
Evaluasi dari repirasi meliputi
frekuensi, auskultasi suara
nafas, dan inspeksi dari usaha
bernafas. Tada dari
Respirasi 12-20x/menit peningkatan usah abernafas
adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat penuh.
Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan hal
ini penting bagi pasien dengan
gangguan respirasi, penurunan
Saturasi oksigen >95%
kesadaran, penyakit serius dan
tanda vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan di
jari tangan atau kaki.
Tekanan darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
Tekanan darah 120/80 mmHg
sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan diastolic
menunjukkan fungsi tahanan
vaskuler perifer.
Berat badan penting diketahui
di UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
Berat badan
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi lain
yang tergantung dengan berat
badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera ringan,
tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan
inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa,
kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp
& Manning. 2004).

b. Wajah

Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat
cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan
menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan
skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakahisokor atau anisokor serta
bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus,
ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya
kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta
diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman, apabila ada
deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, perdarahan, penurunan atau hilangnya
pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya
hemotimpanum
4) Rahang atas :periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna, kelembaban, dan
adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan
tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi
amati adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri.

c. Vertebra servikalis dan leher


Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema, ruam, lesi,
dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan,
cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya
nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan
simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.

d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma
tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka, frekuensi dan kedalaman
pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan
ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(Lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi jantung
(murmur, gallop, friction rub)

e. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal
dengan pemakaian GCS.Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis
atau saraf perifer.Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan
alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal.Kesalahan yang sering
dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga
penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu.Jelaslah bahwa seluruh tubuh
penderita memerlukan imobilisasi.Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis.Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan
intra cranial.Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang
perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC).Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural
subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau
hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran dalam mengkoordinasi otot),
rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori

3. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium (darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah)


2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak)
3. MRI: digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif
4. Cerebral Angiopathy: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan jaringan
otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi: dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
7. ABGs: mendeteksi keberadaa
8. n ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
9. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial (Musliha, 2010).

3. Diagnosa Keperawatan Sesuaikan dengan keadaan px di IGD hanya 8 jam

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas bd akumulasi secret, sisa muntahan


2. Ketidakefektifan pola nafas bd spinal cord injury, trauma kepala
3. Nyeri akut bd trauma jaringan dan reflex spasme otot sekunder
4. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral bd edema cerebral, peningkatan TIK
5. Resiko kekurangan volume cairan bd mual muntah dan perdarahan
6. Resiko infeksi bd tempat masuknya organisme sekunder akibat trauma

4. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
Airway Management:
Setelah diberikan asuhan
1. Auskultasi suara napas, catat
keperawatan selamajam
adanya suara napas tambahan
jalan napas klien bebas
(ronchi, wheezing,gurgling)
dengan KH:
2. Lakukan fiksasi pada daerah
kepala leher untuk meminimalkan
a. RR normal (12-
terjadinya gerakan
24x/menit)
3. Lakukan pembebasan jalan napas
Ketidakefektifan b. Ritme pernapasan
secara manual dengan teknik jaw
bersihan jalan napas reguler
1. thrust maneuver secara hati-hati
bd akumulasi secret, c. Klien mampu untuk
untuk mencegah terjadinya
sisa muntahan mengeluarkan secret,
gerakan leher
sisa muntahan
4. Lakukan pembebasan jalan napas
d. Tidak terdengar suara
dengan alat (nasophaaryngeal
napas tambahan
airway/oropharyngeal airway)
(ronchi, wheezing,
jika dibutuhkan
gurgling)
5. Monitoring pernapasan dan
status oksigenasi klien
6. Berikan oksigen tambahan

