Anda di halaman 1dari 22

MODUL PUCAT

KASUS

Skenario

Seorang laki-laki, 35 tahun datang ke dokter praktek umum dengan keluhan mudah lelah dan
terlihat pucat sejak satu bulan terakhir. Berdasarkan anamnesis, didapatkan pula pasien seringkali
mengeluh pusing, palpitasi, sulit berkonsetrasi, dan anorexia.

KATA/KALIMAT KUNCI

1. Laki-laki (35 tahun)


2. Mudah lelah
3. Pucat
4. Pusing
5. Palpitasi
6. Sulit berkonsentrasi
7. anorexia

KATA SULIT

1. Palpitasi
Palpitasi (palpitation) adalah perasaan berdebar-debar atau denyut jantung tidak teratur
yang sifatnya subjektif (Dorland, 2013: 568)
2. Anorexia
Anorexia adalah menurunnya atau hilangnya nafsu makan (Dorland, 2013: 47)

DAFTAR PERTANYAAN DAN LO

Daftar Pertanyaan:

1. Jelaskan mekanisme gejala-gejala pada kasus!


2. Jelaskan proses hemopoiesis khususnya eritropoiesis!
3. Jelaskan organ-organ penghasil eritrosit!
4. Tuliskan jenis-jenis/klasifikasi anemia!
5. Jelaskan patofisiologi anemia!
6. Jelaskan gejala-gejala anemia!
7. Penyakit apa saja yang memberikan gejala yang sama pada scenario?

LO:

1 |Laporan Pucat
1. Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme yang terjadi setiap gejala pada kasus
2. Mahasiswa dapat mengetahui proses hemopoiesis khususnya eritropoiesis
3. Mahasiswa dapat mengetahui organ-organ penghasil eritsrosit
4. Mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis anemia
5. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi anemia
6. Mahasiswa dapat mengetahui geja-gejala pada anemia
7. Mahasiswa dapat mengetahui penyakit yang terkait dengan scenario pada kasus

HIPOTESA

Gejala pada skenario kasus merupakan akibat dari kelainan hematologi

PROBLEM TREE

2 |Laporan Pucat
PEMBAHASAN LO

1. Mekanisme terjadinya setiap gejala pada kasus


Pucat

Hemoglobin merupakan pigmen (mengandung zat warna) pembawa-oksigen pada


eritrosit. Karena kandungan besinya, hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan
dengan O2 dan kebiruan jika mengalami deoksigenasi. Keadaan pucat karena
kekurangan suplai oksigen ke jaringan epitel akibat rendahnya hemoglobin darah.

Mudah Lelah

3 |Laporan Pucat
Rendahnya hemoglobin sebagai pembawa oksigen mengakibatkan kadar oksigen ke
jaringan tubuh menjadi kurang dan akhirnya terjadi hipoksia sel. Akibatnya, jalur
metabolisme aerob menjadi tidak optimal akibatnya energy yang dihasilkan menurun
sehingga orang tersebut mudah lelah. Saat proses metabolism aerob tidak optimal,
berlangsung proses metabolism anaerob. Pada metabolisme anaerob energi yang
dihasilkan sedikit dan menghasilkan asam laktat yang menyebabkan kelelahan otot.

Palpitasi

Hipoksia yang terjadi akibat berkurangnya transport oksigen keseluruh jaringan tubuh
menyebabkan pembluh perifer berdilatasai kemudian meningkatkan curah jantung dan
kecepatan aliran darah. Sehingga timbul perasaan berdebar-debar denyut jantung yang
tidak berturan yang disebut palpitasi. Kondisi tersebut merupakan salah satu
mekanisme kompensasi tubuh untuk beradaptasi karena berkurangnya massa eritrosit.
Pusing dan Sulit Berkonsentrasi

Pada anemia akan mengakibatkan terjadinya hipoksia pada jaringan jaringa tubuh
termasuk diantaranya terjadi hipoksia pada otak dan juga hipoksia pada system saraf
pusat. Pada keadaan normal otak mendapatkan darah sebanyak 15% dari jantung.
Tidak seperti sebagian besar jaringan, yang dapat mengandalkan metabolism anaerob
untuk menghasilkan ATP dengan tanpa adanya O2. Otak tidak dapat menghasilkan
ATP tanpa adanya O2. Sehingga pada saat terjadi hipoksia pada otak maka otak tidak
mampu menghasilkan energy dalam hal ini ATP dimana gejala yang biasa di timbulkan
adalah pusing, sulit berkonsentrasi, sakit kepala dan tinnitus (kepala berdenging).

