Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Batasan kesehatan yang ingin dicapai menurut Undang-Undang Kesehatan
Nomor 23 tahun 1992 adalah keadaan sempurna yang dipandang dari empat aspek
yakni : aspek fisik (badan), mental (jiwa), sosial dan ekonomi. Hal ini berarti
kesehatan tidak hanya diukur dari keadaan fisik, tapi yang tak kalah penting
adalah kesehatan mental dan sosial sehingga seseorang bisa hidup secara
1
produktif dan secara ekonomi. Gangguan jiwa merupakan respons maladaptif
terhadap stressor dari lingkungan internal atau eksternal, dibuktikan melalui
pikiran, perasaan, dan prilaku yang tidak pekerjaan dan/atau fisik.2
Gangguan skizoafektif adalah penyakit dengan gejala psikotik yang persisten,
seperti halusinasi atau delusi, terjadi bersama-sama dengan masalah suasana
(mood disorder) seperti depresi, manik, atau episode campuran. Statistik umum
gangguan ini yaitu kira-kira 0,2% di Amerika Serikat dari populasi umum dan
sampai sebanyak 9% orang dirawat dirumah sakit karena gangguan ini. Gangguan
skizoafektif diperkirakan terjadi lebih sering daripada gangguan bipolar.
Prevalensi pada pria lebih rendah daripada wanita. Onset umur pada wanita lebih
besar dari pada pria, pada usia tua gangguan skizoafektif tipe depresif lebih sering
sedangkan untuk usia muda lebih sering gangguan skizoafektif tipe bipolar. Laki-
laki dengan gangguan skizoafektif kemungkinan menunjukkan perilaku
antisocial.3
Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan afektif bersama - sama menonjol pada saat yang
bersamaan, atau dalam beberapa hari sesudah yang lain, dalam episode yang
sama. Sebagian diantara pasien gangguan skizoafektif mengalami episode
skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif atau campuran keduanya

1
(Ken Duckworth, 2012). Suatu gangguan psikotik dengan gejala - gejala
skizofrenia dan manik yang sama-sama menonjol dalam satu episode penyakit
yang sama. Gejala-gejala afektif diantaranya yaitu ide-ide kebesaran, tetapi
kadang - kadang kegelisahan atau iritabilitas disertai oleh perilaku agresif serta
ide-ide kejaran. Terdapat peningkatan enersi, aktivitas yang
berlebihan,konsentrasi yang terganggu, dan hilangnya hambatan norma sosial.
Waham kebesaran, waham kejaran mungkin ada. Gejala skizofrenia juga harus
ada, antara lain merasa pikirannya disiarkan atau diganggu, ada kekuatan -
kekuatan yang sedang berusaha mengendalikannya, mendengar suara - suara yang
beraneka beragam atau menyatakan ide - ide yang bizarre. Onset biasanya akut,
perilaku sangat terganggu, namun penyembuhan secara sempurna dalam beberapa
minggu (Rusdi Maslim, 2013). Beberapa data menunjukkan bahwa gangguan
skizofrenia dan gangguan afektif mungkin berhubungan secara genetik. Ada
peningkatan resiko terjadinya gangguan skizofrenia diantara keluarga dengan
gangguan skizoafektif (Jibson, 2011).
Pengobatan untuk dengan Gangguan skizoafektif merespon baik terhadapat
pengobatan dengan obat antipsikotik yang dikombinasikan dengan obat mood
stabilizer atau pengobatan dengan antipsikotik saja. Untuk orang gangguan
skizoafektif dengan tipe manik, menggabungkan obat antipsikotik dengan mood
stabilizer cenderung bekerja dengan baik. Karena pengobatan yang konsisten
penting untuk hasil terbaik, psiko - edukasi pada penderita dan keluarga, serta
menggunakan obat long acting bisa menjadi bagian penting dari pengobatan pada
gangguan skizoafektif (Melliza, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan skizoafektif tipe manik?
2. Apa saja gejala-gejala skizoafektif tipe manik?
3. Bagaimana cara mendiagnosis skizoafektif tipe manik?
4. Bagaimana terapi pada skizoafektif tipe manik?

