Anda di halaman 1dari 15

JOURNAL READING

The Persistence of Sperm and the Development of Time Since


Intercourse (TSI) Guidelines in Sexual Assault Cases at Forensic
Science Ireland, Dublin, Ireland

Penguji:
dr. Arif Rahman Sadad, Sp.F

Pembimbing:
dr. Raja Al Fath Widya Iswara, MH

Disusun Oleh:
Carmelia Anggraini (2015-061-071)
Giovani Faustine (2015-061-069)
Della Sulamita (2016-061-016)
Darren Gosal (2016-061-060)
Efsan Adhiputra (2014-061-

Kepaniteraan Klinik Ilmu Forensik


Periode 20 Maret 1 April 2017
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Jakarta
The Persistence of Sperm and the Development of Time Since Intercourse
(TSI) Guidelines in Sexual Assault Cases at Forensic Science Ireland,
Dublin, Ireland.

David G. Casey,1 Ph.D.; Katarina Domijan,2 Ph.D.; Sarah MacNeill,1 B.Sc.; Damien Rizet,1
M.Sc.;
Declan OConnell,1 B.Sc.; and Jennifer Ryan,1 Ph.D.

ABSTRAK
Persistensi sperma dengan menggunakan analisis konfirmasi mikroskopik, persistensi sperma
berekor, analisa waktu hingga bersenggama (TSI) dan hasil dari reaksi asam fosfat dari
pengambilan sampel sebanyak 5581 apusan dari 1450 kasus kekerasan seksual. Observasi
proporsi sperma dalam vagina dan anus menurun secara signifikan TSI setelah 48 jam, dan
sperma pada apusan oral yang diobservasi pada TSI setelah 15 jam. Reaksi AP memberikan
hasil positif yang rendah, 23% apusan sperma positif memberikan waktu reaksi AP yang
negatif. Kami menunjukan bahwa reaksi AP tidak aman dan prediktor tidak pasti sperma dari
apusan daerah inti. Kami mengajukan bahwa TSI tidak digunakan untuk analisa preskrining
dan pendekatan evaluasi pada kasus kekerasan seksual. Untuk membantu pendekatan evaluasi
membutuhkan guideline TSI