Anoreksia

Pada keadaan normal makanan yang ada dalam saluran pencernaan akan berjalan dari
lambung ke usus halus dengan melakukan kontraksi peristaltic. dimana pada proses
kontraksi otot polos pada lambung dan usus akan membutuhka banyak ATP yaitu pada
perlekatan dan pelepasan aktin dan myosin. Pada keadaan anemia jaringan tubuh akan
terjadi hipoksia yang menyebabkan pembentukan energy (ATP) juga akan berkurang
karena hanya bisa mengaktifkan metabolisme anaerob dimana pada proses ini energi
yang di hasilkan dalam jumlah yang lebih sedikit. Pada keadaan ini akan
4 |Laporan Pucat
mengakibatkan kerja lambung dalam hal ini kontraksi otot lambung akan berkurang
sehingga proses pemindahan makanan akan terhambat sehingga menimbulkan rasa
kenyang terus menerus (anoreksia).

(lauralle sherwood, 2011; guyton: 2011; price dan wilson: 2006).

2. Proses hemopoiesis dan eritropoesis


A. Proses Hemopoiesis

Hemopoesis bermula dengan satu sel punca pluripoten yang dapat memperbaharui
diri dan juga menjadi sumber dari beberapa galur sel yang terpisah. Sel-sel tersebut
terdapat dalam sumsum tulang dalam cekungan yang dibentuk oleh sel-sel stroma.
Diferensiasi sel terjadi dari sel punca melalui progenitor hemopoietik khusus yang
terbatas dalam potensi perkembangannya (hoffbrand dan moss, 2011: 3).
1. Sel induk hemopoetik (hematopoetic stem cell)
Merupakan sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel darah (eritrosit, leukosit, dan
trombosit) dan juga beberapa sel dalam sumsum tulang seperti fibroblast. Sel induk yang
paling primitive disebut sebagai pluripotent (totipotent) stem cell yang bersifat:
a. Self renewal: kemampuan memperbarui diri seendiri sehingga tidak akan pernah
habis meskipun membelah;
b. Ploriferatif: kemampuan memperbanyak diri;
c. Diferensiatif: kemampuan maturasi sel menjadi sel-sel dengan fungsi tertentu.
Berdasarkan sifat diferensiasiya sel induk hemopoetik terbagi:
a. Pluripotent stem cell: mempunyai kemampuan untuk menurunkan seluruh jenis
sel-sel darah.
b. Committed stem cell: mempunya komitmen untuk berdiferensiasi melalui salah
satu garis turunan. Misalnya: sel induk myeloid dan sel induk limfoid.
c. Oligopotent stem cell: dapat berdiferensiasi menjadi hanya beberapa jenis.
Misalnya: CFU-GM (colony forming unit-granulocyte/monocyte) yang dapat
berkembang hanya menjadi sel-sel granulosit dan monosit.
d. Unipotent stem cell: hanya mampu berkembang menjai satu jenis sel saja.
Misalnya: CFU-E (colony forming unit-eritrocyte) hanya dapat menjadi eritrosit.
2. Lingkungan mikro sumsum tulang

5 |Laporan Pucat
Lingkungan mikro sumsum tulang merupakan substansi yang yang memungkinkan sel
induk tumbuh secara kondusif, yang meliputi:
a. Mikrosirkulasi dalam sumsum tulang
b. Sel-sel stroma: sel endotel, sel lemak, fibroblast, makrofag, dan sel reticulum
c. Matriks ekstraseluler: fibronektin, haemonektin, laminin, kolagen, dan
proteoglikan.
Lingkungan mikro ini berfungsi:
a. Menyediakan nutrisi dan bahan hemopesis yang dibawa oleh peredaran darah
mikro dalam sumsum tulang.
b. Komunikasi antarsel, terutama ditentukan oleh adanya molekul adhesi.
c. Menghasilkan zat yang mengatur hemopoesis: seperti, factor pertumbuhan
hemopoetik dan sitokin.
3. Bahan-bahan pembentuk darah
a. Asam folat dan vitamin B12: bahan pokok pembuatan inti sel
b. Zat besi: untuk pembentukan hemoglobin
c. Cobalt, magnesium, tembaga
d. Asam amino
e. Vitamin lain: vitamin C dan B kompleks
4. Mekanisme regulasi
Mekanisme regulasi penting untuk mengatur arah dan kuantitas pertumbuhan sel dan
pelepasan sel darah yang matang dari sumsum tulang ke darah tepi sehingga sumsum
tulang dapat merespon kebutuhan tubuh dengan tepat. Zat-zat yang berpengaruh:
a. Factor pertumbuhan hemopoesis
Granulocyte-macrophage colony stimulating/GM-CSF
Granulocyte colony stimulating/G-CSF
Macrophage colony stimulating/M-CSF
Thrombopoetin
Burst promoting activity/BPA
Stem cell factor/kit ligand
b. Sitokin: IL-3, IL-4, IL-5, IL-7, Il-8