1.3 Tujuan Penulisan

2
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan skizoafektif tipe manik
2. Mengetahui apa saja gejala-gejala skizoafektif tipe manik
3. Mengetahui bagaimana cara mendiagnosis skizoafektif tipe manik
4. Mengetahui bagaimana terapi pada skizoafektif tipe manik

1.4 Manfaat Penulisan


1. Diharapkan refarat ini dapat dijadikan bahan pelajaran bagi mahasiswa
2. Diharapkan refarat ini dapat dijadikan salah satu syarat untuk mengikuti
ujian stase ilmu kesehatan jiwa
3. Diharapkan refarat ini dapat dijadikan sumber referensi dimasa yang akan
datang.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 SKIZOAFEKTIF
3.1.1 Definisi

Gangguan skizoafektif adalah penyakit mental yang serius yang memiliki


gambaran skizofrenia dan gangguan afektif. Gangguan skizoafektif memiliki gejala
khas skizofrenia yang jelas dan pada saat bersamaan juga memiliki gejala gangguan
afektif yang menonjol. Gangguan skizoafektif terbagi dua yaitu tipe manik dan tipe
depresif. Skizofrenia adalah gangguan otak yang mendistorsi cara seseorang berpikir,
bertindak, mengungkapkan emosi, merasakan realitas, dan berhubungan dengan
orang lain. Sedangkan depresi adalah penyakit yang ditandai dengan perasaan sedih,
tidak berharga, atau putus asa, serta masalah berkonsentrasi dan mengingat detail.

3.1.2 Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup pada gangguan skizoafektif kurang dari 1%, berkisar
antara 0,5%-0,8%. Tetapi gambaran tersebut masih merupakan perkiraan.Gangguan
skizoafektif tipe depresif lebih sering terjadi pada orang tua dibanding anak
muda.Prevalensi gangguan tersebut dilaporkan perempuan lebih tinggi dibandingkan
laki-laki, terutama perempuan yang sudah menikah.Usia awitan perempuan lebih
sering dibandingkan laki-laki, seperti pada skizofrenia.Laki-laki engan gangguan
skizoafektif mungkin memperlihatkan perilaku antisocial dan mempunyai afek
tumpul yang nyata atau tidak sesuai. National Comorbidity Study menyatakan dari 66
orang dengan diagnose skizofrenia, 81% perna didiagnosa gangguan afektif yang
terdiri dari 59% depresi dan 22% gangguan bipolar.

3
3.1.3 Etiologi

Sulit untuk menentukan penyebab dari penyakit yang telah berubah begitu
banyak dari waktu ke waktu. Dugaan saat ini bahwa gangguan skizoafektif mungkin
mirip dengan etiologi skizofrenia. Oleh karena itu etiologi mengenai gangguan
skizoafektif juga mencakup kausa genetik dan lingkungan. Penyebab gangguan
skizoafektif adalah tidak diketahui, namun empat model konseptual telah diajukan,
yaitu:

1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau suatu


tipe gangguan mood
2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama dari
skizofrenia dan gangguan afektif
3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang
berbeda, tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun gangguan
afektif
4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah kelompok
gangguan yang heterogen yang meliputi semua tiga kemungkinan yang
pertama.

Penelitian yang dilakukan untuk menggali kemungkinan-kemungkinan


tersebut telah memeriksa riwayat keluarga, petanda biologis, respon pengobtanan
jangka pendek, dan hasil akhir jangka panjang..

3.1.4 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya skizoafektif belum diketahui apakah merupakan suatu
patologi yang terpisah dari skizofrenia dan gangguan mood atau merupakan
gabungan dari keduanya yang terjadi secara bersamaan.Jika merujuk pada
kemungkinan kedua, maka telah diketahui neurobiology baik fungsional ataupun
struktural yang terlibat dalam gangguan ini.
Neurobiologi fungsional yeng mendasari gejala psikotik cukup beragam seperti
yang ditunjukkan pada table 1. Secara sederhana disimpulkan bahwa gejala psikotik

4
muncul dari gangguan pada sistem dopamin, serotonin, glutamate, metabolisme otak,
dll.Kelebihan dopamin atau peningkatan sensitivitas reseptor dopamine D 2 menjadi
penyebab gejala psikotik positif.Serotonin dikaitkan dengan gejala positif dan
negatif.Terlihat penurunan aktivitas glutamat di beberapa regio otak pada pasien
skizofrenia, kelainan pada sistem glutamat dikaitkan dengan gejala hiperaktivitas,
hipoaktivitas, dan neurotoksisitas.Gejala negatif terutama dikaitkan dengan aktivitas
norepinefrin yang menurun.

