Anda di halaman 1dari 29

7

Zona Sesar Semangko, merupakan hasil tumbukan antar Lempeng


Hindia dan Pulau Sumatra, akibat tumbukan ini menimbulkan gerak
sesar geser menganan (right lateral) diantara keduanya.
Perlipatan dengan arah utama baratlaut tenggara, sebagai hasil efek
gaya kopel sesar Semangko.
Sesar sesar yang berasosiasi dengan perlipatan dan sesar sesar
Pra Tersier yang mengalami peremajaan. Berkenaan dengan posisi
dan aktivitas tektonik lempeng maka hampir diseluruh wilayah
bagian selatan barat laut Sumatra merupakan dearah yang relative
sering terjadi gempa bumi. Secara seismik telah tercatat beberapa
gempa bumi yang memiliki Skala Richter cukup tinggi antara 5
hingga 6, namun demikian banyak wilayah prospek tambang di
Indonesia yang memiliki kecenderungan seismitivitas tinggi yang
tepat dapat beroperasi dengan aman selama nilai nilai keamanan
selalu diperhitungkan dalam pembuatan desain tambang terutama
yang menyangkut stabilitas lereng.
2.1.2 Tektonik Regional Cekungan Sumatra Selatan
Cekungan Sumatra Selatan merupakan bagian Cekungan Sumatra
Timur (Coaster, 1974), yang dapat dipisahkan dari Cekungan Sumatra
Tengah oleh Tinggian Asahan (Pegunungan Tigapuluh) di barat laut,
membentang ke selatan dibatasi Tinggian Lampung yang sekaligus
memisahkannya dari Cekungan Sunda. Pada bagian barat daya dibatasi
dengan Bukit Barisan dan daratan Pra-Tersier disebalah timur laut,
dimana Cekungan Sumatra Selatan ini dibagi menjadi dua sub-cekungan,
yaitu :
1. Sub-Cekungan Jambi.
2. Sub-Cekungan Palembang.
Sub-Cekungan Palembang sendiri dibagi menjadi tiga sub-cekungan,
yaitu :
1. Sub-Cekungan Palembang Utara.
2. Sub-Cekungan Palembang Tengah.
8

3. Sub-Cekungan Palembang Selatan.


Sub-Cekungan Palembang Selatan khusunya terdiri dari Graben
Limau, Rendahan Muarenim dan Tinggian Kuang. Sub-Cekungan ini
dibatasi oleh Tinggian Tamiang di sebalah utara. Pelatran Musi Kikim
dan Tinggian Pendopo disebelah barat, dan di sebelah selatan ke timur
dibatasi oleh Pegunungan Garba dan Tinggian Lampung.
Sesar sesar batuan dasar mengontrol baik tektonik maupun
sedimentasi cekungan, khusunya selama Paleogen, (Pulunggono, 1974 &
1975). Seperti halnya Cekungan Sumatra Timur lainnya, pola
perkembangan tektoniknya sangat dipengaruhi oleh sesar sesar
mendatar menganan Sumatra (Sesar Semangko), yang terjadi akibat
interaksi konvergen antar lempeng Samudera Hindia Australia dan
lempeng mikro Sunda yang serong (Sekundar A, 1987).
Cekungan Sumatra Selatan termasuk cekungan pull apart basin
(Sekundar A, 1987), yang dicirikan dengan :
1. Proses pengendapan yang tinggi.
2. Pola asimetri dari urutan sedimen dan fasies.
3. Bentuk pengendapan yang menunjukkan batas dengan sesar pada
bagian tepi cekungan (endapan kipas aluvial, flanglomarates,
limpah banjir, lakustrin, dsb).
Stuktur Cekungan Sumatra Selatan yang ada pada saat ini merupakan
hasil tiga periode, yaitu :
Periode I, terbentuknya hosrt graben berarah timurlaut baratdaya
dan utara selatan selama periode ektensional Kapur Akhir
Oligosen Awal. Sedimen pengisinya merupakan sedimen klastik
kasar dan vulkaniklastik, serta lingkungan pengendapannya darat
atau lakustrin.
Periode II, graben yang terbentuk mengalami subsidence sampai
dimana periode tektonik tidak aktif (Oligosen Akhir Miosen
Awal), kemudian cekungan berada pada lingkungan laut. Pada
Miosen Awal Miosen Tengah mulai terjadi aktivitas tektonik
9

yang menghasilkan lipatan kompresional dikarenkan adanya


subduksi oblique dari lempeng samudera yang berada di sebelah
tenggara pulau Sumatra.
Periode III, pada Pliosen Pleistosen terjadi tektonik kompresional
yang sangat kuat disertai uplift busur vulkanik ke arah barat
sehingga mengaktifkan kembali fitur fitur struktur sebelumnya,
yaitu sesar normal menjadi sesar naik.

2.1.3 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan


Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan, dapat dilihat pada gambar 2.1
dikelompokkan menjadi dua, yaitu Kelompok Telisa yang merupakan
formasi formasi yang terbentuk pada fase transgresi dan Kelompok
Palmbang yang terbentuk pada fase regresi.
1. Kelompok Telisa
a. Formasi Lahat
Formasi Lahat diendapkan pada lingkungan darat, serta berumur
Eosen Oligosen Awal.
b. Formasi Talang Akar
Setelah pengendapan Formasi Lahat, terjadi proses erosi regional.
Bukti erosi ini diperlihatkan oleh Formasi Talang Akar yang
terendapkan tidak selaras diatas Formasi Lahat. Setelah masa
hiatus umur Oligosen Tengah, kemudian diendapkan sedimen
pada topografi yang rendah pada Oligosen Akhir. Variasi
lingkungan pengendapan berkisar dari lingkungan sungai terayam
dan sungai bermeander yang berangsur berubah menjadi
lingkungan delta front dan lingkungan prodelta. Formasi Talang
Akar berakhir pada masa transgresi maksimum dengan
munculnya endapan laut pada cekungan selama Miosen Awal.
10

