Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2017


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KERATITIS SUPERFISIALIS PUNGTATA

OLEH :

HAJAR ASTUTI ASMAUN


10542 0285 11

PEMBIMBING :

dr. RAHASIA TAUFIK, Sp.M (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Hajar Astuti Asmaun

NIM : 10542 0285 11

Kasus : Keratitis Pungtata

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Juni 2017


Pembimbing

(dr. Rahasia Taufik, Sp.M (K))

ii
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. IS

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 33 tahun

Agama : Islam

Suku : Makassar

Alamat : BTN Tamarunang Indah, Gowa

Pekerjaan :

No. RM : 101649

Tgl. Pemeriksaan : 05 Mei 2017

Tempat Pemeriksaan : Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM)

Pemeriksa : Hajar Astuti Asmaun

Supervisor : dr. Purnamanita Syawal,Sp.M

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Perih pada kedua mata

Anamnesis Terpimpin : Pasien laki-laki, 33 tahun, datang ke Balai Kesehatan Mata

Masyarakat (BKMM) dengan keluhan terasa perih pada kedua mata yang dirasakan

sejak 2 bulan yang lalu. Rasa perih dirasakan lebih berat pada mata kiri dibandingkan

pada mata kanan pasien. Pasien juga mengeluh adanya penglihatan kabur, silau

ketika melihat cahaya, dan mata berair sejak 2 bulan yang lalu. Sebelumnya pasien

3
telah berobat ke Klinik Lacasino pada bulan April 2017 dan diberikan pengobatan

sebelum akhirnya dirujuk ke BKMM. Riwayat mata merah ada, yaitu sekitar 2 bulan

yang lalu, dan membaik sejak pasien berobat. Riwayat demam tidak ada, riwayat

benda asing masuk mata (-). Riwayat merokok ada, sejak + 10 tahun yang lalu,

sebanyak + 1 bungkus perhari. Riwayat penggunaan xitrol ada, rasa perih pada mata

dirasakan berkurang tetapi tidak menghilang.

Riwayat Penyakit Terdahulu :

Riw. HT (-), Riw. DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial :

Tidak ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga pasien.

Riwayat Pemakaian Kacamata : Tidak Ada

Riwayat Pengobatan : -

C. STATUS GENERAL

Kepala : Bentuk bulat, simetris, rambut tidak mudah dicabut

Mata : Lihat status oftalmologis

Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan nyeri tekan (-)

Thoraks : Simetris kiri dan kanan

Pulmo : Ronkhi -/-, Wheezing -/-

Jantung : Dalam batas normal

Abdomen : Dalam batas normal

Ekstremitas : Dalam batas normal

4
D. STATUS LOKALISASI OFTALMOLOGIS

1. Pemeriksaan Inspeksi

OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Sekret (-) Sekret (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (+) Lakrimasi (+)
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Bola Mata Normal Normal


Mekanisme Muskular Ke segala arah Ke segala arah

Kornea Keruh Keruh


Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat Coklat
Pupil Kesan Bulat Kesan Bulat
Lensa Jernih Jernih

2. Pemeriksaan Palpasi
Palpasi OD OS
TIO Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
Nyeri tekan (-) (-)

Massa Tumor (-) (-)

Glandula pre-aurikuler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran

3. Tonometri

Tidak dilakukan pemeriksaan.

4. Visus

VOD : 20/25 (tidak dikoreksi).

5
VOS : 20/30 (tidak dikoreksi).

5. Pemeriksaan Slit Lamp

SLOD : Konjungtiva hiperemis (-), flourescent (+), infiltrat (+) berbentuk bercak-

bercak halus tersebar di seluruh kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC

(+), lensa jernih.

SLOS : Konjungtiva hiperemis (-), flourescent (+), infiltrat (+) berbentuk bercak-

bercak halus tersebar di seluruh kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC

(+), lensa jernih.

