Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Syok hemoragik: disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah darah
yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma tumpul sering
diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa:
Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura.
Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter.
Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter
Tindakan utama dari syok hemoragik adalah mengontrol sumber perdarahan secepat
mungkin dan penggantian cairan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui transfuse
massif. Terdapat banyak masalah terkait dengan transfuse masif, termasuk infeksi, imunologi,
dan komplikasi fisiologis yang berhubungan dengan pengumpulan, pengujian, pemeliharaan, dan
penyimpanan produk darah. Dokter harus menyadari komplikasi ini dan strategi untuk mencegah
dan mengobatinya.
1.2 Permasalahan
Banyaknya kasus kecalakaan lalu lintas dewasa ini menyebabkan banyak perdarahan. Hal
ini sering menyebabkan terjadinya syok hemoragik. Tidak hanya kecelakaan namun perdarahan
post partum, perdarahan pada saat operasi juga menyebabkan perdarahan yang mudah mengarah
ke syok hemoragik namun penanganan yang kurang baik dapat menyebabkan akibat yang fatal
seperti kematian. Salah satu cara penanganannya adalah melalui transfusi massif, tetapi kita
juga harus dapat memahami komplikasi yang mungkin dapat timbul dari transfusi massif yang
diberikan.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk membahas syok hemoragik secara umum,
transfuse massif serta komplikasinya agar dapat tertangani dengan baik sehingga kasus kematian
akibat syok hemoragik dapat berkurang.
2.2 Definisi Syok dan Syok Hemoragik
Syok adalah suatu cardiac output yang tidak adekuat yang mengakibatkan kegagalan
sistem kardiovaskuler untuk pengangkutan oksigen dan nutrisi yang cukup untuk kebutuhan
metabolisme sel-sel tubuh. Akibatnya, terjadi disfungsi membran sel, metabolisme seluler
abnormal, dan tanpa terapi adekuat, dapat terjadi kematian sel.6
Syok hemoragik adalah kehilangan akut volume peredaran darah yang menyebabkan
suatu kondisi dimana perfusi jaringan menurun dan menyebabkan inadekuatnya hantaran oksigen
dan nutrisi yang diperlukan sel. Keadaan apapun yang menyebabkan kurangnya oksigenasi sel,
maka sel dan organ akan berada dalam keadaan syok.7

2.3 Etiologi Syok


Penyebab syok bervariasi, tetapi semua ditandai dengan perfusi jaringan inadekuat.
Mekanisme patofisiologi dasar yang tejadi pada syok adalah:
1. Vasokonstriksi atau vasodilatasi luas memperburuk tonus & resistensi vaskuler perifer.
2. Penurunan volume intravaskuler (hipovolemia)
3. Cardiac output inadekuat
Apapun jenis penyebab utama syok, respon tubuh pada umumnya sama.
Syok dapat terjadi akibat berbagai keadaan yang dapat digolongkan sesuai empat mekanisme
etiologi dasarnya: (1) mekanisme kardiogenik, (2) mekanisme obstruktif, (3) perubahan dalam
volume sirkulasi, dan (4) perubahan dalam distribusi sirkulasi.7

2.4 Tahapan Syok6


Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat
ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel
(tidak dapat pulih).
Tahap kompensasi adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi
normalnya. Tanda atau gejala yang dapat ditemukan pada tahap awal seperti kulit pucat,
peningkatan denyut nadi ringan, tekanan darah normal, gelisah, dan pengisian pembuluh darah
yang lama. Gejala-gejala pada tahap ini sulit untuk dikenali karena biasanya individu yang
mengalami syok terlihat normal.
Tahap dekompensasi dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-fungsinya.
Yang terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital yaitu dengan mengurangi
aliran darah ke lengan, tungkai, dan perut dan mengutamakan aliran ke otak, jantung, dan paru.
Tanda dan gejala yang dapat ditemukan diantaranya adalah rasa haus yang hebat, peningkatan
denyut nadi, penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai terganggu.
Tahap ireversibel dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat
diperbaiki. Tahap ini terjadi jika tidak dilakukan pertolongan sesegera mungkin, maka aliran
darah akan mengalir sangat lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah dan denyut
jantung. Mekanisme pertahanan tubuh akan mengutamakan aliran darah ke otak dan jantung
sehingga aliran ke organ-organ seperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang menjadi penyebab
rusaknya hati maupun ginjal. Walaupun dengan pengobatan yang baik sekalipun, kerusakan
organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki..

2.6 Patofisiologi Syok Hemoragik


Telah diketahui dengan baik respons tubuh saat kehilangan volum sirkulasi. Tubuh secara
logis akan segera memindahkan volum sirkulasinya dari organ non vital dan dengan demikian
fungsi organ vital terjaga karena cukup menerima aliran darah. Saat terjadi perdarahan akut,
curah jantung dan denyut nadi akan turun akibat rangsang baroreseptor di aortik arch dan
atrium. Volume sirkulasi turun, yang mengakibatkan teraktivasinya saraf simpatis di jantung dan
organ lain. Akibatnya, denyut jantung meningkat, terjadi vasokonstriksi dan redistribusi darah
dari organ-organ nonvital, seperti di kulit, saluran cerna, dan ginjal. Secara bersamaan sistem
hormonal juga teraktivasi akibat perdarahan akut ini, dimana akan terjadi pelepasan hormon
kortikotropin, yang akan merangsang pelepasan glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar
pituitary posterior akan melepas vasopressin, yang akan meretensi air di tubulus distalis ginjal.
Kompleks Jukstamedula akan melepas renin, menurunkan MAP (Mean Arterial Pressure), dan
meningkatkan pelepasan aldosteron dimana air dan natrium akan direabsorpsi kembali.
Hiperglikemia sering terjadi saat perdarahan akut, karena proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis yang meningkat akibat pelepasan aldosteron dan growth hormone. Katekolamin
dilepas ke sirkulasi yang akan menghambat aktifitas dan produksi insulin sehingga gula darah
meningkat. Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik
mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana pasokan
aliran darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP (Mean Arterial Pressure). Ginjal
juga mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan
aliran darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik.
Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah
kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.6