6 |Laporan Pucat
Factor pertumbuhan dan sitokin sebagian besar dibentuk oleh sel-sel darah
sendiri. Sitokin ada yang merangsang pertumbuhan sel induk dan ada juga yang
menekan pertumbuhan sel induk. Keseimbangan dua jenis sitokin ini sangat
menentukan hemopoesis normal.
c. Hormone hemopoetik spesifik
Misalnya hormone khusus merangsang pembentukan eritrosit yaitu eritropoetin
yang dibentuk di ginjal.
d. Hornom nonspesifik
Diperlukan dalam jumlah kecil untuk hemopoesis, seperti:
Androgen: menstimulasi eritropoesi
Estrogen: inhibisi eritropoesis
Glukokortikoid
Growth hormone
Hormone tiroid
dalam regulasi hemopoesis normal terdapat feed back mechanism yaitu suatu
mekanisme umpan balik yang dapat merangsang hemopoesis jika tubuh
kekuragan komponen darah (positive loop) atau menekan hemopoesis jika tubuh
kelebihan komponen tertentu (negative loop) (I Made Bakta, 2003: 3-8).

B. Proses Eritropoesis

Sel Punca Hematopoietik Pluripoten, Penginduksi Pertumbuhan, dan Penginduksi


Diferensiasi. Sel darah memulai kehidupannya di dalam sumsum tulang dari suatu tipe
sel yang disebut sel punca hematopoietick pluripoten, yang merupakan asal dari semua
sel dalam darah sirkulasi. Sewaktu sel-sel darah ini bereproduksi, ada sebagian kecil dari
sel-sel ini yang bertahan persis seperti sel-sel pluripoten aslinya dan disimpan dalam
sumsum tulang guna mempertahankan suplai sel-sel darah tersebut, walaupun jumlahnya
berkurang seiring dengan pertambahan usia. Sebagian besar sel-sel yang direproduksi
akan berdiferensiasi untuk membentuk sel-sel tipe lain. Sel yang berada pada tahap
pertengahan sangat mirip dengan sel punca pluripoten, walaupun sel-sel ini telah
membentuk suatu jalur khusus pembelahan sel dand isebut committed stem cells.
(Guyton, 2006)

7 |Laporan Pucat
Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian
dari rangkaian sel darah merah adalah proeritroblas, yang
tampak pada permulaan gambar di samping. Dengan
rangsangan yang sesuai, sejumlah besar sel ini dibentuk
dari sel-sel punca CFU-E. Begitu proeritroblas ini
terbentuk, maka ia akan membelah beberapa kali, sampai
akhirnya membentuk banyak sel darah merah yang
matang. Sel-sel generasi pertama ini disebut eritroblas
basofil sebab dapat dipulas dengan zat warna basa; sel
yang terdapat pada tahap ini mengumpulkan sedikit
sekali hemoglobin. Pada generasi berikutnya, sel sudah
dipenuhi oleh hemoglobin sampai konsentrasi sekitar 34
persen, nucleus memadat menjadi kecil, dan sisa akhirnya
diabsorbsi atau didorong keluar dari sel. Pada saat yang
sama, reticulum endoplasma direabsorbsi. Sel pada tahap ini disebut retikulosit karena
masih mengandung sejumlah kecil materi basofilik, yaitu terdiri atas sisa-sisa aparatus
Golgi, mitokondria, dan sedikit organel sitoplasma lainnya. Selama tahap retikulosit ini,
sel-sel berjalan dari sumsum tulang masuk ke dalam kapiler darah dengan cara
diapedesis (terperas melalui pori-pori membran kapiler). Materi basofilik yang tersisa
dalam retikulosit normalnya akan menghilang dalam waktu 1 sampai 2 hari, dan sel
kemudian menjadi eritrosit matang. Oleh karena waktu hidup retikulosit ini pendek,
maka konsentrasinya di antara semua sel darah merah normalnya kurang sedikit dari 1
persen (Guyton, 2006).