c. Formasi Klastik Pra-Baturaja


Formasi ini merupakan sedimen klastik dengan variasi yang
kompleks yang ditemukan diantara Formasi Lahat dan Formasi
Baturaja lingkungan laut, berumur Miosen Awal. Bagian
dasarnya yang berupa sedimen vulkaniklastik dan lempung
lakustrin Formasi Lemat. Formasi Lemat merupakan suatu
rangkaian breksi vulknik tebal, tuff, endapan lahar dan aliran lava,
serta dicirikan dengan kehadiran sisipan batupasir kuarsa.
Anggota Formasi Lemat dari tua ke muda adalah Kikim Bawah,
anggota batupasir, Kikim Atas Formasi Lemat merupakan fasies
distal dari Formai Lahat, atau dapat dikatan juga sebagai unit yang
lebih muda dan kaya akan material jatuhan Formasi Lahat.
d. Formasi Baturaja
Formasi Baturaja dicirikan dengan kehadiran batugamping yang
berada disekitar bagian dasar Formasi Telisa. Formasi Baturaja
ini masuk ke dalam rentang umur yang ekuivalen dengan
foraminifera plantonik dengan kisaran umur N5 N6 atau Miosen
Awal.
e. Formasi Telisa / Formasi Gumai
Puncak transgresi pada Cekungan Sumatra Selatan dicapai pada
waktu pengendapan Formasi Gumai, sehingga formasi ini
mempunyai penyebaran yang sangat luas pada Cekungan Sumatra
Selatan. Formasi ini diendapkan selaras diatas Formasi Baturaja
dan anggota Transisi Talang Akar. Dicirikan dengan adanya
serangkaian batulempung tebal berwarna abu-abu gelap. Terdapat
foraminifera planktonik yang membentuk lapisan tipis berwarna
putih, tuff berwarna keputihan serta lapisan turbidit berwarna
coklat yang tersusun atas material andesit tufaan. Pada bagian atas
formasi banyak ditemukan lapisan berwarna coklat dengan nodul
lensa karbonatan berdiameter sampai 2 meter. Umur dari formasi
ini sangat beragam. Ketika batugamping baturaja tidak
11

berkembang, pada bagian dasarnya lapisan Formasi Telisa


memiliki zona N4 foraminifera plantonik (Miosen Awal),
sedangkan saat dimana Baturaja berkembang dengan tebal,
lapisan tertua Formasi Telisa memiliki zona fauna N6 atau N7
(Miosen Awal). Bagian atasnya juga bervariasi dari zona N8
(Miosen Awal) hingga N10 (Miosen Tengah), begantung pada
posisi cekungan dan letak penentuan batas formasi.
2. Kelompok Palembang
a. Formasi Air Bekanat
Fromasi Air Bekanat diendapkan secara selaras di atas Formasi
Gumai, dan merupakan awal fase regresi. Domisili oleh shale
sisipan batulanau, batupasir dan batugamping. Ketebalannya
antar 100-1000 meter. Berumur Miosen Tengah sampai Miosen
Akhir, dan diendapkan di lingkungan laut dangkal.
b. Formasi Muara Enim
Bagian atas dan bawah formasi ini dicirikan oleh keterdapatan
lapisan batubara yang menerus lateral. Ketebalan formasi ini
sekitar 500-700 meter, 15%-nya berupa batubara. Bagian formasi
yang menipis, lapisan batubaranyapun tipis atau bahkan tidak ada.
Hal ini merupakan petunjuk bahwa tingkat subsidence berperan
penting dalam pengendapan batubara. Formasi Muara Enim
berumur Miosen Akhir Pliosen Awal dan diendapkan secara
selaras diatas Formasi Air Bekanat pada lingkungan laut dangkal,
dataran delta dan non-marine.
c. Formasi Kasai
Litologi Formasi Kasai berupa pumice tuff, batupasir tufaan dan
batulempung tufaan. Fases pengendapannya fluvial dan alluvial
fan dengan sedikit ashfall (jatuhan erupsi vulkanik, non-
andedsitik). Pada Formasi Kasai hanya ditemukan sedikit fosil,
berupa moluska air tawar dan fragmen fragmen. Umur Formasi
Kasai adalah Pliosen Akhir Plistosen.
12

Gambar 2.1 Kolom Stratrigrafi Cekungan Sumatra Selatan (Bishop, 2000)

2.2 Pengertian Batubara


Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan
organik, terdiri dari kandungan pseudomineral. Batubara terbentuk dari sisa
tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi
yang banyak air, biasanya disebut rawa rawa. Kondisi tersebut yang
menghambat penguraian menyeluruh dari sisa sisa tumbuhan yang kemudian
mengalami proses perubahan menjadi batubara.
Selain tumbuhan yang ditemukan bermacam macam, tingkat kematangan
juga bervariasi, karena dipengaruhi oleh kondisi kondisi lokal. Kondisi lokal
ini biasanya kandungan oksigen, tingkat keasaman, dan kehadiran mikroba.
Pada umumnya sisa sisa tumbuhan tersebut dapat berupa pepohonan,
ganggang, lumut, serta tumbuhan yang biasa hidup di rawa rawa. Ditemukan
jenis flora yang terdapat pada sebuah lapisan batubara tergantung pada kondisi
13

iklim setempat. Dalam suatu cebakan yang sama, sifat sifat analitik yang
ditemukan dapat berbeda, selain karena tumbuhan asalnya yang mungkin
berbeda, juga karena banyaknya reaksi kimia yang mempengaruhi kematangan
suatu batubara.
Secar umum, setelah sisa tanaman tersebut terkumpul dalam suatu kondisi
tertentu yang mendukung seperti banyaknya air, pembentukan dari peat
(gambut) umumnya terjadi. Dalam hal ini peat tidak dimasukkan sebagai
golongan batubara, namun terbentuknya peat merupakan tahap awal
terbentuknya batubara. Proses pembentukan batubara sendiri secara singkat
dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dari sisa sisa tumbuhan yang
ada, mulai dari pembentukan peat (peatifikasi) kemudian lignit dan menjadi
berbagai macam tingkat batubara, disebut dengan proses pembatubaraan, yang
kemudian berubah menjadi antrasit. Pembentukan batubara ini sangat
menentukan kualitas batubara, dimana proses yang berlangsung selain
melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantung pada keadaan
pada waktu geologi tersebut dan kondisi lokal seperti iklim dan tekanan. Jadi
pembentukan batubara berlangsung dengan penimbunan akumulasi dari sisa-
sisa tumbuhan yang mengakibatkan perubahan seperti pengayaan unsur
karbon, alterasi, pengurangan kandungan air, dalam tahap awal pengaruh dari
mikroorganisme juga memegang peranan yang sangat penting.

