EPISTAKSIS
Oleh:
Istighfariza Shaqina
1218011084
2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung yang
banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari baik pada anak-anak maupun usia
lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi klinis dari suatu
penyakit lain. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan primer dan kecil
kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit dan spesialis THT.1,8
Epiktasis diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia selama hidupnya dan 6% dari
mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-
anak usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun keatas.
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering
dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian
epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara
laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak
dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan
riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.1,3
Penyebab terjadinya epiktasis dibagi menjadi dua yaitu secara lokal dan sistemik.
Secara lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi imunologik,
kelainan anatomis hidung, pengunaan nasal spray, benda asing, tumor intranasal,
dan sebagainya. Sedangkan penyebab sistemik terjadinya epistaksis adalah
kelainan vaskuler, keganasan hematologik, blood dyscrasia, alergi, malnutrisi,
alkohol, hipertensi, obat-obatan dan infeksi.2
2
atau dapat secara diam-diam mengakibatkan mual, hematemesis, anemia,
hemoptysis atau melena.1,2
Penanganan utama pada epistaksis adalah kompresi pada lubang hidung dan
memasang tahanan pada lubang hidung dengan mengunakan kain kasa atau kapas
yang telah di basahi nasal dekongestan. Penekanan langsung setidaknya di lakukan
terus menerus selama 5 menit dan sampai 20 menit. Memiringkan kepala ke depan
dapat mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring, hal ini mencegah mual
dan obstruksi jalan nafas.2 Edukasi kepada pasien dapat membantu mencegah
terjadinya epitaksis. Diskusi terarah tentang pentingnya mencegah pasien untuk
tidak mengupil, mencegah dari paparan iritan udara, bulu dan asap, dan
pengendalian alergi dapat menurunkan episode terjadinya epistaksis.4,7
Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum mengenai
definisi, anatomi fisiologi, etiologi, klasifikasi, penanganan, dan pencegahan pada
epistaksis.
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EPISTAKSIS
2.1.1 DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung,
rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti
sendiri. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya
terjadi pada anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada
pelayanan kesehatan primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke
rumah sakit atau ke spesialis THT. Walaupun kebanyakan kasus yang
terjadi ringan dan bersifat self-limiting, ada beberapa kasus yang berat
dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting sekali
mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga
menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya.1,2,9
4
mukosa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa
terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Gambar 3. Epistaksis
b. Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal
seperti rhinitis atau sinusitis. Infeksi akan menyebabkan inflamasi
5
yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.7
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit
dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang
bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan
epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang
abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru
(neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan.7
d. Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa.
Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim
dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain
itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang
dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah
gampang pecah.6,7
e. Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi
dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh.
6
Selain itu dapat menyebabkan turbulensi udara yang dapat
menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami
ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosok-
gosok hidung.7
2. Sistemik
a. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic
telangiectasia/Osler's disease). Juga sering terjadi pada Von
Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary
adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran
kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya
perdarahan.4
7
Gambar 6a. Pembekuan darah Gambar 6b. Pembekuan
normal darah tidak normal
8
Gambar 7a. cascade Gambar 7b. cascade
koagulasi normal koagulasi hemophilia
VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan
darah. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak
memiliki cukup Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam darahnya
atau faktor tersebut tidak berfungsi secara normal. Akibatnya VWF
tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit
di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan.
Trombosit tidak dapat melapisi dinding pembuluh darah.
b. Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis
adalah trombositopenia, hemofilia dan leukemia. Trombosit adalah
fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk
di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah
bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak
akan melepaskan serotonin dan tromboksan A(prostaglandin), hal
ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah berkonstriksi.
9
Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian
trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada
serabut kolagen dinding pembuluh darah yang rusak dan
membentuk plug trombosit. Trombosit juga akan melepas ADP
untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan
agregasi trombosit untuk memperkuat plug. Trombositopenia
adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ l.
Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan
memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah
kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada
keadaan trombositopenia.
