PENDAHULUAN
Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan
anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat
mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.
Penanganan jalan nafas paling sering dilakukan selama pelaksanaan anestesi umum.
Anestesi umum menyebabkan pasien tidak merasakan stimulus noxius (nyeri) di seluruh
tubuhnya dan oleh karena itu diberikan selama berbagai prosedur pembedahan dari kraniotomi
dan tonsilektomi hingga reseksi hepar dan prostatektomi. Induksi intravena anestesi umum
sering kali bersamaan munculnya dengan apnu.
Penanganan jalan nafas yang ahli (terampil) adalah landasan keamanan untuk setiap
anestesi umum. Penanganan jalan nafas tidak dilakukan secara rutin selama anestesi regional.
Namun, penanganan jalan nafas akan diperlukan bila pasien mendapatkan efek akibat injeksi
intravaskular dari anestesi lokal yang memicu terjadinya kejang atau gangguan kardiovaskular.
Risiko apnu yang sama juga terjadi selama pemberian sedasi, bila pasien mendapat sedasi baik
untuk anestesi regional itu sendiri, atau selama prosedur pembedahan.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan
intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan
bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah
menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur.
Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah ekstubasi. Dalam pelaksanaan ekstubasi
dapat terjadi gangguan pernapasan yang merupakan komplikasi yang sering kita temui pasca
anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi seperti : pengeluaran
sekret dari mulut yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring.
Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia.
Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi
sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari
deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Batu Staghorn
Batu staghorn adalah batu ginjal yang bercabang yang menempati lebih dari
satu collecting system, yaitu batu pielum yang berekstensi ke satu atau lebih kaliks.
Istilah batu cetak/ staghorn parsial digunakan jika batu menempati sebagian cabang
collecting system, sedangkan istilah batu cetak/staghorn komplit digunakan batu jika
menempati seluruh collecting system.
Secara teoritis batu dapat terjadi atau terbentuk diseluruh saluran kemih
terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (statis
urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvikalises (stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi intravesika kronik, seperti
hipertrofi prostat benigna, strikture, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-
keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Teori pembentukan batu ini
meliputi teori komponen kristal dan teori komponen matriks seperti yang akan
dijelaskan dibawah ini.
a. Komponen Kristal
Batu terutama terdiri dari komponen kristal yang tersusun oleh bahan-bahan
organik maupun anorganik yang terlarut dalam urin. Tahapan pembentukan batu
yaitu : nukleasi, perkembangan, dan agregasi melibatkan komponen kristal.
Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut)
dalam urin jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadi
presipitasi Kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk
inti batu atau nukleasi yang kemudian mengadakan agregasi dan menarik bahan-
bahan lain sehingga menjadi Kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya sudah
cukup besar, agregat Kristal masih rapuh dan belum cukup mampu untuk
membuntukan saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel pada epitel
saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini bahan-bahan lain
diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk
menyumbat saluran kemih. Pembentukan inti atau nukleasi mengawali proses
pembentukan batu dan mungkin dirangsang oleh berbagai zat termasuk matriks
protein, kristal, benda asing, dan partikel jaringan lainnya. Kristal dari satu tipe
dapat sebagai nidus atau nukleasi dari tipe lain. Ini sering terlihat pada kristal asam
urat yang mengawali pembentukan batu kalsium oksalat
Kondisi metastasis dipengaruhi oleh suhu, Ph larutan, adanya koloid dalam urin,
konsentrasi solute dalam urin, laju aliran urin dalam saluran kemih, atau adanya
korpus alineum di saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu. Terbentuk atau
tidaknya batu di dalam saluran kemih ditentukan oleh adanya keseimbangan antara
zat-zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat-zat yang mampu mencegah
timbulnya batu. Beberapa kasus dengan batu saluran kemih yang berulang,ini
disebabkan karena ketidakcukupan zat-zat inhibitor ini seperti citrate, pyrofosfat,
magnesium, zink, nephrocalcin, tammac horsfall glikoprotein, uropontin, dan
makromolekul lainnya ini diyakini bahwa tidak adekuatnya zat-zat inhibitor
khususnya citrate di dalam urin, ini memainkan peran besar dalam proses
terbentuknya batu saluran kemih.
b. Komponen Matrix
Komponen matriks dari batu saluran kemih adalah bahan non kristal, bervariasi
sesuai tipe batu, secara umum dengan kisaran 2-10% dari berat batu. Komposisinya
terutama terdiri dari protein, dengan sejumlah kecil hexose, hexosamine.