2.3 Genesa Batubara


Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk
dari sisa tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam hingga
selanjutnya terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan
tahun sehingga mengakibatkan pengkayaan kandungan karbon (Wolf, 1984
dalam Anggayana, 2007).
Untuk menjadi batubara, ada beberapa tahapan penting yang harus dilewati
oleh batuan dasar pembentuknya (tumbuhan). Tahapan penting tersebut yaitu :
tahap pertama adalah terbentuknya gambut (peatification) yang merupakan
proses mikrobial dan perubahan kimia (biochemical coalification). Serta tahap
14

berikutnya adalah proses proses yang terdiri dari struktur kimia dan fisika
pada endapan pembentuk batubara (goechemical coalification) karena
pengaruh suhu, tekanan dan waktu.
a. Penggambutan (Peatification)
Gambut merupakan batuan sedimen organik (tidak padat) yang dapat
terbakar dan berasal dari sisa sisa hancuran atau bagian tumbuhan yang
tumbang dan mati dipermukaan tanah, pada umumnya akan mengalami
proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga setelah
beberapa waktu tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan
penghancuran tersebut pada dasarnya merupakan proses oksidasi yang
disebabkan oleh adanya oksigen dan aktivitas bakteri atau jasad renik
lainnya. Jika tumbuhan tumbang disuatu rawa, yang dicirikan dengan
kandungan oksigen yang sangat rendah sehingga tidak membuktikan bakteri
anaerob (bakteri yang memerlukan oksigen) hidup, maka sisa tumbuhan
tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang
sempurna sehingga tidak akan terjadi proses oksidasi yang sempurna.
Pada kondisi tersebut hanya bakteri bakteri anaerob saja yang berfungsi
melakukan proses dekomposisi yang kemudian membentuk gambut (peat).
Daerah yang ideal untuk pembentukan gambut misalnya rawa, delta sungai,
danau dangkal atau rendah dalam kondisi tertutup udara. Gambut bersifat
porous, tidak padat dan umumnya masih memperlihatkan struktur tumbuhan
asli, kandungan airnya lebih besar dari 75% (berat) dan komposisi
mineralnya kurang dari 50% (dalam kondisi kering).
Beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya gambut adalah:
a. Evolusi tumbuhan.
b. Iklim.
c. Geografi dan tektonik daerah.
Syarat terbentuknya formasi batubara antara lain adalah kenaikan muka
air tanah yang lambat, perlindungan rawa terhadap pantai dan sungai dan
energi relief rendah. Jika muka air tanah terlalu cepat naik (atau penurunan
dasar rawa cepat) maka kondisi akan menjadi limnic atau akan terjadi
15

endapan marine. Sebaliknya jika terlalu lambat, maka sisa tumbuhan yang
terendapakan akan teroksidasi dan tererosi. Terjadinta kesetimbangan antar
penurunan cekungan / land-subsidence dan kecepatan penumpukan sisa
tumbuhan (kesetimbangan bioteknik) yang stabil akan menghasilkan
gambut yang tebal (Diessel, 1992)
Lingkungan tempat terbentuknya rawa gambut umumnya merupakan
tempat yang mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau bahkan
tidak ada penambahan material dari luar. Pada kondisi tersebut muka air
tanag terus mengikuti perkembangan akumulasi gambut dan
mempertahankan tingkat kejenuhannya. Kejenuhan tersebut dapat mencapai
90% dan kandungan air menurun drastis hingga 60% pada saat terbentuknya
brown-coal. Sebagian besar lingkungan yang memenuhi kondisi tersebut
merupakan topogenic low moor. Hanya pada beberapa tempat yang
mempunyai curah hujan sangat tinggi dapat terbentuk rawa gambut
ombrogenik (high moor) (Diessel, 1992)
b. Pembatubaraan (Coalification)
Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut menjadi lignit, sub-
bituminous, bituminous, antrasit hingga meta-antrasit. Proses pembentukan
gambut dapat berhenti karena proses alam seperti misalnya karena
penurunan dasar cekungan dalam waktu yang singkat. Jika lapisan gambut
telah terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka tidak ada algi
bahan anaerob atau oksigen yang dapat mengoksidasi, maka lapisan gambut
akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen. Tekanan terhadap lapisan
gambut akan meningkat dengan bertambah tebalnya lapisan sedimen.
Tekanan yang bertambah besar pada proses pembatubaraan akan
mengakibatkan menurunnya porositas dan meningkatnya anisotropi.
Porositas dapat dilihat dari kandungan airnya yang menurun secara cepat
selama proses perubaha gambut menjadi brown-coal. Hal ini memberi
indikasi bahwa masih terjadi kompaksi (Diessel, 1992)
Proses pembatubaraan terutama dikontrol oleh kenaikan temperatur,
tekanan dan waktu. Pengaruh temperatur dan tekanan dipercayai sebagai
16

faktor yang sangat dominan, karena sering ditemukan lapisan batubara high-
rank (antrasit) yang berdekatan dengan intrusi batuan beku sehingga terjadi
kontak metamorfisme. Kenaikan peringkat batubara juga dapat disebabkan
karena bertambahnya kedalaman. Sementara bila tekanan makin tinggi,
maka proses pembatubaraan semakin cepat, terutama didaerah lipatan dan
patahan (Diessel, 1992).

