Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka

mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang

termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda

dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.1

Lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia mengalami gagal jantung, dan lebih

dari 5 juta di Amerika Serikat. Prevalensi gagal jantung mengikuti pola eksponensial,

yaitu meningkat seiring usia. Gagal jantung mempengaruhi 6% sampai 10% orang

berusia diatas 65 tahun. Ada lebih 1 juta rawat inap dengan diagnosis utama gagal

jantung setiap tahun di Amerika Serikat, dan gagal jantung adalah diagnosis yang

paling umum untuk penerimaan rumah sakit pada usia diatas 65 tahun. Walaupun

kejadian relatif lebih rendah pada wanita dibandingkan pria, wanita merupakan

setidaknya setengah dari kasus gagal jantung karena harapan hidup lebih lama

mereka. Di Amerika Serikat, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan gagal jantung

mencapai lebih dari $34 milyar per tahun, yang sebagian besar dihasilkan dari

rawatan rumah sakit. Rawat inap untuk gagal jantung dekompensasi akut (ADHF)

adalah prediktor kuat dari penerimaan kembali pasien dengan gagal jantung kronis,

dengan tingkat kematian setinggi 20%.2

Gagal jantung adalah keadaan jantung yang tidak dapat memompa darah pada

tingkat yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.3 Gagal jantung

juga dapat didefinisikan sebagai suatu kelainan struktur atau fungsi jantung yang

menyebabkan kegagalan jantung untuk mememenuhi kebutuhan oksigenasi jaringan

4
(ecs 2012). Disfungsi jantung mungkin berhubungan dengan iskemia, kelainan irama

jantung, disfungsi katup, penyakit perikardial, peningkatan tekanan pengisian atau

resistensi sistemik..4

Gagal jantung dapat menjadi faktor yang menyebabkan remodelling dari

atrium kiri, karena adanya peningkatan beban tekanan dan volume atrium. Gagal

jantung simptomatik (NYHA KELAS II-IV) didapatkan pada 30% pasien FA dan FA

ditemukan pada 30-40% pasien gagal jantung, bergantung pada penyebab dasar dan

beratnya gagal jantung.5

Atrial Fibrilasi adalah takiaritmia supraventikular yang khas, dengan aktivasi

atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium.3

Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk

stroke, gagal jantung, serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan FA memiliki

risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi

dibandingkan pasien tanpa FA.6

5
ILUSTRASI KASUS

Telah datang pasien seorang laki-laki usia 61 tahun ke RSUP Dr. M. Djamil

Padang pada tanggal 19 Mei 2016 dengan keluhan utama sesak nafas yang meningkat

sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak menciut, tidak dipengaruhi oleh

makanan atau cuaca, sesak muncul saat istirahat malam disertai batuk. Sesak

berkurang dengan perubahan posisi. Sesak nafas dirasakan pertama kali tahun 2009.

Terdapat riwayat sembab. Sesak dirasakan saat beraktifitas atau berjalan 20 meter.

Sesak disertai dengan nyeri dada.

Nyeri dada dirasakan di seluruh dada dan terasa seperti terhimpit, lebih dari

20 menit dan menjalar ke punggung. Nyeri dada disertai dengan keringat dingin,

mual, muntah, dan pingsan. Terdapat riwayat berdebar-debar sejak 2 tahun yang lalu.

Dada berdebar-debar dirasakan cepat dan tidak teratur, dipengaruhi oleh aktivitas

berat dan dapat hilang spontan. Pasien sudah dikenal sebelumnya menderita

pembengkakan jantung. Faktor resiko CAD pada pasien adalah hipertensi dan

merokok. Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan

pasien. Pasien memiliki riwayat asma, hipertensi, dan alergi obat tapi pasien tidak

tahu obat apa.

Pada pemeriksaan fisik pasien di hari rawatan ke empat, didapatkan keadaan

umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis cooperative, tekanan darah

140/70 mmHg, nadi 64 kali permenit irreguler, suhu 36C, pernapasan 41 kali

permenit, keadaan gizi baik, tinggi badan 165 cm dan berat 75 kg. Pasien tidak

mengalami sianosis, anemis, edema dan ikterus. JVP 5-1 cm H20, KGB, kepala,

6
rambut, mata, telinga, hidung, tenggorokkan, gigi dan mulut tidak terdapat kelainan.