Penyelidikan forensik pada kasus kekerasan sekual terutama befokus terhadap ada atau
tidak adanya sperma. Pengetahuan tentang keberadaan sperma dalam mulut, anus dan vagina
dari korban dapat membantu dalam penilaian dan interpretasi jenis kasus kekerasan seksual
dan dapat membantu ilmuwan forensik ketika menjelaskan hasil analisa sperma yang
signifikan di pengadilan hukum. Pengetahuan ini sangat berharga tertutama pada kasus yang
membutuhkan pendekatan secara evaluatif. Sperma merupakan bagian dari cairan mani yang
memiliki masa hidup paling lama. Dengan demikian kehaidran sperma sebagai alat konfirmasi
pilihan utama. Publikasi yang menjelaskan keberadaan sperma secara detail pada apusan dalam
daerah intim, hanya dilakukan pada sebagian kasus kecil daripada pada data dengan populasi
yang besar yang sebenarnya seperti yang disajikan pada kasus ini. Terdapat beberapa
kekurangan terhadap informasi yang dipublikasikan berhubungan dengan keberadaan sperma
pada hubungan senggama anal dan oral, persistensi sperma yang berekor, asam fosfat sebagai
indikator dari sperema, dan perkembangan opini berdasarkan data yang berbasis berdasarkan
pada waktu senggama.
Allard pada tahun 1997, menyaktakan analisis data untuk waktu yang paling mungkin dari
sejak bersenggama membutuhkan analisis statistik. Peneliti menunjukkan analsisis statiskik
terhadap keberadaan sperma, yang berhubungan dengan waktu reaksi terhadap asam fosfatase,
dan interpretasi dari data TSI. Analisis peneliti mendukung pendekatan TSI berdasarkan bukti
untuk penyelidikam dan evaluasi kasus kekerasan seksual. Untuk menginformasikan
pendekatan berbasis bukti terhadap kasus kekerasan seksual, peneliti akan menjawab hal yang
sering ditanyakan oleh ilmuwan forensik ketika menyelidiki kasus kekerasan seksual, yaitu:
1. Apakah ada interval waktu yang diperlukan untuk menemukan sperma pada apusan
vagina?
2. Apakah ada interval waktu yang diperlukan untuk menemukan sperma berekor pada
apusan vagina?
3. Apakah ada interval waktu yang diperlukan untuk menemukan sperma berekor pada
apusan anus?
4. Apakah ada interval waktu yang diperlukan untuk menemukan sperma berekor pada
apusan oral?
5. Apakah waktu AP merupakan indicator yang baik untuk menunjukan keberadaan sperma
pada apusan vagina?
6. Jika ada, apakah batas waktu terbaik untuk melihat reaksi AP pada swabs?
7. Apakah terdapat hubungan antara waktu reaksi AP dengan TSI pada data yang
dikumpulkan?
8. Apakah ada hubungan antara waktu reaksi AP dan TSI ketikda hasil apusan vagina positif
atau negatif?
Pada total 1450 kasus yang diperiksa antara tahun 2000 dan 2007 pada Forensic Science
Ireland (FSI) yang mencangkup 5581 apusan 3508 apusan vagina, 1224 apusan anal, dimana
538 merupakan apusan anal internal, dan 849 apusan oral dimana 464 merupakan apusan oral
internal. Apusan muut dan anal eksternal dan apusan dari aera tubuh eksternal tidak diperiksa
dalam studi ini. Data dari korban meninggal tidak dimasukan dalam database kekerasan
seksual.
METODE PENELITIAN
Ada dan tidaknya sperma di konfismasi dengan pemeriksaan mikroskopik. Pengambilan
sampel apusan daerah intim dilakukan dengan memotong ujung kecil dari apusan, dan
dimaserasi menggunakan ddH20 pada kaca objek. Bagian yang terpotong dihapus
menggunakan tes brentamine (brentamine fast blue B) untuk pemeriksaan AP, dan sisanya di
keringkan dan di fiksasi menggunakan pewarnaan H&E sperti yang dijelaksan oleh Clarke (1)
dan Jenis (2).
Konfismasi mikroskopis dan kelebihan sperma diklasifikasikan seperti yang dijelaskan
oleh Allard, yaitu
4+ : banyak di setiap lapang pandang
3+ : banyak atau beberapa di sebagian besar lapang pandang
2+ : beberapa di sebagian lapang pandang yang mudah ditemukan
1+ : sulit ditemukan
Apusan yang dikategorikan pada database kekerasan seksual dibagi menjadi beberapa
bagian:
1. Apusan vagina
a. Endoserviks atau serviks
b. HVS ( high or upper vagina)
c. LVS ( low or mid vagina)
d. EVS ( external vagina swabs vulva, forchette, labial mayor, labial minor, dan mons
pubis, dserta lokasi vagina eksternal)
2. Apusan anus (IAS - internal or rectal)
3. Apusan oral (IMS- internal mouth, cheek, teeth, gums)

PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS


Informasi yang dipakai dalam studi ini didapatkan dari informasi kasus yang disediakan
Forensic Science Ireland (FSI), Polisi Irlandia (An Garda Siochana) dan hasil laboratorium
seperti yang telah dideskripsikan oleh Lee-Gorman. Kasus direkam dalam sebuah file dan
penemuan ilmiah ini direkam dalam SAD. SAD menyimpan semua data penelitian yang
berhubungan dengan cairan tubuh. Penemuan ini termasuk label apusan, grading sperma,
reaksi AP, adanya ekor dan hasil dari RSID semen, dan perangkat saliva untuk mendeteksi
cairan semen dan enzim amilase saliva manusia. Informasi di SAD dan analisis statistik tidak
diatur berdasarkan preseleksi kasus tertentu, termasuk usia atau rekoleksi terhadap keluhan
atau aktivitas seksual sebelumnya.
Hasil sperma pada setiap tipe apusan (endoserviks, HVS, LVS, EVS, IMS, dan IAS)
dan waktu reaksi AP dari setiap grup apusan dikelompokkan menjadi data interval TSI dan
waktu reaksi AP yang dianggap informatif secara forensik. Pada tabel dan grafik yang
ditunjukkan, waktu 120 detik (penemuan AP negatif) dianggap sebagai waktu AP lebih dari
sama dengan 120 detik. Analisis statistik dilakukan dengan Minitab 17.1.0. Informasi yang
diambil dari kasus memiliki resiko tidak memiliki detil yang tepat dan terjadi kesalahan saat
transkripsi saat dimasukkan ke SAD. Oleh sebab itu, informasi di SAD divalidasi dengan
memilih 100 kasus secara acak lalu dilakukan konformasi manual serta penemuan ilmiah
dicocokkan terhadap informasi kasus.

