Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pernah mengucapkan orang itu baik dan orang
itu jahat, pernah juga mengatakan si A tidak punya etika dan si B tidak bermoral. Kata-
kata demikian sudah tidak menjadi asing lagi bagi kita dan sering terdengar di dalam
kehidupan bermasyarakat.
Ketika kita mengucapkan si A baik dan si B jahat tentunya kita mempunyai
ukuran dari mana kita menilai seseorang itu baik dan jahat. Apakah dari kebiasaan
lingkungan sekitar, ataukah dari ajaran agama yang telah kita anut? Pertanyaan tersebut akan
terjawab dibagian bawah ini dan akan dijelaskan secara rinci tentang Etika dan Moral.
Pengertian Etika
Di dalam berbagai literatur, terdapat perbedaan pendapat mengenai asal usul kata
etika, pertama, etika berasal dari bahasa Yunani kuno yakni ethos (bentuk tunggal) yang
bermakna tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang habitat, kebiasaan, adat,
watak, perasaan, sikap dan cara berpikir dalam bentuk jamaknya yakni ta etha yang
berarti adat kebiasaan, kata inilah yang dipakai Aristoteles untuk menunjukan filsafat moral
(Bertens, 2011:4), kedua, etika berasal dari kata Latin yakni Ethic yang berarti kebiasaan,
habit, custom (Burhanuddin, 2000:3). Walaupun terdapat perbedaan asal-usul kata, namun
mempunyai arti yang sama yakni kebiasaan, demikian makna etika menurut etimologi.
Secara terminologi, etika ialah ilmu yang membahas perbuatan dan tingkah laku
manusia, yang mana dapat dinilai benar ataupun salah (Darsono, 2010:80). Perbuatan
seseorang dikatakan benar atau salah itu berdasarkan pada ilmu pengetahuan.
Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin yakni Mores yang berarti kelakuan, kebiasaan dan
kesusilaan (Darsono, 2010:80, Burhanuddin, 2000:2), dengan demikian moral membicarakan
kesusilaan, baik dan buruk berdasarkan adat kebiasaan masyarakat dan ajaran agama.
Perbuatan seseorang dikatakan baik apabila ia berbuat sesuai dengan adat masyarakat dan
aturan agama, begitupun sebaliknya, seseorang dikatakan buruk apabila ia berbuat tidak
sesuai dengan ajaran agama dan adat masyarakat setempat.
Etika Moral
Ilmu pengetahuan Adat-istiadat
1
Teori dan ilmu Nilai dan norma
Benar - salah Baik buruk
Pikiran (otak kiri) Perasaan (otak kanan)
Rasional Dogmatis
Masyarakat modern Masyarakat konservatif
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ber-etika ialah berpikir dan berperilaku
rasional berdasarkan ilmu pengetahuan, dan ber-moral ialah berperilaku baik berdasarkan
pada adat-istiadat dan ajaran agama.
2
lain di luar ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan kalah terhadap
pertimbangan lain dan dengan demikian ilmu pengetahuan menjadi tidak murni sama sekali.
(keraf, 2001:149-150).
Sebelum kita menyimpulkan apakah ilmu bebas nilai atau tidak, ada perlunya kita
menyimak apa sesungguhnya tujuan dari ilmu pengetahuan, yang dalam hal ini terdapat dua
kecenderungan yang mendasar, yakni kecenderungan puritan-elitis dan kecenderungan
pragmatis.
Kecenderungan Puritan-Elitis: bagi kaum puritan-elitis, tujuan akhir ilmu
pengetahuan adalah demi ilmu pengetahuan. Kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu
pengetahuan hanya dipertahankan demi kebenaran murni begitu saja. Kebenaran ilmiah ini
hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia. Kepuasan seorang ilmuwan, terletak dalam
menemukan teori-teori besar yang mampu menjelaskan segala persoalan, teka-teki dan gejala
alam terlepas apakah ilmu pengetahuan tersebut berguna atau tidak bagi kehidupan praktis
manusia.
Oleh karena itu, bagi kaum puritan-elitis, ilmu harus bebas nilai, ilmu pengetahuan
harus lepas dari pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, termasuk pertimbangan nilai
guna dari ilmu pengetahuan.
Kecenderungan Pragmatis: bagi kamu pragmatis, pada dasarnya ilmu pengetahuan
bertujuan mencari kebenaran, namun tidak berhenti sampai disitu saja, melainkan ilmu
pengetahuan pada akhirnya berguna bagi kehidupan manusia. Jadi, ilmu pengetahuan
dikembangkan bukan hanya untuk ilmu pengetahuan semata, melainkan juga demi menjawab
berbagai persoalan hidup manusia.
