Syok Hemoragik
Syok Hemoragik
PENDAHULUAN
Penyimpanan
i. Temperatur penyimpanan
Setelah darah diambil dari donor segera disimpan pada suhu antara 1-60C. Pada suhu
sekitar ini glikolisis terjadi secara perlahan-lahan. Suhu penyimpanan terbaik ialah 4 0C, karena
pada suhu ini asam laktat yang terbentuk akan sangat menurunkan pH dan fungsi enzim
heksokinase serta fosfofruktokinase sehingga glikolisis terhenti. Di bawah 10C maka karena efek
dari dekstrose eritrosit akan membengkak, menjadi sangat fragil dan cenderung hemolisis. Di
atas suhu 60C bakteri akan berkembang biak, sehingga umur hidup eritrosit menjadi lebih
pendek.12
d) Frozen plasma
Biasa disebut fresh frozen plasma (FFP). 1 unit plasma biasa berisi 200 ml diperoleh dari
mengendapkan darah lengkap selama 72 jam. Semua faktor pembekuan ada kecuali faktor V dan
VIII. Pada plasma segar beku (FFP) faktor V dan faktor VIII tetap aktif. Plasma segar diberikan
biasanya setelah transfusi darah masif, setelah terapi warfarin dan koagulopati pada penyakit
hepar.9,11
Indikasi pemberian adalah terdapat perdarahan masif, setelah terapi warfarin dan
kuagulopati pada penyakit hati, atau trombotik trombositopenia purpura. Dosis pemberian frozen
plasma adalah 10-20 mL/kg.10
Transfusi FFP digunakan untuk:
i. Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor koagulasi
baik yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi.
ii. Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang
mengancam nyawa.
iii. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfusi
masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.
Rasional:
Penggunaan FFP seringkali tidak tepat baik dari segi indikasi maupun jumlah FFP yang
diberikan. Penggunaan FFP dianjurkan pada beberapa kondisi klinis, tetapi belum menunjukkan
adanya keuntungan atau dianggap sebagai terapi alternative yang aman dan memuaskan.14
e) Cryoprecipitated AHF
Sering disebut sebagai cryoprecipitated antihemophilic faktor. Didapatkan dengan
mencairkan FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150 mg fibrinogen, 80 IU faktor VIII:C, faktor
VIII:vWF (von Willebrand faktor), faktor XIII, fibronectin, dan 5-20mL plasma.Dosis:
kebutuhan fibrinogen : 250 fibrinogen/kantong. Biasanya sekitar 1kantong per 7-10 kgBB.
Indikasinya adalah perdarahan karena defisiensi fibrinogen dan faktor XIII serta pasien dengan
hemofili A atau von Willebrands disease.10
Kriopresipitat digunakan untuk:
i. Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani
prosedur invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.
ii. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami
perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani
operasi.
Rasional:
Pada tahun 1994 CAP merekomendasikan transfusi kriopresipitat pada pasien dengan
hipofibrinogenemia, penyakit von Willebrand dan pasien hemofilia A (ketika konsentrat faktor
VIII tidak tersedia). Rekomendasi yang sama juga dibuat oleh ACOG. BCSH
merekomendasikan pemberian transfusi kriopresipitat pada pasien yang mendapat
transfusi masif dengan perdarahan mikrovasular bila kadar fibrinogen <80 mg/dl.14,15,16,17
Kelompok kerja ASA pada tahun 1996 merekomendasikan pertimbangan memberikan
kriopresipitat sebagai profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen kongenital atau
penyakit von Willebrand yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat yang akan
menjalani operasi tetapi tidak mengalami perdarahan; pasien dengan penyakit von Willebrand
yang mengalami perdarahan; koreksi pada pasien dengan perdarahan mikrovaskular karena
transfusi masif dengan konsentrasi fibrinogen <80-100 mg/dl.16
NHMRC-ASBT pada tahun 2001 menyatakan bahwa penggunaan kriopresipitat mungkin
tepat pada pasien dengan defisiensi fibrinogen bila terdapat manifestasi perdarahan, prosedur
invasif, trauma atau DIC. Penggunaan kriopresipitat umumnya tidak tepat pada terapi hemofilia,
penyakit von Willebrand, atau defisiensi faktor XIII atau fibrinektin, kecuali tidak ada terapi
alternative lainnya.14
f) Granulosit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien
neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik.Transfusi granulosit
mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek,sedemikian sehingga sehari-hari 10
transfusi granulosit pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden
timbulnya reaksi graft-versus-host, kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan
lain permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit (lihat di bawah), tetapi mempengaruhi
fungsigranulosit. Ketersediaan filgrastim (granulocyte colony-stimulating faktor, atau G-CSF)
dan sargramostim (granulocyte-macrophage colony-stimulating faktor, atau GM-CSF) telah
sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.10,15
2.9.2 Efek transfusi sel darah merah masif pada koagulasi
Transfusi darah pada masa lampau sebagian besar bergantung pada penggunaan whole
blood, sedangkan pada praktek modern didasarkan pada konsep terapi komponen darah spesifik.