PERTANYAAN 1
Apakah ada waktu interval dalam menentukan ekspektasi ditemukannya sperma pada apusan
vagina?
Hasil pemeriksaan sperma TSI 72 jam yang memberikan nilai positif terhadap apusan
vagina ditunjukkan pada tabel 1. Terdapat perbedaan signifikan antara proporsi apusan vagina
positif pada interval waktu yang berbeda. Proporsi hasil positif ditemukannya sperma terhadap
interval TSI ditunjukkan pada gambar 1. Analisis ini menunjukkan bahwa sebagai pedoman,
ekspektasi dalam mengobservasi sperma di vagina bisa dianggap rendah. Waktu persistensi
ditemukannya sperma ada di gambar 2.5, termasuk referensi data pada setiap tipe apusan.
Dalam hal distribusi sperma, bercak dan nilai 1+ adalah nilai yang paling sering ditemukan di
atas 48 jam. Waktu persistensi sperma di SAD adalah 1+ di atas HVS pada pemeriksaan TSI
kira-kira 96 jam setelah senggama. Tidak ada sperma yang ditemukan pada tipe apusan vagina
manapun di atas 96 jam.

PERTANYAAN 2
Apakah ada interval waktu dalam menentukan ekspektasi ditemukannya sperma dengan ekor
pada apusan vagina?
Karakteristik morfologi sperma akan mengalami degradasi seiring dengan berjalannya
waktu di vagina. Perubahan kualitatif akibat TSI biasanya akan berujung pada hilangnya ekor,
hilangnya kualitas dan penurunan jumlah sperma. Ditemukannya ekor sperma bisa berguna
untuk mengestimasi TSI, namun rentang waktu yang diasosiasikan dengan hilangnya ekor
tidak jelas. Silvermann menemukan tidak ada perbedaan signifikan antara proporsi sperma
dengan atau tanpa ekor di waktu manapun setelah bersenggama dan hilangnya ekor bukan
merupakan indikator waktu yang berguna. Dalam dua belas jam pertama, ekspektasi adanya
ekor sperma dari hapusan sebesar 0.15 dan ekspektasi ini menurun pada TSi di bawah 24 jam.
Hal ini sesuai dengan penelitian oleh ADavies, dimana ekor sperma dapat ditemukan hingga
12 jam setelah senggama. Tidak ada hapusan sperma berekor yang positif yang ditemukan di
rongga mulut maupun dubur. Penemuan kami menunjukkan bahwa ekspektasi adanya sperma
berekor setelah 24 jam sangat rendah dan sperma berekor pada hapusan vagina lebih mungkin
dideteksi dalam 24 jam.

PERTANYAAN 3
Secara umum, sperma dapat bertahan selama 24 jam pasca hubungan seksual terakhir,
tapi masih sedikit sedikit informasi mengenai keberadaan sperma di anus. Sperma dapat
bertahan selama 2 hari setelah hubungan seksual anal. Sebanyak 510 swab anal diambil untuk
penelitian ini, ekspektasi penemuan sperma positif di swab anal ketika 6 jam pasca hubungan
seksual terakhir dan menurun ketika waktu hubungan seksual terakhirnya makin lama.
Ekspektasi penemuan sperma kurang dari 48 jam pasca hubungan seksual terakhir rendah, dan
makin rendah lagi setelah 48 jam. Secara keseluruhan, pemeriksaan keberadaan sperma di anus
tidak lebih dari 72 jam pasca hubungan seksual terakhir. Rekor terlama untuk keberadaan
sperma di anus selama 85 jam pasca hubungan seksual terakhir.
Sedangkan angka ekspektasi keberadaan sperma di swab mulut dalam, hanya dapat
bertahan 6 jam pasca hubungan seksual terakhir. Dari 405 swab mulut bagian dalam, termasuk
kasus pemerkosaan dalam waktu 6 jam sebelumnya, didapatkan hasil yang sangat rendah
sampai 15 jam pasca hubungan seks terakhir. Ekspektasi ini terus rendah seirong dengan
meningkatnya waktu pasca hubungan seks terakhir. Jika hubungan seks terakhir lebih dari 48
jam yang lalu, tidak ditemukan adanya sperma dari 13 swab. Tujuan utama untuk alat kejahatan
seksual, untuk memeriksa secepatnya, dan waktu cut off yang ditemtukan untuk memggunakan
alat ini selama 6 jam pasca hubungan seks terakhir. Rekor terlama keberadaan sperma di swab
mulut dalam selama 27 jam pasca hubungan seks terakhir.

