Anda di halaman 1dari 3

Clinical Trial

Penelitian tentang Tinjauan Penggunaan Metformin Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2

Rawat Inap Di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD DR. Achmad Mochtar Bukittinggi, Indonesia

yang di lakukan oleh Hansen Nasif, Yeni Efrina, dan Husni Muchtar pada tahun 2012 penelitian

ini di ambil dari bulan april sampai juni 2010 di SMF ilmu penyakit dalam RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi dengan dasar perubahan kondisi pasien. Pada hasil penelitian didapatkan 28

pasien yang memenuhi criteria dalam penelitian, dengan 11 pasien terindentifikasi menggunakan

metformin pada keadaan kontrainfikasi. Setelah dianalisa, dari 11 pasien tersebut, ada 8 orang

memilki kondisi penyakit yang berat, dengan parameter klinis yang signifikan untuk dikategorikan

kontraindikasi dengan terapi metformin. Pasien ini memiliki diagnosa, data laboratorium dan obat

yang jelas, perkembangannya dapat diamati sehingga dapat dilakukan analisa lebih lanjut. Dua

diantarnya dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit. Dari 8 orang pasien diabetes mellitus tipe

2 dengan kondisi penyakit yang berat, 3 orang memiliki 2 kontraindikasi ( gagal jantung dan

ginjal), 3 orang dengan penyakit jantung, 1 orang mengalami dehidrasi akut, dan 1 orang lagi

memilki riwayat sirosis hati. Dua orang lainnya memilki kadar CrSr (creatinin serum) 2,9 mg/dl

dan 2,1 mg/dl, sementara satu orang pasien lagi mengalami gangguan fungsi hati dengan

peningkatan enzim hati AST/ALT (Aspartate Aminotransferase/ Alanine Aminotransferase) dua

kali normal. Tiga orang pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal, kadar kreatininnya

terukur > 1,4 mg/dl. Kadar kreatinin yang tinggi hingga mencapai 5,4 dapat menyebabkan pasien

meninggal dunia. Kondisi ini sebenarnya mengharuskan untuk menghentikan terapi metformin

atau tidak menggunakannya karena sudah tergolong kontraindikasi. Pada kasus pasien dengan

GDP/2pp (glukosa darah puasa/ 2 jam post prandial) 178/197 mg/dl, diberikan terapi awal insulin
selama 24 hari, kemudian di stop, dengan kadar gula darah terakhir 88 mg/145 (GDP/2pp) mg lalu

diganti dengan metformin dan glibenklamid. Pengukuran terhadap pH darah dilakukan satu kali

setelah 15 hari dirawat, sebelum diberikan terapi metformin, ternyata nilai pH darah pasien ini

sebesar 6,97, nilai yang sudah tergolong asam. Bila dilihat dari nilai pH yang rendah ini, pasien

sudah dapat dikategorikan mengalami hiperasidemia. Berdasarkan standar pH darah normal (7,35-

7,45), jika pH < dari 7,35 mengindikasikan asidemia. Setelah konsul bedah ke bagian urologi,

hasilnya ditemukan adanya batu ginjal. Kondisi ini mengharuskan tidak diberikannya terapi

metformin, karena mengkontribusi berkembangnya laktat asidosis. Sementara pada pasien

jantung, terdapat pasien dengan gagal jantung stg I-III, angina, pembesaran jantung dengan

bendungan paru. Pasien-pasien ini mendapatkan terapi diuretik furosemid (tablet furosemid, inj

lasix ) dan spironolakton. Digoksin, ISDN (isosorbid dinitrat), asetosal, ramixal, dan valsatran

diberikan untuk pengobatan jantung. Pemberian metformin sebaiknya tidak diberikan karena

selain pasien tergolong kontraindikasi, bagi pasien rawat jalan, kontrol terhadap kondisi klinisnya

tidak begitu optimal, apalagi dengan gangguan ginjal stg III ini, dapat memperparah fungsi ginjal

pasien, aliran darah ke ginjal semakin menurun, terjadinya udem, dan asidosis metabolik karena

penumpukan asam-asam yang berisiko berkembangnya laktat asidosis bila tidak dilakukan

pemantauan yang intensif. Berkaitan pertimbangan risiko dan manfaat terapi metformin dengan

kontraindikasi, beberapa penelitian klinis telah mengevaluasi keamanan penggunaan metformin

pada pasien dengan kontraindikasi metformin. Alawadhi et al. menyatakan terdapat beberapa

kasus hiperlaktatsemia tapi tidak ada kasus laktat asidosis dari analisa prospektif 106 pasien

diabetes mellitus tipe 2 dengan berbagai kondisi klinis yang kontraindikasi dengan penggunaan

metformin. Sama halnya, pada analisa dari 194 penelitian, Salpeter dan rekan-rekannya tidak
menemukan kasus laktat asidosis pada 36893 orang per tahun pada pasien yang diresepkan

metformin. Pada 26 studi dimana kadar laktat diukur, tidak ada perbedan pada kadar laktat serum

antara metformin dan non golongan non biguanida. Terlepas dari keamanan yang relatif dari terapi

metformin diatas, American Diabetic Association (ADA) dan United Kingdom Prospektif Studi

(UKDSP) telah menyatakan metformin dapat digunakan pasien diabetes mellitus tipe 2 jika

toleran dan tidak kontraindikasi. Kontraindikasi tersebut meliputi gagal jantung, insufisiensi

ginjal, sirosis hepatik, dan kondisi klinis yang berkaitan dengan hipoksia dan hipoksemia jaringan

seperti sepsis, dehidrasi dan koma. New York Heart Association juga menyatakan gagal jantung

stage II-IV pada klasifikasi NYHA merupakan kontraindikasi utama pada terapi metformin. Jadi

ini adalah standar yang penting diperhatikan dalam penggunaan metformin pada penetalaksanaan

terapi pasien diabetes mellitus tipe 2. Insiden terjadinya laktat asidosis yang dikaitkan dengan

penggunaan metformin pada sejumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 yang kontraindikasi dengan

terapi ini memang secara pasti tidak diketahui dan tidak ditemukan selama penelitian. Namun,

bukan berarti metformin dapat digunakan secara luas pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang

kontraindikasi.

Nasif Hansen, Yeni Efrina, Husni Muchtar. 2012. Tinjauan Penggunaan Metformin
Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Inap Di Smf Ilmu Penyakit Dalam Rsud
Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi, Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi,
Vol. 17, No.2, 2012, halaman 104-117. Fakultas Farmasi Universitas Andalas,
Padang Indonesia

Anda mungkin juga menyukai