Di negara maju, unit darah yang paling utuh dipisahkan dalam 18-24 jam ke dalam sel darah
merah, trombosit dan plasma, dan di beberapa pusat penyimpanan darah, kriopresipitat
dipersiapkan setelah pencairan FFP di 2-4oC. Terapi komponen darah mengoptimalkan
penggunaan sumber daya dengan memungkinkan komponen yang akan digunakan pada pasien.
Hal ini untuk menghindari efek yang memiliki potensi berbahaya yang disebabkan oleh
kelebihan bahan-bahan transfusi. Misalnya, transfusi whole blood, bukan sel darah merah dalam
larutan aditif, untuk pasien anemia meningkatkan risiko terkait plasma seperti reaksi transfusi
TRALI (transfusion related acute lung injury), yang berkaitan dengan adanya antibodi untuk
HLA atau leukosit dalam plasma donor. 19
Meskipun terapi komponen spesifik menyediakan keuntungan logistik dan ekonomi, pada
transfusi koagulopati RBC masif, koagulopati karena rendahnya level platelet dan faktor
pembekuan terjadi pada fase yang lebih awal dibandingkan dengan penggunaan whole blood.
Satu unit whole blood berisi sekitar 200 ml plasma dengan jumlah yang cukup untuk faktor
koagulan yang stabil, terutama fibrinogen. Sebaliknya, hanya sejumlah plasma yang tak berarti,
begitu pula dengan faktor koagulasi dan platelet, terdapat di unit sel darah merah, dan larutan
plasma tanpa aditif ditambahkan ke unit tersebut untuk menyediakan nutrisi dan energi untuk sel
darah merah, serta penyangga pH selama penyimpanan. Selama perang Vietnam, ketika whole
blood yang disimpan digunakan, ditemukan bahwa jumlah trombosit tidak turun di bawah
100.109 liter-1, bahkan setelah transfusi 6 liter. Sebaliknya pada saat ini, 85% dari pasien yang
menerima setidaknya 10 unit sel darah merah dalam larutan aditif mengalami trombositopenia. 19
Hubungan antara volume darah yang hilang, penggantian volume darah dan reduksi pada
faktor koagulan masih sulit ditemukan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor termasuk dinamika
kehilangan darah, kesulitan dalam memperkirakan jumlah darah yang hilang sesungguhnya,
variasi pada jumlah faktor pembekuan dan fungsi sistem organ yang terlibat dalam hemostasis
pada setiap individu seperti hepar, limpa, dan sumsum tulang. Martinowitz menemukan pada 36
pasien dengan trauma berat, setelah menerima transfusi sel darah merah dalam jumlah besar
dengan rata-rata pemberian sebanyak 21 unit, jumlah rata-rata fibrinogen sebanyak 1.5gr/liter
(interkuartil range 1.1 2.6gr/liter). Temuan yang mirip juga diutarakan oleh Hiippala yang
menemukan jumlah fibrinogen <1.0gr/liter setelah penggantian sekitar 1.5 volume darah pada 60
pasien dengan operasi besar. Namun, McLoughlin menemukan bahwa jumlah fibrinogen di
bawah 1.0 gr/liter terjadi setelah penggantian 0.5 volume darah. Namun demikian, penelitian
tersebut dilakukan pada 8 pasien yang memiliki ambang jumlah fibrinogen yang rendah (sekitar
1.6 gr/liter). 19
Pada prinsipnya, pengukuran kemampuan hemostatik berkala harus menyertakan
panduan untuk penanganan pasien. Celakanya, tes yang sering digunakan, PT dan aPTT, tes
umum yang sebenarnya dikembangkan untuk memonitor terapi antikoagulan dan nilai prediksi
pada seting trauma dan pembedahan, belum divalidasi. Pengukuran konsentrasi fibrinogen yang
diulang-ulang dapat membantu menentukan kapan terapi penggantian. fibrinogen dibutuhkan
pada pasien. Data Thromboelastograph menyediakan pemeriksaan proses koagulasi dari
pembentukan klot sampai lisisnya klot itu secara kualitatif dan dinamis, serta penggunaan
Thromboelastograph dapat berguna pada pasien trauma. Meningkatnya kandungan asam dari
unit sel darah merah juga menyebabkan koagulopati. pH unit sel darah merah rendah, dan
menurun secara progresif selama penyimpanan, karena produksi asam laktat oleh sel darah
merah, dimana pH awalnya 7.0 menjadi sekitar 6.3 pada akhir masa hidupnya. Karena
kemampuan penyangga plasma yang tinggi pada sirkulasi, transfusi sel darah merah dengan pH