2.7 Gejala Klinis Syok Hemoragik1,6,7


Gejala klinis tunggal jarang saat diagnosa syok ditegakkan. Pasien bisa mengeluh lelah,
kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang (gejala pecahnya aneurisma aorta abdominal).
Penting diperoleh data rinci tentang tipe, jumlah dan lama pendarahan, karena pengambilan
keputusan untuk tes diagnostik dan tatalaksana selanjutnya tergantung jumlah darah yang hilang
dan lamanya pendarahan. Bila pendarahan terjadi di rumah atau di lapangan, maka harus ditaksir
jumlah darah yang hilang.
Untuk pendarahan pada saluran cerna sangatlah penting dicari asal darah dari rektum atau
dari mulut. Karena cukup sulit menduga jumlah darah yang hilang dari saluran cerna bagian
bawah. Semua darah segar yang keluar dari rektum harus diduga adanya perdarahan hebat,
sampai dibuktikan sebaliknya.
Pendarahan saat trauma kadang sulit ditaksir jumlahnya. Karena rongga pleura, kavum
abdominalis, mediastinum dan retroperitoneum bisa menampung darah dalam jumlah yang
sangat besar dan bisa menjadi penyebab kematian. Perdarahan trauma eksternal bisa ditaksir
secara baik, tapi bisa juga kurang diawasi oleh petugas emergensi medis. Laserasi kulit kepala
bisa menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Fraktur multipel terbuka, juga bisa
mengakibatkan kehilangan darah yang cukup besar.
Tabel 3. Lokasi & Estimasi Perdarahan
Lokasi Estimasi Perdarahan
Fr. Femur tertutup 1.5-2 liter
Fr.Tibia tertutup 0.5 liter
Fr. Pelvis 3 liter
Hemothorax 2 liter
Fr. Iga (tiap satu) 150 ml
Luka sekepal tangan 500 ml
Bekuan darah sekepal 500 ml
Pemeriksaan klinis pasien syok hemoragik dapat segera langsung berhubungan dengan
penyebabnya. Asal sumber perdarahan dan perkiraan berat ringannya darah yang hilang bisa
terlihat langsung. Bisa dibedakan perdarahan pada pasien penyakit dalam dan pasien trauma.
Dimana kedua tipe perdarahan ini biasanya ditegakkan dan ditangani secara bersamaan.
Syok umumnya memberi gejala klinis kearah turunnya tanda vital tubuh, seperti:
hipotensi, takikardia, penurunan urin output dan penurunan kesadaran. Kumpulan gejala tersebut
bukanlah gejala primer tapi hanya gejala sekunder dari gagalnya sirkulasi tubuh. Kumpulan
gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh, berkorelasi dengan usia dan
penggunaan obat tertentu, kadang dijumpai pasien syok yang tekanan darah dan nadinya dalam
batas normal. Oleh karena itu pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien dengan dilepas
pakaiannya harus tetap dilakukan.
Gejala umum yang timbul saat syok bisa sangat dramatis. Kulit kering, pucat dan dengan
diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi dan tidak sadar. Pada fase awal nadi cepat dan
dalam dibandingkan denyutnya. Tekanan darah sistolik bisa saja masih dalam batas normal
karena kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang terdapat pada anemia kronik. Lakukan
inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat kemungkinan adanya darah. Auskultasi dan
perkusi dada juga dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat gejala hematothoraks, dimana
suara nafas akan turun, serta suara perkusi redup di area dekat perdarahan.
Periksa pasien lebih lanjut dengan teliti dari ujung kepala sampai ujung kaki, yang dapat
mengarahkan kita terhadap kemungkinan adanya luka. Periksa adakah perdarahan di kulit
kepala, apabila dijumpai perdarahan aktif harus segera diatasi bahkan sebelum pemeriksaan
lainnya. Periksa juga apakah ada darah pada mulut dan faring.
Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-abdominal, misal: distensi, nyeri palpitasi,
dan perkusi redup. Periksa panggul apakah ada memar/ekimosis yang mengarah ke perdarahan
retroperitoneal. Adanya distensi, nyeri saat palpasi dan ekimosis mengindikasikan adanya
perdarahan intra-abdominal. Palpasi pula kestabilan tulang pelvis, bila ada krepitasi atau
instabilitas mengindikasikan terjadinya fraktus pelvis dan ini dapat mengancam jiwa karena
perdarahan terjadi pada rongga retroperitoneum. Kejadian yang sering dalam klinis adalah
pecahnya aneurisma aorta yang bisa menyebabkan syok tak terdeteksi. Tanda klinis yang bisa
mengarahkan kita adalah terabanya masa abdomen yang berdenyut, pembesaran skrotum karena
terperangkapnya darah retroperitoneal, kelumpuhan ekstremitas bawah dan lemahnya nadi
femoralis.
Fraktur pada tulang panjang ditandai nyeri dan krepitasi saat palpasi di dekat fraktur.
Semua fraktur tulang panjang harus segera direposisi dan digips untuk mencegah perdarahan di
sisi fraktur. Yang perlu diperhatikan terutama fraktur femur, karena dapat mengakibatkan
hilangnya darah dalam jumlah banyak, sehingga harus segera diimobilisasi dan ditraksi
secepatnya. Tes diagnostik lebih jauh perlu dilakukan untuk menyingkirkan perdarahan yang
mungkin terjadi di intratorakal, intra-abdominal,atau retroperitoneal.6
Jangan lupa pula untuk melakukan pemeriksaan rektum / rectal toucher. Bila ada darah
segar curiga hemoroid interna atau externa. Pada kondisi yang sangat jarang curigai perdarahan
yang signifikan terutama pada pasien dengan hipertensi portal. Pasien dengan riwayat perdarahan
vagina lakukan pemeriksaan pelvis lengkap, dan lakukan tes kehamilan untuk menyingkirkan
kemungkinan kehamilan ektopik.
Lakukan pemeriksaan sistematik pada pasien trauma termasuk pemeriksaan penunjang
primer dan sekunder. Luka multipel bisa terjadi dan harus mendapat perhatian khusus, hati-hati
perdarahan bisa menjadi pencetus syok lainnya, seperti syok neurogenik.
Tabel 4. Perdarahan & tanda-tandanya
Perdarahan < 750 ml 750-1500 ml 1500-2000 ml >2000 ml
CRT Normal Memanjang memanjang Memanjang
Nadi < 100 > 100 > 120 > 140
Tek. Sistolik Normal Normal Menurun Menurun
Nafas Normal 20-30 x/m > 30-40 x/m >35 x/m
Kesadaran Sedikit cemas Agak cemas Cemas, bingung Bingung, lesu
Penderita yang mengalami perdarahan, menghadapi dua masalah yaitu berapakah sisa
volume darah yang beredar dan berapakah sisa eritrosit yang tersedia untuk mengangkut oksigen
ke jaringan.
Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa jam.
Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan. Hipovolemia
menyebabkan beberapa perubahan :
Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan organ primer (otak,
jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerob dengan produk
asam laktat yang menyebabkan asidosis asam laktat.
Asidosis asam laktat menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organ-organ primer
dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata,
Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskular sampai 10% EBV
tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan yang lebih dari 25% atau bila
terjadi syok/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu. Bila
dalam terapi hanya diberikan sejumlah kehilangan plasma volume (intravaskular), penderita
masih mengalami defisit yang menyebabkan syoknya irreversibel dan berakhir kematian.7
Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah: (cardiac
output x saturasi O2 x kadar Hb x 1,34) + (cardiac output x pO2 x 0,003). Unsur cardiac output x
pO2 x 0,003 karena hasilnya kecil dapat diabaikan, maka tampak bahwa persediaan oksigen
untuk jaringan tergantung pada curah jantung / cardiac output, saturasi O2 dan kadar Hb. Karena
kebutuhan oksigen tubuh tidak dapat dikurangi kecuali dengan hipotermia atau anestesi dalam,
maka jika eritrosit hilang, total Hb berkurang, curah jantung harus naik agar penyediaan oksigen
jaringan tidak terganggu. Pada orang normal dapat menaikkan curah jantung hingga 3 x normal
dengan cepat, asalkan volume sirkulasi cukup (normovolemia). Faktor Hb dan saturasi O2 jelas
tidak dapat naik. Hipovolemia yang terjadi akan mematahkan kompensasi dari curah jantung.
Dengan mengembalikan volume darah yang telah hilang dengan apa saja asal segera
normovolemia, maka curah jantung akan mampu berkompensasi. Jika Hb turun sampai tinggal
1/3, tetapi curah jantung dapat naik sampai 3 x, maka penyediaan oksigen ke jaringan masih
tetap normal. Pengembalian volume mutlak diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit.

2.8 Transfusi Darah


Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari donor ke
sistem sirkulasi penerima melalui pembuluh darah vena. Berdasarkan sumber darah atau
komponen darah, transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu: 8
1. Homologous atau allogenic transfusion, yaitu transfusi menggunakan darah dari orang lain.
2. Autologous transfusion, yaitu transfusi dengan menggunakan darah resipien itu sendiri yang
diambil sebelum transfusi dilakukan.
Transfusi darah umumnya >50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan untuk
menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau hanya menaikkan
volum intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid.9
Indikasi transfusi darah ialah:9
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr% atau Ht < 30%.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volum darah.

2.9 Transfusi Masif


Perdarahan masif ialah perdarahan lebih dari sepertiga volum darah dalam waktu < 30
menit. Definisi tentang transfusi darah masif masih tak jelas dan banyak versi, misalnya:9
1. Transfusi darah sebanyak lebih dari 1-2 kali volum darah dalam waktu lebih dari 24 jam.
2. Transfusi darah lebih besar dari 50% volum darah dalam waktu singkat (misalnya, 5 unit dalam
1 jam untuk berat 70kg).
Beberapa peneliti meninjau kemungkinan komplikasi dan manajemennya, terutama
karena mereka berhubungan dengan transfuse masif pada pasien trauma.Terdapat banyak
masalah terkait dengan transfuse masif, termasuk infeksi, imunologi, dan komplikasi fisiologis
yang berhubungan dengan pengumpulan, pengujian, pemeliharaan, dan penyimpanan produk
darah. Dokter harus menyadari komplikasi ini dan strategi untuk mencegah dan mengobatinya.
Risiko kumulatif dari transfusi darah telah terkait dengan jumlah unit packed red blood cells
(PRBCs) yang ditransfusikan, meningkatkan waktu penyimpanan darah ditransfusikan, dan
mungkin leukosit donor. Sejumlah mekanisme potensial yang mungkin mempunyai pengaruhi
merugikan terkait dengan transfusi darah pada trauma telah diusulkan. Beberapa data telah
menyimpulkan bahwa transfusi darah harus diminimalkan bila memungkinkan.10