6
6. Pemeriksaan Funduskopi

FOD : tidak dilakukan pemeriksaan funduskopi

FOS : tidak dilakukan pemeriksaan funduskopi

E. RESUME
Seorang pasien laki laki datang ke Balai Kesehatan Mata Masyarakat Makassar

(BKMM) dengan keluhan terasa perih pada kedua mata yang dirasakan sejak 2 bulan

yang lalu. Rasa perih dirasakan lebih berat pada mata kiri dibandingkan pada mata

kanan pasien. Pasien juga mengeluh adanya penglihatan kabur, silau ketika melihat

cahaya, dan mata berair sejak 2 bulan yang lalu. Sebelumnya pasien telah berobat ke

Klinik Lacasino pada bulan April 2017 dan diberikan pengobatan sebelum akhirnya

dirujuk ke BKMM. Riwayat mata merah ada, yaitu sekitar 2 bulan yang lalu, dan

membaik sejak pasien berobat. Riwayat demam tidak ada, riwayat benda asing

masuk mata (-). Riwayat merokok ada, sejak + 10 tahun yang lalu, sebanyak + 1

bungkus perhari. Riwayat penggunaan xitrol ada, rasa perih pada mata dirasakan

berkurang tetapi tidak menghilang. Riwayat HT (-), Riwayat DM (-), Riwayat

pemakaian kacamata (-).

Dari pemeriksaan oftalmologi pada inspeksi OD : konjungtiva hiperemis (-) dan

kornea keruh, OS : konjungtiva hiperemis (-) dan kornea keruh. VOD : 20/25 (tidak

dikoreksi), VOS : 20/30 (tidak dikoreksi). SLOD : Konjungtiva hiperemis (-),

flourescent (+), infiltrat (+) berbentuk bercak-bercak halus tersebar di seluruh

kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC (+), lensa jernih. SLOS :

Konjungtiva hiperemis (-), flourescent (+), infiltrat (+) berbentuk bercak-bercak

7
halus tersebar di seluruh kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC (+), lensa

jernih.

F. DIAGNOSIS

ODS Keratitis Superfisial Pungtata

G. TERAPI

Medikamentosa

R/ Doksisiklin 100 mg 2 dd 1 tab

R/ Becom C 1 dd 1 tab

R/ C. Tobro ED 4 dd 1 tts

R/ Repithel ED 6 dd 1 tts

Non-Medikamentosa

Bebat Mata

H. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam


Quo ad sanationam : bonam
Quo ad functionam : dubia
Quo ad cosmeticam : dubia ad bonam

I. DISKUSI

Pasien didiagnosis dengan Keratitis, berdasarkan anamnesis dengan keluhan kedua

mata terasa perih disertai penglihatan kabur, silau ketika melihat cahaya, dan mata

berair yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Berdasarkan teori Keratitis, didapatkan

gejala subjektif seperti fotofobia, lakrimasi, blefarospasme, dan gangguan visus dan

8
gejala objektif berupa adanya infiltrat berbentuk bercak-bercak halus yang tersebar di

seluruh kornea, dimana pada pemeriksaan slit lamp pasien ini didapatkan SLOD :

Konjungtiva hiperemis (-), flourescent (+), infiltrat (+) berbentuk bercak-bercak halus

tersebar di seluruh kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC (+), lensa jernih.

SLOS : Konjungtiva hiperemis (-), flourescent (+), infiltrat (+) berbentuk bercak-bercak

halus tersebar di seluruh kornea, iris coklat kripte, pupil bulat sentral, RC (+), lensa

jernih.