yang rendah biasanya tidak menyebabkan gangguan keseimbangan asam basa. Namun, pada
kasus pasien trauma yang sudah asidosis, transfusi sel darah merah masif menyebabkan
peningkatan asam yang dapat memperparah koagulopati yang sudah terjadi.19
Transfusi sel darah merah pasti dapat menyelamatkan nyawa pasien trauma dengan syok
perdarahan. Namun, dengan komponen sel darah merah modern yang tidak mengandung platelet
dan faktor koagulasi, koagulopati terjadi pada fase awal transfusi sel darah merah masif. Jumlah
yang berlebihan dari antikoagulan sitrat teradapat dalam FFP. Pasien trauma, biasanya
mengalami shock hipovolemi atau hipotermia, dan ketika menerima FFPdalam jumlah besar
dapat mengalami hipokalsemia akibat pengikatan sitrat pada ion kalsium yang tersirkulasi.
Karena ion kalsium adalah salah satu elemen esensial pada koagulasi, hipokalemia dapat
berperan dalam koagulopati.19
2. Reaksi Hemolisis
Reaksi Hemolisis pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah
yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Lebih sedikit biasanya hemolisis sel darah merah
resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibodi sel darah merah. Trombosit konsentrat yang
inkompatible, FFP, clotting factor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan
anti-A atau anti-B (atau kedua-duanya) alloantibodi. Transfusi dalam jumlah besar dapat
menyebabkan hemolysis intravascular.
Reaksi Hemolisis biasanya digolongkan akut (intravascular) atau delayed
(extravascular).
a. Reaksi hemolisis akut
Hemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan
Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi. Penyebab
yang paling umum adalah mis-identifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit
transfusi. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic fatal terjadi 1
dalam 100,000 transfusi.
Gejala-gejala yang ditemui pada pasien yang sadar, meliputi rasa dingin, demam,
nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic
akut adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan, hypotensi, hemoglobinuria, dan
oozing yang difus dari lapangan operasi. Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan
penurunan fungsi ginjal dapat berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali
tergantung pada berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang
berat dapat terjadi setelah transfusi 10-15ml darah yang ABO inkompatibel.
Manajemen reaksi hemolisis dapat simpulkan sebagai berikut;
Jika dicurigai suatu reaksi hemolisis, transfusi harus dihentikan dengan segera.
Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
Osmotic diuresis harus diaktifkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh darah.
Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP
b. Reaksi hemolisis lambat
Suatu reaksi hemolisis lambat biasanya disebut hemolisis extravaskular biasanya ringan
dan disebabkan oleh antibodi non D antigen sistem Rh atau ke alel asing di sistem lain seperti
Kell, Duffy, atau Kidd antigen. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh D-kompatibel, pasien
mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibodi untuk melawan antigen asing. Pada saat
itu sejumlah antibodi ini sudah terbentuk (beberapa minggu sampai beberapa bulan), tranfusi
sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody menurun dan mungkin
tidak terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang sama selama transfusi sel darah,
dapat mencetuskan respon antibodi melawan antigen asing.
Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolisis pada tipe
lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise,
jaundice, dan demam. Hematokrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya
perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin.
Diagnosa antibodi-reaksi hemolisis lambat mungkin difasilitasi oleh antiglobulin
(Coombs)Test.