Tabel 1. Abnormalitas fungsi otak pada skizofrenia

5
Kelainan struktural yang diidentifikasi pada skizofrenia sebagian besar berupa
penurunan volume atau bentuk degenerasi yang bervariasi pada berbagai regio otak
yang masing-masing akan menimbulkan gejala yang khas.

Tabel 2. Abnormalitas struktur otak pada skizofrenia

6
7
Gambar 1.Area yang terlibat pada gangguan afek dan mood.

3.1.5 Manifestasi Klinis.


Seseorang dengan gangguan schizoafektif memiliki perubahan suasana hati berat
dan beberapa gejala psikotik skizofrenia, seperti halusinasi, delusi, dancara berpikir
yang tidakteratur. Salah satu gejala psikotikpada gangguan schizoaffective adalah
ketidakmampuan seseorang untuk membedakan kenyataan dan apa yang sedang
dipikirkan. Gejala gangguan skizoafektif mungkins angat bervariasi dari satuorang ke
orang lain dan mungkin ringan atau berat. Gejala gangguan skizoafektif mungkin
termasuk :
Depresi
Nafsu makan yang berkurang
Pengurangan berat badan
Perubahan dari pola tidur biasanya ( sedikit atau banyak tidur )
Agitasi
Merasa tidak ada semangat

8
Kehilangan rasa untuk melakukan kebiasaan sehari-hari
Merasa tidak ada harapan
Selalu merasa bersalah
Tidak dapat berkonsentrasi
Mempunyai pikiran untuk melakukan percobaan bunuh diri

Mania
Peningkatan aktivitas
Bicara cepat
Pikiran yang meloncat-loncat
Sedikit tidur
Agitasi
Percaya diri meningkat
Mudah teralihkan

Schizophrenia
Delusi (strange beliefs that are not based in reality and that the person refuses
to give up, even when presented with factual information)
Halusinasi (the perception of sensations that aren't real, such as hearing
voices)
Pemikiran yang tidak teratur
Kebiasaan yang aneh
Pergerakan yang lambat
Tidak dapat menunjukkan emosi baik pada saat berbicara atau berkativitas
Tidak memiliki motivasi
Memiliki masalah dalam berkomunikasi

9
3.1.6 Diagnosis

Konsep gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostic baik skizofrenia


maupun gangguan mood, beberapa elvolusi dalam kriteria diagnostic untuk gangguan
skizoafektif mencerminkan perubahan yang telah terjadi di dalam kriteria diagnosis
untuk kedua kondisi lain.

Tabel 3. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif (DSM-IV)


Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Skizoafektif

A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana, pada suatu waktu.
Terdapat baik episode depresif berat, episode manic, atau suatu episode campuran
dengan gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia
Catatan : Episode depresi berat harus termasuk kriteria A1: mood terdepresi
B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama
sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol
C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode ditemukan untuk sebagian
bermakna dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit
D. Gangguan bukan kareka efek fisiologis langsung dari suatu za (misalnya obat
yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum

Sebutkan tipe:

Tipe bipolar: Jika gangguan termasuk suatu episode manic atau campuran (atau
suatu manik suatu episode campuran dan episode depresi berat)

Tipe depresif: Jika gangguan hanya termasuk episode depresi berat


Tabel dari DSM-IV, diagnostic and statistical manual of mental disorders.Ed.4.Hak cipta American Psychiatric
Association. Washington. 1994

DSM-IV juga membantu klinisi untuk menentukan apakah pasien menderita


gangguan skizoafektif, tipe bipolar, atau gangguan skizoafektif tipe depresif.Seorang
pasien diklasifikasikan menderita tipe bipolar jika episode yang ada adalah dari tipe

10
manic atau suatu episode campuran dan episode depresif berat.Selain itu, pasien
diklasifikasikan menderita tipe depresif.