3. Organ-organ penghasil eritrosit

Dalam minggu-minggu pertama kehidupan embrio, sel-sel darah merah primitif


yang berinti diproduksi di yolk sac. Selama pertengahan trimester masa gestasi, hati
dianggap sebagai organ utama untuk memproduksi sel-sel darah merah, namun terdapat
juga sel darah merah dalam jumlah cukup banyak yang diproduksi di limpa dan kelenjar
limfe. Lalu kirakira selama bulan terakhir kehamilan dan sesudah lahir, sel-sel darah
merah hanya diproduksi di sumsum tulang. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 32-1,

8 |Laporan Pucat
pada dasarnya sumsum tulang dari semua tulang memproduksi sel darah merah sampai
seseorang berusia 5 tahun; tetapi sumsum tulang panjang, kecuali bagian proksimal
humerus dan tibia, menjadi sangat berlemak dan tidak memproduksi sel-sel darah
merahsetelah berusia kurang lebih 20 tahun. Setelah usia ini, kebanyakan sel darah merah
diproduksi dalam sumsum tulang membranosa, seperti vertebra, sternum, rusuk, dan
ilium. Bahkan dalam tulang-tulang ini, sumsum tulang menjadi kurang produktif seiring
dengan bertambahnya usia.

4. Klasifikasi anemia

A. Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatogenesis


1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam susmsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
Anemia akibat penyakit kronik

9 |Laporan Pucat
Anemia sideroblastik

c. Kerusakan sumsum tulang


Anemia aplastik
Anemia mieloptisik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia diseritropoetik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoetin
Anemia pada gagal ginjal kronik
2. Anemia akibat hemoragi
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia pasca perdarahan kronik
3. Anemia hemolitik
a. Anemia hemolitik intrakorpuskular
Gangguan membran eritrosit (membranopati)
Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat defisiensi G6PD
Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
b. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
Anemia hemolitik autoimun
Anemia hemolitik mikroangiopatik
4. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
B. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi Eritrosit
1. Anemia hipokrom mikrositer (MCV < 80 fl; MCH < 27 pg)
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2. Anemia normositik normositer (MCV 80 95 fl; MCH 27 34 pg)

10 |Laporan Pucat
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik-hipoplastik
c. Anemia hemolitik
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia mieloptisik
f. Anemia mielofibrosis
g. Anemia pada gagal ginjal kronik
h. Anemia pada sindrom mielodisplastik
i. Anemia pada leukemia akut
3. Anemia makrositer (MCV > 95 fl)
Megaloblastik
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi vitamin B12
Non Megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroid
Anemia pada sindrom mielodisplastik
(I Made Bakta, 2003:15-16)

5. Patofisiologi Anemia

Pada dasarnya gejala anemia timbul karena :

- Anoksia organ target : karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh
darah kejaringan.
- Mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia. Kombinasi kedua penyebab ini akan
menimbulkan gejala yang desebut sebagai sindrom anemia.

gejala anemia biasanya timbul apabila hemoglobin menurun kurang dari 7 atau 8 g/dl. Berat
ringannya gejala tergantung pada berikut:

Beratnya penurunan kadar hemoglobin


1. Kecepatan penurunan hemoglobin
2. Umur: adaptasi orangtua lebih jelek, dan gejala lebih cepat timbul
11 |Laporan Pucat
3. Adanya kelainan kardiovaskuler sebelumnya

Patofisiologi timbulnya gejala anemia

- Anoksia organ target : menimbulkan gejala tergantung pada organ mana yang terkena
- Mekanisme adaptasi (kompensasi) terhadap anemia:
1. Penurunan afinitas Hb terhadap oksigen dengan meningkatkan ensim 2,3 DPG (2,3
diphospho glycerate)
2. Meningkatkan curah jantung (COP = cardiac output)
3. Redistribusi aliran darah
4. Menurunkan tekanan oksigen vena
5. Skema patofisologi anemia

6. Gejala-Gejala Pada Anemia

Gjala umum anemia (sindrom anemia) adalah gjala yang timbul pada setiap kasus
anemia, apapun apabila kadar hemoglobin turun di bawah nilai terteentu. Gejala umum
anemi ini timbul karena anoksia organ dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap
berkurangnya daya angkat oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia
simptomatik) apabila hemoglobin turundi bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala anemia
bergantung pada derajat penururnan hemoglobin, usia, dan adanya kelainan jantung atau paru
sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala:

1. Gejala Umum Anemia

12 |Laporan Pucat
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme konpensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setela penurunan hemoglobin
sampai kadar tertentu (Hb <7 g/dL). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah,
telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan
dispepsi. Pada mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia
bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak snsitif
karena tidak timbul setelah penurunan hemoglibin yang berat (Hb <7 g/ dL) (I Made Bakta,
2015:2578).