10
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon
dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin
mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan menginhibisi produksi
tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat molekul-
molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding
pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses
pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi
perdarahan. Oleh karena itu, aspirin dapat menyebabkan epistaksis.
c. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada
aterosklerosis, sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering
kambuh dan prognosisnya tidak baik. 4,7
1) Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari
140 mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg.
Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena
kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit
hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus
menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah
yang tipis.5,12
2) Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika
terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak
bisa mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture
dari pembuluh darah. 5,12
3) Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang
berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk
fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K.
Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin
yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga
11
mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi
pada penderita sirosis hepatis. 5,8,12
4) Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang
tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah
mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah
lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga
menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah.
Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah
sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat
terjadi pada pasien diabetes mellitus. 5,12
d. Infeksi akut
Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks
antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi pembuluh darah. Kedua faktor tersebut
akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi
pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain.
Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif
(koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan
FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan
faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada
kasus demam berdarah. 4,6,7
e. Gangguan hormonal
12
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang
tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa
di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak
dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis. 4,7
f. Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal
sehingga menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain
itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang
dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat
terjadi epistaksis. 5,7,8
2.1.3 PATOFISIOLOGI
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan,
yaitu dari bagian anterior dan posterior. 1,4,6
1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga
berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
13
dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular.
14
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,
speculum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet,
kapas, kain kassa. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus
ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan
pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi sisi dalam hidung. 8 Dengan spekulum hidung dibuka
dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung
baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah
dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari
tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung
dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi
lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang
ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah
sehingga perdarahan dapat berhenti untuk .Sesudah 10 sampai 15
menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. 8,10
15
Gambar 10. Rhinoskopi Anterior
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk
menyingkirkan neoplasma.
16
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan
kemungkinan penyakit lainnya.
2.1.5 PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu: menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Apabila pasien dalam keadaan syok, perbaiki dulu keadaan umum
pasien.7,11
a. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi
duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.11
b. Menghentikan perdarahan11,13
1) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan
dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan,
kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa
menit (metode Trotter)
17
Gambar 13. Metode Trotter
18
berlapis- lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung.
Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan
dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
19
e) Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan
melalui mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan
diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien
dengan tampon Bellocq harus dirawat.
20
hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit
sekali manfaatnya.
2.1.6 KOMPLIKASI
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha
penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul
sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody
tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior
dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole
dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu
kencang ditarik. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan
anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan
iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya
kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi
darah.6,8
2.1.8 PENCEGAHAN
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
epistaksis antara lain:8
a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya
dapat dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari.
Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok the garam
21
ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan
sampai hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud.
Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan
perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat
alergi biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering
dan menyebabkan iritasi.
2.1.9 PROGNOSIS
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.
Pada pasien hipertensi dengan atau tanpa arteriosklerosis, biasanya
perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.6,7
BAB III
22
KESIMPULAN
Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit,
yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu.
Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis
disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab
lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya
yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam memeriksa pasien dengan
epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan
pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.
Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras ke
dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui
mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan terutam
berhenti merokok.
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD.Rhinology and Sinus Disease
Aproblem-Oriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc,1998: 43 9.
2. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis.
Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta,
Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 31.
3. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott Browns
Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort -
Heinemann, 1997: 119.
4. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi
Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III.
Jakarta, Penerbit EGC, 1997.
5. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review.
British Journal of Hospital Medicine Vol 69 No 7.
6. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.
7. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII. Available from:
http://fkuii.org/tikidownload_wiki_attachment.php?attId=2175&page=LEM
%20FK%20UII.
8. Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] Available
from:http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epist
axis.aspx.
9. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online]. Available from
:http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm.
10. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online].
Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784.
11. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment.
12. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review.
British Journal of Hospital Medicine Vol 69 No 7.
13. Kucik CJ dan Timothy Clenney. 2005. Management of Epistaksis. American
Family Physician Vol 71 No 2.
24
25