2.9.1 Komponen Darah


a) Whole blood
Darah lengkap adalah unit darah selengkapnya yang diperoleh dari donor tanpa ada
pemisahan komponennya baik sel maupun non sel. Darah lengkap (whole blood) biasanya
disediakan hanya untuk transfusi pada perdarahan masif. Satu unit darah lengkap (450-540 ml)
mengandung pengawet 60 ml CPDA-1 atau CP2D dengan kadar hematokrit 30-40% dapat
menaikkan kadar Hb resipien 1 gr%. Ketentuan standar jumlah darah 450 kurang lebih 45 ml
diberi anti-koagulan / pengawet eritrosit. Modifikasi whole blood yaitu dipisahkan kriopresipitat
dan atau trombositnya.9,11
Antikoagulan yang dipakai adalah yang mengandung dekstrose. Dekstrose diperlukan
untuk nutrisi eritrosit. Contoh:12
i. Citrate Phosphate Dextrose / CPD
ii. Acid Citrate Dextrose / ACD ( dengan CPD atau ACD ini darah dapat
disimpan sampai 21 hari)
iii. Citrate Phosphate Dextrose Adenine 1/CPDA-1 (dengan penambahan
adenine darah dapat disimpan sampai 35 hari). Dikenal antikoagulan CPDA-2, CPDA-3 yang
mengandung adenine dan dekstrose lebih tinggi daripada CPDA-1 sehingga eritrosit pekat dapat
diawetkan sampai 7 minggu.
iv. CPD + AS-1 / AS-2 (AS = additive solution yang terdiri dari salin, desktrose,
manitol, adenine)
v. Citrate Phosphate, Double Dextrose + AS (terdiri dari salin, dekstrose,
adenine).
vi. Heparin : tidak ditambah destrose, sehingga usia simpan hanya sampai 48 jam.

Penyimpanan
i. Temperatur penyimpanan
Setelah darah diambil dari donor segera disimpan pada suhu antara 1-60C. Pada suhu
sekitar ini glikolisis terjadi secara perlahan-lahan. Suhu penyimpanan terbaik ialah 4 0C, karena
pada suhu ini asam laktat yang terbentuk akan sangat menurunkan pH dan fungsi enzim
heksokinase serta fosfofruktokinase sehingga glikolisis terhenti. Di bawah 10C maka karena efek
dari dekstrose eritrosit akan membengkak, menjadi sangat fragil dan cenderung hemolisis. Di
atas suhu 60C bakteri akan berkembang biak, sehingga umur hidup eritrosit menjadi lebih
pendek.12

ii. Efek samping penyimpanan


Setelah disimpan maka store whole blood tidak lagi mengandung granulosit & trombosit
yang dapat berfungsi, demikian juga faktor pembekuan yang labil (faktor V, VII) menjadi rusak.
Darah yang diambil dari donor harus diperiksa lengkap selain golongan darah, deteksi antibodi,
juga tes untuk penyakit menular yang memerlukan waktu cukup lama untuk melakukannya,
sehingga darah harus disimpan. Di samping itu tidak ada indikasi kuat yang menyokong
keharusan menggunakan fresh whole blood / darah segar untuk ditransfusikan kepada resipien.
Darah ini mengandung leukosit yang masih mampu berfungsi membunuh bakteri, oleh
karenanya bila memang sangat diperlukan darah segar maka dapat dibiarkan pada temperatur
kamar dalam waktu singkat, namun hal ini tidak direkomendasikan.12

Tabel 1. Klasifikasi darah lengkap menurut lamanya penyimpanan2


Darah lengkap Lama Penyimpanan
Segar < 48 jam
Baru <6 hari
Biasa 35 hari

Indikasi penggunaan whole blood:9


i. Pada penderita dengan kehilangan darah sangat banyak/berat (mencapai 25-30
%), sehingga menimbulkan gejala hipovilemi/syok. Pada keadaan ini whole blood diperlukan
untuk mengembalikan atau memelihara volume darah dan kapasitas mengangkut oksigen.
ii. Pada keadaan dimana diperlukan pengembalian volume darah yang
seimbang/sama pentingnya dengan komponen seluler.
iii. Untuk transfusi tukar (exchange transfusion) pada bayi baru lahir.
Kontra indikasi:9
i. Penderita dengan anemia kronik yang berat dimana telah terjadi kompensasi
terhadap penurunan sel darah merah yaitu dengan terjadinya peningkatan volume plasma /
peningkatan cardiac output sehingga kebutuhan O2 jaringan dapat dipenuhi (anemia
normovolemik). Penderita ini tidak memerlukan plasma yang ada dalam whole blood, sehingga
dapat terjadi kelebihan volume yang memungkinkan bahaya udem paru dan payah jantung.
ii. Penderita yang hanya memerlukan pengembalian volume plasma, maka whole
blood merupakan kontraindikasi mengingat plasma mungkin mengandung mikroorganisme yang
menular
Fungsi fresh whole blood
Penggunaan fresh whole blood tanpa pendingin dibandingkan dengan sel darah merah
pada pasien trauma yang membutuhkan transfusi masif telah direncanakan dengan maksud
mengatasi koagulopati. Pendekatan ini memiliki masalah besar pada logistiknya. Kebanyakan
bank darah memproses hampir semua unit whole blood ke dalam komponen darah, dan pada
kasus darurat, fresh whole blood tidak tersedia, terutama dalam jumlah banyak. Selain itu, di
beberapa negara telah menginmplementasikan leukodeplesi universal, contohnya semua unit
darah mengalami leukodeplesi sebelum penyimpanan, whole blood yang mengalami
leukodeplesi tidak bisa lagi disebut whole blood karena hampir semua platelet dan beberapa
faktor pembekuan terbuang ketika proses filtrasi leukosit. Karena itu, penggunaan fresh whole
blood tidak dapat memperbaiki koagulopati karena perdarahan masif dan merupakan tindakan
yang jarang dilakukan. Selain itu, penggunaan fresh whole blood akan menghalangi tes skrining
yang adekuat, yang akan menurunkan keamanan transfusi darah. Jelasnya, tindakan transfusi
untuk pasien dengan perdarahan yang mengancam jiwa masih belum ideal. Ada batas pada apa
yang dapat dicapai dengan terapi penggantian komponen darah pada pasien trauma dengan
pendarahan tak terkendali.13
b) Sel darah merah
Biasa juga disebut PRC (packed red blood cells), mengandung konsentrat eritrosit dari
whole blood yang disentrifugasi atau dengan metode apheresis. Satu unit PRC berisi 240-340
ml dengan hematokrit 75-80% dan Hb 24 gr/dl. Untuk menaikkan Hb 1 gr/dl diperlukan
PRC 4ml/kg atau 1 unit untuk menaikkan kadar Ht 3-5%.9,10
Dosis pada dewasa tergantung kadar hemoglobin semasa dan yang akan dicapai. Satu
kantong akan menaikkan kadar hemoglobin resipien sekitar 1 g/dL. Pada neonatus, dosisnya 10-
15 mL/kgBB akan meningkatkan kadar hemoglobin 3 g/dL. Kadar hemoglobin akhir dapat
diperkirakan dengan rumus berikut:10
Kadar hemoglobin akhir = volume darah x hematokrit x 0,91

