Anda di halaman 1dari 3

Difabel, Kaum Ableist dan Perundungan Dalam Kampus

Ishak Salim

KALAU MENDENGAR KATA RUNDUNG ATAU PERUNDUNGAN, barangkali belum


banyak orang memahami artinya. Tapi kalau disebutkan kata bullying, maka sudah dipastikan
banyak orang bisa memahami maknanya. Ya, bullying atau perundungan itu artinya perlakuan
yang mengganggu, mengusik terus-menerus dan juga menyusahkan.
Pagi ini (16 Juli 2017) beredar video soal perundungan terhadap seorang mahasiswa
autisme oleh sejumlah mahasiswa lainnya di Universitas Gunadarma, Depok. Dalam video yang
diberi judul L[e]mparan Tong Sampah Maut dan beredar luas di dunia maya itu tampak korban
perundungan merasa kesal kepada dua mahasiswa yang mengganggu langkahnya dengan cara
menarik tas punggungnya. Sejumlah mahasiswa/i turut menyoraki kedua mahasiswa yang
merisak difabel itu. Video ini kemudian mendapat respon dari berbagai pihak yang nyaris
seluruhnya berisi kemarahan atau caci maki kepada mahasiswa yang melakukan perundungan.
Menurut Olweus (1997) dalam Bully/victim problems in school: Facts and intervention
disebutkan bullying merupakan tindakan negatif yang mencakup [1] mengatakan hal yang tak
menyenangkan ataupun memanggil seseorang dengan julukan yang buruk; [2] mengabaikan atau
mengucilkan seseorang dari suatu kelompok karena sebuah tujuan; [3] memukul, menendang,
menjegal atau menyakiti orang lain secara fisik; [4] mengatakan kebohongan atau rumor yang
tidak benar mengenai seseorang atau membuat orang lain tidak menyukai seseorang dan hal-hal
semacamnya.
Dalam konteks kajian ilmu politik, perilaku orang yang melakukan perundungan kepada
korban menunjukkan adanya relasi kuasa antara orang yang merasa diri dominan kepada diri
yang merasa inferior atau merasa tak berdaya. Praktik kekuasaan tidak selalu terjadi atas dasar
relasi berdasarkan aspek legal-formal semisal tinggi rendahnya jabatan dalam suatu organisasi
atau besar kecilnya kepemilikan modal dalam perusahaan. Relasi kuasa juga bisa berbasis relasi
pengetahuan di mana pengetahuan yang satu tampil lebih dominan dan menegasikan
pengetahuan yang lain yang berbeda. Kasus perundungan difabel di Universitas Gunadarma
dapat disebut sebagai praktik disability abuse yang bersandar pada relasi kuasa/pengetahuan.