Gejala umum anemia dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena:

System kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu kerja,
angina pectoris, dan gagal jantung.

System saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang,


kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin padaekstremitas.

System urogenetalia: gangguan haid dan libido menurun.

Epitel: warna pucat pada ulit dan mukosa, elastisitass kulit menurun, dan rambut
tipis serta halus (I Made Bakta, 2003: 15-17).

2. Gejala Khas Masing masing Anemia

Anemia Defisiensi Besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomattis angularis, dan kuku
sendok (koilonychia).

Anemia Megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada vitamin B12

Anemia Hemolitik : Ikterus dan hepatosplenomegali

Anemia Aplastik : Perdarahan, badan lemah,pusing, pucat dan tanda tanda


infeksi.

13 |Laporan Pucat
3. Gejala Penyakit Dasar

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tesebut.

Misalnya gejala akibat infeksi cacang tambang : sakit perut, pembengkakan


parotis dan warna kuning pada telapak tangan.

Misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena arttitis reumatoid

Pada anemia derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala
penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11gr/dL umunya asimtomatik. Meskipun
demikian apabila demam atau debiltas fisik meningkat, maka pengurangan kapitas transport
O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperlambat keluhan sebelumnya.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kausus
anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia karena pada pemeriksaan fisik tidak ada
kelainan yang khas pada anemia jenis ini. Sehingga pada umumnya diagnosis anemia ini
memerlukan pemeriksaan labolatorium (I Made Bakta, 2015:2578-2579).

7. Penyakit Dengan Gejala Pada Scenario

(DIAGNOSIS BANDING)

A. Anemia Defisisensi Besi

Anemi defesiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong, yang pada akhirnya menyebabkan
pembentukan hemoglobin kberkurang. Jenis anemia ini merupakan anmia yang paling seing
ditemukan, terutama di Negara-negara tropic atau Negara dunia ketiga karena sangat erat
kaitannya dengantaraf social ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia
yang memberikan dampakkesehatan yang sangat meruikan serrta dampak social yang cukup
serius. (I Made Bakta, 2015:2591)

1. Epidemiologi

Merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan baik di klinik maupun di
masyarakat, sangat sering dijumpai di Negara berkembang

14 |Laporan Pucat
2. Etiopatogenesis

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan karena renvdahnya masukan besi, gangguan
penyerapan besi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.

a. Kehilangan besi sebagai akibat dari perdarahan menahun dapat berasal dari:
Saluran cerna: akibat dari tukak peptic, pemakaian salisilat atau OAINS, kanker
kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
Saluran genitalia perempuan: menorhagia atau metrorhagia
Saluran kemih: hematuria
Saluran napas: hemoptoe
b. Factor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi yang
tidak baik.
c. Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan
kehamilan.
d. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau colitis kronik (I Made Bakta,
2015:).
3. Manifestasi klinis
a. Gejala umum: bila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 gr/dl berupa badan emah, lesu,
cepat lelah, mata berkunang-kunang, telingan mendenging, pucat terutama pada
konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.
b. Gejala khusus: koilonychias, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfaga, atrofi
mukosa gaster, pica.
c. Gejala penyakit dasar: misalnya akibat infeksi cacing tambang, gealanya berupa
dyspepsia, parotis membengkak, kulit telapak tangan berwarna kuning seperti kulit jerami
(I Made Bakta, 2015:2568-2569).
4. Penegakan diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara laboratorik dapat
dipakai criteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari criteria Kerlin et al) sebagai
berikut: Anemia hipokromik normositer pada apusn darah tepi (MCV <80 fl dan MCH <
31%).

a. Dua atau tiga parameter di bawah ini


b. Feritin serum <20 g/dl
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia menunjukkan cadangan besi (butir-butir
hemosiderin) negative

15 |Laporan Pucat
d. Dengan pemberian sulfat ferrous 3x200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setar )
selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hblebih dari 2 g/dl (I Made Bakta, 2003: 34-35).
5. Terapi
a. Terapi kausal: tergantung penyebabnya, misalnya pengobatan cacing tambang,
pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia,. Terapi kausa harus dilakanakan untuk
mencegah anemia kambuh kembali.
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh:
Besi per oral: ferrous sulfat 3x200mg. pemberian besi per oral sebaiknya diberikan saat
lambung kosong. Tetapi efek samping lebih banyak dibandingkan dengan pemberian
setelah makan. Efek samping dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi. Pengobatan
diberikan 6 bulan setelah kadar hb normal untuk mengisi cadangan besi tubuh dan untuk
mencegah kambhnya anemia.
Besi parenteral: iron dextron complex, iron sorbitol acid complex dapat diberikan secara
intramuscular dalam atau intravena pelan(I Made Bakta, 2003: 36-37).
B. Anemia Defisiensi Vitamn B12
1. Etiopatogenesi