Pada PPDGJ-III, gangguan skizoafektif diberikan kategori yang terpisah karena


cukup sering dijumpai sehingga tidak dapat diabaikan begitiu saja. Kondisi-kondisi
lain dengan gejala-gejala afektif saling bertumpang tindih dengan atau membentuk
sebagian penyakit skizoafektif yang sudah ada, atau dimana gejala-gejala itu berada
bersama-sama atau secara bergantian dengan gangguan-gangguan waham menetap
jenis lain, diklasifikasikan dalam kategori yang sesuali dalam F20-F29.Waham atau
halusinasi yang tak serasi dengan suasana perasaan (mood) pada gangguan afektif
tidak dengan sendirinya menyokong diagnosis gangguan skizoafektif.

Tabel 4. Pedoman Diagnostik Gangguan Skizoafektif berdasarkan PPDGJ-III


Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitive
adanyaskizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan afektif dama-
sama menonjol pada saat yang bersamaan (stimultaneously), atau dalam
beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang
sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak
memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif.
Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gelaja skizofrenia
dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbedah.
Bila seseorang pasien skizoafrenik menunjukkan gejala depresif setelah
mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F.20.4 (Depresi
Pasca-skizofrenia)
Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoefektif berulang, baik
berjenis manic (F25.0) maupun depresif (F.25.1) atau campuran dari
keduanya (F.25.2). pasien lain mengalami satu atau dua episode manic atau
depresi (F30-F33)

3.1.7 Perjalanan Penyakit dan Prognosis

11
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai
prognosis di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan prognosis
pasien dengan gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan
skizoafektif memiliki prognosis yang jauh lebih buruk daripada pasien dengan
gangguan depresif, memiliki prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan
gangguan bipolar, dan memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan
skizofrenia. Generalitas tersebut telah didukung oleh beberapa penelitian yang
mengikuti pasien selama dua sampai lima tahun setelah episode yang ditunjuk dan
yang menilai fungsi sosial dan pekerjaan, dan juga perjalanan gangguan itu sendiri.
Data menyatakan bahwa pasien dengan gangguan skizoafketif, tipe bipolar,
mempunyai prognosis yang mirip dengan prognosis pasien dengan gangguan bipolar
I dan bahwa pasien dengan premorbid yang buruk; onset yang perlahan-lahan; tidak
ada faktor pencetus; menonjolnya gejala pskotik, khususnya gejala defisit atau gejala
negatif; onset yang awal; perjalanan yang tidak mengalami remisi; dan riwayat
keluarga adanya skizofrenia. Lawan dari masing-masing karakeristik tersebut
mengarah pada hasil akhir yang baik.Adanya atau tidak adanya gejala urutan pertama
dari Schneider tampaknya tidak meramalkan perjalanan penyakit.
Walaupun tampaknya tidak terdapat perbedaan yang berhubungan dengan
jenis kelamin pada hasil akhir gangguan skizoafektif, beberapa data menyatakan
bahwa perilaku bunuh diri mungkin lebih sering pada wanita dengan gangguan
skizoafektif daripada laki-laki dengan gangguan tersebut.Insidensi bunuh diri di
antara pasien dengan gangguan skizoafektif diperkirakan sekurangnya 10 persen.

3.1.8 Penatalaksanaan
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan di
rumah sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Terapi psikofarmaka yang
diberikan pada skizoaktif tipe bipolar adalah obat golongan mood stabilizer, baik
lithium atatu carbamazepine sama efektifnya, sedangkan untuk tipe depresif yang
terbukti lebih efektif adalah dengan pemberian carbamazepine dibanding lithium.

12
Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk gangguan skizoafektif adalah
bahwa antidepresan dan antimanik diberikan sesuai bentuk afek yang menonjol dan
bahwa antipsikotik digunakan berdasarkan gejala psikotik yang muncul.Pada
skizoafektif tipe manik, terapi dilakukan lebih agresif untuk mencapai konsentrasi
obat dalam darah pada tingkat menengah sampai tinggi.Ketika pasien sudah dalam
fase maintenance, dosis dapat diturunkan untuk menghindari efek samping yang tidak
diinginkan.Pemeriksaan laboratorium secara berkala perlu dilakukan untuk menilai
fungsi thyroid, ginjal dan sel-sel darah.
Antidepresan diberikan pada pasien skizoafektif tipe depresif, tetapi harus
dengan perhatian yang ketat karena dapat terjadi pergeseran gejala dari episode
depresif menjadi episode manik pada pemberian antidepresan.Antidepresan lini
pertama yang diberikan adalah golongan SSRI, karena selain cukup efektif, obat ini
juga memiliki sedikit efek samping pada sistem kardiovaskular.Pasien skizoafektif
dengan gejala agitasi atau insomnia lebih berespon dengan obat golongan trisiklik.