Pemeriksaan ekstremitas akral teraba hangat, dan tidak terdapat edema pada kedua

ekstremitas.

Pada pemeriksaan paru, didapatkan inspeksi dalam keadaan statis simetris kiri

dan kanan, serta dalam keadaan dinamis pergerakan sama kiri dan kanan. Palpasi

fremitus sama kiri dan kanan. Perkusi sonor sama kiri dan kanan. Pada auskultasi

terdengar suara nafas vesikuler, tidak terdapat rhonki di kedua lapangan paru dan

tidak terdapat wheezing.

Pemeriksaan jantung pada inspeksi iktus kordis tidak terlihat. Palpasi iktus

kordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC VI. Perkusi batas jantung atas adalah RIC II,

batas jantung kanan linea sternalis dekstra dan batas jantung kiri LMCS RIC VI. Pada

auskultasi terdengar SI dan S2 irreguler, tidak ada murmur dan gallop.

Pemeriksaan abdomen pada inspeksi tidak tampak distensi. Palpasi abdomen

supel, hepar dan lien tidak teraba. Perkusi timpani dan auskultasi bising usus positif

normal. Pada pemeriksaan punggung tidak ditemukan kelainan. Alat kelamin dan

anus tidak dilakukan pemeriksaan.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin 14,7 g/dl,

leukosit 9.800/mm3, hematokrit 45%, trombosit 257.000. GDS 128 mg/dL. Kadar

ureum darah 40 mg/dL, kreatinin darah 1,9 mg/dL. Kadar Na 141 mmol/L, Ca 9,3

Mmol/L, K 4,1 Mmol/L, Cl 107 Mmol/L. CKMB 8 U/L, Troponin T (-). Dari hasil

AGD didapatkan pH 7,48, pCO2 25 mmHg, pO2 136 mmHg, HCO3 18,6 mmHg,

SaO2 99%.

7
Pemeriksaan EKG saat tiba di IGD menunjukkan gambaran EKG yang

didapatkan adalah irama AF, QRS rate 157 kali per menit, axis normal, gelombang P

dan PR interval sulit dinilai, QRS durasi 0,08, ST elevasi di V1,V2,V3,V4; LVH (-),

RVH (-).

Gambar 2.1 EKG saat di IGD

8
Pada hari rawatan ke empat, gambaran EKG yang didapatkan adalah irama AF,

QRS rate 99 kali permenit, axis normal, gelombang P dan PR interval sulit dinilai,

QRS durasi 0,08, ST-T changes sulit dinilai, LVH (-), RVH (-). Terdapat Q

patologis.

Gambar 2.2 EKG hari rawatan ke empat

9
Pada pemeriksaan foto thorak didapatkan kardiomegali dengan cardi-thorakal

ratio (CTR) 73%, segmen aorta dan pulmonal normal, cardiac weist positif, apeks

tertanam, kranialisasi positif, dan tidak terdapat infiltrat.

Gambar 2.3 Rontgen Thoraks

Penaksiran risiko stroke dengan kriteria CHAD2DS2VASC didapatkan skor

2, dengan rincian 1 skor untuk kongestif dan 1 skor untuk hipertensi. Sedangkan

penaksiran risiko perdarahan dengan kriteria HAS-BLED didapatkan skor 2, dengan

rincian 1 skor untuk hipertensi dan 1 skor untuk penggunaan obat-obatan.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pada

hari ke empat rawatan pasien ini didiagnosis dengan ADHF dry and warm on CHF

dengan Old MCI dan AF NVR persisten lama. Sedangkan pada hari rawatan pertama,

pasien didiagnosis dengan ADHF wet and warm on CHF dengan Old MCI dan AF

RVR persisten lama.