Sel darah merah diberikan apabila:14


i. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada
kadar Hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien
asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang
lebih rendah dapat diterima.
ii. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10
g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan
laboratorium.
iii. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila
ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen lebih
tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).
iv. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada
kadar Hb 11 g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dL (seperti pada
anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan
suplementasi oksigen, batas untuk memberi transfusi adalah Hb 13 g/dL.
Rasional:
Transfusi satu unit darah lengkap (whole blood) atau sel darah merah pada pasien dewasa
berat badan 70 kg yang tidak mengalami perdarahan dapat meningkatkan hematokrit kira-kira
3% atau kadar Hb sebanyak 1 g/dl. Tetapi, kadar Hb bukan satu-satunya faktor penentu untuk
transfusi sel darah merah. Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan adalah kondisi pasien,
tanda dan gejala hipoksia, kehilangan darah, risiko anemia karena penyakit yang diderita oleh
pasien dan risiko transfusi.14
Banyak transfusi sel darah merah dilakukan pada kehilangan darah ringan atau sedang,
padahal kehilangan darah itu sendiri tidak menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
perioperatif. Meniadakan transfusi tidak menyebabkan keluaran (outcome) perioperatif yang
lebih buruk.9 Beberapa faktor spesifik yang perlu menjadi pertimbangan transfusi adalah:14
i. Pasien dengan riwayat menderita penyakit
kardiopulmonal perlu transfusi pada batas kadar Hb yang lebih tinggi.
ii. Volume darah yang hilang selama masa perioperatif baik
pada operasi darurat maupun elektif, dapat dinilai secara klinis dan dapat dikoreksi dengan
penggantian volume yang tepat.
iii. Konsumsi oksigen, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor
penyebab antara lain adalah demam, anestesia dan menggigil. Jika kebutuhan oksigen meningkat
maka kebutuhan untuk transfusi sel darah merah juga meningkat.
Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah bila pasien akan
menjalani operasi yang menyebabkan banyak kehilangan darah serta adanya gejala dan tanda
klinis dari gangguan transportasi oksigen yang dapat diperberat oleh anemia.14
Kehilangan darah akut sebanyak <25% volume darah total harus diatasi dengan
penggantian volume darah yang hilang. Hal ini lebih penting daripada menaikkan kadar Hb.
Pemberian cairan pengganti plasma (plasma subtitute) atau cairan pengembang plasma (plasma
expander) dapat mengembalikan volume sirkulasi sehingga mengurangi kebutuhan transfusi,
terutama bila perdarahan dapat diatasi.14
Pada perdarahan akut dan syok hipovolemik, kadar Hb bukan satu-satunya
pertimbangan dalam menentukan kebutuhan transfusi sel darah merah. Setelah pasien
mendapat koloid atau cairan pengganti lainnya, kadar Hb atau hematokrit dapat digunakan
sebagai indikator apakah transfusi sel darah merah dibutuhkan atau tidak.14
Sel darah merah diperlukan bila terjadi ketidakseimbangan transportasi oksigen,
terutama bila volume darah yang hilang >25% dan perdarahan belum dapat diatasi.
Kehilangan volume darah >40% dapat menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari transfusi
darah menggunakan darah simpan lebih dari sepuluh hari karena tingginya potensi efek samping
akibat penyimpanan. Darah yang disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar kalium yang tinggi,
pH rendah, debris sel tinggi, usia eritrosit pendek dan kadar 2,3-diphosphoglycerate rendah.14,15
Pertimbangan dalam memutuskan jumlah unit transfusi sel darah merah:14
i. Menghitung berdasarkan rumus umum sampai target Hb yang
disesuaikan dengan penilaian kasus per kasus.
ii. Menilai hasil/efek transfusi yang sudah diberikan kemudian
menentukan kebutuhan selanjutnya.
Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai masalah yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan katekolamin, kondisi yang tidak stabil atau
nyeri. Penurunan penyediaan oksigen juga dapat terjadi seperti hipovolemia dan hipoksia. Tanda
dan gejala klasik anemia berat (dispnea, nyeri dada, letargi, hipotensi, pucat, takikardia,
penurunan kesadaran) sering timbul ketika Hb sangat rendah. Tanda dan gejala anemia serta
pengukuran transportasi oksigen ke jaringan merupakan alasan transfusi yang lebih rasional.16
c) Platelet
Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >5,5 x 10 platelet per kantong,
dan 50 mL plasma. Dosis pemberian platelet pada kasus trombositopenia cukup 1 kantong, atau
sesuai target kadar platelet biasanya 40.000-50.000/mm. 1 kantong dapat meningkatkan platelet
sekitar 50-100.000/mm.11
Indikasinya adalah untuk mengatasi perdarahan karena kurangnya jumlah platelet, dan
fungsi platelet resipien yang tidak normal dengan kadar platelet kurang dari 40.000 pada dewasa,
dan kurang dari 100.000/mm3 pada neonatus. Kontraindikasi pemberian platelet adalah terdapat
autoimun trombositopenia atau trombotik trombositopeniapurpura.10,11
Transfusi trombosit dapat digunakan untuk:
i. Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila
hitung trombosit <50.000/uL, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi
<100.000/uL.
ii. Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/uL pada
pasien yang akan menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif.
iii. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami
perdarahan.
Rasional:
Pada tahun 1987 Nasional Institute of Health Consensus Conference merekomendasikan
profilaksis transfusi trombosit untuk pasien dengan hitung trombosit kurang dari 10.000-
20.000/uL, sedangkan untuk pasien dengan hitung trombosit >50.000/uL transfusi trombosit
tidak memberikan keuntungan. Transfusi trombosit pada hitung trombosit yang lebih tinggi
diindikasikan untuk pasien dengan perdarahan sistemik atau yang memiliki risiko tinggi
mengalami perdarahan karena kelainan koagulasi, sepsis, atau disfungsi trombosit.16,17
Penggunaan trombosit diindikasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan perdarahan
pada pasien dengan trombositopenia atau kelainan fungsi trombosit. Hitung trombosit adalah
faktor pemicu utama penggunaan trombosit, dengan faktor risiko terjadi perdarahan dan
banyaknya perdarahan akan mempengaruhi keputusan perlu tidaknya transfusi. Apabila terdapat
berbagai faktor yang berhubungan dengan perdarahan pada pasien trombositopenia seperti
demam, kelainan koagulasi, kegagalan hemostatik sistemik atau terdapat tempat potensial
timbulnya perdarahan karena operasi, maka dipertimbangkan penggunaan trombosit untuk
mempertahankan hitung trombosit >20.000/uL. Umumnya, sebagian besar pedoman
merekomendasikan hitung trombosit untuk prosedur operasi adalah >50.000/uL, walaupun tidak
ada penelitian terkontrol yang menyatakan hal tersebut. Untuk pasien yang menjalani operasi
dengan risiko tinggi terjadi perdarahan (operasi mata atau saraf), hitung trombosit perlu
dipertahankan pada batas 100.000/uL.11,16
Untuk kasus kelainan fungsi trombosit bawaan, ada bukti ilmiah menyatakan bahwa
transfusi trombosit efektif sebagai profilaksis operasi dan untuk terapi perdarahan. Sedangkan
bukti ilmiah untuk kelainan fungsi trombosit yang didapat masih kurang jelas. Untuk kelainan
fungsi trombosit akibat gagal ginjal maka pengobatan utamanya adalah koreksi anemia,
penggunaan desmopresin dan kriopresipitat. Dalam hal ini tidak ada bukti ilmiah yang
mendukung penggunaan trombosit.14
Penggunaan trombosit sebagai terapi pada pasien dengan trombositopenia dan/atau
kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan bermakna harus dikontrol. Transfusi sel
darah merah lebih dari 10 unit atau satu volume darah dalam 24 jam seringkali diikuti dengan
hitung trombosit <50.000/uL terutama bila 20 unit atau lebih telah ditransfusikan.14

d) Frozen plasma
Biasa disebut fresh frozen plasma (FFP). 1 unit plasma biasa berisi 200 ml diperoleh dari
mengendapkan darah lengkap selama 72 jam. Semua faktor pembekuan ada kecuali faktor V dan
VIII. Pada plasma segar beku (FFP) faktor V dan faktor VIII tetap aktif. Plasma segar diberikan
biasanya setelah transfusi darah masif, setelah terapi warfarin dan koagulopati pada penyakit
hepar.9,11
Indikasi pemberian adalah terdapat perdarahan masif, setelah terapi warfarin dan
kuagulopati pada penyakit hati, atau trombotik trombositopenia purpura. Dosis pemberian frozen
plasma adalah 10-20 mL/kg.10
Transfusi FFP digunakan untuk:
i. Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor koagulasi
baik yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi.
ii. Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang
mengancam nyawa.
iii. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfusi
masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.