Malabsorpsi yang berlangsung lama mendasari bagian terbesar kari kasus defisiensi
vitamin B12. Vitamin B12 banyak terdapat pada semua makanan yang berasal dari hewan
termasuk telur dan berbagai produk susu, yang tidak berubah walaupun dimasak atau direbus.
Bahkan, kontaminasi bakteri pada air dan makanan yang tidak berasal dari hewan dapat
memberikan vitamin BI2 dalam jumlah yang adekuat. Oleh karena itu, defisiensi yang
disebabkan oleh masalah makanan jarang terjadi, yang terbatas untuk individu vegetarier yang
ketat. Setelah vitamin B12 diserap maka badan memanfaatkannya dengan sangat
efisien.Vitamin B12 tersimpan dalam hati yang pada keadaan normal mengandungi cadangan
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan badan selama 5 sampai 20 tahun. Autoantibodi
ditemukan pada serum dan cairan lambung dari sebagian besar penderita. Tiga jenis zat anti
yang sudah ditemukan ialah: antibodi terhadap kanalikulus parietal yang terikat pada sel
parietal mukosa, antibodi penghambat yang mencegah ikatan vitamin B12 ke faktor intrinsik
(IF), antibody terhadap kompleks faktor intrinsik dan vitamin B12 yang mencegah kompleks
untuk berikatan dengan kubulin. Sering ditemukan antibodi terhadap faktor intrinsik pada
serum penderita dengan penyakit autoimun. Gangguan absorpsi vitamin B12 yang kronik juga
terlihat sesudah gastrektomi (karena hilangnya sel yang memproduksi factor intrinsik) atau
reseksi ileum (hilangnya sel yang mengabsorpsi kompleks antara faktor intrinsik dengan

16 |Laporan Pucat
vitamin B12) dan pada kelainan yang merusak fungsi bagian distal ileum (misalnya penyakit
Crohn, seriawan tropic/sprue tropical dan penyakit Whipple). Khususnya pada individu berusia
lanjut, atrofia gaster dan aklorhidria dapat menyebabkan gangguan produksi asam lambung dan
pepsin yang diperlukan untuk melepaskan vitamin 1312 dari ikatannya yang ada dalam
makanan. Kelainan metabolisme yang menyebabkan terjadinya anemia, dikacaukan dengan
kelainan pada metabolisme folat. Vitamin B12 diperlukan untuk mendaur ulang tetrahidrofolat
yaitu satu bentuk folat yang diperlukan untuk sintesis DNA. Dalam hal ini anemia defisiensi
vitamin B12 dapat dipulihkan dengan pemberian folat. Sebaliknya, pemberian folat tidak dapat
mencegah dan ternyata memperburuk gejala neurologi yang terjadi. Kelainan neurologi yang
paling berkaitan dengan defisiensi vitamin B12 adalah demielinasi dari kolumna posterior dan
lateral dari sumsum tulang belakang (spinal cord). Kadang-kadang gejala ini mulai dar saraf
tepi. Dengan perjalanan waktu,degenerasi akson mungkin memperburuk keadaan. Keparahan
manifestasi neurologik tidak berhubungan dengan beratnya anemia. Sesungguhnya, penyakit
neurologi dapat terjadi pada keadaan tanpa adanya anemia megaloblastik yang jelas. Anemia
pernisiosa adalah penyebab tersering dari defisiensi vitamin B12 (Robbin, 2013: 423).
2. Manifestasi klinik

Manifestasi dari defisiensi vitamin B12 tidak khas. Seperti pada semua anemia ditemukan
gejala-gejala yaitu pucat, cepat lelah, dan pada keadaan yang lebih berat terjadi sesak napas dan
bahkan dapat terjadi gagal jantung. Meningkatnya kerusakan pada progenitor eritroid, dapat
menimbulkan ikterus ringan. Gejala gastrointestinal sama dengan yang terjadi pada defisiensi
folat. Gejala penyakit saraf dapat terjadi yang diawali oleh rasa baal, kesemutan, dan rasa
seperti terbakar yang terjadi simetrik (bilateral) pada kaki dan tangan yang kemudian diikuti
oleh cara berjalan yang tidak mantap dan kehilangan daya pengenalan posisi terutama pada jari
kaki (Robbin, 2013: 423).