10
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah NaCl 0,9% 1 kolf/24 jam, bolus

lasix 40 mg (iv), drip furosemid 5 mg/jam, drip nitrogliserin 5 mg/menit, digitalisasi

digoxin 0,25 mg (iv), ramipril 1x2,5 mg, spironolakton 1x25 mg, loading aspilet 1x80

mg, simvastatin 1x20 mg, pradaxa 2x110 mg, digoxin oral 1x0,25 mg, ranitidin 2x1

ampul, alprazolam 1x0,5 mg.

11
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki umur 61 tahun, hari rawatan ke empat, datang ke

Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. M. Djamil Padang pukul 01.00 dengan diagnosis

Congestive Heart Failure dengan Atrial Fibrilasi Persistant. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, gambaran EKG, Rontgen Thorax, dan

marker jantung .

Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu sindrom klinis yang kompleks,

yang terjadi akibat kelainan jantung secara fungsional ataupun struktural yang

mengganggu kemampuan ventrikel untuk mengisi atau memompa darah. CHF

merupakan gejala klinis yang umum yang menyebabkan kemacetan pembuluh darah

paru dan penurunan curah jantung.7

Pada kasus ini, keluhan utama pasien datang ke rumah sakit adalah sesak nafas.

Sesak nafas dirasakan meningkat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak

tidak menciut dan tidak dipengaruhi oleh cuaca dan makanan. Sesak nafas ddirasakan

pertama kali tahun 2009. Dari anamnesis dapat disingkirkan bahwa sesak yang

dialami pasien ini penyebabnya bukan dari paru, melainkan jantung, sehingga dapat

disingkirkan sesak akibat penyakit asma dan PPOK. Sesak nafas terjadi saat istirahat

dimalam hari (PND +) disertai batuk dan berkurang dengan perubahan posisi

(Orthopnea +) dan sesak saat beraktivitas (Dyspnea on Effort +).

12
Gejala khas dari gagal jantung adalah sesak nafas saat istirahat atau aktivitas

disertai kelelahan atau tidak, dan terdapat tanda retensi cairan berupa kongesti paru

atau edema tungkai.1

Pada pasien ini, sesak muncul mendadak ketika istirahat dan sesak meningkat

saat beraktivitas. Pasien juga memiliki riwayat edem tungkai, dimana pada penderita

gagal jantung terjadi retensi cairan sehingga dapat ditemukan manifestasi klinis

berupa edem di pergelangan kaki.1

Berdasarkan Kriteria Framingham untuk gejala dan tanda dari Heart Failure:4

Kriteria Mayor
- Paroxysimal Nocturnal Dyspnea
- Distensi vena jugularis
- Ronkhi
- Kardiomegali
- Pulmonary Edema
- S3 Gallop
- Hepatojugular refluk

Kriteria Minor
- Edema Tungkai
- Batuk Malam Hari
- Dyspnea of Effort
- Hepatomegali
- Efusi Pleura
- Takikardi

13
Orthopnea didefinisikan sebagai kondisi sesak saat posisi berbaring lurus dan

biasanya membaik dengan perubahan posisi menjadi duduk tegak atau menambahkan

bantal saat tidur. Orthopnea timbul akibat cairan yang berasal dari splanknik dan

ekstermitas bawah memasuki sirkulasi pusat pada saat berbaring, sehingga terjadi

peningkatan tekanan pada pembuluh darah pulmoner.8

Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) adalah sesak nafas yang muncul saat

malam hari yang menyebabkan pasien terbangun dari tidurnya disertai dengan batuk,

timbul karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial sehingga terjadi kompresi

saluran nafas, disertai dengan edema intersisial paru yang pada akhirnya dapat

menimbulkan resistensi saluran pernafasan pada pasien. PND merupakan gejala

spesifik pada gagal jantung.8

Klasifikasi gagal jantung menurut kapasitas fungsionalnya, NYHA membagi

menjadi 4 kelas :4

- Kelas I, Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik

sehari-hari, tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas

- Kelas II, terdapat batasan aktivitas ringan, tidak terdapat keluhan saat istirahat,

namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak

nafas

- Kelas III, terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat

istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau

sesak

14
- Kelas IV, tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala

saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas.