PERTANYAAN 4
Untuk penggunaan uji Asam Fosfatase, Allen menyarankan waktu batasan jika kurang dari 65
detik maka merupakan indikator baik (walaupun harus diuji dengan tes lain), jika waktu AP
kurang dari 30 detik itu merupakan indikator yang sangat baik, dan waktu AP kurang dari 10
detik itu menunjukkan indikasi kuat tentang keberadaan sperma. Batas atas waktunya yaitu 120
detik , perlu diingat 120 detik ini bukan waktu batasan yang sah secara forensik sebagai waktu
batas reaksi AP.

PERTANYAAN 5
Untuk waktu batas AP sendiri, waktu kurang dari 30 detik merupakan indikator baik untuk
keberadaan sperma, untuk waktu AP kurang dari 30 detik ekspektasi penemuan sperma sangat
tinggi, diantara 88% sampai 95%. Tidak ditemukab perbedan signifikan pula untuk waktu AP
kurang dari 30 detik maupun kurang dari 10 detik. Waktu AP kurang dari 30 detik, ekspektasi
pnemuan sperma cukup tinggi dibandingkan dengan waktu AP lebih dari 60 detik. Hasil ini
menyarankan untuk tidak sepenuhnya bergantung kepada nilai prediktif waktu reaktif AP yang
lebih dari 60 detik sebagai indikasi ketidakadanya sperma dalam swab vagina. Untuk meneliti
lebih lanjut, terdapat 2407 sampel swab dengan sperma negatif, dan hanya proporsi kecil 164
(7%) yang memiliki waktu reaksi AP kurang dari 60 detik. Walau begitu, dari 1061 sampel
positif, 560 (53%) memiliki waktu reaksi AP lebih dari 60 detik dan 23% swab sperma positif
memiliki waktu reaksi AP negatif.

PERTANYAAN 6
Apa batas waktu cutoff terbaik untuk reaksi AP pada swab?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita memeriksa positif yang benar (TP) dan positif palsu (FP)
tingkat AP reaksi untuk swabs. TP adalah swab yang positif terkena sperma dan memiliki
waktu reaksi AP yang cepat. Test yang baik akan mempunyai tingkat TP tinggi sambil menjaga
FP dalam batas rendah. Semua reaksi AP cutoff diperiksa dari vagina swab circa3508,
memiliki tingkat TP rendah menunjukkan bahwa sebagai uji sensitivitas untuk adanya sperma.
TP untuk AP kali kurang dari 30 detik (0,26) adalah setara dengan tingkat FP pada waktu AP
dari kurang dari 90 detik (0,24).

PERTANYAAN 7
Apakah terdapat hubungan antara waktu reaksi AP dengan TSI?
Pada TSI lebih dari 48 jam, tidak ada hasil vagina swab dengan waktu AP kurang dari 30 detik
terlepas dari apakah ada atau tidak sperma pada vagina swab. Jika kita memeriksa lebih lanjut
sperma-positif pada swab vagina dengan AP dari kurang dari 60 detik , dapat dilihat bahwa
proporsi swab tetap sama sepanjang interval TSI. Didapatkan bahwa kiita tidak dapat
memprediksi secara akurat batas waktu AP yang hanya dilihat dari waktu sejak TSI.
PERTANYAAN 8
Apakah terdapat hubungan antara waktu interval dengan waktu reaksi AP ketika swab vagina
positif atau negatif terdapat sperma?
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada pola yang jelas hubungan antara kedua hal ini.
Dan didapatkan bahwa sekitar 50% dari swab vagina positif terdapat sperma terlepas dari
waktu sejak berhubungan, memiliki waktu reaksi AP 60 detik atau lebih besar. Waktu reaksi
AP kurang dari 30 detik hanya terlihat pada interval waktu yang kurang dari 48 jam untuk hasil
positif maupun negatif.