kesalahan cara pandang kenormalan dan kaum ableist


Berdasarkan aturan pendidikan maupun perguruan tinggibaik mencakup hak dan
kewajiban mahasiswa serta larangan maupun sanksi bagi mahasiswa, posisi mahasiswa adalah
setara satu sama lain. Namun, di balik posisi sebagai mahasiswa, ada sistem lain yang bekerja
yang secara sosial [telah] menempatkan orang pada posisi tertentu. Misalnya pembedaan
normal dan tidak normalnya seseorang berdasarkan kategori kesempurnaan jasmani dan
rohaninya. Dalam hal ini, mahasiswa autisme dianggap sebagai mahasiswa yang abnormal
dan karena itu berbeda dari kebanyakan mahasiswa lainnya yang menganggap diri sebagai
normal. Begitu pula bagi mahasiswa difabel lainnya juga dianggap sebagai abnormal karena
perbedaan struktur dan fungsi tubuh maupun mentalnya. Keabnormalan ini bisa juga dilihat
dari bentuk pelabelan siswa/mahasiswa difabel seperti adanya label sebagai mahasiswa luar
biasa, mahasiswa berkebutuhan khusus, atau label yang paling kasar disebut mahasiswa
cacat. Merasa diri normal adalah satu bentuk superioritas yang berimplikasi kepada sikap
merendahkan mereka yang dikategorikan sebagai abnormal. Dalam relasi superioritas
inferioritas inilah praktik perundungan terjadi.
Dalam kajian disabilitas, corak berpikir seperti ini disebut oleh Fiona Kumari Campbell
dalam Contours of Ableism: The Production of Disability and Abledness (2009) sebagai cara
berpikir ableism. Ableism adalah cara pandang yang bersandar kepada kemampuan seseorang
berdasarkan kesempurnaan bentuk maupun fungsi tubuhnya. Cara pandang ini, kemudian
memengaruhi watak kebijakan dan program-program sosial pemerintah yang hanya
menguntungkan para non-difabel dan sebaliknya merugikan difabel.
Dengan model desain sosialsemisal sekolah atau kampus, masjid, pasar, kantor, bus,
kereta, dllyang [lebih] memudahkan semua orang normal tadi, telah membuat posisi mereka
lebih dominan (dan lebih percaya diri) dibandingkan dengan difabel yang mengalami hambatan
demi hambatan dalam bergerak maupun beraktivitas. Hambatan-hambatan yang tak pernah
diselesaikan oleh para pemnagku kepentingan terkait inikarena dianggap sebagai
kenormalandapat menimbulkan rasa frustrasi bagi difabel yang membawa pada sikap rendah
diri pasrah, dan nrimo.
Bagai kaum ableist, semua orang bertindak atau bergerak dengan kedua kakinya, meraih
dengan kedua lengan dan jemarinya, melihat dengan kedua bola matanya, mendengar dengan
kedua gendang telinganya dan bercakap-cakap dengan mulutnya. Hasilnya, mereka mendesain
kampus berikut sistem pembelajarannya yang berkesesuaian dengan kondisi fisik dan
kemampuan mereka, seperti tangga [tanpa rampa], lantai [tanpa guiding block], perpustakaan
penuh buku [tanpa buku braille dan buku bicara], dosen mengajar [tanpa penerjemah bahasa
isyarat], ruang kelas [tanpa pintu lebar bagi kursi roda], dan bangunan kampus [tanpa reasonable
accommodation], serta layanan kebutuhan mahasiswa [tanpa layanan disabilitas beretika
disabilitas].
Dengan desain sosial yang tidak akses bagi difabel telah menyebabkan difabel selalu
kesulitan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (disabling condition). Di satu sisi, kaum
ableist ini gagal membaca kesulitan-demi-kesulitan difabel tersebut sebagai kegagalan cara
pandang, desain maupun model sosial yang telah eksis sekian lama. Sebaliknya, mereka
menganggap kesulitan difabel ini dikarenakan akibat kondisi tubuhnya yang dianggap cacat,
tidak normal dan karena itu mereka pun berpikir mengasihani ataudalam kondisi kebodohan
paling ekstrimjustru melakukan perundungan kepada difabel, baik perundungan verbal, fisik,
maupun sosial.
Cara berpikir yang menganggap difabel penderita, sakit, cacat, tuna dan
abnormal merupakan buah dari dominasi cara berpikir medik dalam masyarakat. Saat ini,
perspektif medik atau individual begitu mendominasi diskursus sosial kita. Misalnya, orang
