Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus,
parasite, atau jamur, yang penularannya terutama memlalui hubungan seksual dari
seseorang yang terinfeksi kepada mitra seksualnya. Infeksi menular seksual merupakan
salah satu penyebab infeksi saluran reproduksi (ISR). Tidak semua IMS menyebabkan ISR
dan sebaliknya tidak semua ISR disebabka IMS.1

Berdasarkan penyebabnya, ISR dapat dibedakan menjadi :1

Infeksi menular seksual, misalnya gonorea, sifilis, trikomonas, ulkus mole, herpes
genitalis, kondiloma akuminata, dan infeksi HIV.
Infeksi endogen oleh flora normal komensal yang tumbuh berlebihan, misalnya
kandidosis vaginalis dan vaginosis bacterial.
Infeksi iatrogenic yang disebabkan bakteri atau mikroorganisme yang masuk ke
saluran reproduksi akibat produk medic atau intervensi selama kehamilan, pada waktu
partus pascapartus dan dapat juga oleh karena kontaminasi instrument.

Secara gender perempuan memiliki resiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan
dengan kehamilan dan persalinan, juga terhadap penyakit kronik dan infeksi. Selama masa
kehamilan, perempuan mengalami berbagai perubahan, yang secara alamiah sebenarnya
diperlukan untuk kelangsungan hidup janin dalam kandungannya. Namun, ternyata
berbagai perubahan tersebut dapat mengubah kerentanan dan juga mempermudah
terjadinya infeksi selama kehamilan.1

Di Indonesia angka kejadian IMS/ISR pada perempuan hamil sangat terbatas. Pada
perempuan hamil pengunjung Puskesmas Merak Jawa Barat 1994, sebanyak 58 %
menderita ISR. Sebanyak 29,5% adalah infeksi genital nonspesifik, kemudian 10,2%
vaginosis bacterial, kandidosis vaginalis 9,1%, gonore sebanya 3,4% trikomoniasis 1,1%,
dan gonore bersama trikomoniasis sebanyak 1,1%.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GONORE

2.1.1 Defenisi Gonore

Gonore dalam arti luas mencakup semua penyakit yang disebabka oleh Neisseria
gonorrhoeae.4

2.1.2 Etiologi Gonore

Neisseria gonorrhoeae dibawah mikroskop cahaya tampak sebagai diplokokus


berbentuk biji kopi dengan lembar 0,8 dan bersifat tahan asam. Kuman ini bersifat gram
negative, tampak di luar dan di dalam leukosit polimorfonuklear, tidak dapat bertahan lama
di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas 39oC, dan
tidak tahan zat desinfektan.1

Gambar 2.1 Bakteri Nesseria gonorrhoeae gambar 2.2 Gonore pada genital wanita

2.1.3 Gejala Klinis Gonore

Gambaran klinik dan perjalanan penyakit pada perempuan berbeda dari pria. Hal
ini disebabkan perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin pria dan perempuan. Gonore
pada perempuan kebanyakan asimptomatik sehingga sulit untuk menentukan masa
inkubasinya.1

Infeksi pada uretra dapat bersifat simptomatik ataupun asimptomatik, tetapi


umumnya jarang terjadi tanpa infeksi pada serviks, kecuali pada perempuan yang telah di
histerektomi.1

2
Keluhan traktus genotourinarius bawah yang paling sering adalah bertambahnya
duh tubuh genital, dysuria yang kadang-kadang disertai poliuria, perdarahan antara masa
haid, dan menoragia. Daerah yang paling sering terinfeksi adalah serviks. Pada
pemeriksaan, serviks tampak hiperemis dengan erosi dan secret mukopurulen.1

2.1.4 Klasifikasi Gonore

a. Gonore akut :

Dengan geja klinis : dysuria, urethritis, servisitis, dan kolpitis dengan keputihan
banyak seperti nanah encer, berwarna kunng atau kuning kehijauan. Bila penyakit ini lebih
meluas dapat menyebabkan vovokolpitis dan bartolinitis akut.2

b. Gonore kronik

Merupakan penyakit kelamin yang sudah menjalar keatas : Endometritis,


Endosalpingitis, dan Palveoperitonitis. Apabila kuman masuk ke aliran darah akan timbul
artritis dan endocarditis.2

2.1.5 Komplikasi Gonore

Komplikasi sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genitalia.
Infeksi pada serviks dapat menimbulkan komplikasi salpingitis atau penyakit radang
panggul (PRP). PRP yang simptomatik ataupun asimptomatik dapat mengakibatkan
jaringan parut pada tuba sehingga menyebabkan infertilitas atau kehamilan ektopik.1