KONKLUSI
Penemuan terkait adanya sperma pada kasus kejahatan seksual seringkali menjadi
pertanyaan penting pada saat pengadilan tidak hanya di Irlandia namun juga pada yuridiksi
negara lainnya. Analisa sampel kasus di FSI diatur menggunakan penilaian kasus dan model
penafsiran seperti yang dijelaskan oleh Evett (11) dan Gringras (12) yang belakangan ini
digambarkan sebagai "pendapat ahli evaluatif." Studi ini memberikan pedoman yang
diharapkan dapat membantu para ilmuwan forensik dan pemeriksa medis ketika
mempertimbangkan ada atau tidaknya sperma dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Pendapat-
pendapat pada penelitian ini telah dipublikasi pada beberapa studi kasus. Pada FSI, lebih dari
5000 tes apus dalam telah dilakukan, dan lebih dari 3000 hasil tes apus vagina dikumpulkan
lebih dari 7 tahun, yang memungkinkan untuk kita menjawab pertanyaan yang sering diajukan
dalam investigasi kejahatan seksual yang ditangani.
Pendeteksian sperma pada FSI tes apus vagina tidak dilakukan lebih dari 7 hari sejak
hubungan seksual. Gingras (12) telah menunjukkan bahwa peluang untuk memperoleh DNA
melalui tes apus vagina akan tetap baik hingga 3 hari TSI. Beberapa negara/yurisdiksi tidak
melakukan tes apus apabila melebihi 72 jam setelah terjadi hubungan seksual. Berdasarkan
data yang kami dapatkan, kami menyarankan untuk tetap melakukan pemeriksaan apus vagina
walaupun pemeriksaan dilakukan sudah melebihi 72 jam. Hal ini dikarenakan, diambil dari
data kejahatan seksual, terdapat 131 hasil pemeriksaan apus vagina yang dilakukan dengan
rentang waktu 72 jam setelah hubungan seksual terjadi dan terdapat 5-6% memiliki hasil
sperma positif. Sehingga dengan adanya pembatasan pemeriksaan 72 jam, bukti forensik yang
berharga mungkin terlewatkan. Selain itu, perkembangan terakhir perkembangan teknologi
dari Y-STR telah mampu meningkatkan peluang untuk memperoleh profil DNA dari sperma
walaupun diambil lebih 72 jam setelah berhubungan seksual. (13-17)
Analisa dan penemuan kami didasarkan penemuan sperma dengan tes apus vagina;
Namun, FSI sekarang menggunakan teknik yang dimodifikasi yaitu Whole Apus Extraction
(WSE) untuk penemuan sperma. Analisa tes apus vagina yang didapatkan dari 1000 kasus
diperiksa melalui metode WSE kami telah dapatkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
proporsi yang diamati baik itu hasil sperma-positif atau sperma-negatif antara pengolahan
kedua apus tersebut(data tidak ditampilkan). Penelitian kami menunjukkan dengan
menggunakan kedua teknik tersebut peluang untuk mendeteksi sperma di luar 72 jam sangat
rendah (0,06) dan tidak ada sperma yang terdeteksi di luar 120 jam.
Komunitas ilmu forensik selama ini mengandalkan reaksi AP sebagai indikator
terbaik untuk mendeteksi kehadiran sperma. Berikut pencarian literatur lainnya, Lewis (18)
melaporkan tidak ada dasar ilmiah yang menyatakan dua menit sebagai batas waktu dari
pemeriksaan reaksi AP, dan selain itu, Lewis (18) dan Redhead (19) menunjukkan bahwa
pemakaian batas waktu hingga 16 menit mungkin diperlukan dalam skenario tertentu. Hofft
(20) menyatakan bahwa tes AP tidak memberikan informasi yang dapat dipercaya untuk
adanya cairan mani.
Penelitian kami menunjukan bahwa pemeriksaan AP lebih dari 30 detik memiliki
hasil yang tidak menjanjikan, namun apabila hasil yang didapatkan kurang dari 30 detik dapat
memberikan ekspektasi penemuan sperma yang lebih tinggi.Penemuan ini menimbulkan suatu
pertanyaan kapan dilakukannya pemeriksaan tes apusan atau pemeriksaan AP.Penelitian
Sensabaugh (21) mengenai variasi tingkat AP berdasarkan interval TSI dan didapatkan tidak
ada cukup perbedaan antara tingkat AP endogen dan tingkat postcoital yang memiliki nilai AP
yang bermakna untuk interval TSI tertentu. Dalam konteks profil DNA, Gringras et al.
menggambarkan rendahnya nilai prediksi dari pemeriksaan AP dan juga menunjukkan bahwa