2.4 Teori Pembentukan Batubara


dalam geologi batubara dikenal dua macam teori untuk menjelaskan
tempat terbentuknya batubara (Sukandarrumidi, 1995), yaitu :
1. Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan bahan pembentuk lapisan
batubara, terbentuknya dimana tumbuh tumbuhan itu berasal. Pada
saat tumbuhan tersebut mati sebelum mengalami proses transportasi
segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses
pembaubaran. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini
mempunyai penyebaran yang luas dan merata, kualitasnya relatif baik
karena kadar abunya relatif kecil.
2. Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan baku pembentuk lapisan
batubara terjadi ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan
semula hidup dan berkembang, dengan demikian tumbuhan yang telah
mati diangkut oleh media air dan berakumulasi di suatu tempat,
tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses pembatubaraan.
Batubara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di
beberapa tempat, kualitas kurang baik,

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Batubara


Cara terbentuknya batubara merupakan proses yang kompleks, dalam arti
harus dipelajari dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Terdapat
serangkaian faktor yang diperlukan dalam pembentukan batubara yaitu :
17

a. Posisi Geoteknik
Posisi geoteknik adalah suatu tempatyang keberadaannya
dipengaruhi oleh gaya gaya tektonik lempeng. Dalam pembentukan
cekungan batuabra, posisi geoteknik mrupakan faktor yang dominan.
Posisi ini akan mempengaruhi iklim lokal dan morfologi cekungan
pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya. Pada fase
terakhir, posisi geoteknik mempengaruhi proses metamorfosa organik
dan struktur dari lapangan batubara melalui masa sejarah setelah
pengendapan akhir.
b. Morfologi
Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat
penting karena menentukan penyebaran rawa rawa tempat batubara
tersebut terbentuk. Topografi mungkin mempunyai efek terbatas
terhadap iklim dan keadaan bergantung pada posisi geoteknik.
c. Iklim
Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan
batuabra dan merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dalam
kondisi yang sesuai. Iklim tergantung pada posisi geografi dan lebih
luas lagi dipengaruhi oleh posisi geoteknik. Temperatur yang lembab
pada iklim tropis dan subtropis pada umumnya sesuai untuk
pertumbuhan flora dibanding wilayah yang lebih dingin. Hasil
pengkajian menyatakan bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus
pertumbuhan setiap 7 9 tahun ketinggian pohon sekitar 30 m,
sedangkan pada iklim yang lebih dingin ketinggian pohon hanya
mencapai 5 - 6 m dalam selang waktu yang sama.
d. Penurunan Cekungan
Kecepatan penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya
gaya tektonik. Jika penurunan cekungan dan pengendapan gambut
seimbang akan dihasilkan endapan batubara tebal. Pergantian transgresi
dan regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan pengendapan. Hal
18

tersebut menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang


mempengaruhi mutu batubara yang terbentuk.
e. Umur Geologi
Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan
berbagai macam tumbuhan. Dalam masa perkembangan geologi secara
tidak langsung membahas sejarah perkembangan batubara dan
metamorfosa organik. Makin tua umur batuan makin dalam
penimbunan yang tejadi, sehungga terbentuk batubara yang bermutu
tinggi. Tetapi pada betubara yang mempunyai umur geologi lebih tua
selalu ada resiko mengalami deformasi tektonik yang membentuk
struktur bagian perlipatan atau patahan pada lapisan batubara.
Disamping itu faktor erosi akan merusak semua bagian dari endapan
batubara
f. Tumbuhan
Flora merupakan unsur utama pembentukan batubara. Pertumbuahn
dari flora teakumulai pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dangan
iklim dan topografi tertentu. Flora merupakan faktor penentu
terbentuknya berbagai tipe batubara. Evolusi dari kehidupan
menciptakan kondisi yang berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai
dari Pleozoic hingga Devonian, flora belum tumbuh dengan baik,
setelah Devon pertama kali terbentuk lapisan batubara di daerah laguna
yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan flora
secara besar besaran dalam waktu singkat pada setiap kontinen. Hutan
tumbuh dengan subur selama masa Karbon. Pada masa Tersier
merupakan perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis
tanaman.
g. Dekomposisi Flora
Dekomposisi flora yang merupakan bagian dari transformasi
biokimia dari material organik merupakan titik awal untuk seluruh
alterasi. Dalam pertumbuhan gambut, sisi tumbuhan akan mengalami
perubahan, baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati
19

proses degradasi biokimia lebih berperan, proses pembusukan (decay)


akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri ini
bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang
lunak. Dari proses di atas terjadi perubahan dari kayu menjadi lignit dan
batubara berbitumen. Dalam suasana kekurangan okesigen terjadi
proses biokima yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur
karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon
monoksida (CO), dan metan (CH4). Akibat pelepasan unsur atau
senyawa tersebut jumlah relatif unsur karbon akan bertambah.
Kecepatan pembentukan gambut bergantung pada kecepatan
perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan
tertutup oleh air dengan cepat, maka akan terhindar oleh proses
pembusukan, tetapi disintergrasi dan penguraian oleh mikroorganisme.
Bila tumbuhan yang telah mati terlalu lama berada di udara terbuka,
maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang, sehingga hanya
bagian keras saja tertinggal yang menyulitkan penguraian oleh
mikroorganisme.
h. Sejarah Pengendapan
Sejarah cekungan batubara secar luas bergantung pada posisi
geoteknuk yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan
batubara. Secara singkat terjadi proses geokima dan metamorfosa
organik setelah pengendapan gambut. Di samping itu sejarah geologi
endapan batubara berupa perlipatan, pensesaran, intrusi magnetik dan
sebangainya.
i. Struktur Cekungan Batubara
Terbentuknya batubara pada cekungan batubara pada umumnya
mengalami deformasi oleh gaya tektonik, yang menghasilkan lapisan
batubara dengan bentuk-bentuk tertentu. Di samping itu adanya erosi
yang intensif menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak menerus.
20

j. Metofosa Organik
Tingkat pembentukan adalah penimbunan atau penguburan oleh
sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokima tidak berperan
lagi tetapi lebih didominasi oleh proses dinamokimia. Prose ini
menyebabkan terjadinya perubahan gambut menjadi batubara dalam
berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab
oksigen dan zat terbang (seperti CO2, CO, CH4 dan gas lainnya) serta
bertambahnya presentase karbon padat, belerang dan kandungan abu.
Perubahan batubara ini diakibatkan oleh faktor tekanan dan waktu.
Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan sedimen penutup yang sangat
tebal atau karena tektonik. Hal ini menyebabkan bertambahnya
tekanan dan percepatan proses metamorfosa organik. Proses
metamorfosa organik akan dapat mengubah gambut menjadi batubara
sesuai dengan perubahan sifat kimia, fisika dan optiknya.