2.1.6 Diagnosis Gonore

Diagnosis gonore dapat dipastikan dengan menemukan N. gonorrhoeae sebagai


penyebab, baik secara mikroskopik maupun kultur (biakan). Sensitivitas dan spesifisitas
dengan pewarnaan gram dari sediaan serviks hanya berkisar antara 45-64%, 90-99%,
sedangkan sensitivitas dan spesifisitas dengan kultur sbesar 85-95%, >99%. Oleh karena
itu, untuk menegakkan diagnosis gonore pada perempuan perlu dilakukan kultur.

2.1.7 Pengobatan Gonore

Secara epidemiologi pengobatan yang dianjurkan untuk infeksi gonore tanpa


komplikasi adalah pengobatan dosis tunggal. 1

3
Pilihan terapi yang direkomendasi oleh CDC adalah :1

1) sefiksim 400mg per oral,


2) seftriakson 250mg intramuscular,
3) siprofloksasin 500mg per oral,
4) ofloksasin 400mg per oral,
5) levofloksasin 250mg per oral,
6) atau spektinomisin 2g dosis tunggal intramuscular.

2.1.8 Gonore pada wanita Hamil

Infeksi gonore selama kehamilan telah diasosiasikan dengan pelvic inflammatory


disease (PID). Infeksi ini sering ditemukan pada trimester pertama sebelum korion berfusi
dengan desidua dan mengisi kavum uteri. Pada tahap lanjut, Neisseria gonorrhoeae
diasosiasikan dengan rupture membrane yang premature, kelahiran premature,
korioamnionitis dan infeksi pasca persalinan. Konjungtivitis gonokokal (ophtalmia
neonatorum), manifestasi tersering dari infeksi perinatal, umumnya ditransmisikan selama
proses persalinan. Jika tidak diterapi, kondisi ini dapat mengarah pada perforasi kornea dan
panoftalmitis. Infeksi neonatal lainnya yang lebih jarang termasuk meningitis sepsis
diseminata dengan artritis, serta infeksi genital dan rektal.1

Oleh karena itu,untuk perempuan hamil dengan resiko tinggi dianjurkan untuk
dilakukan skrining terhadap infeksi gonore pada saat datang untuk pertama kali antenatal
dan juga pada trimester ketiga kehamilan. Dosis dan obat-obat yang diberikan tidak
berbedan dengan keadaan tidak hamil. Akan tetapi, perlu diingatkan pemberian golongan
kuinolon pada perempuan hamil tidak dianjurkan.1

Bila terjadi konjungtivitis gonore pada neonates pengobatan yang dianjurkan


adalah pemberian seftriakson 40-100mg/kg BB, intramuscular, dosis tunggal dengan dosis
maksimum 125mg.1

4
2.2 SIFILIS

2.2.1 Defenisi Sifilis

Sifilis merupakan penyakit kronis dan bersifat sitemik disebabkan oleh Treponema
pallidum.3,4,5 menurut sejarahnya terdapat banyak sinonim sifilis yang tak lazim dipakai.
Sinonim yang umum adalah lues venerea atau biasanya disebut lues. Dalam bahasa
Indonesia disebut raja singa.4

2.2.2 Etiologi Sifilis

Penularan sifilis melalui hubungan seksual, namun juga dapat terjadi secara
vertical dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran, melalui produk darah
atau transfer jaringan yang telah tercemar, kadang-kadang dapat ditularkan memalui alat
kesehatan.3 Sifilis dapat mengenai seluruh organ tubuh, mulai dari kulit, mukosa, jatung
hingga susunan saraf pusat dan juga dapat tanpa manifestasi lesi di tubuh.1