3. Penegakan diagnosis

Anemia bersifat makrositik (MCV>98 fl). B12 seru rendah pada anemia megaloblastik
atau neuropati yang disebabkan defisiensi B12. Folat serum cenderung meningkattetapi folat
eritrosit menurun. Pengukuran metilmalonat serum merupakan pemeriksaan untuk defisiensi
B12 dan pengukuran hemosistein untuk defisiensi folat atau B12 (I Made Bakta, 2003: 47).

17 |Laporan Pucat
4. Terapi

Pemberian hydrycobalamin intramuscular 200 mg/hari, atau 100 mg diberikan tiap


minggu selama 7 minggu. Dosis pemeliharaan 200 mg tiap bulan atau 1000 mg tiap 3 bulan (I
Made Bakta, 2003: 47).

C. Anemia Aplastik

1. Epidemiologi
a. Di Negara timur (asia tenggara dan cina) 2-3 kali lebih tinggi disbanding negaa barat
b. Laki-laki ebih sering terkena dibandingkan perempuan
c. Factor lingkungan, infeksi virus, diduga virus hepatitis memegang peranan penting
(I Made Bakta, 2003:99)
2. Etiopatogenesis

Penyebab anemia aplastik 50-70%b tidak diketahui (idiopatik). Kesulitan untuk


mengetahui penyebabnya disebabkan oleh proses yang berlangsung perlahan-lahan.
Mekanisme terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui:

a. Kerusakan sel induk (seed theory)


b. Kerusakan lingkungan mikro
c. Mekanisme imunologik

Kerusakan sel induk telah dibuktikan secara tidak langsung melalui keberhasilan
transplantasi sumsum tulang pada npenderita, yang berarti bahwa penggantian sel induk dapat
memperbaiki proses patologik yang teerjadi. Teori kerusakan lingkungan mikro dibuktikan
melalui tikus percobaan yang diberikan radiasi. Sedangkan teori imunologik ini dibuktikan
secara tidak langsung melalui keberhasilan pengobatan imunosupressif. Kelainan imunologik
diperkirakan menjadi penyebab dasar dari kerusakan sel induk atau kerusakan mikro sumsum
tulang (I Made Bakta, 2003:99-101).

3. Manifestasi klinik

Anemia aplastik dapat terjadi pada semua umur baik pria maupun wanita. Anemia yang
berlangsung lambat dan progresif, menyebabkan perkembangan penyakit secara lambat-laun
berupa kelelahan, pucat dan sesak napas, seringkali terjadi petekie dan ekimosis akibat dari

18 |Laporan Pucat
trombositopenia. Granulositopenia mungkin terlihat sebagai infeksi ringan yang persisten atau
sebagai gejala menggigil, demam dan rasa lemah yang timbul secara tiba-tiba. Anemia
aplastik, perlu dibedakan dengan anemia yang disebabkan oleh adanya infiltrasi dalam
sumsum tulang (anemia mieloptisik), leukemia yang alekemik dan penyakit-penyakit
granulomatosa yang dapat mempunyai gambaran klinis sama tetapi mudah dibedakan dengan
pemeriksaan sumsum tulang. Anemia aplastik tidak menyebabkan splenomegali. Apabila itu
terdapat, maka diagnosis lain harus dicari. Yang khas adalah sel darah merah yang normokrom
dan normositik atau sedikit makrositik. Retikulosit berkurang (retikulopenia) (Robbin, 2013:
424).
4. Penegakan diagnosis

Pada dasarnya diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya


pansitopenia/bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang belakang, serta
dengan menyingkirkan adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang. Criteria diagnosis
anemia aplastik menurut international agranulocytosis and aplastic anemia study group
(IAASG) adalah:

a. Satu dari tiga sebagai berikut:


Hb <10 g/dl atau hematokrit <30%
Trombosit <50x109/L
Leukosit <3,5x109/L, atau neutrofil <1,5x109/L
b. Dengan retikulosit di <30x109/L
c. Dengan gambaran sumsum tulang (harus adaspesimen yang adekuat):
Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hematopoetik
atau seluleritas normal oeh hyperplasia eritrosit fokal dengan deplesi seri granulosit
dan megakariosit.
Tidakadanya fibrosis karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus dieksklusi (I
Made Bakta, 2003:102).
5. Terapi
a. Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab.
b. Terapi supportif adalah terapi untuk mengatasi pansitopenia:
1) Untuk mengatasi infeksi
Hygiene mulut
Identifikasi sumber infeksi dan pemberian antibiotic yang tepat dan adekuat.