Bagaimana peranan matriks dalam mengawali pembentukan batu tidak diketahui
secara pasti. Mungkin matrix bertindak sebagai nidus untuk aggregasi kristal atau
sebagai lem untuk perekat komponen kristal kecil dan dengan demikian
menghalangi turunnya melalui saluran kemih.
Bagaimana sampai batu staghorn bisa memenuhi seluruh kaliks mulai dari
pole atas hingga bawah? Proses ini dapat dijelaskan melalui matrix component
seperti yang telah dibahas di atas. Komponen matrix ini merupakan bahan
nonkristalisasi dam memiliki komposisi yang terutama terdiri dari protein dengan
mengandung sejumlah kecil hexose dan hexosamine yang disebut matrix calculus.
Matrix calculi ditemukan pada sebagian besar individu dengan infeksi yang
berkaitan dengan organisme yang menghasilkan urease (bakteri pemecah urea),
khususnya golongan Proteus. Boyce (1986) telah menegaskan bahwa matrix calculi
ini tersusun dari mucoid yang mengental dengan sangat sedikit komponen Kristal.
Komponen matrix ini memiliki tekstur gelatinous (seperti gel) dan pada gambaran
radiologic komponen ini memberikan gambaran radiolusen, sehingga bila telah
terbentuk komponen ini pada pelvis renalis, maka komponen matrix yang memiliki
textur seperti gel ini dapat mengisi seluruh pelvis bahkan dapat masuk sampai ke
kaliks sehingga dapat memenuhi kaliks mulai dari pole atas hingga pole bawah.
Komponen matrix ini dapat menyediakan nidus untuk agregasi Kristal atau
komponen ini akan menjadi seperti lem sehingga komponen-komponen Kristal
yang kecil dapat menempel dan akhirnya dapat menyebabkan agregasi Kristal yang
dapat terdiri dari asam urat atau calcium sehingga komponen tersebut mengeras
dan membentuk batu yang memenuhi kaliks. Suasana urin dapat menjadi basa, hal
ini disebabkan oleh infeksi bakteri pemecah urea contohnya Proteus dll dimana
bakteri tersebut menghasilkan enzim urease serta membantu hidrolisis urea
menjadi amoniak. Maka keadaan ini dapat memudahkan garam-garam magnesium,
ammonium, fosfat, dan karbonat membentuk batu magnesium ammonium fosfat
(MAP) sehingga komponen matrix yang telah memenuhi seluruh kaliks dalam
bentuk gel akan mengeras dan membentuk batu seperti gambaran tanduk rusa.
Walaupun batu tersebut telah mengisi seluruh kaliks namun batu ini tidak
menyumbat secara total dan tidak menutup seluruh Uretero Pelvico Junction. Batu
tersebut mengisi kaliks-kaliks minor sehingga urin masih dapat keluar melalui
pinggir-pinggirnya (tepinya). Inilah yang menyebabkan pasien dengan Staghorn
Calculi biasanya tidak memberikan gejala dan bahkan tidak memberikan gambaran
hidronefrosis.
Kira-kira 75 % batu staghorn terdiri dari struvite-carbonate-apetite matrix atau disebut
juga batu struvite atau batu triple fosfat, batu infeksi, atau batu urease. Sedangkan
komposisi lain dapat berupa sistin dan asam urat, sedangkan kalsium oksalat dan batu
fosfat jarang dijumpai. Oleh karena itu etiologi dari batu staghorn ini sesuai dengan
komposisi batu yang menyebabkan terbentuknya batu staghorn pada ginjal.
B. Bivalve Nephrolithotomy
Bivalve nephrolithotomy atau Anatropik nephrolithotomy pertama kali
diperkenalkan oleh Smith dan Boyce pada tahun 1967. Meskipun metode Percutaneous
Nephrolithotomy (PCNL) dan Electro Shock Wave Lithotripsy (ESWL) tengah
berkembang saat ini namun, Bivalve Nephrolithotomy masih digunakan untuk pasien
dengan Staghorn Calculi dimana bagian terbesar dari batu berada pada caliceal dan
infundibular. Jika terjadi stenosis pada infundibuar tindakan ini merupakan indikasi utama.
