OLEH :
PEMBIMBING :
i
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
ii
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. IS
Umur : 33 tahun
Agama : Islam
Suku : Makassar
Pekerjaan :
No. RM : 101649
B. ANAMNESIS
Masyarakat (BKMM) dengan keluhan terasa perih pada kedua mata yang dirasakan
sejak 2 bulan yang lalu. Rasa perih dirasakan lebih berat pada mata kiri dibandingkan
pada mata kanan pasien. Pasien juga mengeluh adanya penglihatan kabur, silau
ketika melihat cahaya, dan mata berair sejak 2 bulan yang lalu. Sebelumnya pasien
3
telah berobat ke Klinik Lacasino pada bulan April 2017 dan diberikan pengobatan
sebelum akhirnya dirujuk ke BKMM. Riwayat mata merah ada, yaitu sekitar 2 bulan
yang lalu, dan membaik sejak pasien berobat. Riwayat demam tidak ada, riwayat
benda asing masuk mata (-). Riwayat merokok ada, sejak + 10 tahun yang lalu,
sebanyak + 1 bungkus perhari. Riwayat penggunaan xitrol ada, rasa perih pada mata
Riwayat Pengobatan : -
C. STATUS GENERAL
4
D. STATUS LOKALISASI OFTALMOLOGIS
1. Pemeriksaan Inspeksi
OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Sekret (-) Sekret (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (+) Lakrimasi (+)
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
2. Pemeriksaan Palpasi
Palpasi OD OS
TIO Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Nyeri tekan (-) (-)
3. Tonometri
4. Visus
5
VOS : 20/30 (tidak dikoreksi).
SLOD : Konjungtiva hiperemis (-), flourescent (+), infiltrat (+) berbentuk bercak-
bercak halus tersebar di seluruh kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC
SLOS : Konjungtiva hiperemis (-), flourescent (+), infiltrat (+) berbentuk bercak-
bercak halus tersebar di seluruh kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC
6
6. Pemeriksaan Funduskopi
E. RESUME
Seorang pasien laki laki datang ke Balai Kesehatan Mata Masyarakat Makassar
(BKMM) dengan keluhan terasa perih pada kedua mata yang dirasakan sejak 2 bulan
yang lalu. Rasa perih dirasakan lebih berat pada mata kiri dibandingkan pada mata
kanan pasien. Pasien juga mengeluh adanya penglihatan kabur, silau ketika melihat
cahaya, dan mata berair sejak 2 bulan yang lalu. Sebelumnya pasien telah berobat ke
Klinik Lacasino pada bulan April 2017 dan diberikan pengobatan sebelum akhirnya
dirujuk ke BKMM. Riwayat mata merah ada, yaitu sekitar 2 bulan yang lalu, dan
membaik sejak pasien berobat. Riwayat demam tidak ada, riwayat benda asing
masuk mata (-). Riwayat merokok ada, sejak + 10 tahun yang lalu, sebanyak + 1
bungkus perhari. Riwayat penggunaan xitrol ada, rasa perih pada mata dirasakan
kornea keruh, OS : konjungtiva hiperemis (-) dan kornea keruh. VOD : 20/25 (tidak
kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC (+), lensa jernih. SLOS :
7
halus tersebar di seluruh kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC (+), lensa
jernih.
F. DIAGNOSIS
G. TERAPI
Medikamentosa
R/ Becom C 1 dd 1 tab
R/ C. Tobro ED 4 dd 1 tts
R/ Repithel ED 6 dd 1 tts
Non-Medikamentosa
Bebat Mata
H. PROGNOSIS
I. DISKUSI
mata terasa perih disertai penglihatan kabur, silau ketika melihat cahaya, dan mata
berair yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Berdasarkan teori Keratitis, didapatkan
gejala subjektif seperti fotofobia, lakrimasi, blefarospasme, dan gangguan visus dan
8
gejala objektif berupa adanya infiltrat berbentuk bercak-bercak halus yang tersebar di
seluruh kornea, dimana pada pemeriksaan slit lamp pasien ini didapatkan SLOD :
Konjungtiva hiperemis (-), flourescent (+), infiltrat (+) berbentuk bercak-bercak halus
tersebar di seluruh kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC (+), lensa jernih.
SLOS : Konjungtiva hiperemis (-), flourescent (+), infiltrat (+) berbentuk bercak-bercak
halus tersebar di seluruh kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC (+), lensa
jernih.