Ketidakefektifan pola Setelah diberikan asuhan


2. Airway Management
nafas bd spinal cord keperawatan selama . jam
injury, trauma kepala pola nafas klien kembali
adekuat 1. Lakukan pemeriksaan fisik pada
dengan kriteria hasil: paru-paru secara tepat
2. Auskultasi suara nafas,
1. Tidak ada kedalaman, suara nafas tambahan,
penggunaan otot 3. Monitor status respirasi dan status
bantu nafas oksigenasi
2. Tidak ada dyspnea 4. Berikan oksigenasi, minimal
3. Gerak dada saat menggunakan simple mask
bernafas simetris

Manajemen nyeri :

1. Kaji nyeri secara komprehensif


(lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi).
2. Observasi reaksi nonverbal dari
Setelah diberikan asuhan ketidaknyamanan.
keperawatan selama. jam 3. Gunakan teknik komunikasi
tingkat kenyamanan klien terapeutik untuk mengetahui
meningkat, nyeri terkontrol pengalaman nyeri klien
dg KH: sebelumnya.
Nyeri akut bd trauma 4. Kontrol faktor lingkungan yang
jaringan dan reflex a. Klien melaporkan mempengaruhi nyeri seperti suhu
3.
spasme otot sekunder nyeri berkurang dg ruangan, pencahayaan,
scala nyeri 2-3 kebisingan.
b. Ekspresi wajah 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
tenang 6. Pilih dan lakukan penanganan
c. Klien dapat istirahat nyeri (farmakologis/non
dan tidur farmakologis).
7. Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll) untuk
mengatasi nyeri.
8. Kolaborasi untuk pemberian
analgetik
9. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.

Resiko Setelah diberikan asuhan Monitoring tekanan intrakranium:


ketidakefektifan keperawatan selama . jam
perfusi jaringan klien menunjukan status 1. Kaji, observasi, evaluasi tanda-
4.
cerebral bd edema sirkulasi dan perfusi jaringan tanda penurunan perfusi serebral:
cerebral, peningkatan serebral yang membaik gangguan mental, pingsan, reaksi
TIK dengan KH: pupil, penglihatan kabur, nyeri
kepala, gerakan bola mata.
a. TD dalam rentang 2. Hindari tindakan valsava manufer
normal (120/80 (suction lama, mengedan, batuk
mmHg) terus menerus).
b. Tidak ada tanda 3. Berikan oksigen sesuai instruksi
peningkatan TIK dokter
c. Klien mampu bicara 4. Lakukan tindakan bedrest total
dengan jelas, 5. Minimalkan stimulasi dari luar.
menunjukkan 6. Monitor Vital Sign serta tingkat
konsentrasi, perhatian kesadaran
dan orientasi baik 7. Monitor tanda-tanda TIK
d. Fungsi sensori 8. Batasi gerakan leher dan kepala
motorik cranial utuh : 9. Kolaborasi pemberian obat-
kesadaran membaik obatan untuk meningkatkan
(GCS 15, tidak ada volume intravaskuler sesuai
gerakan involunter) perintah dokter.

Setelah diberikan asuhan


keperawatan selama . jam
tidak ditemukan tanda-tanda 1. Kaji intake dan out put.
kekurangan volume cairan 2. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor
Resiko kekurangan
atau dehidrasi dengan KH: kulit, membran mukosa, dan
volume cairan bd
ubun-ubun atau mata cekung dan
5. mual muntah dan
a. membran mukosa out put urine.
perdarahan
lembab 3. Berikan cairan intra vena sesuai
b. integritas kulit baik program.
c. nilai elektrolit dalam
batas normal.