15% dari tes apusan vagina dan 8% dari apus dubur yang memiliki hasil negatif pada reaksi
AP dapat memberikan profil DNA-kualitas yang baik. Pada penelitian kami juga
mempertanyakan penggunaan waktu reaksi AP sebagai bagian dari strategi penilaian dalam
suatu kasus. Penggunaan waktu reaksi AP untuk mengkonfirmasikani kembali ada atau
tidaknya sperma pada tes apus, memperkirakan waktu sejak hubungan seksual atau sebagai
persyaratan penyaringan sebelum menggunakan cairan mani dengan "RSID semen kit" atau
alat untuk deteksi PSA (P30) pada pengambilan apusan didapatkan kurang dapat diandalkan..
Dalam Allard (22) didapatkan pendapat oleh beberapa ahli mengenai pentingnya
hasil AP. Namun pada analisis kami sangat jelas menunjukkan bahayanya mengandalkan
waktu reaksi AP pada apus vagina dan dapat menyesatkan pada proses pengadilan. Kami
menyarankan bahwa tes AP hanya digunakan untuk pengujian pada pakaian, dll dan bukan
untuk menguji hasil apusan. Hasil penelitian kami mengenai pada keberadaan sperma dan
distribusinya yang diambil dari kasus-kasus yang kami tangani, didapatkan sesuai dengan
sebagian publikasi-publikasi sebelumnya (7-10,23-27). Mendukung pengalaman kami di FSI
dimana adalah tidak mungkin bahwa sperma akan terdeteksi luar TSI apabila sudah dari 72
jam pada pemeriksaan apusan vagina.
Dari hasil penemuan kami, analisis dari TSI dan keberadaan sperma melalui tes
apusan vagina, kami menyarankan suatu pedoman sebagai berikut; di TSI hingga 48 jam,
presentase untuk memperoleh sperma pada apus vagina dapat dianggap tinggi (22-42%, CI
95%), dan pemeriksaan mikroskopis dengan profiling DNA autosomal dapat membantu
mengatasi masalah kasus; di TSI dari 48-72 jam, presentase memperoleh sperma pada apus
vagina akan lebih rendah (2-14%, CI 95%); sehingga akan lebih baik dilakukan pendekatan
melalui pengujian serologis pada komponen cairan mani diikuti dengan pemeriksaan
autosomal atau Y-STR DNA profiling. Untuk tes apus vagina dengan TSI lebih besar dari 72
jam, presentase untuk menemukan sperma akan sangat rendah (0,2-15%,CI 95%) sehingga
sampel harus dijaga untuk dilakukan pengujian serologis mencari komponen cairan mani dan
juga pemeriksaan Y-STR.
Dalam kasus dugaan pemerkosaan baik oral atau anal, untuk mendapatkan hasil
positif pada tes apusan akan sulit meskipun diambil dalam kurun waktu TSI kurang dari 48
jam. Setelah 24 jam TSI dalam kasus dugaan pemerkosaan oral dan 72 h TSI dalam kasus
dugaan pemerkosaan anal, hasil penelitian kami menyarankan bahwa langkah baikyang
dilakukan adalah menjaga dan menyimpan sampel untuk dilakukan pengujian serologis untuk
komponen cairan mani dan Y-STR profiling dibandingkan melakukan pemeriksaan
mikroskopis dan juga dapat dipertimbangkan dilakukan pemeriksaan autosomal profil DNA.
Apabila tidak ditemukan sperma, perlu juga kita pertimbangkan kemungkinan penetrasi tanpa
ejakulasi..
Kumpulan-kumpulan data yang disajikan di sini diharapkan memberikan hasil yang
lebih presisi dalam menentukan harapan probabilistik selama penilaian precase, CASEY ET
AL. . FORENSIC SCIENCE 7 memutuskan pendekatan forensik bijaksana untuk pemeriksaan
kekerasan seksual dan memberikan kepercayaan diri kepada pemeriksa untuk memberikan
pendapat ahli kepada pengadilan .
LANDASAN TEORI
I. Cairan mani/ semen
Semen adalah campuran dari berbagai cairan yang mengandung spermatozoa hidup.
Semen fertile mengandung puluhan juta spermatozoa per milliliter. Volume ejakulat
biasanya berjumlah sekitar 2-6 mililiter dengan jumlah 100 hingga 150 juta spermatozoa
per milinya. Komposisi semen: komponen padat: sperma, sel epitel, komponen cair: plasma
semen. Plasma semen mengandung protein, garam. Komponen semen ini berasal dari
vesikula seminalis dan glandula prostat. Prostat juga merupakan sumber sekresi enzim asam
fosfatase dan antigen spesifik protein prostat, atau protein p30. 2