9
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Penebalan putih keabu-abuan berbentuk sayap terletak baik di bagian nasal atau
temporal limbus dengan apeks meluas menuju ke kornea.2 Pterigium adalah suatu
perluasan pinguekula ke kornea, seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya
bilateral di sisi nasal.3
B. EPIDEMIOLOGI
Distribusi pterigium adalah di seluruh dunia, meskipun sebagian besar studi
berkaitan dengan negara-negara di daerah tropis dan subtropis.Beberapa studi kurang
meyakinkan dalam mengidentifikasi rasio kejadian terhadap laki-laki dan perempuan,
variasinya diambil dari studi yang melibatkan jenis kelamin sebanding hingga ke
prevalensinya terutama laki-laki. Tampaknya ada peningkatan angka kejadian pterigium
terhadap usia, usia onset paling umum tampaknya antara umur dekade 2 dan
3.4Prevalensi pterigium khususnya di negara-negara selatan dikarenakan terpapar sinar
matahari yang intens.5
C. ANATOMI
Kornea (cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata yang berperan sebagai
media refraksi, merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan merupakan lapisan
Kornea orang dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65
mm di tepi, dan diameternya sekitar 11,5 mm. diameter horizontal kornea rata- rata
orang dewasa adalah 11,75 mm dan diameter vertikalnya rata-rata 10,66 mm:3
10
Gambar : Lapisan kornea
Dari anterior ke posterior, kornea memiliki 5 lapisan yang saling berhubungan yaitu
lapisan epitel (yang merupakan kelanjutan dari epitel dikonjungtiva bulbi), membrane
1. Epitel terdiri atas 5 lapisan sel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, 1
lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat
mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi sel sayap dan
semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan
sel basal disampingnya dan sel polygonal didepanya melalui dermosom dan
macula eklude, ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa
rekuren.
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian stroma.
11
3. Stroma, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar 1
bagian pra dan pascanasalnya. Saat lahir, tebalnya sekitar 3 m dan terus
12
Suplai nutrisi kornea berasal dari pembuluh pembuluh darah konjungtiva,
episklera dan sklera yang berakhir di sekitar limbus korneosklera serta dari humor
aquos dan air mata.Kornea itu sendiri bersifat avaskuler.Saraf-saraf sensorik kornea
A. Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas
jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawarepitel dan endotel.Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih
penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak
pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan
menghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial
B. Definisi
disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya air mata, keracunan obat, reaksi alergi
13
terhadap yang diberikan topical dan reaksi terhadap konjungtivitis menahun. Keratitis
akan memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa kelilipan.
Insiden dari keratitis microbial dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak rata-rata
sebanyak 2 sampai 4 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak dan sebanyak 10
sampai 20 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak dengan penggunaan yang
berkepanjangan.
blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes), penggunaan lensa kontak,
oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan.
Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air
mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta
aeroginosa, Virus tersering oleh HSV 1 & 2, serta jamur dan mikroorganisme lainnya.
kornea.Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman
menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk
14
bakteri, amoeba dan jamur. Sreptokokus pneumonia adalah merupakan pathogen kornea
bacterial, pathogen-patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host
Ketika patogen telah menginvasi jaringan melalui lesi kornea superfisial, beberapa
Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi
kornea
Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang
terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforate
menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan menjadi
lunak.
15
D. Klasifikasi
1. Keratitis Bakterial
Banyak jenis ulkus kornea bakteri yang mirip satu sama lain dan hanya
bervariasi dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang
superfisial.
2. Keratitis Jamur
Keratitis jamur, yang pernah banyak dijumpai paa pekerja pertanian, kini makin
ditemukan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion, peradangan yang nyata pada
tempat-tempat yang jauh dari daerah ulserasi utama). Di bawah lesi utama- dan
juga lesi-lesi satelit- sering terdapat plak endotel disertai reaksi bilik mata depan
3. Keratitis Virus
Penyebab keratitis virus paling sering disebabkan oleh virus Herpes Simpleks
terbagi atas dua bentuk, yakni bentuk primer dan rekurens. Keratitis ini
merupakan penyebab ulkus kornea paling umum dan penyebab kebutaan kornea
16
4. Keratitis Parasit
ini juga ditemukan pada individu bukan pemakai lensa kontak setelah terpapar
Menurut lapisan kornea yang terkena; yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai
lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
1) Keratitis pungtata:
yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada moluskum kontagiosum, akne
infeksi virus, dry eyes, trakoma, radiasi, trauma, lagoftalmus, keracunan obat
nyeri, berair, merah, peka terhadap cahaya (fotofobia) dan penglihatan menjadi
sedikit kabur.
2) Keratitis Herpetis
herpes simplex dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stroma.Yang murni
17
epitelial adalah dendritik sedangkan stromal adalah diskiformis. Pada yang
epitelial kerusakan terjadi aibat pembelahan virus di dalam sel epitel yang akan
tetapi penderita tidak menderita sakit. Keadaan ini disebut anestesia dolorosa.
Pada kornea tampak infiltrat yang bulat, letak subepitel, disertai injeksi
kadang infiltrat ini dapat bersatu membentuk keratitis disiformis. Kadang juga
Keratitis ini diduga oleh virus. Klinis tanda-tanda radang tidak jelas, di
jernih, disebut halo. Keratitis ini bila sembuh akan meninggalkan sikatrik
yang ringan.
Penyebabnya adalah virus yang berasal dari sayuran dan binatang. Di kornea
tampak infiltrat bulat-bulat, yang ditengahnya lebih padat dari pada dipinggir.