Selama dilakukan perawatan


di Rumah Sakit klien tidak
mengalami infeksi yang
1. Kaji adanya drainage pada area
ditandai dengan KH:
luka.
2. Monitor tanda-tanda vital: suhu
a. Tidak ada tanda-tanda
Resiko infeksi bd tubuh.
infeksi (rubor, kalor,
tempat masuknya 3. Lakukan perawatan luka dengan
dolor, hilangnya
6. organisme sekunder steril dan hati-hati.
fungsio laesa)
akibat trauma 4. Kaji tanda dan gejala adanya
b. suhu tubuh dalam
meningitis, termasuk kaku kuduk,
batas normal
iritabel, sakit kepala, demam,
c. tidak ada pus dari
muntah dan kenjang.
luka
d. leukosit dalam batas
normal.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

Seorang laki-laki bernama Tn. H (45) dibawa ke IGD karena mengalami kecelakaan lalu
lintas.Saat dilakukan pengkajian klien tampak bingung dan mengalami penurunan kesadaran.
Hasil pengkajian menunjukkan Tn. H merintih kesakitan, membuka mata, tangannya
melokalisasi sumber nyeri, sempat muntah dannilai GCSnya adalah 11(E4 , M5 ,V2). Hasil CT
Scan menunjukkan adanya perdarahan yang menuju ke jaringan serebral. Terdapat cedera pada
lobus temporal, kebiruan pada kedua bola mata , terdapat edema pada wajah dan perdarahan
hidung, ada suara napas tambahan (gargling). Pada saat pengkajian TD: 110/70, Suhu: 38.5, RR:
24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt reguler, Riwayat alergi dan penyakit dahulu disangkal.

1. Pengkajian

1. Primary Survey
a. Airway + cara mengontrol cairan cerebrospinal

terdapat sumbatan jalan napas berupa sisa muntahan


L = Look/Pergerakan dada simetris, adanya penggunaan otot bantu pernafasan
L = Listen/Terdengar suara napas tambahan (gargling),
F = Feel/ Aliran udara (hembusan) terasa lemah

a. Breathing

RR 24x/menit, tidak ada tanda sesak

b. Circulation

TD: 110/70, Suhu: 38.5,RR: 24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt regular, CRT > 2 detik, kebiruan pada
kedua bola mata dan terdapat edema pada wajah akral dingin, basah, pucat.

c. Disability

A (Allert) :Klien Sadar


Total Skor GCS dari klien adalah 11
E4 klien dapat membuka mata secara spontan ,
M5 klien dapat melokalisasi nyeri / tau arah nyeri ,
V2 klien merintih / mengerang .

d. Exposure of extermitas
Luka bagian kepala, suhu 38.5

2. Secondary survey

a. Anamnesis
A : Klien tidak memiliki riwayat Alergi
M : Klien tidak mengkonsumsi obat-obatan
P : Klien tidak pernah menderita penyakit sebelumnya.
L : Sebelum kejadian, klien mengkonsumsi obat-obatan
E : Klien akan pulang ke rumah setelah pulang kerja dan mengalami kecelakaan.
b. Pemeriksaan fisik

a. B1 (breathing) : RR 24x/menit, tidak ada tanda sesak, terdapat suara napas tambahan
(gargling)yang menunjukkan adanya sumbatan jalan napas berupa sisa muntahan,
pergerakan dada simetris, adanya penggunaan otot bantu pernafasan
b. B2 (blood) : TD: 110/70, Suhu: 37.5,RR: 24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt regular, CRT > 2
detik, kebiruan pada kedua bola mata dan terdapat edema pada wajah akral dingin, basah,
pucat
c. B3 (brain) : dilatasi pupil ipsilateral, penurunan kesadaran.
d. B4 (bladder) : perut simetris, tidak ada jejas, tidak ada distensi kandung kemih,
terpasang kateter, warna urine kuning
e. B5 (bowel) : bising usus +, tidak ada benjolan, perabaan massa tidak ada,sempat
muntah, asites ( - ).
f. B6 (bone) : pergerakan terbatas, tidak ada kelainan bentuk tulang.