Rasional:
Penggunaan FFP seringkali tidak tepat baik dari segi indikasi maupun jumlah FFP yang
diberikan. Penggunaan FFP dianjurkan pada beberapa kondisi klinis, tetapi belum menunjukkan
adanya keuntungan atau dianggap sebagai terapi alternative yang aman dan memuaskan.14

e) Cryoprecipitated AHF
Sering disebut sebagai cryoprecipitated antihemophilic faktor. Didapatkan dengan
mencairkan FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150 mg fibrinogen, 80 IU faktor VIII:C, faktor
VIII:vWF (von Willebrand faktor), faktor XIII, fibronectin, dan 5-20mL plasma.Dosis:
kebutuhan fibrinogen : 250 fibrinogen/kantong. Biasanya sekitar 1kantong per 7-10 kgBB.
Indikasinya adalah perdarahan karena defisiensi fibrinogen dan faktor XIII serta pasien dengan
hemofili A atau von Willebrands disease.10
Kriopresipitat digunakan untuk:
i. Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani
prosedur invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.
ii. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami
perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani
operasi.
Rasional:
Pada tahun 1994 CAP merekomendasikan transfusi kriopresipitat pada pasien dengan
hipofibrinogenemia, penyakit von Willebrand dan pasien hemofilia A (ketika konsentrat faktor
VIII tidak tersedia). Rekomendasi yang sama juga dibuat oleh ACOG. BCSH
merekomendasikan pemberian transfusi kriopresipitat pada pasien yang mendapat
transfusi masif dengan perdarahan mikrovasular bila kadar fibrinogen <80 mg/dl.14,15,16,17
Kelompok kerja ASA pada tahun 1996 merekomendasikan pertimbangan memberikan
kriopresipitat sebagai profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen kongenital atau
penyakit von Willebrand yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat yang akan
menjalani operasi tetapi tidak mengalami perdarahan; pasien dengan penyakit von Willebrand
yang mengalami perdarahan; koreksi pada pasien dengan perdarahan mikrovaskular karena
transfusi masif dengan konsentrasi fibrinogen <80-100 mg/dl.16
NHMRC-ASBT pada tahun 2001 menyatakan bahwa penggunaan kriopresipitat mungkin
tepat pada pasien dengan defisiensi fibrinogen bila terdapat manifestasi perdarahan, prosedur
invasif, trauma atau DIC. Penggunaan kriopresipitat umumnya tidak tepat pada terapi hemofilia,
penyakit von Willebrand, atau defisiensi faktor XIII atau fibrinektin, kecuali tidak ada terapi
alternative lainnya.14

f) Granulosit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien
neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik.Transfusi granulosit
mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek,sedemikian sehingga sehari-hari 10
transfusi granulosit pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden
timbulnya reaksi graft-versus-host, kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan
lain permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit (lihat di bawah), tetapi mempengaruhi
fungsigranulosit. Ketersediaan filgrastim (granulocyte colony-stimulating faktor, atau G-CSF)
dan sargramostim (granulocyte-macrophage colony-stimulating faktor, atau GM-CSF) telah
sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.10,15
2.9.2 Efek transfusi sel darah merah masif pada koagulasi
Transfusi darah pada masa lampau sebagian besar bergantung pada penggunaan whole
blood, sedangkan pada praktek modern didasarkan pada konsep terapi komponen darah spesifik.
Di negara maju, unit darah yang paling utuh dipisahkan dalam 18-24 jam ke dalam sel darah
merah, trombosit dan plasma, dan di beberapa pusat penyimpanan darah, kriopresipitat
dipersiapkan setelah pencairan FFP di 2-4oC. Terapi komponen darah mengoptimalkan
penggunaan sumber daya dengan memungkinkan komponen yang akan digunakan pada pasien.
Hal ini untuk menghindari efek yang memiliki potensi berbahaya yang disebabkan oleh
kelebihan bahan-bahan transfusi. Misalnya, transfusi whole blood, bukan sel darah merah dalam
larutan aditif, untuk pasien anemia meningkatkan risiko terkait plasma seperti reaksi transfusi
TRALI (transfusion related acute lung injury), yang berkaitan dengan adanya antibodi untuk
HLA atau leukosit dalam plasma donor. 19
Meskipun terapi komponen spesifik menyediakan keuntungan logistik dan ekonomi, pada
transfusi koagulopati RBC masif, koagulopati karena rendahnya level platelet dan faktor
pembekuan terjadi pada fase yang lebih awal dibandingkan dengan penggunaan whole blood.
Satu unit whole blood berisi sekitar 200 ml plasma dengan jumlah yang cukup untuk faktor
koagulan yang stabil, terutama fibrinogen. Sebaliknya, hanya sejumlah plasma yang tak berarti,
begitu pula dengan faktor koagulasi dan platelet, terdapat di unit sel darah merah, dan larutan
plasma tanpa aditif ditambahkan ke unit tersebut untuk menyediakan nutrisi dan energi untuk sel
darah merah, serta penyangga pH selama penyimpanan. Selama perang Vietnam, ketika whole
blood yang disimpan digunakan, ditemukan bahwa jumlah trombosit tidak turun di bawah
100.109 liter-1, bahkan setelah transfusi 6 liter. Sebaliknya pada saat ini, 85% dari pasien yang
menerima setidaknya 10 unit sel darah merah dalam larutan aditif mengalami trombositopenia. 19
Hubungan antara volume darah yang hilang, penggantian volume darah dan reduksi pada
faktor koagulan masih sulit ditemukan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor termasuk dinamika
kehilangan darah, kesulitan dalam memperkirakan jumlah darah yang hilang sesungguhnya,
variasi pada jumlah faktor pembekuan dan fungsi sistem organ yang terlibat dalam hemostasis
pada setiap individu seperti hepar, limpa, dan sumsum tulang. Martinowitz menemukan pada 36
pasien dengan trauma berat, setelah menerima transfusi sel darah merah dalam jumlah besar
dengan rata-rata pemberian sebanyak 21 unit, jumlah rata-rata fibrinogen sebanyak 1.5gr/liter
(interkuartil range 1.1 2.6gr/liter). Temuan yang mirip juga diutarakan oleh Hiippala yang
menemukan jumlah fibrinogen <1.0gr/liter setelah penggantian sekitar 1.5 volume darah pada 60
pasien dengan operasi besar. Namun, McLoughlin menemukan bahwa jumlah fibrinogen di
bawah 1.0 gr/liter terjadi setelah penggantian 0.5 volume darah. Namun demikian, penelitian
tersebut dilakukan pada 8 pasien yang memiliki ambang jumlah fibrinogen yang rendah (sekitar
1.6 gr/liter). 19
Pada prinsipnya, pengukuran kemampuan hemostatik berkala harus menyertakan
panduan untuk penanganan pasien. Celakanya, tes yang sering digunakan, PT dan aPTT, tes
umum yang sebenarnya dikembangkan untuk memonitor terapi antikoagulan dan nilai prediksi
pada seting trauma dan pembedahan, belum divalidasi. Pengukuran konsentrasi fibrinogen yang
diulang-ulang dapat membantu menentukan kapan terapi penggantian. fibrinogen dibutuhkan
pada pasien. Data Thromboelastograph menyediakan pemeriksaan proses koagulasi dari
pembentukan klot sampai lisisnya klot itu secara kualitatif dan dinamis, serta penggunaan
Thromboelastograph dapat berguna pada pasien trauma. Meningkatnya kandungan asam dari
unit sel darah merah juga menyebabkan koagulopati. pH unit sel darah merah rendah, dan
menurun secara progresif selama penyimpanan, karena produksi asam laktat oleh sel darah
merah, dimana pH awalnya 7.0 menjadi sekitar 6.3 pada akhir masa hidupnya. Karena
kemampuan penyangga plasma yang tinggi pada sirkulasi, transfusi sel darah merah dengan pH
yang rendah biasanya tidak menyebabkan gangguan keseimbangan asam basa. Namun, pada
kasus pasien trauma yang sudah asidosis, transfusi sel darah merah masif menyebabkan
peningkatan asam yang dapat memperparah koagulopati yang sudah terjadi.19
Transfusi sel darah merah pasti dapat menyelamatkan nyawa pasien trauma dengan syok
perdarahan. Namun, dengan komponen sel darah merah modern yang tidak mengandung platelet
dan faktor koagulasi, koagulopati terjadi pada fase awal transfusi sel darah merah masif. Jumlah
yang berlebihan dari antikoagulan sitrat teradapat dalam FFP. Pasien trauma, biasanya
mengalami shock hipovolemi atau hipotermia, dan ketika menerima FFPdalam jumlah besar
dapat mengalami hipokalsemia akibat pengikatan sitrat pada ion kalsium yang tersirkulasi.
Karena ion kalsium adalah salah satu elemen esensial pada koagulasi, hipokalemia dapat
berperan dalam koagulopati.19

2.10 Reaksi Transfusi Darah20


1. Reaksi transfusi darah secara umum
Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-langkah tertentu yang perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi, walaupun demikian tetap diperlukan
kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi yang mungkin terjadi. Ada
beberapa jenis reaksi transfusi dan gejalanya bermacam-macam serta dapat saling tumpang
tindih. Oleh karena itu, apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang
pertama kali dilakukan adalah menghentikan transfusi, tetap memasang infus untuk
pemberian cairan NaCl 0,9% dan segera memberitahu dokter jaga dan bank darah.