berkursi roda dianggapnya sebagai orang sakit, orang buta yang menggunakan tongkat saat
berjalan dianggap sebagai tidak sehat jasmani, orang Tuli yang pandai berbahasa isyarat
dianggapnya orang cacat, dan seterusnya. Kebanyakan orang termasuk mahasiswa-mahasiswa
yang sudah menerima warisan cara berpikir individual-medik dan abai pada aspek sosial
inilah yang kemudian mengalami kegagalan ketika berhadapan dengan difabel atau mahasiswa
difabel.
Dengan demikian, dalam konteks bullying di Kampus Universitas Gunadarma, terjadinya
perundungan itu jelas tidak bisa dilihat hanya dari aspek para mahasiswa perundung yang
melakukan disability abuse saja, melainkan hal ini juga terkait langsung dengan beragam
ketentuan atau kebijakan internal universitas dan segala bentuk implementasi program kerja
rektorat yang memungkinkan tindakan peundungan berlangsungbahkan berkali-kali.
Jika praktik perundungan yang merendahkan sisi kemanusiaan kita ini telah berlangsung
lama maka sudah seharusnya pihak rektorat bertindak menghukum pelaku dan mengupayakan
perbaikan internal agar hal tersebut tidak terjadi lagientah melalui kebijakan ataupun
pengarusutamaan isu dan perspektif disabilitas dalam kampus. Dalam hal ini, kampus yang tidak
memiliki kebijakan terkait mainstreaming isu-isu disabilitas di saat di kampusnya sendiri
terdapat beragam difabel, maka jelas kampus itu telah melakukan suatu kekeliruan atau
keteledoran luar biasa. Mengapa? Karena isu disabilitas, bukan saja sudah lama diatur dalam
sistem hukum kita baik pascaratifikasi UNCRPD pada 2012 dan pengesahaan UU No. 8 tahun
2016 tentang penyandang disabilitas, namun secara sosial juga sudah lama menjadi perbincangan
publik yang layak diperhatikan dalam hubungan antar manusia.
Jika kampus tidak memperhatikan perkembangan regulasi disabilitas, pengakuan hak-hak
disabilitas, dan dorongan kemanusiaan untuk saling menghormati sesama manusia
bagaimanapun kondisi dirinya, maka kampus ini bisa disebut terlambat dalam merespon laju
perubahan sosial. Artinya, kampus yang mengalami ketertinggalan itu bisa disebut sebagai
kampus yang sedang mengalami stagnasi dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi,
khususnya terkait isu penting seperti isu penghormatan berdasarkan disabilitas dan respek
kepada difabel.
Oleh karena itu, salah satu tawaran untuk menghentikan budaya perundungan terhadap
difabel di kampus, pihak rektorat wajib membuka Pusat Layanan dan Kajian Disabilitas/Difabel.
Pusat Layanan dan Kajian ini tentu tidak sekadar melayani civitas akademika difabel dalam
menghadapi kesulitan proses belajar mengajar tetapi juga menjadi ruang untuk bertanya dan
belajar bagi siapapun terkait tema disabilitas.
Bagaimana memulainya, pertama, pihak rektorat atau akademikus membuka ruang
partisipasi setara bagi difabel dalam penyusunan rencana pengembangan aksesibilitas kampus
dan langkah-langkah implementasinya. Tanpa keterlibatan difabel, khususnya difabel yang telah
memiliki kesadaran kritis dan terorganisir melalui sejumlah organisasi difabel maupun yang
konsern pada isu difabel, maka dapat dipastikan kegagalan membangun kesetaraan seluruh
akademikus dapat terjadi. Kedua, pihak rektorat membuka kerjasama dengan universitas lain
yang sudah memiliki Pusat layanan dan Kajian Disabilitas dan berpengalaman dalam
merencanakan maupun melakukan perubahan-demi-perubahan menuju aksesibilitas penuh di
kampusbaik aksesibilitas fisik, intelektual maupun sosial. Ketiga, di tingkat mahasiswa pun
sudah harus memasukkan perspektif disabilitas dalam konsep-konsep pengkaderan di berbagai
level serta dalam statuta organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra-kampus.
Dengan langkah-langkah tersebut, semoga di setiap kampus tidak lagi terjadi
perundungan kepada difabel yang melukai rasa kemanusiaan kita sebagai sesame makhluk
Tuhan[]

Penulis adalah Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK)

Anda mungkin juga menyukai