18
c. Keratitis stromal, tes fluresin (+):
1) Keratitis neuroparalitik
2) Keratitis et lagoftalmus
Terjadi akibat mata tidak menutup sempurna yang dapat terjadi pada
ektropion palpebra, protrusio bola mata atau pada penderita koma di mana
mata tidak terdapat reflek mengedip. Umumnya bagian yang terkena adalah
a. Keratitis interstisial
Terminologi ini digunakan untuk setiap keratitis yang mengenai stroma kornea
b. Keratitis sklerotikans
berwarna merah sedikit menonjol disertai nyeri tekan. Keluhan dari keratitis ini :
mata sakit, fotofobia dan di mata timbul skleritis. Di kornea kemudian timbul
c. Keratitis disiformis
19
Biasanya timbul bila pada kerusakan primer yang diberikan pengobatan dengan
kornea tampak di lapisan dalam kornea, di pinggirnya lebih tipis daripada bagian
tetap.
E. Gejala Klinis
Gejala Subjektif
Gangguan visus
Gejala Objektif
F. Diagnosis
1. Anamnesis
20
Riwayat penyakit sekarang: Informasi yang dapat diperoleh meliputi
simpleks.
2. Pemeriksaan Fisik
Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat
terlihat.
3. Pemeriksaan Penunjang
21
G. Diagnosis Banding
Keratitis Virus
H. Terapi
Medikamentosa
Bakterial
siliar)
Viral
1) Pemberian antiviral
2) Kompres dingin
Jamur
Alergi
22
3) Imunoterapi alergen
Non-Medikamentosa
Alergi
Menghindari alergen
I. Prognosis
Secara umum prognosis dari keratitis adalah baik jika tidak terdapat jaringan
parut ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan metode penanganan yang
23
dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien dengan keratitis sangat baik.
Namun dari segi fungsi, tergantung dari jenis dan stadium dari keratitis itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta, 2000.
2. Ilyas, Sidarta. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Penyakit Mata. Balai Penerbit
Jakarta : Erlangga
Agustus 2016.
Aesculapius FKUI.
7. Ilyas S. 2010. Keratitis. Ilmu Penyakit Mata edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
24
SZ.Mirza:2013keratitis:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37953/4/Ch
apter%20II.pdf. DiaksesAgustus2016
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata bagian
belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal yang
menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi
menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva
forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi.1,2
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi superior paling
sering mengalami infeksi dan menyebar ke bawahnya. Pada pterigium, konjungtiva
yang mengalami fibrovaskular adalah konjungtiva bulbi.1,2
25
Gambar 10. Anatomi konjungtiva5
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena
konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring
vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun
dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh
limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf
ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.2
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Pembiasan sinar
terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar
masuk kornea dilakukan oleh kornea. Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :6
a. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal; sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal
sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan mejadi lapis sel
sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom
dan macula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolik, dan glusa
yang merupakan barrier. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
26
b. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis
ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Stroma
Terdiri atas lamel yangmerupakansusunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupaka sel stroma
kornea yang merupakan fibroblast terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.
d. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea.
Bersifat sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup.
e. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal. Endotel melekat pada
membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okulen.
D. ETIOPATOGENESIS
27
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering terjadi
pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling
diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti
paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin
kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan
konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear film
bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori.
Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.7
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan
menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi
jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskularsering
dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.7,8
E. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi UV
matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter.7,9
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea
dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.7
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
28
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu,
kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes,
dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab dari pterigium7
F. KLASIFIKASI
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau
klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa
kelompok yaitu:9,10
G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi
dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui
29
faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun
dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan
untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.9
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat
dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu
yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan
kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.1,9
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah
fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium (stokers line). Kira-kira 90% pterigium terletak di
daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus
sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan
penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea
astigmatisme pada tahap regresif.
H. PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan
jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedahdilakukan pada
pterigium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada
pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan
tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.
Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering
dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila
perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata
30
buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2
minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan
bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu
gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan
untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk
mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan
bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai, namun tidak perlu
memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-
kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah
jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol
perdarahan.14
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan
Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren,
mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.10
Teknik pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan
halus dari permukaan kornea.1
31
1. Teknik bare sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, sementara memungkinkan sclera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen,
telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
2. Teknik autograft conjunctiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sklera yang telah di eksisi pterigium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan
untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari
Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterigium
dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
3. Cangkok membran amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan
sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk
pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah
keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian
bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera ,
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.
Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk
membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1
32
Gambar 9 Teknik conjunctival autograft pada pterigium10
Terapi tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan
terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis
minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterigium,
dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian
sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterigium, meskipun tidak ada
data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari
radiasi termasuk nekrosis scleral, endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini
telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
33
I. KOMPLIKASI
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:11
1. Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau
retinal detachment.
2. Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada
sklera dan kornea.
3. Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium post
operasi. Simpel eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80
%. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion graft.
4. Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di atas
pterigium.
J. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman
pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 24 jam
postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran amnion.11
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta.Ilmu Penyakit Mata Edsi 3. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2010.
2005.
7. The Eye M.D. Association. Basic and Clinical Science Course, External Disease
and Cornea Section 8. American Academy of Ophthalmology: San Fransisco.
2013.
35