3.1.9 Farmakologi Anti Depresan


1. Carbamazepine
Absorbsi carbamazepine lambat dan tidak terprediksi. Pemberian
bersama makanan mempercepat proses absorbs. Konsentrasi puncak dicapai
dalam 2-8 jam setelah pemberian dosis tunggal dengan waktu paruh rata-rata
26 jam.Pada penggunaan jangka panjang, waktu parah dapat menurun hingga
rata-rata 12 jam. Carbamazepine terdiri dari dua bentuk sediaan, yaitu
extended release dan kombinasi intermediate, extended-release, dan very
slow-release beads. Bentuk pertama diberikan setelah makan untuk
menjamin waktu transit gastrointestinal yang normal,bentuk kedua lebih
cocok diberikan pada malam hari.
Efek carbamazepine diduga akibat ikatannya dengan berikatan pada
voltage-dependent sodium channel di fase inaktif sehingga memperpanjang
masa inaktifnya. Selain itu juga diduga bekera pada NMDA glutamate-

13
receptor channel, competitive antagonism of adenosine A1 receptor, dan
sistem katekolamin.
Indikasi pemberian carbamazepine diantaranya episode manik akut;
profilaksis gangguan bipolar, skizoafektif, dan manik disforia; episode
depresi akut.Respon terhadap episode manik terlihat setelah 2-3 minggu
pemberian. Efek samping carbamazepine diantaranya diplopia, vertigo,
gangguan gastrointestinal, efek hematologi, agranulositosis, sindrom steven
Johnson, anemia aplastic, sirosis hepatis.
Dosis target untuk efek antimanik sekitar 1.200 mg per hari dengan
pemberian 3-4 kali per hari carbamazepine 300-400 mg dalam bentuk
immediate release. Carbamazepine extended release tersedia dalam sediaan
kapsul dan tablet 100, 200, dan 300 mg. Obat dapat diberikan dengan atau
tanpa makan terlebih dahulu.

2. Lithium
Lithium diabsorbsi secara komplit dan cepat setelah administrasi oral
dengan konsentrasi puncak terjadi setelah 1-1,5 jam denganbentuk sediaan
biasa, dan 4-4,5 jam dengan bentuk sediaan lambat atau lepas terkontrol.
Waktu paruh 1,3 hari pada awal pemberian dan menjadi 2,4 hari setelah
penggunaan lebih dari satu tahun.
Indikasi pemberian lithium diantaranya episode manik, episode depresif
pada gangguan bipolar, episode depresif mayor, skizofrenia dan
skizoafektif.Penggunaan lithium pada pasien skizoafektif lebih efektif pada
pasien dengan gejala afektif yang lebih dominan.Lithium memiliki risiko
efek samping yang tinggi, efek samping yang beragam terjadi pada 80%
pengguna lithium. Untuk itu pentung untuk meminimalisir risiko efek
samping dengan cara mengawasi kadar lithium dalam darah dan memberikan
intervensi farmakologi yang sesuai untuk mengatasi efek samping yang
muncul. Efek samping lithium dapat terjadi di semua sistem organ dengan
tingkat keparahan yang bervariasi.Pemberian lithium dengan antipsikotik

14
tipikal juga perlu mendapat perhatian serius karena interaksi antara keduanya
bisa memperburuk gejala ekstrapiramidal.
Lithium karbonat tersedia dalam bentuk kapsul (150, 300, 600 mg),
tablet (300 mg), tablet lepas terkontrol (450mg), tablet lepas lambat (300
mg), dan sirup (8mEq/5 mL). Dosis awal untuk dewasa 300 mg tiga kali
sehari.sedangkan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal hanya dua kali
sehari. Dosis kemudian dapat ditingkatkan sampai 1800 mg per hari untuk
mencapai konsentrasi terapetik 1,2 mEq/L. Penghentian pemberian lithium
dilakukan perlahanagar tidak terjadi rekurensi gejala manik.