Gambar 2.3 Sifilis Pada bayi Gambar 2.4 Sifilis pada Wanita

2.2.3 Klasifikasi Sifilis

Infeksi terbagi atas beberapa fase, yaitu sifilis primer, sifilis sekunder, sifilis laten
dini dan lanjut, serta neurosifilis (sifilis tersier). Sifilis umumnya ditularkan lewat kontak
seksual, namun juga dapat secara vertical pada masa kehamilan.1

a. Lesi Primer

5
Lesi primer sifilis berupa tukaknya biasanya timbul di daerah genital eksterna
dalam waktu 3 minggu setelah kontak. Pada perempuan kelainan sering ditemukan di labia
mayor, labia minor, fourchette, atau serviks. Gambaran klinik dapat khas, akan tetapi dapat
juga tidak khas. Lesi awal berupa papul berindurasi yang tidak nyeri, kemudian
permukaannya mengalami nekrosis dan ulserasi dengan tepi yang meninggi, teraba keras,
dan berbatas tegas. Jumlah ulserasi biasanya hanya satu, namun dapat juga multiple.1

b. Lesi Sekunder

Lesi sekunder ditandai dengan malese, demam, nyeri kepala, limfadenopati


generalisata, ruam generalisata dengan lesi palmar, plantar, mukosa oral atau genital,
kondiloma lata di daerah intertrigenosa dan alopesia. Lesi kulit biasanya simetris, dapat
berupa macula, papula, papuloskuamosa, dan pustule yang jarang disertai keluhan gatal. T.
pallidum banyak ditemukan pada lesi di selaput lender atau lesi yang basah seperti
kondiloma lata.1

c. Lesi Laten

Sifilis laten merupakan fase sifilis tanpa gejala klinik dan hanya pemeriksaan
serologic yang reaktif. Hal ini mengindikasikan organisme ini masih tetap ada di dalam
tubuh, yang dalam perjalanannya fase ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan
seumur hidup. Kurang lebih 2/3 pasien sifilis laten yang tidak diobati akan tetap dalam fase
ini selama hidupnya.1

d. Lesi Tersier

Sifilis tersier terjadi pada 1/3 pasien yang tidak diobati. Fase ini dapat terjadi sejak
beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah fase laten dimulai. T. Pallidum menginvasi
dan menimbulkan kerusakan pada sstem saraf pusat, system kardiovaskular, mata, ulit,
serta organ lain. Pada system kardiovaskular dapat terjadi aneurisma aorta dan endocarditis.
Gumma timbul akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen T. Pallidum, lesi
tersebut bersifat destruktif dan biasaya muncul di kulit, tulang, atau organ dalam.1

Pada kehamilan gejala klinik tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak hamil,
hanya perlu diwaspadai hasil tes serologi sifilis pada kehamilan normal bias memberika
hasil positif palsu. Transmisi treponema dari ibu ke janin umumnya terjadi setelah plasenta
terbentuk utuh, kira-kira sekitar umum kehamilan 16 minggu. Oleh karena itu bila sifilis

6
primer atau sekunder ditemukan pada kehamilan setelah 16 minggu, kemungkinan untuk
timbulnya sifilis kongenital lebih memungkinkan.1

2.2.4 Diagnosa Sifilis

Diagnose ditegakkan dengan cara menemukan T. pallidum dalam specimen dengan


menggunakan mikroskop lapang pandang gelap, pewarnaan burry, atau mikroskop
imunofluoresensi.1,5

Pemeriksaan bantu lain adalah tes non trponemal (tes reagen) untuk melacak
antibody IgG dan IgM terhadap lipid yang terdapat pada permukaan sel treponema
misalnya :Rapid Plasma Reagen (RPR), Venereal Disease Research Laboratory (VDRL).
Hasil positif palsu tes nontreponemal dalam populasi masyarakan umum mencapai 1-2%
(termasuk pada ibu hamil). Tes treponemal menggunakan T. Pallidum subspecies pallidum
sebagai antigen, sehingga tes ini merupakan jenis tes konfirmatif misalnya : Treponema
pallidum haemaglutination assay (TPHA). Pada sebagian besar kasus tes treponema
reaktif, hasil reaktif tersebut akan tetap reaktif seumur hidup.1,5

Sifilis kongenital jarang terjadi sebelum 18 minggu. Namun, jika telah terjadi,
sifilis janin bermanifestasi sebgai suatu kelainan yang kotinu.5 Untuk menegakkan diagnosa
sifilis kongenital pemeriksaan IgM pada bayi sangat diperlukan, karena IgM dari ibu tidak
dapat melalui plasenta.1

2.2.5 Pengobatan Sifilis

World Health Organization dan CDC telah merekomendasikan pemberian terapi :1


1) injeksi penislin benzatin 2,4 juta IU secara IM untuk sifilis primer, sekunder, dan
laten dini. Sedangkan untuk sifilis laten lanjut atau tidak diketahui lamanya,
mendapat 3 dosis injeksi tersebut.1
2) Alternative pengobatan bagi yang alergi terhadap penisilin dan tidak hamil dapat
diberi doksisiklin peroral, 2x 100mg/hari selama 30 hari, atau tetrasiklin per oral
4x500mg/hari selama 30hari.
3) Alternative pengobatan bagi yang alergi terhadap penisilin dan dalam keadaan
hamil, sebaiknya tetap diberikan penisilin dengan cara desensitisasi.
4) Bila tidak memungkinkan pemberian eritromisin peroral 4x500mg/hari selama 30
hari dapat dipertimbangkan.