2.6 Kualitas Batubara


Batubara yang diperoleh dari penambangan pasti mengandung pengotor
(impurities). Keberadaan pengotor ini diperparah dengan kenyataan bahwa
tidak mungkin memilih batubara yang bersih dan terbatas mineral.
Penambangan dalam jumlah besar selalu menggunakan alat alat berat seperti
bulldoser, backhole, tractor, dan lainnya. Impurities terbagi menjadi dua jenis
yaitu :
1. Inherent Impurities merupakan pengotor bawaan yang terdapat pada
batubara. Batubara yang sudah dicuci (washing) yang dikecilkan ukuran
butirannya (crushing) kemudian dibakar dan menyisakan abu. Pengotor ini
merupakan pengotor bawaan pada saat pembentukan batubara, pengotor
tersebut dapat berupa gipsum, (CaSO4.2H20), anhidrit (CaSO4), pirit
(FeS2), silika (SiO2) dapat pula terbentuk tulang tulang binatang
(diketahui dari senyawa senyawa fosfor dari analisis abu). Pengotor
bawaan ini tidak mungkin dihilangkan sama sekali, tetapi dapat dikurangi
21

dengan cara pembersihan. Proses ini dikenal dengan teknologi batubara


bersih.
2. External Impurities merupakan pengotor yang berasal dari luar, timbul
pada saat proses penambangan. Dalam menentukan mutu/kualitas batubara
perlu diperhatikan beberapa hal :
a. Heating Value (HV) (Calorific Value / Nilai Kalor) dinyatakan dengan
kkal/kg, banyaknya jumlah kalori dihasilkan batubara tiap satuan berat
(dalam kilogram).
b. Moisture Content (kandungan lengas / air) batuabra dengan kandungan
lengas tinggi akan memerlukan lebih banyak udara primer untuk
mengeringkan batubara tersebut agar suhu batubara pada saaat keluar
dari gilingan tetap, sehingga hasilnya menghasilkan kualitas yang
terjamin. Jenis air sulit untuk dilepaskan tetapi dapat dikurangi, dengan
cara memperkecil ukuran butir batubara.
c. Ash Content (Kandungan Abu) komposisi batubara bersifat heterogen
apabila batubara dibakar maka senyawa organik yang ada akan diubah
menjadi senyawa oksida yang berukuran butiran dalam bentuk abu, abu
dari sisa pembakaran inilah yang dikenal sebagai ash content. Abu ini
merupakan kumpulan dari bahan bahan pembentuk batubara yang
tidak terbakar atau yang dioksidasi oleh oksigen. Bahan sisa dalam
bentuk padatan ini antara lain senyawa SiO2, Al2O3, TiO2, Mn3O4,
CaO, Fe2O3, MgO, K2O, Na2O, P2O, SO3 dan oksida unsur lainnya.
Kadar abu (ash), sebagaimana ditentukan dalam analisis batubara,
dapat didefiniskan (Cook, 1999) sebagai residu yang tidak terbakar, saat
batubara dibakar. Ini tidak terjadi dalam batubara, tetapi terbentuk
sebagai hasil perubahan kimia yang terjadi dalam unsur mineral selama
proses pengabuan. Oleh karena itu, lebih tepat untuk menggunakan
istilah abu hasil daripada kadar abu. Graese, dkk mengklasifikan kadar
abu berdasarkan persentase dapat dilihat pada Tabel 2.1
22

Tabel 2.1 Klasifkasi Abu menurut Graese, dkk (1992)


Sangat Tinggi : Kadar abu 15 20 %
Tinggi : Kadar abu 10 15 %
Sedang : Kadar abu 5 10 %
Rendah : Kadar abu > 5 %

d. Sulfur Content (kandungan belerang) belerang yang terdapat pada


batubara dalam bentuk senyawa organik dan anorganik, dalam senyawa
anorganik dapat dijumpai dalam bentuk mineral pirit (FeS2 dalam
bentuk kristal kubus), markasit (FeS2) atau dalam bentuk sulfat.
Sedangkan belerang organik terbentuk selama terjadinya proses
pembatubaraan.
Total sulfur benar benar bervariasi pada batubara Indonesia, mulai
dari kurang dari 0,05% sampai lebih dari 2%. Hasil ini tergantung dari
endapan pada lingkunagn diendapan dalam rawa yang membentuk
batubara. Nilai abu dan sulfur batubara yang redah awalnya seperti
gambut air tawar yang didasari oleh sedimen klastik air tawar yang
tidak mengandung batugamping. Nilai abu dan sulfur yang tinggi
berhubungan dengan sedimentasi dalam payau atau lingkungan laut.
Ketika air laut masuk ke rawa ion sulfat dalam air laut bercampur
menjadi ion sufida yang masuk ke dalam molekul batubara sebagai
sulfur organik. Gambut tak perlu secara langsung bercampur dengan air
laut, pergerakannya pada strata yang berdekatan dapat mempengaruhi
sulfur dalam gambut. Dengan kondisi ini penyebaran sulfur tidak akan
sama pada lapisan batubara dengan lapisan sulfur tinggi yang
ditemukan bersebelahan pada roof dan floor dari lapisan batubara.
Phyritic sulfur yang tinggi bayak terdapat dalam gambut laut.
Lingkungan endapan yang kaya kalsium dengan pH yang tinggi
mendorong aktivitas dari sulfur yang mengurangi bakteri yang
mendukung pembentukan iron pyrite. Keasaman tinggi, pH rendah,
23

mendukung pembentukan abu yang rendah/batubara bersulfur rendah.


Kadar sulfur bedasarkan Hunt, dkk (1984) seperti tabel 2.2
Tabel 2.2 Kadar peringkat batubara bedasarkan data kadar sulfur (klasifikasi Hunt,
1984)
Tinggi : Kadar sulfur >1%
Sedang : Kadar sulfur 1-0,5%
Rendah : Kadar sulfur <0,55%

e. Volatile matter (bahan mudah menguap) kandungan volatile matter


mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intesitas nyala api.
f. Fixed Carbon sebagai material yang tesisa, setelah berkurangnya
moisture , volatilr matter dan ash. Hubungan ketiganya sebagai berikut
: Fixed Carbon (%) = 100% - Moisture Content Ash Content , Fixed
Carbon = 100 Volatile Matter.
g. Hardgrove Grindability Index (HGI) suatu bilangan yang menunjukkan
mudah atau sukarnya batubara digiling atau digerus menjadi bentuk
serbuk. Butiran paling halus < 3 mm sedangkan yang paling kasar
sampai 50mm
h. Ash Fusion Character of Coal kualitas batubara adalah sifat fisika dan
kimia dari batubara yang mempengaruhi potensi kegunaannya. Kualitas
batubara ditentukan oleh maseral dan mineral matter penyusunnya,
serta oleh derajat pembatubaraan.
Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisis
kimia pada batubara yang diantaranya berupa analisis proksimat dan
analisis ultimat. Analsis proksimat digunakan untuk menentukan
jumlah air (moistuer), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed
carbon), dan kadar abu (ash), sedangkan analisis ultimat dilakukan
untuk menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti :
karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga
unsur jarang.
24