19 |Laporan Pucat
Transfuse granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman gram
negative, dengannetropenia yang tidak memberikan respon pada antibiotika
adekuat.
2) Usaha untuk mengatasi anemia
3) Usaha untuk mengatasi perdarahan.
c. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang
d. Terapi defenitif
(I Made Bakta, 2003: 105)
D. Leukemia Myeloid Kronik
1. Epidemiologi

Leukemia myeloid kronik merupakan 15-20% dari leukemia yang paling sering dijumpai
di Indonesia. Sebagaian besar mengenai usia 40-60 tahun. Padaanak-anak dapat dijumpai
bentuk juvenile CML (I MadeBakta, 2003:138).

2. Etiopatogenesis

Leukemia myeloid kronik merupaka kelainan klonal dari sel pnca pluripoten. Leukemia
myeloid kronik ini menempati sekitar 15% leukemia dan dapat terjadi pada semua umur. Pada
leukemia ini dijumpai Philadelphia chromoso (Ph1 chr) suatu resiprokal translokasi 9,22 (t
9;22). Pada t(9,22) terjadi translokasisebagian materi genetic pada lengan panjang kromosom 9
yang bersifat resiprokal. Sebagai akibatnya sebagaian besar onkogen ABL pada lengan panjang
kromosom 9 mengalami juxta posisi (bergabung) dengan onkogen PCR pada lengan panjang
kromosom 22. Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen) yaitu BCR-ABL
onkcogen. Gen baru akan mentranskipsikan chimeric RNA sehingga ini akan memengaruhi
transduksi sinyal terutama melalui tirisin kinas eke inti sel shngga terjadi klebihan dorongan
proliferasi pada sel-sel myeloid dan menurunnya apoptosis hal ini menyebabkan ploriferasi
pada seri myeloid (I Made Bakt, 2003:138).

3. Manifestasi klinik

Gambaran klinis yangterjad:

a. Gejala berkaitan dengan hipermetabolisme (kehilangan berat badan, lesu, anoreksia, atau
keringat malam)
b. Splenomegali hampir selalu terjadi dan sering kali massif.
c. Gambaran anemia meliputi, pucat, sesak, dan takikardi

20 |Laporan Pucat
d. Memar, epistaksis, menorhagia atau perdarahan dari berbagai tempat karena fungsi
trombosit abnormal
e. Gout atau gangguan ginjal karena hiperurikemia dari kelebihan pemecahan purin.
f. Gejala yang jarang adalah gangguan penglihtan dan priapismus.
(Hoffbrand dan Moss, 2011: 178)
4. Penegakan diagnosis
a. Darah tepi
Leukositosis berat 20.000-50.000 padapermulaan kemudian biasanya >100.000/mm3
Apusan darah tepi menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari
mieloblas sampai netrofil, dengan komponen paling menonjol ialah segmen netrofil
an mielosit.
Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut, bersifat normokromik
normositer.
Trombosit dapat meningkat, normal, atau turun. Pada fase awal lebih sering
meningkat.
Fosfatase alkali netrofil selalu rendah.
b. Sumsum tulang, hiperselular dengan system granulosit dominan
c. Sitogenik: adanya Philadelphia (Phl) chromosome pada 95% kasus.
d. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat
e. Kadar asam urat serum meingkat.
5. Terapi
a. Fase kronik
Busulphan (myleran) 0,1-0,2 mg/kgBB/hari.
Hidroxiurea
Interferon
b. Fase akselerasi, sama dengan terapi leukemia akut,
c. Transplantasi sumsum tulang

(I Made Bakta, 2003:141-143)

Table 1. diagnosis banding kelompok tiga

Mudah lelah Pucat Pusing Palpitasi Sulit Anorexia


Berkonsentrasi
Anemia Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Defisiensi
Fe
Anemia Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Defisiensi
Vit B 12

21 |Laporan Pucat
Anemia Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Aplastik
Leukemia Ya Ya Ya Ya Tidak Ya
Myeloid
Kronik

untuk dapat mendiagnosis lebih lanjut diperlukan pemeriksaan penunjang dan anamnesia
lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I Made. 2003. Ihematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Bakta, I Made. 2015. Ilmu Penyakit Dalam jilid II Edisi VI Bab Hematologi. Jakarta:
Interna Publishing.

Guyton, Arthur C. 2011. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Hoffbrand, A.v. 2011. Kapita Selekta Hematologi Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Kumar, vinay. 2013. Buku Ajar Patologi Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

22 |Laporan Pucat

Anda mungkin juga menyukai