Oleh karena itu, bagi kecenderungan pragmatis, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai,
dan ia terbebani oleh nilai-nilai, yakni bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.
Dari dua kecenderungan di atas, manakah yang paling benar? untuk menjawab ini, kita harus
membedakan antara context of discovery dan context of justification.
Context of discovery berbicara dimana ilmu pengetahuan ditemukan. Dalam konteks
ini ilmu pengetahuan ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu
dan dalam kondisi sosial tertentu. Termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan muncul dan
berkembang demi memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, karena itulah
manusia melakukan kegiatan ilmiah. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tidak muncul begitu
saja, ada konteks tertentu yang melahirkannya, karena itu tidak dapat disangkal bahwa
ilmuwan dalam melakukan kegiatan ilmiah dimotivasi oleh keinginan baik personal maupun
kolektif, untuk mencapai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekedar kebenaran ilmiah.
Context of justification adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian dan
kegiatan ilmiah. Inilah konteks dimana kegiatan ilmiah dan hasilnya diuji berdasarkan
3
kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Dimana yang berbicara adalah data dan fakta apa
adanya serta keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan
pertimbangan lain.
Dari penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa context of discovery ilmu
pengetahuan dihubungkan dengan kegunaannya sedangkan context of justification kebenaran
ilmu pengetahuan sesuai dengan kaidah ilmiah.
Ada pertanyaan, bagaimana dengan hasil penelitian yang terbutki kebenaranya
berdasarkan kriteria ilmiah murni tetapi ternyata dianggap bertentangan dengan nilai moral
religius tertentu? Seperti clonning. Pada tingkat ini, yang menjadi kriteria menerima atau
menolak hasil ilmu pengetahuan ini adalah kriteria kegunaannya. Dalam pengertian, dari segi
context of justification dari hasil ilmiah hasil ini tidak bisa ditolak, sah secara ilmiah,
sementara dari segi context of discoverry apakah hasil tersebut berguna? Kalau tidak berguna,
kalau ternyata merendahkan manusia, hasil tersebut ditolak. Tetapi ditolaknya hasil ini bukan
karena tidak benar, melainkan karena tidak ada gunanya bagi kehidupan manusia.
4
Etika universalisme berpendapat bahwa perbuatan dinilai baik apabila dapat
memberikan kebaikan kepada orang banyak. Universal (umum) merupakan lawan dari
individual, jadi kebaikan tersebut diperuntukan kepada kepentingan umum, bukan
kepentingan pribadi.
4. Intuisionisme
Intuisi bermakna ilham atau bisikan hati. Etika intuisionisme memberikan penilaian
baik atau buruk berdasarkan intuisi yang merupakan pertimbangan rasa yang timbul dari
bisikan hati, cara memperolehnya dengan renungan, semedi, atau tiba-tiba tanpa
difikirkan.
5. Hedonisme
Hedone bermakna kesenangan. Dalam etika ini, perbuatan dikatakan baik apabila
mendapatkan kesenangan yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Apabila perbuatan
mendatangkan kesusahan, penderitaan dan tidak menyenangkan maka perbuatan tersebut
dinilai buruk.
6. Eudemonisme
Eudaemonismos bermakna bahagia. Perbuatan dikatakan baik apabila dinilai
mendatangkan atau terdapat kebahagiaan. Kebahagiaan tidaklah sama dengan
kesenangan karena kebahagian lebih menitikberatkan pada perasaan. Misalkan,
walaupun perbuatan tersebut dilalui dengan jalan tidak menyenangkan dan sangat sukar
tetapi pada akhirnya mendapatkan kebahagiaan maka perbuatan tersebut dinilai baik.
7. Alturisme
Alteri berarti other, orang lain, yang merupakan lawan dari egois. Perbuatan dikatakan
baik apabila lebih mengutamakan kepentingan orang lain, walau sendirinya menderita
atau menanggung rugi.
8. Tradisionalisme
Tradisi bermakna kebiasaan atau adat istiadat. Perbuatan dikatakan baik apabila sesuai
dengan kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Apabila
tidak sesuai dengan kebiasaan maka perbuatan tersebut dinilai buruk.
Referensi
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cet. Ke 11. 2011.
Keraf, Sonny dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta:
Kanisius. 2001.
Prawiranegoro, Darsono. Filsafat Ilmu. Jakarta: Nusantara Consulting. 2010.
Salam, Burhanuddin. Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineka Cipta.
2000.
Salam, Burhanuddin. Etika Sosial; Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rineka
Cipta. 2002.
5
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Cet ke 22. Jakarta: Penebar
Swadaya. 2010.
http://dinulislami.blogspot.com/2009/10/aksiologi.html