Indikasi lain dilakukannya teknik ini adalah apabila pecahan batu tidak dapat dikeluarkan
dengan pendekatan intrasinusal yang diperluas, juga pada penderita yang sebelumnya telah
dilakukan pyelolithotomy dan kemudian menderita batu cetak ginjal
C. Evaluasi Jalan Napas
Tujuan evaluasi jalan nafas adalah untuk menghindari gagalnya penanganan
jalan nafas dengan menerapkan cara alternatif pada pasien yang diduga akan sulit
diventilasi dan/atau diintubasi. Kesulitan mask ventilation terjadi bila terdapat
penutupan yang inadekuat antara wajah pasien dan mask, terdapat kebocoran oksigen
dari face mask, atau terdapat resistensi aliran masuk (inflow) atau aliran keluar (outflow)
oksigen yang berlebihan. Kesulitan laringoskopi terjadi bila tidak ada bagian glotis
yang terlihat setelah usaha laringoskopi dilakukan banyak kali.
Pasien dianggap memiliki kesulitan jalan nafas jika anestesiolog mengalami
kesulitan untuk memberikan ventilasi dengan facemask pada jalan nafas bagian atas,
kesulitan mengintubasi trakea , atau keduanya.
Untuk memperkirakan adanya kesulitan mask ventilation atau kesulitan intubasi
endotrakea, setiap pasien yang menerima perawatan anestesi harus menjalani
anamnesis dan pemeriksaan fisis jalan nafas yang komprehensif. Pasien harus ditanyai
mengenai komplikasi jalan nafas pernah terjadi sewaktu dianestesi dulu. Riwayat
trauma selama penanganan jalan nafas sebelumnya pada bibir, gigi, gusi, atau mulut
pasien dapat menandakan adanya kesulitan jalan nafas. Demikian pula halnya, jika
pasien memberitahukan bahwa dilakukan usaha yang berkali-kali untuk memasukkan
selang pernafasan atau bahwa ia terbangun pada intubasi sebelumnya, maka harus
dipertimbangkan adanya kesulitan jalan nafas.
Kondisi medis yang biasanya meramalkan adanya kesulitan jalan nafas antara
lain riwayat trauma atau operasi wajah baru-baru ini atau pada masa lampau, artritis
reumatoid, hamil, epiglotitis, perlengketan servikal sebelumnya, massa leher, Downs
syndrome, dan sindrom genetik lainnya seperti Treacher-Collins dan Pierre-Robin yang
berkaitan dengan kelainan wajah. Dengan anamnesis yang positif, maka harus ditinjau
dokumentasi mengenai penanganan jalan nafas sebelumnya.
Berbagai hasil pemeriksaan fisis telah dihubungkan dengan kesulitan jalan
nafas:
Komponen pemeriksaan fisis jalan nafas preoperatif.
Komponen Temuan yang mencurigakan
- Panjang incisivus atas - Relatif panjang
- Hubungan incisivus maksilla - Overbite yang jelas (incisivus
dan mandibula saat rahang maksilla di anterior terhadap incisivus
dikatupkan biasa mandibula)
- Hubungan incisivus maksilla - Incisivus mandibula pasien di anterios
dan mandibula saat rahang (di depan) incisivus maksilla
dibuka
- Jarak antar-incisivus - <3 cm
(pembukaan mulut)
- Kemampuan uvula terlihat - Tidak terlihat saat lidah dijulurkan saat
pasien dalam posisi duduk (misalnya
Mallampati kelas >II)
- Bentuk palatum - Sangat melengkung atau sempit
- Kelainan ruang submandibula - Kaku, berindurasi, ditutupi massa, atau
tidak kenyal
- Jarak tiromentalis - <3 buku jari atau 6-7 cm
- Panjang leher - Pendek
- Ketebalan leher - Tebal (ukuran leher >17 inci)
- Kisaran gerakan kepala dan - Pasien tidak bisa menyentuh ujung
leher dagu pada dada atau tidak bisa
mengekstensikan lehernya
Diproduksi kembali atas izin Caplan RA, Benumof JA, Berry FA
(2003) Practice guidelines for the management of the kesulitan jalan nafas
an updated report by the American Society of AnesthesiologistsTask Force
Gambar. Sistem klasifikasi Mallampati
2) Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi
dari sistem pernafasan ke pasien dengan pemasangan face mask yang rapat
Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orifisium face
mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor. Tersedia
berbagai model face mask. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas
ekspirasi dan muntahan. Face mask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup
lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook
dipakai untuk mengaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus dipegang.
Beberapa macam face mask untuk pediatrik di disain untuk mengurangi dead space.
Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk
melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face
mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu
jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi sendi
atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak
yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking
ditempatkan dibawah sudut rahang dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang
paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust
yang adekuat dan face. Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena tekanan
kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit
memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak
dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat
menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi tekanan normalnya jangan melebihi 20 cm
H2O untuk mencegah masuknya udara ke lambung.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan oral
atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan
cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Disebabkan tidak
adanya tekanan positif pada jalan nafas selama nafas spontan, hanya diperlukan tekanan
minimal pada face mask supaya tidak bocor. Bila face mask dan ikatan masker
digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk menghindari
cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari resiko
aberasi kornea.
3) Intubasi Endotrakeal
a. Defenisi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan
intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa
trakea ke dalam trakea melalui rima glottis dengan mengembangkan cuff,
sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara
dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal
melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing.
b. Tujuan
Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut:
a.Mempermudah pemberian anestesi.
b.Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernapasan.
c.Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d.Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
e.Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
c. Indikasi
Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut :
a. Untuk patensi jalan napas, intubasi endotrakeal di indikasikan untuk menjamin
ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan napas.
b. Operasi daerah kepala, leher atau jalan napas atas.
c. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran secret pulmo
d. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau depresi
reflex muntah.
e. Adanya penyakit atau kelainan jalan napas atas ( tumor supraglotis dan
subglotis.
f. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif
c. Kontraindikasi
Beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain
:
1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan
adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
L = Look.
Untuk setiap pasien yang mungkin membutuhkan intubasi, dokter harus selalu
melihat, karakteristik yang mungkin memprediksi napas berpotensi sulit. Ini termasuk,
antara lain, obesitas, micrognathia, bukti operasi kepala dan leher sebelumnya atau
iradiasi, kehadiran rambut wajah, kelainan gigi (gigi yang buruk, gigi palsu, gigi besar),
wajah sempit, langit-langit tinggi dan melengkung, leher pendek atau leher yang tebal,
dan trauma wajah atau leher.
M = Mallampati.
Mallampati menyatakan bahwa ada hubungan antara apa yang dilihat pada
visualisasi faring peroral dan yang terlihat dengan laringoskopi. Untuk melakukan
evaluasi Mallampati, dengan pasien duduk, pasien memperpanjang lehernya, membuka
mulutnya penuh, menonjolkan lidahnya, dan berkata "ah."
Visualisasikan jalan napas, mencari lidah, langit-langit lunak dan keras, uvula, dan
pilar tonsil.
O = Obstruksi.
Evaluasi untuk stridor, benda asing, dan bentuk lain dari obstruksi sub dan
supraglottic harus dilakukan pada setiap pasien sebelum laringoskopi.
mobilitas N = Neck.
Pasien dengan artritis degeneratif atau arthritis mungkin memiliki gerakan leher
terbatas, dan ini harus dinilai untuk menjamin kemampuan untuk extensi leher selama
laringoskopi dan intubasi. Pasien yang dicurigai cedera tulang belakang leher traumatis
, dan mereka yang memakai neck collar, gerakannya akan terbatas
d. Persiapan intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alatalat dan memposisikan
pasien.ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes terlebih
dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet sebaiknya dimasukkan ke
ETT.Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus
sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah ketegangan
pinggang selama laringoskopi.Persiapan untuk induksi dan intubasi juga melibatkan
preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen 100 %.
Persiapan alat untuk intubasi antara lain :
STATICS
Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.
Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk
melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan
baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi
adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
Gambar Laringoscope
Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran
milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa
berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk
penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti
huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak
menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf
supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil
dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan
bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena
terbatasnya pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun
penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur
basis kranii.
Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini :
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai
Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf
Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + umur (tahun)
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan.
Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya
pipa trakea mudah dimasukkan.
Gambar Stylet
Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag
valve mask ataupun peralatan anesthesia.
Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan
lainnya.
Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade
dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan
lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Ujung dari blade
melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Handle
diangkat menjauhi pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara.
Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade serta pengungkitan dari gigi harus dihindari.
ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang
terbuka (abduksi). Balon ETT harus berada dalam trakea bagian atas tapi dibawah laring.
Langingoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon
dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan agar tidak ada kebocoran selama
ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa
trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan
balon yang adekuat.
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnograf
dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakeal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah
pipa dalam esophagus atau trakea, cabut lagi ETT dan ventilasi pasien dengan face mask.
Sebaliknya, jika sudah yakin, pipa dapat diplester atau diikat untuk mengamankan posisi.