2. Analisa data

No. Data Etiologi Masalah keperawatan


Trauma kepala
Ketidakefektifan bersihan jalan

nafas
Klien muntah
DS: -

DO: RR 24x/menit, tidak
Kerusakan neuromuscular
ada tanda sesak, Suara
+ penurunan kesadaran
napas Gargling dan

terdapat sumbatan jalan
1. Penurunan reflek batuk
napas berupa sisa

muntahan pergerakan dada
Tidak mampu
simetris, adanya
mengeluarkan muntahan
penggunaan otot bantu

pernafasan
Akumulasi sisa muntahan

Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas
2. trauma kepala
DS: -

DO: TD : 110/70, Suhu:
kerusakan sel otak
37.5, RR: 24 x/mnt, Nadi

82 x/mnt regular, CRT > 2
gangguan autoregulasi
detik, kebiruan pada kedua

bola mata dan terdapat
suplai O2 menurun
edema pada wajah akral Resiko ketidakefektifan perfusi

dingin, basah, pucat. jaringan serebral
gangguan metabolisme

produksi asam laktat
meningkat

edema serebral

Resiko ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral
DS: -
DO: terdapat luka Trauma Penetrasi
dibelakang kepala, nyeri, Resiko Infeksi
3.
kemerahan, bengkak, suhu: Port de entry kuman
38,5
Leukosit: 12.000 (/ul) Resiko Infeksi

3. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd akumulasi sisa muntahan


2. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral bd edema serebral
3. Risiko infeksi bd port the entry kuman akibat trauma

4. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
Airway Management:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
Ketidakefektifan 1. Auskultasi suara napas sebelum
selama 1x24 jam jalan
bersihan jalan nafas bd dan sesudah dilakukan pembebasan
1. napas klien kembali
akumulasi sisa jalan napas, catat hasilnya
paten (terbebas dari
muntahan 2. Lakukan fiksasi pada daerah kepala
sumbatan), dengan
leher untuk meminimalkan
kriteria hasil:
terjadinya gerakan
3. Lakukan pembebasan jalan napas
a. RR normal (12- secara manual dengan teknik jaw
24x/menit) thrust maneuver secara hati-hati
b. Ritme untuk mencegah terjadinya gerakan
pernapasan leher
reguler 4. Lakukan pembebasan jalan napas
c. Klien mampu dengan alat oropharyngeal
untuk airwayjika dibutuhkan
mengeluarkan 5. Monitoring pernapasan dan status
sisa muntahan oksigenasi klien
d. Tidak terdengar 6. Berikan oksigen
suara gurgling

Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 2x24 jam klien Monitoring tekanan intrakranium:
menunjukan status
sirkulasi dan perfusi 1. Kaji, observasi, evaluasi tanda-
jaringan serebral yang tanda penurunan perfusi serebral:
membaik dengan KH: gangguan mental, pingsan, reaksi
pupil, penglihatan kabur, nyeri
a. TD dalam kepala, gerakan bola mata.
rentang normal 2. Hindari tindakan valsava manufer
(120/80 mmHg) (suction lama, mengedan, batuk
b. Tidak ada tanda terus menerus).
peningkatan 3. Berikan oksigen sesuai instruksi
Resiko ketidakefektifan
TIK dokter
perfusi jaringan
2. c. Klien mampu 4. Lakukan tindakan bedrest total
cerebral bd edema
bicara dengan 5. Minimalkan stimulasi dari luar.
cerebral
jelas, 6. Monitor Vital Sign serta tingkat
menunjukkan kesadaran
konsentrasi, 7. Monitor tanda-tanda TIK
perhatian dan 8. Batasi gerakan leher dan kepala
orientasi baik 9. Kolaborasi pemberian obat-obatan
d. Fungsi sensori untuk meningkatkan volume
motorik cranial intravaskuler Manitol dengan dosis
utuh :kesadaran 1 gram/kg BB bolus IV dan
membaik (GCS Furosemid dengan dosis 0,3 0,5
15, tidak ada mg/kg BB IV
gerakan
involunter)

Selama dilakukan 1. Kaji adanya drainage pada area


Resiko infeksi bd port
perawatan di Rumah luka.
3. the entry kuman akibat
Sakit klien tidak 2. Monitor tanda-tanda vital: suhu
trauma
mengalami infeksi, tubuh.
ditandai dengan KH: 3. Lakukan perawatan luka dengan
steril dan hati-hati.
a. suhu tubuh 4. Kaji tanda dan gejala adanya
dalam batas meningitis, termasuk kaku kuduk,
normal iritabel, sakit kepala, demam,
b. tidak ada pus muntah dan kenjang.
dari luka
c. leukosit dalam
batas normal.