2. Reaksi Hemolisis
Reaksi Hemolisis pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah
yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Lebih sedikit biasanya hemolisis sel darah merah
resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibodi sel darah merah. Trombosit konsentrat yang
inkompatible, FFP, clotting factor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan
anti-A atau anti-B (atau kedua-duanya) alloantibodi. Transfusi dalam jumlah besar dapat
menyebabkan hemolysis intravascular.
Reaksi Hemolisis biasanya digolongkan akut (intravascular) atau delayed
(extravascular).
a. Reaksi hemolisis akut
Hemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan
Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi. Penyebab
yang paling umum adalah mis-identifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit
transfusi. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic fatal terjadi 1
dalam 100,000 transfusi.
Gejala-gejala yang ditemui pada pasien yang sadar, meliputi rasa dingin, demam,
nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic
akut adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan, hypotensi, hemoglobinuria, dan
oozing yang difus dari lapangan operasi. Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan
penurunan fungsi ginjal dapat berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali
tergantung pada berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang
berat dapat terjadi setelah transfusi 10-15ml darah yang ABO inkompatibel.
Manajemen reaksi hemolisis dapat simpulkan sebagai berikut;
Jika dicurigai suatu reaksi hemolisis, transfusi harus dihentikan dengan segera.
Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
Osmotic diuresis harus diaktifkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh darah.
Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP
b. Reaksi hemolisis lambat
Suatu reaksi hemolisis lambat biasanya disebut hemolisis extravaskular biasanya ringan
dan disebabkan oleh antibodi non D antigen sistem Rh atau ke alel asing di sistem lain seperti
Kell, Duffy, atau Kidd antigen. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh D-kompatibel, pasien
mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibodi untuk melawan antigen asing. Pada saat
itu sejumlah antibodi ini sudah terbentuk (beberapa minggu sampai beberapa bulan), tranfusi
sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody menurun dan mungkin
tidak terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang sama selama transfusi sel darah,
dapat mencetuskan respon antibodi melawan antigen asing.
Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolisis pada tipe
lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise,
jaundice, dan demam. Hematokrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya
perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin.
Diagnosa antibodi-reaksi hemolisis lambat mungkin difasilitasi oleh antiglobulin
(Coombs)Test.
Coombs test mendeteksi adanya antibodi di membran sel darah. Test ini tidak bisa
membedakan antara membran antibodi resipien pada sel darah merah dengan membran
antibodi donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih
terperinci pre-transfusi pada kedua spesimen : pasien dan donor.
Penanganan reaksi hemolisis lambat adalah suportif. Frekuensi reaksi transfusi
hemolisis lambat diperkirakan kira-kira 1:12.000 transfusi. Kehamilan (terpapar sel darah
merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan allo-tibodies pada sel darah merah.
Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH, direct antiglobulin
test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan urinalisis. Fungsi ginjal harus dimonitoring
ketat. Terapi spesisfik sangat jarang dibutuhkan, hanya saja pada transfusi selanjutnya perlu
berhati-hati dengan melakukan screening golongan darah dan atibodi.
c. Reaksi imun nonhemolisis
Reaksi imun nonhemolisis adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke
donor lekosit, platelet, atau protein plasma.
3. Reaksi Febris
Sensitisasi leukosit atau platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi febris.
Reaksi ini umumnya 1-3% tentang episode transfusi dan ditandai oleh suatu peningkatan
temperatur tanpa adanya hemolisis. Pasien dengan suatu riwayat febris berulang harus
menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi darah merah dapat dibuat leukositnya kurang
dengan sentrifuge, filtrasi, atau teknik freeze-thaw.
4. Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh eritema, penyakit gatal bintik
merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya (1%
tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien terhadap transfusi
protein plasma. Reaksi urtikaria dapat diatasi dengan obat antihistamin (H dan mungkin H2
blockers) dan steroid.
5. Reaksi Anafilaksis
Reaksi Anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 1 dari 150,000 transfusi). Reaksi ini
berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas pada IgA
pasien dengan defisiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi
defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi dengan
pemberian epinefrin, cairan, kortikosteroid, H1, dan H2 bloker. Pasien dengan defisiensi IgA
perlu menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood
Unit .
Tandanya meliputi hipotensi, bronkospasme, periorbital dan laryngeal edema, mual
& muntah, erythema, urtikaria, konjunctivitis, dyspnoea, nyeri dada, dan nyeri abdomen.
Manajemen: hentikan transfusi sampai gejala menghilang selama 30 menit. Untuk
menghilangkan gejala berikanantihistamin,misalnya chlorpheniramine 10mg. Berikan
chlorpheniramine sebelum transfusi berikutnya dilakukan.
6. Edema Pulmoner Nonkardiogenik
Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury [TRALI])
merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<1:10,000). Ini berkaitan dengan transfusi
antileukositik atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan sel darah
putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner. Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi
dengan leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory
distress syndrome (ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan terapi suportif.
Manajemen: atasi distres pernapasan dengan ventilator, dan berikan steroid.
7. Graft versus Host Disease
Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel darah
berisi limfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus
sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versus- host. Iradiasi (1500-3000 cGy)
sel darah merah, granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi limfosit
tanpa mengubah efikasi dari transfusi.

8. Purpura Post-transfusi
Thrombositopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan dengan
berkembangnya aloantibodi trombosit. Karena alasan yang tidak jelas, antibodi
menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu setelah
tranfusi. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.
9. Imunosupresi
Transfusi leukosit merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini adalah
terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif nampak
untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari
pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi
darah selama pembedahan. Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukosit
allogenik dapat mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat
meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahan atau trauma.

10. Komplikasi Infeksi


1) Infeksi Virus Hepatitis
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya
hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah dalam
kaitan dengan hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan
1:1,600,000, 75% tentang kasus ini adalah anikterik, dan sedikitnya 50% berkembang
menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya
10-20% berkembang menjadi cirrhosis.
2) Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui
transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti HIV-1 dan HIV-2 antibodi.
Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu kurang dari satu
minggu dan menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.
3) Infeksi Virus Lain
Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan penyakit
sistemik ringan atau asimptomatik. Yang kurang menguntungkan pada beberapa individu
menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor dapat
menularkan virus.
Pasien immunosupresif dan Immunocompromise (misalnya, bayi prematur dan penerima
transplantasi organ) peka terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, pasien - pasien
menerima hanya CMV negatif.
Studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari transfusi dari darah yang
leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV negatif. Oleh karena itu,
pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara klinis cocok diberikan pada pasien
seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II (HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia
dan lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah;
leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan Parvovirus telah dilaporkan setelah
transfusi faktor pembekua dan dapat mengakibatkan krisis transient aplastic pada pasien
immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak
mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.
4) Infeksi Parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria, toxoplasmosis,
dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.
5) Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi. Prevalensi
kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai 1/7000 untuk
RBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit
sampai 1/250,000 untuk RBC. Angka-angka ini secara relatif besar dibandingkan ke resiko
HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positif
(Staphylococus) dan bakteri gram-negatif (Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari
transfusi darah dan menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari
bakteri, darah harus berikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang
ditularkan melalui transfusi darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis,
yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia.
Manajemen: penanganan kasus ini adalah dengan memberikan antibiotik sesuai bakteri
penginfeksi. Bila jenis bakterinya tidak diketahui, kombinasi berikut dapat dipertimbangkan:
Bakteri gram negatif: piperacillin 4,5 g tds iv; atau ceftriaxone 1 g 1x/hari; atau
meropenem 1 g tds iv.
Bakteri gram positif: teicoplain 400mg bd iv x2; atau vancomycin 1 g bd iv.
6) Overload Cairan
Overload cairan terjadi bila transfusi dilakukan terlalu cepat. Gagal jantung
ventrikel kiri akut sering terjadi disertai dyspnoe, tachypnoea, batuk kering, peningkatan
JVP, ronki basal paru, hipertensi, dan takikardi. Manajemen: hentikan transfusi, dan berikan
oksigen dan diuretik.
7) Iron Overload
Komplikasi ini sering terjadi pada resipien dengan kelainan yang hidupnya bergantung
pada transfusi darah seperti thalasemia dan sickle cell. Komplikasi ini terjadi bila transfusi
sudah mencapai 10-50 kantong. Manajemen; iron chelation therapy dengan desferoxamine 30-
50 mg subkutan atau infus lambat saat malam, minimal 5x/minggu.