9
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Penebalan putih keabu-abuan berbentuk sayap terletak baik di bagian nasal atau
temporal limbus dengan apeks meluas menuju ke kornea.2 Pterigium adalah suatu
perluasan pinguekula ke kornea, seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya
bilateral di sisi nasal.3

B. EPIDEMIOLOGI
Distribusi pterigium adalah di seluruh dunia, meskipun sebagian besar studi
berkaitan dengan negara-negara di daerah tropis dan subtropis.Beberapa studi kurang
meyakinkan dalam mengidentifikasi rasio kejadian terhadap laki-laki dan perempuan,
variasinya diambil dari studi yang melibatkan jenis kelamin sebanding hingga ke
prevalensinya terutama laki-laki. Tampaknya ada peningkatan angka kejadian pterigium
terhadap usia, usia onset paling umum tampaknya antara umur dekade 2 dan
3.4Prevalensi pterigium khususnya di negara-negara selatan dikarenakan terpapar sinar
matahari yang intens.5

C. ANATOMI
Kornea (cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata yang berperan sebagai

media refraksi, merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan merupakan lapisan

jaringan yang menutup bola mata bagian depan.3

Kornea orang dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65

mm di tepi, dan diameternya sekitar 11,5 mm. diameter horizontal kornea rata- rata

orang dewasa adalah 11,75 mm dan diameter vertikalnya rata-rata 10,66 mm:3

10
Gambar : Lapisan kornea

Dari anterior ke posterior, kornea memiliki 5 lapisan yang saling berhubungan yaitu

lapisan epitel (yang merupakan kelanjutan dari epitel dikonjungtiva bulbi), membrane

bowman, stroma, membrane descement dan endotel.

1. Epitel terdiri atas 5 lapisan sel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, 1

lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat

mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi sel sayap dan

semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan

sel basal disampingnya dan sel polygonal didepanya melalui dermosom dan

macula eklude, ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa

yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membrane basal yang

melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi

rekuren.

2. Membrana bowman, terletak di bawah epitel kornea yang merupakan kolagen

yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian stroma.

Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

11
3. Stroma, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar 1

dengan lainya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di

bagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat

kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Stroma

ini adalah merupakan sekitar 90% dari ketebalan kornea.

4. Membrane descement yang merupakan lamina basalis endotel kornea,

memiliki tampilan yang homogen dengan mikroskop cahaya tetapi tampak

berlapis-lapis dengan mikroskop eloktron akibat perbedaan struktur antara

bagian pra dan pascanasalnya. Saat lahir, tebalnya sekitar 3 m dan terus

menebal selama hidup, mencapai 10-12 m.

5. Lapisan endotelterdiri atas 1 lapisan sel dengan bentuk hexagonal, besarnya

sampai 4060 mm. endotel tidak mempunyai daya regenerasi.

Gambar : Lapisan Kornea Normal

12
Suplai nutrisi kornea berasal dari pembuluh pembuluh darah konjungtiva,

episklera dan sklera yang berakhir di sekitar limbus korneosklera serta dari humor

aquos dan air mata.Kornea itu sendiri bersifat avaskuler.Saraf-saraf sensorik kornea

didapatkan dari cabang pertama (opthalamicus) nervus kranialis V (trigeminus)

A. Fisiologi Kornea

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas

cahaya menuju retina.Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang

uniform, avaskuler dan deturgesensi.Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif

jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh

fungsi sawarepitel dan endotel.Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih

penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak

jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel.Kerusakan sel-sel endotel

menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan

pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan

menghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata

prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang

mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial

dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.

B. Definisi

Radang kornea (Keratitis) biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea

yang terkena seperti keratitis superficial, intertisial atau profunda.Keratitis dapat

disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya air mata, keracunan obat, reaksi alergi

13
terhadap yang diberikan topical dan reaksi terhadap konjungtivitis menahun. Keratitis

akan memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa kelilipan.

Sekitar 25.000 dari penduduk Amerika Serikat mendapatkan keratitis infeksi.

Insiden dari keratitis microbial dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak rata-rata

sebanyak 2 sampai 4 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak dan sebanyak 10

sampai 20 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak dengan penggunaan yang

berkepanjangan.

C. Etiologi dan Patofisiologi

Terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya inflamasi pada kornea seperti

blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes), penggunaan lensa kontak,

lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan preparat imunosupresif

topical maupun sistemik.

Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan,

oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan.

Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air

mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta

kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.

Organisme penyebab tersering oleh bakteri Stap. Aureus, Staphylococcus

aeroginosa, Virus tersering oleh HSV 1 & 2, serta jamur dan mikroorganisme lainnya.

Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam

kornea.Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman

menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk

14
bakteri, amoeba dan jamur. Sreptokokus pneumonia adalah merupakan pathogen kornea

bacterial, pathogen-patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host

yang immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.

Ketika patogen telah menginvasi jaringan melalui lesi kornea superfisial, beberapa

rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:

Lesi pada kornea

Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea

Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen

Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi

pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi

kornea

Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang

akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)

Pathogen akan menginvasi seluruh kornea.

Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membarana

descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele yang

dimana hanya membarana descement yang intak.

Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement

terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforate

dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan

menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan menjadi

lunak.

15
D. Klasifikasi

1. Keratitis Bakterial

Banyak jenis ulkus kornea bakteri yang mirip satu sama lain dan hanya

bervariasi dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang

disebabkan oleh bakteri oportunistik (mis., Streptococcus alfa-hemolytycus,

S.aureus, S.epidermidis, Nocardia, dan M.fortuitum-chelonei), yang

menimbulkan ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar perlahan dan

superfisial.

2. Keratitis Jamur

Keratitis jamur, yang pernah banyak dijumpai paa pekerja pertanian, kini makin

banyak dijumpai di antara penduduk perkotaan sejak mulai dipakainya obat

kortikosteroid dalam pengobatan mata. Gejala dari keratitis jamur ialah

ditemukan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion, peradangan yang nyata pada

bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit (umumnya menginfiltrasi

tempat-tempat yang jauh dari daerah ulserasi utama). Di bawah lesi utama- dan

juga lesi-lesi satelit- sering terdapat plak endotel disertai reaksi bilik mata depan

yang hebat. Abses kornea sering dijumpai.

3. Keratitis Virus

Penyebab keratitis virus paling sering disebabkan oleh virus Herpes Simpleks

dan virus Varicella-Zooster. Di mana, dari pembagiannya sendiri, Keratitis virus

terbagi atas dua bentuk, yakni bentuk primer dan rekurens. Keratitis ini

merupakan penyebab ulkus kornea paling umum dan penyebab kebutaan kornea

paling umum di Amerika.

16
4. Keratitis Parasit

Acanthamoeba adalah protozoa hidup-bebas yang terdapat dalam air tercemar

yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh

Acanthamoeba biasanya dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak. Infeksi

ini juga ditemukan pada individu bukan pemakai lensa kontak setelah terpapar

air atau tanah yang tercemar.

Menurut lapisan kornea yang terkena; yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai

lapisan epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga

keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.

1. Keratitis Superfisial, dapat dibagi menjadi:

a. Keratitis epitelial, tes fluoresin (+):

1) Keratitis pungtata:

merupakan keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman dengan

infiltrat berbentuk bercak-bercak halus. Keratitis pungtata disebabkan oleh hal

yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada moluskum kontagiosum, akne

rosasea, herpes zoster, herpes simpleks, blefaritis, keratitis neuroparalitik,

infeksi virus, dry eyes, trakoma, radiasi, trauma, lagoftalmus, keracunan obat

seperti neomisin, tobramisin dan bahan pengawet lain.Mata biasanya terasa

nyeri, berair, merah, peka terhadap cahaya (fotofobia) dan penglihatan menjadi

sedikit kabur.

2) Keratitis Herpetis

Disebabkan oleh herpes simplex dan herpes zoster.Yang disebabkan oleh

herpes simplex dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stroma.Yang murni

17
epitelial adalah dendritik sedangkan stromal adalah diskiformis. Pada yang

epitelial kerusakan terjadi aibat pembelahan virus di dalam sel epitel yang akan

mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk tukak kornea superficial.