II. Pemeriksaan sampel cairan mani


a. Tes persumtif3
1. Visual
Pakaian dan tempat tidur dapat cepat dilihat untuk memperkirakan adanya noda semen
menggunakan secara visual / mata telanjang. Cairan semen yang kering berwarna putih
kekuningan

2. Sinar UV
Semen juga dapat divisualisasikan menggunakan cahaya biru, sinar ultraviolet (Lampu
Wood), atau sumber cahaya modern seperti CrimeScope yang dikonfigurasi dengan
filter panjang gelombang optimal. Di bawah lampu-lampu khusus, semen akan
fluoresensi karena adanya molekul seperti Flavin dan protein Kolin-terkonjugasi.
Warna fluoresensi ini akan bervariasi dari biru menjadi kuning, tergantung pada
peralatan cahaya yang digunakan. Ada banyak molekul (alami dan buatan) yang akan
berpendar dengan cara yang sama seperti semen, dan karena itu, teknik deteksi ini
hanya untuk pemeriksaan screening. Selain itu, tidak semua noda semen akan
berpendar di bawah lampu khusus seperti. Pemaparan dari sampel faktor seperti panas,
kelembaban, zat pengoksidasi, dan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur dapat
mempengaruhi aktivitas lampu ini.

3. Prostate Spesific Antigen (PSA)2


Tes presumtif lain yang digunakan adalah deteksi antigen prostat spesifik (PSA) atau
molekul 30. Laboratorium forensik memanfaatkan tes P30 untuk skrining PSA. PSA
diproduksi dalam jumlah tinggi oleh kelenjar prostat pria. Namun antigen ini dapat juga
ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil di feses dan keringat. Tes PSA juga harus
tetap dikonfirmasi dengan tes keberadaan sperma untuk menghasilkan hasil positif.

4. Tes asam fosfat


Kelenjar prostat laki-laki memproduksi menghasilkan semen dalam jumlah yang
tinggi dari asam fosfatase enzim (AP). Tes untuk AP masih berupa tes presumtif karena
fakta bahwa sekresi vagina dan cairan tubuh lainnya mengandung kadar terdeteksi
enzim ini. Tes ini tidak spesifik, hasil positif semu dapat terjadi pada feses, air teh,
kontrasepsi, sari buah dan tumbuh-tumbuhan.
Prinsip dasar tes ini adalah adanya enzim fosfatase asam dalam kadar tinggi yang
dihasilkan oleh kelenjar prostat. Enzim fosfatase asam menghidrolisis natrium alfa
naftil fosfat. Alfa naftol yang telah dibebaskan akan bereaksi dengan brentamin
menghasilkan zat warna azo yang berwarna biru ungu. Bahan pemeriksaan yang
digunakan adalah cairan vagina.2,3

Reagen :
Larutan A
Brentamin Fast Blue B 1 g (1)
Natrium asetat trihidrat 20 g (2)
Asam asetat glasial 10 ml (3)
Askuades 100 ml (4)
(2) dan (3) dilarutkan dalam (4) untuk menghasilkan larutan penyangga dengan pH 5,
kemudian (1) dilarutkan dalam larutan peyangga tersebut.