Untuk menentukan jenis batubara, digunakan klasifikasi American


Society for Testing and Material. Kalsifikasi ini dibuat berdasarkan
jumlah karbon padat dan nilai kalori dalam basis dry, mineral matte
ffree (dmmf). Untuk mengubah basis air dried (adb) menajdi dry,
mineral matter free (dmmf) maka digunakan Parr Formulas (ASTM,
1981) dimana :
FC = % karbon padat (adb)
VM = % zat terbang (adb)
M = % air total (adb)
A = % Abu (adb)
S = % sulfur (adb)
Btu = british thermal unit = 1,8185*CV (adb)

2.7 Lingkungan Pengedapan Batubara


Lingkungan pengendapan didefinisikan sebagai tempat dimana
sedimentasi berlangsung dalam keadaan yang sangat kompleks sebagai
interaksinya faktor-faktor fisika, kimia dan biologi. Faktor-faktor tersebut
dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti eustatic global change dari air
laut, geografis yang mencakup iklim, pola arus, kadar garam, flora dan fauna,
dan geologi yang mencakup tektonik, geomorfologi, perubahan muka air laut
lokal dan lain-lain. Pada kondisi yang mempunyai hubungan yang
kompleks tersebut, bekerja proses-proses pelapukan, erosi, transportasi, dan
sedimentasi dalam suatu ruang dan waktu. Sebagai konsekuensinya
maka dalam suatu lingkungan pengendapan (ruang) akan diendapkan suatu
paket sedimen sebagai suatu hasil proses akhir tertentu pada waktu yang ter
tentu pula. Bila waktunya sama dalam suatu lingkungan pengendapan yang
sama dan proses- proses yang bekerja berlainan (olehkarena itu batuan
sumbernya berlainan), sehingga akan mempunya hasil akhir (paket sedimen)
yang berlainan pula. Adanya ketidaksamaan hasil akhir tersebut
melahirkan pengertian tentang fasies, yaitu interaksi aspek fisika, kimia dan
25

biologi suatu endapan dalam kesamaan waktu. Beberapa unsur lingkungan


pengendapan (Koesoemadinata, 1981), antara lain :
1. Material Sedimen
2. Keadaan keadaan pembatas ( Boundary conditions)
a. Fisik mekanik
b. Kimiawi/energi/fisik
3. Energi (mekanis)
a. Tenang (kestimbanga)
b. Energi rendah
c. Energi tinggi
4. Kimia fisika
a. Eh dan pH
b. Salinitias, kosentrasi kelarutan karbonat
c. Temperatur
5. Aktifitas biologi
a. Struktur pertumbuhan
b. Cangkang sebagai sedimen
c. Material organik
d. Struktur galian
Klasifikasi lingkungan pengendapan (Koesoemadinata, 1981) secara garis
besar terdiri dari :
1. Kontinetal
a. Eolian
b. Aluvial
2. Transisi
a. Delta
b. Pantai antar delta
3. Laut
a. Laut dangkal
b. Laut dalam
26

Penjejakan lingkungan pengendapan dapat dilakukan dengan mengenali


sifat sifat fisik batuan sedimen dan siklus pengendapannya, antara lain
1. Sifat saklar, yang menunjukkan kebesaran tanpa arah, berupa asosiasi,
ukuran butir, dan kebundaran.
2. Sifat vektor, yang menunjukkan arah tanpa kebesaran, dapat berupa
struktur, variasi ukuran butir, variasi kebundaran dan asosiasi litologi
3. Biota, daapt berupa fosil ataupun jejak jejak binatang dan tumbuhan
lainnya.
4. Asosiasi litologi.
5. Analisis profil.
Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral,
ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu
endapan yag berarti diperlukan suatu susunan pengendapan dimana terjadi
produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan namun
terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi
air yang cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan.
Kondisi demikian dapat terjadi diantaranya di lingkungan paralik (pantai)
dan limnik (rawa-rawa).
Menurut Diessel 1984, (dalam Susilawati 1992) lebih dari 90% batubara
di dunia terbentuk di lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan
dengan pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai, lagunal,
deltaik, atau juga fluviatil. Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6
lingkungan pengendapan utama pembentuk batubara dapat dilihat pada
Tabel 2.3, yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and
upper delta plain, lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary.
Tiap lingkungan pengendapan mempunyai asosiasi dan menghasilkan
karakter batubara yang berbeda.
Tabel 2.3 Lingkungan Pengendapan Pembentuk Batubara (Diessel, 1992)
Environment Subenvironment Coal Characteristics

Gravelly braid Bars, channel, overbank plains, mainly dull coals, medium to
plain swamps, raised bogs low TPI, low GI, low sulphur
27

Sandy braid plain Bars, channel, overbank plains, mainly dull coals, medium to
swamp, raised bogs, high TPI, low to medium GI,
low sulphur
Alluvial valley and channels, point bars, floodplains mainly bright coals, high TPI,
upper delta plain and basins, swamp, fens, raised medium to high GI, low
bogs sulphur
Lower delta plain Delta front, mouth bar, splays, mainly bright coals, low to
channel, swamps, fans and medium TPI, high to very high
marshes GI, high sulphur
Backbarrier strand Off-, near-, and backshore, tidal transgressive : mainly bright
plain inlets, lagoons, fens, swamp, and coals, medium TPI, high GI,
marshes high sulphur