Walaupun deteksi kadar CO2 dengan capnograf merupakan konfirmasi terbaik untuk
menentukan letak ETT di trakea, kita tetap tidak dapat mengabaikan terjadinya intubasi
bronkial. Manifestasi dini dari intubasi bronkial adalah peningkatan tekanan respirasi puncak.
Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil
menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago krikoid,
karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan
meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi
dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.
Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat mulut ini
biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam kasus terakhir, sedasi
intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam orofaring, regional blok saraf akan
memperbaiki penerimaan pasien.
Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan intubasi kembali karena
hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan, seperti
mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan mandrin, memilih blade
yang berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta bantuan dokter anestesi lainnya.
Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan
nafas yang lain (contoh LMA, combitube, krikotirotomi dengan jet ventilasi, trakeostomi).
Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk
algoritma rencana terapi.
e. Komplikasi
1. Selama intubasi
a) Trauma gigi geligi
b) Laserasi bibir, gusi, laring
c) Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardi)
d) Intubasi bronkus
e) Intubasi esophagus
f) Aspirasi
g) Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a) Spasme laring
b) Aspirasi
c) Gangguan fonasi
d) Edema glottis-subglotis
e) Infeksi laring, faring, trakea
f. Ekstubasi
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali akan
menimbulkan kesulitan ataupun pasca ekstubasi ada risiko aspirasi. Ekstubasi
dikerjakan umumnya pada anesthesia sudah ringan dengan catatan tidak akan terjadi
spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari secret dan
cairan lainnya.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2
1.4 INTRAOPERATIF
1.4.1 Pemeriksaan Fisik
B1 ( Breath) : Airway paten, nafas spontan, reguler, simetris, RR 20x/m,
pernapasan cuping hidung (-), snorig (-), stridor (-), buka mulut lebih 3 jari,
Mallampati score class I. Auskultasi : Suara napas bronchovesiculer, rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
B2 (Blood) : Akral hangat, nadi reguler kuat angkat 80x/m, , ictus cordis
teraba di SIC 6, S1-S2 reguler, murmur (-) gallop (-)
B3 ( Brain) : Compes mentis, GCS 15, refleks cahaya +/+
B4 (Bladder) : BAK : kateter (+),
B5 (Bowel) : cembung (+), nyeri tekan (-)
B6 (Bone) : Mobilitas tidak terbatas, edema -/-, pucat +/+. CRT <2 detik.
Kelainan tulang belakang (-), sensorik normal.
Monitoring Anestesi
150
100
50
0
9:45
9:50
9:55
11:50
12:05
12:20
10:00
10:05
10:10
10:15
10:20
10:25
10:30
10:35
10:40
10:45
10:50
10:55
11:00
11:05
11:10
11:15
11:20
11:25
11:30
11:35
11:40
11:45
11:55
12:00
12:10
12:15
12:25
12:30
12:35
12:40
12:45
Urin : 500 cc
PERHITUNGAN CAIRAN
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance (M) : = 50 cc/KgBB/24jam
= 50 x 55 kg= 2750 cc/ 24 jam = 114 cc/jam
() ()
() =
(20)
20 630
() = (20)
= 630 mL
Jadi, defisit cairan pengganti puasa selama 2 jam 30 menit adalah 1197 - 630 = 567 mL
b. Cairan masuk :
Kristaloid : 1500 mL
Whole blood : -
Total cairan masuk : 1500 ml
c. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk cairan dibutuhkan = 1500 ml 1337 ml = -163 ml
396 x 3 = 1188 cc
Untuk mengganti kehilangan darah 396 cc diperlukan 1188 cairan kristaloid.
BAB IV
PEMBAHASAN
GwinnuETT CL. 2014. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC: Jakarta
Karjadi W. 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan Kedokteran.
DIKTI: Jakarta
Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools. Philadelphia:
LippincoETT, Williams, and Wilkins.
Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical Book. 2006.
Peterson GN, Domino KB, Caplan RA et al. 2005. Management of The Difficult Airway: A
Closed Claims Analysis. Anesthesiology 103:3339
Caplan RA, Benumof JA, Berry FA. 2003. Practice Guidelines For The Management Of The
Difficult Airway: An Updated Report by The American Society of Anesthesiologists
Task Force on Management of The Difficult Airway. Anesthesiology 98:12691277
Mallampati SR, GaETT SP, Gugino LD et al. 1985. A Clinical Sign to Predict Difficult
Tracheal Intubation: a Prospective Study. Can J Anaesth 32:429
Hagberg CA (ed). 2007. Benumof s Airway Management, 2nd edn. Philadelphia: Mosby
Elsevier.