Pada kasus ini, pasien termasuk dalam kelas IV, karena Pasien mengeluhkan,

saat berjalan 20 meter sudah merasa sesak. Sesak muncul saat istirahat dan

meningkat ketika beraktivitas.

Nyeri dada yang dikeluhkan pasien merupakan nyeri dada khas infark, dimana

nyeri di rasakan bersama dengan sesak. Nyeri pertama kali dirasakan tahun 2009.

Angina terbagi atas dua, yaitu angina tipikal dan atipikal. Pasien termasuk dalam

angina tipikal dengan gejala berupa rasa tertekan, terhimpit atau berat dibawah

retrosternal, dapat menjalar ke lengan kiri, leher, punggung, bahu atau epigastrium,

dapat berlangsung intermiten atau persisten (>20 menit).1

Nyeri dada biasanya disertai dengan gejala lain seperti diaphoresis atau

keringat dingin, mual, muntah, nyeri abdominal, bahkan sinkop.1 Dalam kasus ini

pasien mengeluhkan keringat dingin, mual (+), muntah 7x sebelum masuk rumah

sakit. Perut begah (-),pasien memiliki riwayat pingsan tahun 2014.Selain itu pasien

sudah dikenal sakit jantung sejak tahun 2009 karena sesak dan nyeri dada.

Gagal jantung dapat menjadi faktor yang menyebabkan remodelling dari

atrium kiri, karena adanya peningkatan beban tekanan dan volume atrium. Gagal

jantung simptomatik (NYHA KELAS II-IV) didapatkan pada 30% pasien FA dan FA

ditemukan pada 30-40% pasien gagal jantung, bergantung pada penyebab dasar dan

beratnya gagal jantung.4 Proses remodelling yang terjadi di atrium ditandai dengan

15
proliferasi dan diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas yang dapat meningkatkan

deposisi jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses remodelling atrium menyebabkan

gangguan elektris antara serabut otot dan serabut konduksi di atrium, serta menjadi

faktor pemicu sekaligus faktor yang melanggengkan terjadinya FA.5 Pasien juga

diketahui menderita hipertensi, yang merupakan faktor risiko insiden FA pertama dan

risiko komplikasi FA seperti stroke dan trombo emboli.5

Berdebar-debar sudah dirasakan pasien sejak 2 tahun yang lalu. Berdebar-

debar biasanya dicetuskan oleh olahraga, emosi atau aktivitas berat.9 Berdasarkan

waktu presentasi dan durasinya, FA pada kasus ini termasuk FA persisten lama. FA

persisten lama adalah FA yang bertahan hingga 1 tahun. Sedangkan berdasarkan

kecepatan laju ventrikel saat di ruang IGD, FA pada kasus ini termasuk FA dengan

respon ventrikel cepat, dengan laju ventrikel 100 kali per menit. Pada hari rawatan ke

empat, pasien termasuk kepada FA dengan reposn ventrikel normal, dengan laju

ventrikel 60-100 kali per menit.5

Atrial Fibrilasi adalah takiaritmia supraventikular yang khas, dengan aktivasi

atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium.1

Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk

stroke, gagal jantung, serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan FA memiliki

risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi

dibandingkan pasien tanpa FA.6

Fibrilasi atrium juga berkaitan dengan penyakit kardiovaskular lain seperti

hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes mellitus,

16
obesitas, penyakit jantung bawaan, penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru

obstruktif kronis. Pada kasus ini, selain berdebar-debar, pasien juga mengeluhkan

sesak napas pada saat aktivitas dan dipengaruhi emosi. Sesak dirasakan pertama kali

pada tahun 2009. Sesak yang dikeluhkan pasien merupakan manifestasi dari adanya

gagal jantung kronik yang dialami pasien.