Coombs test mendeteksi adanya antibodi di membran sel darah. Test ini tidak bisa
membedakan antara membran antibodi resipien pada sel darah merah dengan membran
antibodi donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih
terperinci pre-transfusi pada kedua spesimen : pasien dan donor.
Penanganan reaksi hemolisis lambat adalah suportif. Frekuensi reaksi transfusi
hemolisis lambat diperkirakan kira-kira 1:12.000 transfusi. Kehamilan (terpapar sel darah
merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan allo-tibodies pada sel darah merah.
Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH, direct antiglobulin
test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan urinalisis. Fungsi ginjal harus dimonitoring
ketat. Terapi spesisfik sangat jarang dibutuhkan, hanya saja pada transfusi selanjutnya perlu
berhati-hati dengan melakukan screening golongan darah dan atibodi.
c. Reaksi imun nonhemolisis
Reaksi imun nonhemolisis adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke
donor lekosit, platelet, atau protein plasma.
3. Reaksi Febris
Sensitisasi leukosit atau platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi febris.
Reaksi ini umumnya 1-3% tentang episode transfusi dan ditandai oleh suatu peningkatan
temperatur tanpa adanya hemolisis. Pasien dengan suatu riwayat febris berulang harus
menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi darah merah dapat dibuat leukositnya kurang
dengan sentrifuge, filtrasi, atau teknik freeze-thaw.
4. Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh eritema, penyakit gatal bintik
merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya (1%
tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien terhadap transfusi
protein plasma. Reaksi urtikaria dapat diatasi dengan obat antihistamin (H dan mungkin H2
blockers) dan steroid.
5. Reaksi Anafilaksis
Reaksi Anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 1 dari 150,000 transfusi). Reaksi ini
berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas pada IgA
pasien dengan defisiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi
defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi dengan
pemberian epinefrin, cairan, kortikosteroid, H1, dan H2 bloker. Pasien dengan defisiensi IgA
perlu menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood
Unit .
Tandanya meliputi hipotensi, bronkospasme, periorbital dan laryngeal edema, mual
& muntah, erythema, urtikaria, konjunctivitis, dyspnoea, nyeri dada, dan nyeri abdomen.
Manajemen: hentikan transfusi sampai gejala menghilang selama 30 menit. Untuk
menghilangkan gejala berikanantihistamin,misalnya chlorpheniramine 10mg. Berikan
chlorpheniramine sebelum transfusi berikutnya dilakukan.
6. Edema Pulmoner Nonkardiogenik
Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury [TRALI])
merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<1:10,000). Ini berkaitan dengan transfusi
antileukositik atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan sel darah
putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner. Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi
dengan leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory
distress syndrome (ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan terapi suportif.
Manajemen: atasi distres pernapasan dengan ventilator, dan berikan steroid.
7. Graft versus Host Disease
Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel darah
berisi limfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus
sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versus- host. Iradiasi (1500-3000 cGy)
sel darah merah, granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi limfosit
tanpa mengubah efikasi dari transfusi.
8. Purpura Post-transfusi
Thrombositopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan dengan
berkembangnya aloantibodi trombosit. Karena alasan yang tidak jelas, antibodi
menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu setelah
tranfusi. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.
9. Imunosupresi
Transfusi leukosit merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini adalah
terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif nampak
untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari
pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi
darah selama pembedahan. Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukosit
allogenik dapat mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat
meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahan atau trauma.
Pada pasien dengan DIC, terjadi pembentukan fibrin oleh trombin yang
diaktivasi oleh faktor jaringan. Faktor jaringan, berupa sel mononuklir dan sel endotel
yang teraktivasi, mengaktivasi faktor VII. Kompleks antara faktor jaringan dan faktor
VII yang teraktivasi tersebut akan mengaktivasi faktor X baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan cara mengaktivasi faktor IX dan VIII. Faktor X yang teraktivasi
bersama dengan faktor V akan mengubah protrombin menjadi trombin. Di saat yang
bersamaan terjadi konsumsi faktor antikoagulan seperti antitrombin III, protein C dan
jalur penghambat-faktor jaringan, mengakibatkan kurangnya faktor-faktor tersebut.