3) Infeksi Herpes Zoster

Bila telah terdapat vesikel di ujung hidung, berarti N.Nasosiliaris terkena,

maka biasanya timbul kelainan di kornea, di mana sensibilitasnya menurun

tetapi penderita tidak menderita sakit. Keadaan ini disebut anestesia dolorosa.

Pada kornea tampak infiltrat yang bulat, letak subepitel, disertai injeksi

perikornea.Infiltrat ini dapat mengalami ulserasi yang sukar sembuh. Kadang-

kadang infiltrat ini dapat bersatu membentuk keratitis disiformis. Kadang juga

tampak edema kornea disertai lipatan-lipatan dari membran Descement.

b. Keratitis subepitelial, tes fluoresin (-) :

1) Keratitis numularis, dari Dimmer

Keratitis ini diduga oleh virus. Klinis tanda-tanda radang tidak jelas, di

kornea terdapat infiltrat bulat-bulat subepitelial, dimana ditengahnya lebih

jernih, disebut halo. Keratitis ini bila sembuh akan meninggalkan sikatrik

yang ringan.

2) Keratitis disiformis dari Westhoff

Keratitis ini awalnya banyak ditemukan pada petani di pulau jawa.

Penyebabnya adalah virus yang berasal dari sayuran dan binatang. Di kornea

tampak infiltrat bulat-bulat, yang ditengahnya lebih padat dari pada dipinggir.

Umumnya menyerang pada usia 15-30 tahun.

18
c. Keratitis stromal, tes fluresin (+):

1) Keratitis neuroparalitik

2) Keratitis et lagoftalmus

Terjadi akibat mata tidak menutup sempurna yang dapat terjadi pada

ektropion palpebra, protrusio bola mata atau pada penderita koma di mana

mata tidak terdapat reflek mengedip. Umumnya bagian yang terkena adalah

kornea bagian bawah.

2. Keratitis profunda, tes fluoresin (-):

a. Keratitis interstisial

Terminologi ini digunakan untuk setiap keratitis yang mengenai stroma kornea

tanpa keterlibatan epitel. Penyebab klasik tersering adalah sifilis, mengakibatkan

jaringan parut stroma bagian tengah dengan gambaran pembuluh darah

(hantu). Mungkin diperlukan cangkok kornea bila opasitas kornea bermakna

dan tajam penglihatan berkurnag.

b. Keratitis sklerotikans

Merupakan penyulit dari skleritis yang letaknya biasanya di bagian temporal,

berwarna merah sedikit menonjol disertai nyeri tekan. Keluhan dari keratitis ini :

mata sakit, fotofobia dan di mata timbul skleritis. Di kornea kemudian timbul

infiltrat berbentuk segitiga di stroma bagian dalam yang berhubungan dengan

benjolan yang terdapat di sklera.

c. Keratitis disiformis

Penyebabnya herpes simplek, banyak yang menduga dasarnya adalah reaksi

alergi terhadap virusnya. Bersifat unilateral dan berlangsung beberapa bulan.

19
Biasanya timbul bila pada kerusakan primer yang diberikan pengobatan dengan

Iodium atau dalam pengobatan dahulu pernah diberi kortikosteroid. Kekeruhan

kornea tampak di lapisan dalam kornea, di pinggirnya lebih tipis daripada bagian

tengah. Sensibilitas kornea menurun. Hampir tidak pernah disertai

neovasklarisasi. Kadang-kadang sembuh dengan meninnggalkan kekeruhan yang

tetap.

E. Gejala Klinis

Gejala Subjektif

Nyeri, Trias Keratitis (fotofobia, lakrimasi,dan blefarospasme) dan

Gangguan visus

Gejala Objektif

Adanya infiltrat, Neovaskularisasi, Injeksi siliaris/prekornea, Kongesti

jaringan yang lebih dalam

F. Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis di ungkapkan adanya riwayat trauma (benda asing dan

abrasi merupakandua lesi yang paling umum pada kornea), riwayat

penyakit kornea juga bermanfaat,tanyakan gejala untuk membedakan

jenis keratitis, tanyakan juga pemakaian obat lokal.