Umur, hipertensi , merokok, dislipidemia, diabetes mellitus merupakan faktor

resiko terjadinya sindrom koroner akut dan gagal jantung.2 Pasien merokok 3

bungkus perhari selama 20 tahun dengan IB berat. Merokok cenderung menurunkan

curah jantung, meningkatkan denyut jantung dan meningkatkan resistensi vaskular

sistemik dan pulmonal.10

Riwayat hipertensi pada pasien merupakan faktor resiko terjadinya gagal

jantung. Berdasarkan studi Framingham dalam Cowie tahun 2008 didapati bahwa

91% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi. Studi terbaru Waty tahun 2012

di Rumah Sakit H. Adam Malik menyebutkan bahwa 66,5% pasien gagal jantung

memiliki riwayat hipertensi. Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui

mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri

menjadi predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang

nantinya akan berujung pada gagal jantung kongestif.11

Pasien telah dikenal penyakit jantung, dan mendapat obat berupa nitrat

glyceryl 500g, bisoprolol 2,5 mg sebagai anti iskemia. Aspilet sebagai anti platelet.

17
Spironolakton 25mg dan furosemid 40mg sebagai diuretik. Candesartan acexetil

sebagai anti aritmia.1

Pada pemeriksaan fisik, umumnya JVP mengalami peningkatan. Pada gagal

jantung, JVP meningkat akibat adanya ketidakseimbangan aliran darah dari atau

menuju jantung kanan.12 Namun ketika diperiksa pada hari rawatan ke empat, nilai

JVP pasien 5 1 cmH2O, tidak ada peningkatan karena sudah dikoreksi. Pada

pemeriksaan paru, dinding dada tampak emfisematous, pasien dikenal asma sejak

kecil. Pada auskultasi paru ditemukan rhonki (-), Wheezing (+). Adanya wheezing

pada pasien dapat terjadi akibat obstruksi bronkus yang didasari inflamasi kronik dan

hiperaktivitas bronkus.

Iktus kordis teraba 1 jari lateral linea mid clavicula sinistra RIC 6, perkusi

batas atas jantung RIC 2, batas kiri 1 jari lateral LMCS RIC 6. Dari pemeriksaan fisik

jantung kemungkinan telah terjadi kardiomegali. Pada auskultasi, S1 dan S2 normal,

ireguler. Irama yang ireguler pada pasien menandakan adanya gangguan irama atrial

fibrilasi.

Pada EKG ditemukan Q patologis yg menunjukan pasien Old MCI. Dimana

telah terjadi infark myocard yang sudah lama pada pasien. Ciri-ciri FA pada

gambaran EKG umumnya: 1) EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang

ireguler, 2) tidak dijumpainya gelombang P yang jelas, 3) interval antara dua

gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi, umumnya kecepatannya

melebihi 450 kali per menit. Pada kasus ini, gambaran EKG yang didapatkan pada

18
saat di IGD adalah irama AF, QRS rate 157 kali permenit, axis normal, gelombang P

dan PR interval sulitdinilai, QRS durasi 0,08, ST-T changes sulit dinilai, LVH (-),

RVH (-). Sedangkan gambaran EKG pada hari rawatan ke empat adalah irama AF,

QRS rate 99 kali permenit, axis normal, gelombang P dan PR interval sulitdinilai,

QRS durasi 0,08, ST-T changes sulit dinilai, LVH (-), RVH (-). Gambaran

gelombang P sulit dinilai dan tidak tampak gelombang P yang sejati serta gambaran

QRS komplek yang sempit serta tidak teratur merupakan kunci untuk mengenali

fibrilasi atrium. Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel, gambaran EKG saat di

IGD termasuk respon ventrikel cepat (laju ventrikel>100x/ menit), sedangkan

gambaran EKG pada hari rawatan ke empat termasuk respon ventrikel normal (laju

ventrikel 60-100x/menit).5

Rontgen thoraks didapatkan hasil CTR 73%, Sg AO normal, Sg PO normal,

CW (+), apex tertanam (+), infiltrat (-), kranialisasi (+). Dari hasil rontgen thoraks

menunjukan telah terjadi pembesaran jantung atau kardiomegali (CTR>55%), dengan

apeks tertanam (sudut cardiophrenicus >90) yang berarti adanya hipertrofi ventrikel

kiri (LVH).