Estuary channels, tidal flats, fens and mainly bright


regressive coal with
: mainly dull high
coals,
marshes GI
lowand
TPImedium
and GI,TPI
low sulphur
Secara umum endapan sedimen pembawa lapisan batubara di Indonesia
di endapkan di lingkungan delta plain dan rawa. Batubara berada pada sistem
sungai meander, endapannya terdiri dari:
1. Endapan Overbank, merupakan endapan limpah banjir yang
diendapkan di rawa - rawa, terdiri dari litologi fraksi halus (mudstone, shally
coal, coally shale dan batubara). Secara umum endapan overbank di lapangan
tersingkap menerus dan dibeberapa tempat sering dipotong oleh endapan
crevasses play dan channel.
2. Endapan Crevasse Splay, merupakan sedimen distributary channel
berbutir kasar menerobos dinding tanggul sungai saat terjadi banjir,
terendapkan di daerah limpah banjir yaitu di rawa-rawa, pengendapan splay
deposite di rawa bisa secara lokal bahkan bisa menerus. Secara umum
litologi splay deposite terdiri batupasir halus kasar, campuran batulanau,
massif, berlapis, struktur sedimen yang umum berkembang climbing ripple
cross-laminasi, struktur imbrikasi (orientasi fragmen), flaser laminasi,
terdapat pita-pita batubara (coal string), campuran karbon, komposisi
mineral kuarsa, feldspar, sedikit orthoklas.
28

3. Endapan Levee, merupakan endapan tanggul di sisi sungai dalam


sistem sungai meander. Ciri litologi adalah interbedded dari berbagai variasi
ukuran butir, seperti perselingan batulanau, batupasir dan batulempung.
4. Endapan Channel, dalam sistem aliran sungai meander , channel
merupakan faktor utama dalam pembentukan jenis endapan -endapan
seperti tersebut di atas, khususnya terkait dengan pembentukan rawa
batubara. Channel dalam sistem meandering mempunyai karakteristik
khusus yaitu berpindah tempat atau migrasi secara lateral, akibat migrasi
channel menyebabkan gangguan terhadap fasies batubara yaitu
terhambatnya pertumbuhan vegetasi sehingga akumulasi gambut juga akan
terganggu. Dampak lain akibat gangguan channel adalah aliran washout yang
berupa aliran batupasir channel yang mengerosi lapisan batubara. Ciri -ciri
litologi channel adalah :
a) Struktur sedimen gradded bedding (perlapisan bergradasi),
litologinya adalah batupasir konglomeratan, batupasir kasar.
b)Struktur sedimen lateral akresi, dicirikan oleh batupasir berlapis
melengkung seperti terlipat, kemudian bagian tepinya secara berangsur
berubah litologinya menjadi batulempung atau batulanau bagian bawah
struktur lateral akresi terdapat endapan lag (gravel) terorientasi secara secara
teratur.

Gambar 2.2 Model lingkungan pengendapan batubara pada lingkungan delta (J.C
Horne,1978)
29

Kriteria utama pengenalan lingkungan pengendapan telah dikemukakan


oleh Horne dkk, 1978. Identifikasi bermacam lingkungan pengendapan
purba dari sayatan stratigrafi didasarkan pada pengenalan bermacam variasi
dibandingkan dengan system pengendapan fluvial, delta, dan barrier modern
(saat sekarang). Selanjutnya pembahasan masing masing lingkungan
pengendapan batubara lebih mengacu kepada pembagian yang dikemukakan
oeleh Horne, 1978 . Adapun lingkungan pengendapan batubara menurut
Horne (1978) dibagi menjadi 5 (lima) lingkungan seperti pada Gambar 2.1,
yakni sebagai berikut :
2.7.1 Lingkungan Barrier
Lingkungan barrier mempunyai peran penting, yaitu menutup
pengaruh oksidasi dari air laut dan mendukung pembentukan gambut
dibagian dataran. Kriteria utama mengenal lingkungan barrier adalah
hubungan lateral dan vertikal dari struktur sediment dan
pengenalan tekstur batupasirnya. Kearah laut batupasir butirannya
menjadi halus dan selangseling dengan serpih gampingan merah
kecoklatan sampai hijau. Batuan karbonat dengan fauna laut kearah
darat bergradasi menjadi serpih berwarna abu abu gelap sampai
hijau tua yang mengandung fauna air payau.
2.7.2 Lingkungan Back-Barrier
Lingkungan ini jika kearah darat, berangsur menjadi lingkungan
lagoon back-barrier. Penyusun utama lingkungan ini adalah urutan
perlapisan serpih abu abu gelap yang kaya bahan organik dan
batulanau yang terus diikuti oleh batubara yang secara lateral tidak
menerus dan zona siderite yang berlubang. Pola penampang
lingkungan pengendapan Back Barrier terlihat seperti Gambar 2.2.
30

Gambar 2.3 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Back-Barrier (Horne,


1978)
2.7.3 Lower Delta Plain
Endapan yang mendominasi adalah serpih dan batulanau yang
mengkasar ke atas. Pada bagian bawah dari teluk terisi oleh urutan
lempung-serpih abu-abu gelap sampai hitam, kadang-kadang terdapat
mudstone siderit yang penyebarannya tidak teratur, dapat dilihat pada
Gambar 2.3. Pada bagian atas dari sekuen ini terdapat batupasir dengan
struktur ripples dan struktur lain yang ada hubungannya dengan arus.
Hal ini menunjukkan bertambahnya energi pada perairan dangkal
ketika teluk terisi endapan yang mengakibatkan terbentuk permukaan
dimana tanaman menancapkan akarnya, sehingga batubara dapat
terbentuk. Lingkungan lower delta plain: batubaranya tipis, pola
sebarannya umumnya sepanjang channel atau jurus pengendapan,
bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting oleh endapan crevase
splay dan kandungan sulfurnya agak tinggi.
Batubara yang dihasilkan relatif tipis dan terbelah (split) oleh
sejumlah endapan crevasse splay. Lapisan batubara cendrung menerus
sepanjang jurus pengendapan, tetapi sering juga tidak menerus sejajar
31

dengan pengendapan kerena batubara digantikan tempatnya oleh


material bay fill secara anterdistribusi.
Sekuen yang terbentuk dari butiran halus atau sediment organic,
termasuk batubara mungkin sebagian mengisi channel-chnnel ini.
Fasies lain didalam endapan lower delta plain termasuk endapan
crevasse splay yang mengkasar keatas, biasanya ditemukan pada
sekuen bay fill dan dengan sortasi buruk, endapan irregularbedded
levee yang berasosiasi dengan bagian channel fill. Akhirnya komponen
utama dari lower delta plain adalah creavase splay. Ketebalan
endapan creavase splay lebih dari 12 m dengan pelamparan horizontal
berkisar 30 m 8 km.