2.11 Transfusi Darah Masif20


Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah disimpan, dengan volume
darah yang lebih besar daripada volume darah resipien dalam waktu 24 jam. Pada
keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang digunakan tidak dihangatkan,
hiperkalemia, hipokalsemia dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari
trombosit dan factor- factor pembekuan. Penggunaan darah simpan dalam waktu yang
lama akan menyebabkan terjadinya beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan
jantung, asidosis, kegagalan hemostatik, acute lung injury.
Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu sampai dua
kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan 10-20 unit.
Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak dari total
volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa: 70 ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg).
Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan oleh
banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma awal, kerusakan jaringan dan
organ akibat perdarahan dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat
perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri.
Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.
1) Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional
thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari faktor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien
normal. Koagulopati di definisikan sebagai nilai PPT lebih besar dari 14,2 atau nilai
APTT lebih lama dari 38,4 detik.
Koagulopati ini disebabkan oleh pelepasan faktor jaringan (salah satunya
tromboplastin, yang banyak terdapat di parenkim otak ) dan koagulan lain dari parenkim otak
yang rusak, yang masuk ke peredaran darah sistemik dan mempengaruhi proses pembekuan
darah. Jika kerusakan parenkim di otak cukup luas dan tromboplastin banyak masuk ke
sirkulasi sistemik, akan menyebabkan aktivasi faktor pembekuan darah yang tidak
terkontrol dan selanjutnya akan mengakibatkan koagulopati sistemik atau disebut
disseminated intravaskular coagulation (DIC).
2) DIC ( disseminated intravaskular coagulation)
DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih disebabkan alasan dasar
dilakukannya transfusi (syok hipovolemik, trauma, komplikasi obstetrik).
Terapi ditujukan untuk penyebab dasarnya. DIC (disseminated intravaskular
coagulation) ditandai dengan proses aktivasi dari sistem koagulasi yang menyeluruh yang
menyebabkan pembentukan fibrin di dalam pembuluh darah sehingga terjadi oklusi
trombotik di dalam pembuluh darah berukuran sedang dan kecil. Proses tersebut
menjadikan aliran darah terganggu sehingga terjadi kerusakan pada banyak organ tubuh.
Pada saat yang bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor
pembekuan sehingga terjadi perdarahan.
Sebelum dikenal istilah CID, dahulu dikenal istilah-istilah lain yang diberikan
sesuai dengan patofisiologinya:
Coagulation consumption
Hyperfibrinosis
Defibrinasi
Thrombohaemoraghic Syndrome
DIC ( disseminated intravaskular coagulation) merupakan keadaan yang termasuk
dalam kategori kedaruratan medik, sehingga memerlukan tindakan medis dan
penanganan segera. Tindakan dan penanganan yang diberikan tergantung dari patofisiologi
penyakit yang mendasarinya, apakah terjadi secara akut atau memang sudah ada penyakit
yang sudah lama diderita. Namun yang utama dalam memberikan penanganan tersebut
adalah mengetahui proses patologi DIC itu sendiri,sepeti telah disebutkan
sebelumnya, yakni terjadinya proses trombosis mikrovaskular dan kemungkinan terjadi
perdarahan (diatesa hemoragik) secara bersamaan Tanda-tanda yang dapat dilihat pada
penderita DIC yang disertai dengan perdarahan misalnya: petekie, ekimosis, hematuria, melena,
epistaksis, hemoptisis, perdarahan gusi, penurunan kesadaran hingga terjadi koma yang
disebabkan oleh perdarahan otak. Sementara tanda-tanda yang dapat dilihat pada trombosis
mikrovaskular adalah gangguan aliran darah yang mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan
berakibat pada kegagalan fungsi organ tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut,
iskemia fokal, gangren pada kulit.
Berikut ini adalah kondisi klinik yang dapat menyebabkan terjadinya DIC:
Sepsis
Trauma
o Cidera jaringan berat
o Cidera kepala
o Emboli lemak
Kanker
o Myeloproliferative disorder
o Tumor padat
Komplikasi Obstetrik
o Emboli cairan amnion
o Abruptio Placenta
Kelainan pembuluh darah
o Giant hemangioma
o Aneurysma Aorta
Reaksi terhadap toksin
Kelainan Imunologik
o Reaksi alergi yang berat.
o Reaksi hemolitik pada transfusi
o Rejeksi pada transplant

Pada pasien dengan DIC, terjadi pembentukan fibrin oleh trombin yang
diaktivasi oleh faktor jaringan. Faktor jaringan, berupa sel mononuklir dan sel endotel
yang teraktivasi, mengaktivasi faktor VII. Kompleks antara faktor jaringan dan faktor
VII yang teraktivasi tersebut akan mengaktivasi faktor X baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan cara mengaktivasi faktor IX dan VIII. Faktor X yang teraktivasi
bersama dengan faktor V akan mengubah protrombin menjadi trombin. Di saat yang
bersamaan terjadi konsumsi faktor antikoagulan seperti antitrombin III, protein C dan
jalur penghambat-faktor jaringan, mengakibatkan kurangnya faktor-faktor tersebut.
Pembentukan fibrin yang terjadi tidak diimbangi dengan penghancuran fibrin yang
adekuat, karena sistem fibrinolisis endogen (plasmin) tertekan oleh penghambat-aktivasi
plasminogen tipe 1 yang kadarnya tinggi di dalam plasma menghambat pembentukan
plasmin dari plasminogen. Kombinasi antara meningkatnya pembentukan fibrin dan
tidak adekuatnya penghancuran fibrin menyebabkan terjadinya trombosis intravaskular yang
menyeluruh.
Diagnosis DIC tidak dapat ditegakan hanya berdasarkan satu tes laboratorium,
karena itu biasanya digunakan beberapa hasil pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan berdasarkan kondisi klinik pasien.
Dalam praktik klinik diagnosis DIC dapat ditentukan atas dasar temuan sebagai
berikut:
1. adanya penyakit yang mendasari terjadinya DIC.
2. Pemeriksaan trombosit kurang dari 100.000/mm.
3. Pemanjangan waktu pembekuan (PT, aPTT).
4. Adanya hasil degradasi fibrin di dalam plasma (ditandai dengan peningkatan D-dimer).
5. Rendahnya kadar penghambat koagulasi (Antitrombin III)
Rendahnya trombosit pada DIC menandakan adanya aktivasi trombin yang
terinduksi dan penggunaan trombosit. Memanjangnya waktu pembekuan menandakan
menurunnya jumlah faktor pembekuan yang tersedia seperti vitamin K. Pemeriksaan
kadar penghambat pembekuan (AT III atau protein C) berguna untuk memberikan
informasi prognostik. Pemeriksaan hasil degradasi fibrin seperti D-dimer, akan
membantu untuk membedakan DIC dengan kondisi lain yang memiliki gejala serupa,
pemanjangan waktu pembekuan dan turunnya trombosit, seperti pada penyakit hati kronik.
Rekomendasi KonNas Tatalaksana DIC pada Sepsis tahun 2001Kriteria minimal
untuk diagnosis DIC adalah didapatkan keadaan atau gambaran klinik yang dapat
menyebabkan DIC dengan manifestasi perdarahan, tromboemboli atau keduanya, disertai
dengan pemeriksaan laboratorium trombositopenia dan gambaran eritrosit sel Burr atau D-
dimer positif.Bilamana fasilitas laboratorium memungkinkan dapat digunakan kriteria
menurut Bick atau berdasarkan skor DIC dari ISTH 2001.
Kriteria Laboratorium DIC menurut KonNas Tata laksana DIC pada sepsis
2001;
1. Hitung trombosit: trombositopeni pada 98% DIC
2. PT : memanjang pada 50-70% DIC
3. aPTT : memanjang pada 50-60% DIC
4. Masa Trombin : memanjang
5. Fibrinogen
6. sFM (soluble fibrin monomer)
7. D-dimer : meningkat
8. FDP : meningkat
9. Antitrombin : menurun
Kriteria Laboratorium DIC menurut Bick, yaitu ;
1. Aktivasi prokoagualan: PF1+2, TAT, D-dimer, fibrinopeptide
2. Aktivasi fibrinolitik: D-dimer, FDP, plasmin, PAP
3. Konsumsi inhibitor: AT III, TAT, PAP, Protein C & S
4. Kerusakan/kegagalan organ: LDH, kreatinin, pH, pO2
Sistem Skor DIC (ISTH 2001)
1. Penilaian risiko: apakah terdapat penyebab DIC?(jika tidak ada, penilaian tidak
dilanjutkan)
2. Uji Koagulasi (trombosit, PT, D-dimer, fibrinogen)
3. Skor:
a. Trombosit: > 100000 = 0 50000-100000 = 1 <50000 = 2
b. D-dimer: < 500 = 0 500-1000 = 1>10000=2
c. PT memanjang: <3 detik = 0 4-6 detik = 1 >6 detik = 2
d. Fibrinogen: <100mg/dl = 1 >100 mg/dl = 0
4. Jumlah skor:
a. 5 : sesuai DIC : skor diulang setiap hari
b. < 5 : sugestif DIC : skor diulang dalam 1-2 hari
Penatalakasanaan DIC yang utama adalah mengobati penyakit yang
mendasari terjadinya DIC. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap DIC tidak
akan berhasil. Kemudian pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.
1. Antikogulan
Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses
pembekuan, baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski pemberian
heparin juga banyak diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam
penelitian klinik pada pasien KID, heparin tidak menunjukkan komplikas perdarahan yang
signifikan.
Dosis heparin yang diberikan adalah 300 500 u/jam dalam infus kontinu.