Keluhan utama: Tanyakan kepada klien adanya keluhan seperti nyeri,

mata berair, mata merah, silau dan sekret pada mata.

20
Riwayat penyakit sekarang: Informasi yang dapat diperoleh meliputi

informasi mengenai penurunan tajampenglihatan, trauma pada mata,

riwayat gejala penyakit mata seperti nyeri meliputilokasi,awitan, durasi,

upaya mengurangi dan beratnya, pusing, silau.

Riwayat penyakit dahulu: Tanyakan pada klien riwayat penyakit

yang dialami klien seperti diabetes mellitus,herpes zooster, herpes

simpleks.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisis pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan

pada keratitis dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan

adekuat.Larutan flouresent dapat menggambarkan lesi epitel superfisial

yang mungkin tidak dapat terlihat dengan inspeksi biasa.

Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam

pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat dapat digunakan sebuah loup

dan iluminasi terang.Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya

sementra memindahkan cahaya dengan hati-hati ke seluruh kornea.

Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat

terlihat.

3. Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan laboratorium dilakukan kultur dari flora kornea

dilakukan selama terjadinya inflamasi aktif.

b) Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan fotografi slit lamp

untuk mendokementasikan inflamasi aktif dan periode inaktivitas.

21
G. Diagnosis Banding

Keratitis Virus

H. Terapi

Medikamentosa

Bakterial

1) AB sesuai dgn hasil pembiakan

2) Pengobatan dini dgn fluroquinolone ciprofloxacin 0.3%

3) Siklopegik 3x per hari, kalau masih kurang dapat diberi Atropin 1% 2x

sehari (mencegah sinekia posterior serta mengurangi nyeri akibat spasme

siliar)

Viral

1) Pemberian antiviral

2) Kompres dingin

Jamur

1) Disesuaikan dgn hasil kultur dan hasil empiris

2) Natamycin E.D untuk jamur berfilamen

3) Fluconazole E.D utk jamur candida

4) AmphotericinB E.D utk kasus yg tdk bereaksi dgn obat

Alergi

1) Pemberian antihistamin oral

2) Pemberian tetes mata yang mengandung antihistamin dan vasokonstriktor

22
3) Imunoterapi alergen

Non-Medikamentosa

Bakteri, Viral dan Jamur

Menjaga kebersihan mata

Menggunakan penutup mata

Mencuci tangan setelah memegang atau mengolesi obat mata

Tidak menggunakan tetes mata bersama-sama

Alergi

Menghindari alergen

Menggunakan penutup mata

Menghindari penggunaan kontak lens selama sakit

Mencuci mata dengan cairan pencuci mata

Menghindari kontak dengan sinar yang kuat terlalu lama (TV,


Komputer)

I. Prognosis

Secara umum prognosis dari keratitis adalah baik jika tidak terdapat jaringan

parut ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan metode penanganan yang

23
dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien dengan keratitis sangat baik.

Namun dari segi fungsi, tergantung dari jenis dan stadium dari keratitis itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. WidyaMedika

Jakarta, 2000.

2. Ilyas, Sidarta. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Penyakit Mata. Balai Penerbit

FKUI, Jakarta, 2003.

3. James B, Chew C, Brown A. 2012. Lecture Note On Ophtalmology edisi 9.

Jakarta : Erlangga

4. Available from : http://emedicine.medscape.com/ keratitis article. Diakses

Agustus 2016.

5. American Academy of Ophthalmology, 2015. Thygesons Superficial Punctate

Keratitis. www.aao.org. diakses Agustus 2016

6. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta jilid-1edisi-3. Jakarta: Media

Aesculapius FKUI.