3. Antipsikotik atipikal
Obat antipsikotik atipikal memiliki kemampuan memblok reseptor
serotonin tipe 2 dan reseptor dopamin D2. Antispikotik atipikal bekerja lebih
spesifik di mesolimbik dibanding daerah striata. Beberapa obat golongan ini
yang sering digunakan antara lain risperidon, clozapin, olanzapin, dan
aripiprazole (golongan ketiga). Meskipun risiko terjadinya sindrom
ekstrapiramidal rendah, beberapa obat golongan atipikan sering
menyebabkan peningkatan berat badan, yang kemudian menjadi risiko
Diabetes Melitus dan Sindrom Metabolik.
Obat golongan ini efektif untuk mengatasi gejala psikosis baik akut
maupun kronis pada remaja dan dewasa.Selain mengatasi gejala positif juga
berperan dalam mengurangi gejala negatif, afektif, dan kognitif. Kasus relaps
ditemukan lebih rendah pada pasien yang diberi antipsikotik atipikal
dibanding antipsikotik tipikal

15
Gambar 3.Struktur molekuler antagonis serotonin-dopamin.

16
BAB 3
KESIMPULAN

Skizofrenia residual adalah salah satu tipe skizofrenia dimana masih ditemuinya
bukti adanya gangguan skizofrenia, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau
gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Gejala dari skizofrenia
residual berupa gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi
non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara,
dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk. Jika waham atau
halusinasi ditemukan, maka hal itu tidak lagi menonjol.
Skizofrenia bisa merupakan bagian dari skizofrenia kronis atau tahapan remisi
komplit dari skizofrenia. Adapun diagnosa banding dari skizofrenia residual adalah
depresi pasca skizofrenia, namun pada depresi pasca skizofrenia mesti ditemui gejala
depresi selama lebih kurang 2 minggu.
Pengobatan untuk skizofrenia residual bisa secara farmakologi maupun terapi
psikososial. Obat yang dapat diberikan adalah obat golongan atipikal yang bekerja
untuk meningkatkan dopamin di jalur mesokotikal. Hal ini sehubungan dengan
hipotesa penyebab gejala negatif muncul dikarenakan penurunan aktivitas dopamin di
jalur mesokortikal. Namun klozapin tidak bisa dijadikan obat pilihan pertama karena
efek sampingnya berupa agranulositosis. Selain itu, terapi psikososial bisa berupa
terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, dan psikoterapi
individu.
Prognosis tidak berhubungan dengan tipe apa yang dialami seseorang. Prognosis
ditentukan dari Tabel 2.1. Selain itu, didapati angka kematian pada orang dengan
skizofrenia dua kali lebih tinggi dari populasi umum. Angka kematian yang tinggi ini
disebabkan oleh kondisi buruk akan tempat rawatan yang berkepanjangan sehingga

15
16

meningkatkan risiko terinfeksi Tuberkulosis dan penyakit menular lainnya.


Angka bunuh diri pada orang skizofrenia adalah sekitar 10%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Notoadmodjo. 2005, Promosi Kesehatan,Teori dan Aplikasi, Rineka Cipta,


Jakarta.
2. Depkes RI., 2005, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gannguan Jiwa di
Indonesia. Edisi II. Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
3. Strauss., J.S., Kokes, F.R, Ritzler, B.A., Harder D.W., & Van Ord, A, 1978,
Patterm of Risorder in First Admission Psychiatric Patient. Journal of
nervous and mental disease, 166, 611-623
4. Maslim, Rusdi.Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ- III.
FK Unika Atmajaya. Jakarta:2001. 46, 50
5. Kumala, Poppy dkk. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. EGC.
Jakarta:1998. 970
6. Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J., dan Grebb, Jack A. Sinopsis Psikiatri,
Jilid I. Binarupa Aksara. Tangerang: 2010. 699-702, 720-727, 737-740
7. Syamsulhadi dan Lumbantobing. Skizofrenia. FK UI. Jakarta: 2007.26-34
8. Silva, J.A. Costa.Schizophrenia and Public Health. WHO. 1998. 6-13.
Available from:
www.who.int/mental_health/media/en/55.pdf [Accessed on 24 Mei 2016]
9. Goodman dan Gilman. Dasar Farmakologi Terapi Vol.I. EGC.
Jakarta:2007.475,480 & 482
10. Arif. Iman Setiadi. 2006, Skizofrenia, memahami dinamika keluarga
pasien,Repika Aditama, Bandung

Anda mungkin juga menyukai