Indikasi:
Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat
Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi
Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati,
sindroma gagal nafas
Dosis: 100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam)
kontinu, dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrolLow
molecular weight heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.
2. Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit
diberikan hanya kepada pasien DIC dengan perdarahan atau pada prosedur invasive
dengan kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan,
karena di dalam palasma hanya berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara
pada pasien DIC terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan.
3. Penghambat pembekuan (AT III)
Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien DIC, meski biaya pengobatan ini cukup
mahal. Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70%
Dosis:
Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu
selama 3 5 hari.
Rumus:
1 iu x BB (kg) x AT III, dengan target AT III > 120%
AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%

4. Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien
DIC pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat
proses fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya DIC yang
terjadi akan semakin berat.

3) Asidosis
Keadaan ini lebih disebabkan terapi hipovolemia yang tidak adekuat. Pada keadaan
normal, tubuh dengan mudah mampu menetralisir kelebihan asam dari transfusi. Asidosis
metabolik hampir selalu menyertai syok dengan adanya akumulasi asam laktat akibat
hipoksemia, hal ini dikarenakan pada saat mengalami syok, konsumsi oksigen dalam oksigen
menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya aliran
darah yang mengandung oksigen kejaringan. Kekurangan ini menyebabkan sel terpaksa
melangsungkan metabolism anaerob dan menghasilkan asm laktat. Metabolisme anaerobik
mengalami komplikasi akibat penurunan fungsi hati dimana hati tidak mampu memetabolisir
laktat yang terbentuk. Sehingga keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam
piruvat, asam lemak dan keton.
4) Hyperkalemia
Hal ini dikarenakan faktor penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium
ekstraselular meningkat, dan akan semakin meningkat bila semakin lama disimpan.
5) Keracunan sitrat dan hipokalsemia
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting
setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hipokalsemia penting, karena
menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1
U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau
disfungsi hepar (dan kemungkinan pada pasien hipotermi) memerlukan infus kalsium selama
transfusi masif.
Keracunan sitrat jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada transfusi darah lengkap
masif. Pasien yang mengalami keracunan sitrat ata mengaami deficit kalsium yaitu mereka yang
mendapatkan transfusi lasma, whole blood dan trombosit dengan ecepatan melebihi
100ml/menit, atau lebih rendah pada pasien dengan penyakit hati, dimana hati tidak bias
mengikuti pemberian sitrat dengan cepat, tidak bias memetabolisme sitrat, mengrangi kalsium
terionisasi.
Hipokalsemia terutama bila disertai dengan hipotermia dan asidosis dapat menyebabkan
penurunan curah jantung (cardiac output), bradikardia dan disritmia lainnya. Proses metabolisme
sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung cepat, oleh karena itu tidak perlu menetralisir
kelebihan asam.
6) Kekurangan fibrinogen dan faktor koagulasi
Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara progresif selama penyimpanan, terutama
faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada suhu -25C atau lebih rendah. Pengenceran
(dilusi) faktor koagulasi dan trombosit terjadi pada transfusi massif.
7) Kekurangan trombosit
Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap dan trombosit tidak
berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam.
8) Hipotermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah
cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Hipotermia adalah kondisi dimana tubuh
kita mengalami penurunanan suhu inti (suhu organ dalam). Hipotermia bias menyebabkan
terjadinya pembengkakan di seluruh tubuh (Edema Generalisata), menghilangnya reflex
tubuh (areflexia), koma, hingga menghilangnya reaksi pupil mata. Disebut hipotermia berat
bila suhu tubuh < 320C. Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan termometer
ukuran rendah (low reading termometer) sampai 250C. Di samping sebagai suatu gejala,
hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
Hipotermia terjadi ketika darah dingin dengan volume yang banyak diberikan dengan
cepat. Pemberiaan dengan cepat ini dapat menyebabkan pasien menggigil, hipotermi
vasokontriksi perifer dan aritmia ventrikuler yang dapat menjadi fibrilasi, sering terjadi pada
temperatur sekitar 30C dan mengahambat resusitasi jantung hingga henti jantung. Penggunaan
alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi
timbulnya insiden hipotermia yang terkait dengan transfuse. Pemberian cepat transfusi masif
yang langsung berasal dari pendingin menyebabkan penurunan suhu tubuh yang bermakna. Bila
terjadi hipotermia, berikan perawatan selama berlangsungnya transfusi.
9) Kelainan asam basa
Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam
sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merah (karbondioksida dan asam laktat), berkenaan
dengan metabolisme asidosis metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang
terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah masif adalah alkalosis metabolik
postoperatif. Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolik berakhir dan alkalosis
metabolik progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah
menjadi bikarbonat oleh hepar.
10) Perubahan konsentrasi kalium serum
Konsentrasi kalium ekstraselular dalam darah yang disimpan meningkat dengan waktu. Jumlah
kalium ekstraselular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang dari 4 mEq perunit.
Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika transfusi melebihi 100
mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama sekali dihubungkan dengan
alkalosis metabolik
11) Mikroagregat
Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap yang disimpan membentuk
mikroagregat. Selama transfusi, terutama transfusi masif, mikroagregat ini menyebabkan
embolus paru dan sindrom distress pernapasan. Penggunaan buffy coat-depleted packed red cell
akan menurunkan kejadian sindrom tersebut.
BAB III
KESIMPULAN

Syok hemoragik disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Cairan tubuh
manusia terdiri dari cairan intraselular dan cairan ekstraseluler terbagi dalam cairan intravascular,
cairan interstitial, dan cairan transelular. Syok hemoragik dapat terjadi pada keadaan trauma ataupun
selama pembedahan. Resusitasi pada syok hemoragik akan mengurangi angka kematian, dengan
tujuan untuk mengembalikan volume sirkulasi, perfusi jaringan dengan mengoreksi hemodinamik,
control perdarahan, optimalisasi transfer oksigen. Pemberian cairan merupakan hal penting dalam
pengelolaan syok hemoragik dimulai dengan pemberian kristaloid dan koloid dilanjutkan dengan
transfuse darah komponen. Transfusi darah dapat optimal jika pemilihan jenis darah yang digantikan
tepat dan sesuai kondisi pasien, dengan mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi dalam
reaksi transfuse darah.
Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak dari total
volume darah pasien dalam waktu <24 jam. Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat
pada beberapa pasien. bukan disebabkan oleh banyaknya volume darah yang ditransfusikan,
tetapi karena trauma awal, kerusakan jaringan dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia.
Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi,
dibandingkan dengan transfusi itu sendiri. Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan
risiko komplikasi.

Anda mungkin juga menyukai