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pada

hari rawatan ke empat pasien didiagnosis dengan ADHF dry and warm on CHF

dengan Old MCI anterior, AF NVR persisten lama. Sedangkan pada hari pertama

rawatan, pasien didiagnosis dengan ADHF wet and warm on CHF dengan Old MCI

anterior, AF RVR persisten lama.

19
Perburukan atau gagal jantung kronik dekompensasi, adanya riwayat

perburukan yang progresif pada pasien yang sudah diketahui dan mendapat terapi

sebelumnya sebagai pasien gagal jantung kronik dan dijumpai adanya kongesti

sistemik dan kongesti paru.

20
KESIMPULAN

Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu sindrom klinis yang

kompleks, yang terjadi akibat kelainan jantung secara fungsional ataupun struktural

yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk mengisi atau memompa darah. CHF

merupakan gejala klinis yang umum yang menyebabkan kemacetan pembuluh darah

paru dan penurunan curah jantung.7

Gejala khas dari gagal jantung adalah sesak nafas saat istirahat atau aktivitas

disertai kelelahan atau tidak, dan terdapat tanda retensi cairan berupa kongesti paru

atau edema tungkai.1

Pada pasien ini, sesak muncul mendadak ketika istirahat dan sesak

meningkat saat beraktivitas. Pasien juga memiliki riwayat edem tungkai, dimana pada

penderita gagal jantung terjadi retensi cairan sehingga dapat ditemukan manifestasi

klinis berupa edem di pergelangan kaki.1

Gagal jantung dapat menjadi faktor yang menyebabkan remodelling dari

atrium kiri, karena adanya peningkatan beban tekanan dan volume atrium. Gagal

jantung simptomatik (NYHA KELAS II-IV) didapatkan pada 30% pasien FA dan FA

ditemukan pada 30-40% pasien gagal jantung, bergantung pada penyebab dasar dan

beratnya gagal jantung.4

Proses remodelling yang terjadi di atrium ditandai dengan proliferasi dan

diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas yang dapat meningkatkan deposisi

jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Ini menyebabkan gangguan elektris antara serabut

otot dan serabut konduksi di atrium, serta menjadi faktor pemicu sekaligus faktor

21
yang melanggengkan terjadinya FA.5 Pasien juga diketahui menderita hipertensi,

yang merupakan faktor risiko insiden FA pertama dan risiko komplikasi FA seperti

stroke dan trombo emboli.5

22
DAFTAR PUSTAKA

1. PERKI. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Centra Communications :


Jakarta. 2015
2. Joseph SM, Cedars AM, Ewald GA, Geltman EM, Mann DL. Acute
Decompensated Heart Failure Contemporary Medical Management. Texas
Heart Institute, Houston 2009; 36: 510-520
3. Lilly LS. Pathophysiology of heart disease 5th edition. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins, 2011 ; 216-243
4. Dickstein K, Solal AC, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Heart Journal
2008; 29: 2388-2442
5. PERKI. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium. Centra Communications :
Jakarta. 2015
6. Yansen I, Yuniadi Y. Tatalaksana Fibrilasi Atrium: Kontrol Irama atau Laju
Jantung. CDK 202: 2013; 40(3): p. 171-5
7. Figueroa, M. S, Peters, J.I. Congestive heart failure : diagnosis, patofisiology,
therapy, and implications for respiratory care. 2006. Volume 51 no 4. P403-
412
8. Libby P, et al. braunwalds heart disease a textbook of Cardiovascular
Medicine volume 1. 8th ed. Philadelpia : saunders Elsevier. 2008. P561
9. Rilantono L. I. 5 Rahasia Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015. p.390-410
10. Lecture nNtes Cardiologi. 2003. Erlangga. Medical series. Edisi 4.
11. Lip, GYH. Gibbs CR, Beevers DG.BMJ. ABC of heart failure
aetiology.2000. Volume 320
12. Ward DE. Where has the jugular venous pressure gone? Br J Cardiol. 2014;
21: 49-50

23

Anda mungkin juga menyukai