Gambar 2.4 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Lower Delta Plain
(Horne, 1978)
2.7.4 Upper Delta Plain
Endapannya didominasi oleh bentuk linier, tubuh batupasir
lentikuler tebalnya 15-25 m dan lebarnya 1,5-11 km. pada tubuh
batupasir terdapat gerusan dibawahnya, permukaannya terpotong
tajam, tetapi lateral pada bagian atas batupasir ini melidah dengan
serpih abu- abu, batulanau dan lapisan batubara , dapat dilihat pada
32

Gambar 2.4. Mineralogi batupasir bervariasi mulai lithic grey wacke


sampai arkose, ukuran butir menengah sampai kasar. Diatas bidang
gerus terdapat kerikil lepas dan hancuran batubara yang melimpah
pada bagian bawah, makin ke atas butiran menghalus pada batupasir.
Perlapisan pada batupasir masif pada bagian bawah terdapat festoon
cross beds tebal, keatas batupasir massif berubah menjadi lapisan point
bar yang maju (kemiringan rata-rata 17), mengandung festoon cross
beds dengan skala yang lebih kecil. Lapisan ini ditutupi oleh batupasir
dan batulanau dengan akar tanaman dan struktur climbing ripples.
Semua sifat khas ini, menunjukan energi besar pada channel flank
disekitar rawa kecil dan danau danau. Dari bentuk batupasir dan
pertumbuhan lapisan point bar-nya menunjukan bahwa hal ini
dikontrol oleh meandering. Batupasir ini memperlihatkan susunan
yang enechelon masuk ke daerah rawa belakang (backswamps).
Sekuen endapan backswamp dari bawah keatas, terdiri dari seat
earth, batubara, serpih dengan fosil tanaman yang melimpah dan
jarang pelecypoda air tawar, batulanau, batupasir, seat earth dan
batubara. Batupasir secara lateral menebal dan akhirnya bergabung
dengan tubuh utama batupasir. Batupasirnya tipis (1,5-4,5m), berbutir
halus, mengkasar keatas. Sekuen ini tipe endapan pada tubuh air
terbuka, mungkin rawa dangkal atau danau. Pelamparan lateral
endapan ini antara 1,5-8 km.
Endapan levee dicirikan oleh sortasi yang buruk, perlapisan
batupasir dan batulanau yang tidak teratur hingga menembus akar.
Ketebalannya dapat mencapai lebih dari 8 m, terutama di dekat
channel yang aktif dan ketebalan serta ukuran butirnya akan berkurang
bila menjauhi channel. Lapisan batubara pada endapan upper delta
plain cukup tebal (lebih dari 10 m), tetapi secara lateral tidak
menerus, kadang sering mencapai 150 m. lapisan pembentuk endapan
alluvial plain. Kedudukan lapisan batubaranya cendrung sejajar
dengan kemiringan pengendapan, tetapi sedikit yang menerus
33

dibandingkan dengan fasies lower delta plain. Sehubungan dengan


sedikitnya jumlah bagian yang teratur mengikuti channel sungai, maka
lapisan-lapisannya sangat tebal dengan jarak yang relatif pendek
dengan sejumlah split (membelah) mungkin berkembang dalam
hubungannya dengan endapan tanggul (Levee) yang kontenporer.
Bentuk lapisan juga dimodifikasi secara besar-besaran oleh adanya
perkembangan washout pada tingkat akhir dari proses pengendapan.
Pada endapan upper delta plain ini juga sering terjadi kenampakan
Washout, dimana Washout ini merupakan tubuh lentikuler sedimen
yang menonjol ke bawah, biasanya barupa batupasir dan menggantikan
sebagian atau seluruh lapisan batubara yang ada. Ukurannya sangat
bervariasi, baik tebal dan pelamparannya. Sebagian besar struktur
Washout ini di isi oleh batupasir, meskipun krikil batubara atau
konglomerat kerikilan juga dapat hadir. Hal ini mencerminkan
lingkungan meander cut-off dan channel. Washout merupakan masalah
utama didalam proses penambangan, yakni ketebalan batubara
berkurang atau tidak menerusnya suatu lapisan batubara kerena
terpotong oleh Washout. Sehingga sangat mempengaruhi didalam
kepentingan perencanaan penambangan dan pengembangannya.

Gambar 2.5 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian Upper


Delta Plain (Horne,1978)
34

2.7.5 Transitional Lower Delta Plain


Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona teransisi
yang mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut.
Sekuen bay-fill dicirikan butirannya halus, lebih tipis (1,5-7,5m) dari
lower delta plain. Bagaimanapun sekuen bay-fill tidaklah sama
dengan sekuen upper delta plain, zona ini mengandung fauna air payau
sampai fauna marin serta struktur burrowed yang meluas. Endapan
channel menunjukan kenampakan migrasi lateral lapisan point-bar
accretion menjadi channel pada upper delta plain. Channel pada
Transitional delta plain ini berbutir halus dari pada di upper delta
plain. Endapan channel ini menunjukan sekuen single-storied
yang migrasi lateralnya hanya satu arah, bagaimanapun batupasir
channel upper delta plain merupakan satuan multi-stroried yang
migrasi keberbagai arah. Levee berasosiasi dengan channel yang
menebal (1,5-4,5m) dan menembus akar secara meluas dari pada lower
delta plain. Batupasir tipis splay (1,5-4,5m) umum pada endapan ini,
tetapi sedikit lebih dari pada lower delta plain dan tidak semelimpah
di upper delta plain. Kemampuan membentuk berbagai endapan
dalam sebuah kolom stratigrafi tunggal dapat dipergunakan sebagai
perkiraan secara cepat sejumlah besar kejadian sedimentasi. Pola
lingkungan pengendapan transitional lower delta plain dapat dilihat
pada Gambar 2.5
35

Gambar 2.6 Penampang lingkungan pengendapan pada bagian


Transitional Lower Delta Plain (Horne,1978)

Anda mungkin juga menyukai