Larutan B
Natrium alfa naftil fosfat 800 mg + aquades 10 ml.
89 ml Larutan A ditambah 1 ml larutan B, lalu saring cepat ke dalam botol yang
berwarna gelap. Jika disimpan dilemari es, reagen ini dapat bertahan berminggu-
minggu dan adanya endapan tidak akan mengganggu reaksi.
Cara pemeriksaan berupa bahan yang dicurigai ditempelkan pada kertas saring
yang terlebih dahulu dibasahi dengan aquades selama beberapa menit. Kemudian kertas
saring diangkat dan disemprotkan / diteteskan dengan reagen. Ditentukan waktu reaksi
dari saat penyemprotan sampai timbul warna ungu, karena intensitas warna maksimal
tercapai secara berangsur-angsur.3
Hasil pemeriksaan berupa bercak yang tidak mengandung enzim fosfatase
memberikan warna serentak dengan intensitas tetap, sedangkan bercak yang
mengandung enzim tersebut memberikan intensitas warna secara berangsur-angsur.
Waktu reaksi 30 detik merupakan indikasi kuat adanya cairan mani. Bila 30
65 detik, masih perlu dikuatkan dengan pemeriksaan elektroforesis. Waktu reaksi > 65
detik, belum dapat menyatakan sepenuhnya tidak terdapat cairan mani karena pernah
ditemukan waktu reaksi > 65 detik tetapi spermatozoa positif. Enzim fosfatase asam
yang terdapat di dalam vagina memberikan waktu reaksi rata-rata 90 100 detik.
Kehamilan, adanya bakteri-bakteri dan jamur, dapat mempercepat waktu reaksi.3

b. Tes Konfirmasi
1. Tanpa pewarnaan (mikroskopis)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan adanya sperma dengan melihat motilitas
spermatozoa. Bahan pemeriksaan yaitu cairan vagina. Pemeriksaan ini paling
bermakna untuk memperkirakan saat terjadinya persetubuhan. Cara pemeriksaan
dengan menggunakan satu tetes cairan vagina + 1 tetes NaCl 0,9% pada kaca objek
kemudian ditutup, kemudian diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 500
kali untuk melihat adanya pergerakan spermatozoa.2
2. Dengan pewarnaan
a. Pemeriksaan pada sperma
- Malachite-Green: kepala: merah, leher: merah muda, ekor: hijau
- Giemsa : sperma warna ungu
- Methilen blue : sperma warna biru
- Gram : sperma warna merah muda
- Baeechi : Kepala: merah menempel di serabut benang. Ekor: biru muda.
b. Pemeriksaan pada cairan mani
- Berberio : Adanya Kristal spermin pikrat kekuningan
-
Florence: adanya Kristal jarum kholin-peryodida cokelat.3

III. Kelebihan dan kekurangan Journal


Kelebihan
- Data yang digunakan dengan jumlah besar memberikan presisi yang lebih besar
- Penelitian ini menunjukan analisis secara statistic, sedangkan publikasi yang sebelumnya
tidak dilakukan analisis data secara spesifik.1

Kekurangan
- Penggunaan waktu reaksi AP untuk mengkonfirmasi keberadaan sperma pada hapusan
untuk mengetimasi waktu sejak senggama atau sebagai preskrining tidak aman dan tidak
dapat dijadikan acuan
- Variasi nilai AP tidak memberikan perbedaan nilai statistic antara reaksi AP intracoital
dan postcoital;1
DAFTAR PUSTAKA

1. Casey D, Domijan K, MacNeill S, Rizet D, O'Connell D, Ryan J. The Persistence of Sperm


and the Development of Time Since Intercourse (TSI) Guidelines in Sexual Assault Cases
at Forensic Science Ireland, Dublin, Ireland. Journal of Forensic Sciences. 2016;.
2. Boward E, Wilson S. A comparison of ABAcard p30 and RSID-Semen test kits for
forensic semen identification. Journal of Forensic and Legal Medicine. 2013;20(8):1126-
1130.
3. Budianto, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FK UI.
1997

Anda mungkin juga menyukai