5. Evaluasi Keperawatan

1. Jalan napas menjadi bersih dan tidak ada sisa muntahan dan sekret
2. Perfusi jaringan baik
3. Luka tertangani dengan baik dan tidak ada tanda-tanda infeksi

Daftar Pustaka

Aritonang,S.2007.Trauma Kepala.Artikel.eprints.undip.ac.id/29403/3/Bab_2.pdf
Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Behrman, Kliegman, & Alvin, N. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 1. Jakarta: EGC.
Baughman, Diane C., JoAnn C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku untuk
Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC, p.66.
Brain Trauma Foundation, 2007. Journal of Neurotrauma, Volume 24, Suplement 1.
Bulechek, M.G., Howard, K.B., Joanne, M.D. (eds). 2013. Nursing Interventions Classification
(NIC). USA: Mosby Elsevier
Cullagh S Mc, Feinstein A Outcome after mild traumatic brain injury: an examination of
recruitment biasJ Neurol Neurosurg Psychiatry 2003;74:3943
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC.
Doengoes, Marilyn, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta: EGC
Doenges M.E. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ).
Philadelpia, F.A. Davis Company.
Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda. 2009. Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: ECG.
David S, Stephen A M, Jennifer A F. Management of Elevated Intracranial Pressure in Decision
Making in Neurocritical Care. Thieme. New York. 2009; 195-218.
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics Monitoring and
Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology and Neurosurgery. Surez, J.I.
editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-55.
Engram, barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah Vol.3. Jakarta: EGC
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Volume 3. Jakarta:
EGC, p. 642.
Emergency Nurses Association. 2007. Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St. Louis
Missouri : Elsevier Mosby.
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics Monitoring and
Irwana, Olva. 2009. Cedera Kepala.Faculty Of Medicine.Article pdf.Universitas Pekan Baru
Riau
Hudak CM & Gallo BM, 2010, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi 6, EGC, Jakarta
Hernanta, I. (2013). Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains. Jogjakarta: D-MEDIKA.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions &
Classification, 20152017. 10nded. Oxford: Wiley Blackwell
Grace, Pierce Adan Borley, Neil R. 2006. At A Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga.
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, p.91
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga, p.117.
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, p.92.
MakalahCederaKepala.pdf.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21501/4/
Chapter%20II.pdf
Mark S Greenberg. Intracranial Pressure in Handbook of Neurosurgery. 6th ed. Thieme. New
York. 2006; 647-663
Musliha.2010.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika
Morton, P. G., Dorrie, F., Carolyn, M. H., & Barbara, M. G. (2008). Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik, Ed. 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta:Salemba Medika, p.161.
Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology and Neurosurgery. Surez, J.I.
editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-55.
Muttaqin, arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th ed. USA: Mosby
New South Wales Health Government. 2012. Closed Head Injury in Adults-Initial Management.
2nd Edition. NSW Health, p.8. Diakses pada
http://www0.health.nsw.gov.au/policies/pd/2012/pdf/PD2012_013.pdf
Purnama,Eka.2007.Makalah Cedera Kepala.digilib.unimus.ac.id/files/.../jtptunimus-gdl-
ekapurnama-5391-2-babii.pdf
Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Suriadi& Rita Yuliani. 2001. AsuhanKeperawatanPadaAnak, Edisi I. Jakarta: CV SagungSeto.
Syaifuddin.2006. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC.

0 0 Google +0 8

Anda mungkin juga menyukai