7. Ilyas S. 2010. Keratitis. Ilmu Penyakit Mata edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI.

24
SZ.Mirza:2013keratitis:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37953/4/Ch
apter%20II.pdf. DiaksesAgustus2016

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata bagian
belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal yang
menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi
menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva
forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi.1,2
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi superior paling
sering mengalami infeksi dan menyebar ke bawahnya. Pada pterigium, konjungtiva
yang mengalami fibrovaskular adalah konjungtiva bulbi.1,2

25
Gambar 10. Anatomi konjungtiva5

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena
konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring
vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun
dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh
limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf
ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.2
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Pembiasan sinar
terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar
masuk kornea dilakukan oleh kornea. Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :6
a. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal; sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal
sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan mejadi lapis sel
sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom
dan macula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolik, dan glusa
yang merupakan barrier. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

26
b. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis
ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Stroma
Terdiri atas lamel yangmerupakansusunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupaka sel stroma
kornea yang merupakan fibroblast terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.
d. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea.
Bersifat sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup.
e. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal. Endotel melekat pada
membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okulen.

Gambar 11. Lapisan kornea5

D. ETIOPATOGENESIS

27
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering terjadi
pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling
diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti
paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin
kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan
konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear film
bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori.
Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.7
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan
menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi
jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskularsering
dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.7,8

E. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi UV
matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter.7,9
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea
dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.7
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal

28
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu,
kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes,
dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab dari pterigium7

F. KLASIFIKASI
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau
klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa
kelompok yaitu:9,10

a. Berdasarkan perjalanan penyakit


1) Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2) Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1) Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2) Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea
3) Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
4) Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu pengelihatan
c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas

G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi
dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui

29
faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun
dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan
untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.9
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat
dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu
yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan
kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.1,9
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai
lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah
fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea
anterior dari kepala pterigium (stokers line). Kira-kira 90% pterigium terletak di
daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus
sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan
penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea
astigmatisme pada tahap regresif.

H. PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan
jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedahdilakukan pada
pterigium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada
pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan
tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.
Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering
dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila
perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata

30
buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2
minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan
bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu
gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan
untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk
mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan
bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai, namun tidak perlu
memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-
kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah
jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol
perdarahan.14
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan
Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren,
mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.10
Teknik pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan
halus dari permukaan kornea.1

31
1. Teknik bare sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, sementara memungkinkan sclera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen,
telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
2. Teknik autograft conjunctiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sklera yang telah di eksisi pterigium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan
untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari
Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterigium
dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
3. Cangkok membran amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan
sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk
pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah
keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian
bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera ,
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.
Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk
membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1

32
Gambar 9 Teknik conjunctival autograft pada pterigium10
Terapi tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan
terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis
minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterigium,
dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian
sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterigium, meskipun tidak ada
data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari
radiasi termasuk nekrosis scleral, endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini
telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1

33
I. KOMPLIKASI
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:11
1. Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau
retinal detachment.
2. Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada
sklera dan kornea.
3. Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium post
operasi. Simpel eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80
%. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion graft.
4. Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di atas
pterigium.

J. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman
pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 24 jam
postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran amnion.11

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta.Ilmu Penyakit Mata Edsi 3. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2010.

2. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. Ed 17. EGC: Jakarta. 2012

3. Weng SK, William RL. Ophthalmic Pathology. Blackwell publishing: USA.

2005.

4. Taylor, Hugh R. Pterygium. Kugler Publications. The Hague, Netherlands. 2000.

5. Lang, Gerhard K. Ophthalmology A Short Textbook. Thieme: New York. 2000.

6. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared with


subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive primary
pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu Kedokteran,
Volume 39, No. 4, Desember 2007

7. The Eye M.D. Association. Basic and Clinical Science Course, External Disease
and Cornea Section 8. American Academy of Ophthalmology: San Fransisco.
2013.

8. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology An Asian Perspective,


Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005.

9. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in


Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology. 2002

10. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterigium: Panduan


Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006.

11. Jerome P Fisher. Pterygium. available at:


http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup. 2009.

35

Anda mungkin juga menyukai