7
5) Untuk semua bayi yang baru lahir dari ibu yang seropositive agar diberi
pengobatan dengan benzatin penisilin 50.000 IU per kg berat badan, dosis tunggal
tunggal intra muscular.
6) Untuk memonitor hasil pengobatan dilakukan pemeriksaan serologi non
treponemal 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun setelah pengobatan
selesai.

Tabel 2.1 tatalaksana sifilis berdasarkan klasifikasinya 3

Alternatif terapi pada alergi


Klasifikasi
Terpi anjuran Alternatif terapi penisilin
sifilis
Hamil Tidak hamil
Prokain Dosisiklin, 100
Early syphilis Benzatin Eritromisin,
benzilpenisilin, mg
(sifilis benzilpenisilin, 2,4 1,2 juta IU (2 kali sehari)
500mg oral (4
stadium juta injeksi IM atau;
(setiap hari Tetrasiklin, 500
dini), sifilis IU injeksi IM kali sehari
selama 10 mg
hari berturut- oral (4 kali
primer, sifilis (pemberian dengan selama 14
turut). sehari)
skunder dua kali injeksi hari). selama 14 hari.
ditempat
berbeda
Prokain Dosisiklin 100
Late Laten Benzatin benzilpenisilin, Eritromisin, 500 mg
benzilpenisilin, 2,4 1,2 juta IU oral (2 kali
Syphilis (sifilis juta injeksi IM mg oral (4 kali sehari),
stadium (setiap hari sehari selama
lanjut) IU (total 7,2 juta IU) selama 20 30 atau;
hari berturut- Tetrasiklin,
Benzatin injeksi IM, (sekali turut) hari) 500 mg
benzilpenisilin
, 2,4 juta seminggu selama 3 (4 kali sehari)
IU (total 7,2 minggu berturut- selama 30
juta IU) turut hari,
di hari ke 1, 8 dan
15 atau 21-28
hari
Prokain Dosisiklin, 200
Aquaous benzilpenisilin, mg
benzylpenicillin, 18- 1,2-2,4 juta IU, oral (2 kali
24 injeksi sehari)
IM setiap hari selama 30
juta IU injeksi IV ( dan hari,

8
pemberian dengan 3- Probenesid, 500
4 mg oral atau;
Tetrasiklin,
juta IU. Setiap 4 jam (4 kali sehari) selama 10-14 hari atau 500 mg
Ceftriaxone 1-2 g oral, (4 kali
selama 14 hari IV sehari
setap hari selama
10-14 selama 30 hari)
hari (apabila tiak
ada
penisilin).
Eritromisin
Siflis Usia > 20; 7,5-12,5 mg/kg
kongenital Usia < 2 tahun dan Aquaous oral (4
benzylpenicillin kali sehari)
infant dengan 200 000 selama
abnormal CSF 300 000 juta 30 hari (pada
dengan; IU/kg/hari bayi
injeksi IM.
Aquaous Dengan diawal bulan
pemberian 50000
benzylpenicillin juta kehidupan
IU/kg/dosis setiap
100000-150000 juta 4-6
jam selama 10-14
IU/kg/hari injeksi IV hari
setiap 12 jam, selama
7
hari awal kehidupan
dan setelah itu setiap
8
jam, totalnya selama
10
hari. Atau;
Prokain
benzilpenisilin
50000 juta IU/kg
injeksi
IM dosis tunggal
(selama 10 hari)

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S. 2011. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : PT. Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2. Mochtar R. 2012. Sinopsis Obstetri jilid 1. Jakarta : EGC.
3. Suryani, DPA, Sibero HT. 2014. Syphilis. Lampung : FK Universitas Lampung.
Available at : Juke.kedokteran.unila.ac.id/ accesed : 19 desember 2016.
4. Djuanda A (editor). 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakerta FK UI.
5. Cunningham FG.2012. Obstetri Williams Edisi 23 vol 2. Jakarta : EGC

10

Anda mungkin juga menyukai