Pembentukan fibrin yang terjadi tidak diimbangi dengan penghancuran fibrin yang
adekuat, karena sistem fibrinolisis endogen (plasmin) tertekan oleh penghambat-aktivasi
plasminogen tipe 1 yang kadarnya tinggi di dalam plasma menghambat pembentukan
plasmin dari plasminogen. Kombinasi antara meningkatnya pembentukan fibrin dan
tidak adekuatnya penghancuran fibrin menyebabkan terjadinya trombosis intravaskular yang
menyeluruh.
Diagnosis DIC tidak dapat ditegakan hanya berdasarkan satu tes laboratorium,
karena itu biasanya digunakan beberapa hasil pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan berdasarkan kondisi klinik pasien.
Dalam praktik klinik diagnosis DIC dapat ditentukan atas dasar temuan sebagai
berikut:
1. adanya penyakit yang mendasari terjadinya DIC.
2. Pemeriksaan trombosit kurang dari 100.000/mm.
3. Pemanjangan waktu pembekuan (PT, aPTT).
4. Adanya hasil degradasi fibrin di dalam plasma (ditandai dengan peningkatan D-dimer).
5. Rendahnya kadar penghambat koagulasi (Antitrombin III)
Rendahnya trombosit pada DIC menandakan adanya aktivasi trombin yang
terinduksi dan penggunaan trombosit. Memanjangnya waktu pembekuan menandakan
menurunnya jumlah faktor pembekuan yang tersedia seperti vitamin K. Pemeriksaan
kadar penghambat pembekuan (AT III atau protein C) berguna untuk memberikan
informasi prognostik. Pemeriksaan hasil degradasi fibrin seperti D-dimer, akan
membantu untuk membedakan DIC dengan kondisi lain yang memiliki gejala serupa,
pemanjangan waktu pembekuan dan turunnya trombosit, seperti pada penyakit hati kronik.
Rekomendasi KonNas Tatalaksana DIC pada Sepsis tahun 2001Kriteria minimal
untuk diagnosis DIC adalah didapatkan keadaan atau gambaran klinik yang dapat
menyebabkan DIC dengan manifestasi perdarahan, tromboemboli atau keduanya, disertai
dengan pemeriksaan laboratorium trombositopenia dan gambaran eritrosit sel Burr atau D-
dimer positif.Bilamana fasilitas laboratorium memungkinkan dapat digunakan kriteria
menurut Bick atau berdasarkan skor DIC dari ISTH 2001.
Kriteria Laboratorium DIC menurut KonNas Tata laksana DIC pada sepsis
2001;
1. Hitung trombosit: trombositopeni pada 98% DIC
2. PT : memanjang pada 50-70% DIC
3. aPTT : memanjang pada 50-60% DIC
4. Masa Trombin : memanjang
5. Fibrinogen
6. sFM (soluble fibrin monomer)
7. D-dimer : meningkat
8. FDP : meningkat
9. Antitrombin : menurun
Kriteria Laboratorium DIC menurut Bick, yaitu ;
1. Aktivasi prokoagualan: PF1+2, TAT, D-dimer, fibrinopeptide
2. Aktivasi fibrinolitik: D-dimer, FDP, plasmin, PAP
3. Konsumsi inhibitor: AT III, TAT, PAP, Protein C & S
4. Kerusakan/kegagalan organ: LDH, kreatinin, pH, pO2
Sistem Skor DIC (ISTH 2001)
1. Penilaian risiko: apakah terdapat penyebab DIC?(jika tidak ada, penilaian tidak
dilanjutkan)
2. Uji Koagulasi (trombosit, PT, D-dimer, fibrinogen)
3. Skor:
a. Trombosit: > 100000 = 0 50000-100000 = 1 <50000 = 2
b. D-dimer: < 500 = 0 500-1000 = 1>10000=2
c. PT memanjang: <3 detik = 0 4-6 detik = 1 >6 detik = 2
d. Fibrinogen: <100mg/dl = 1 >100 mg/dl = 0
4. Jumlah skor:
a. 5 : sesuai DIC : skor diulang setiap hari
b. < 5 : sugestif DIC : skor diulang dalam 1-2 hari
Penatalakasanaan DIC yang utama adalah mengobati penyakit yang
mendasari terjadinya DIC. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap DIC tidak
akan berhasil. Kemudian pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.
1. Antikogulan
Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses
pembekuan, baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski pemberian
heparin juga banyak diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam
penelitian klinik pada pasien KID, heparin tidak menunjukkan komplikas perdarahan yang
signifikan.
Dosis heparin yang diberikan adalah 300 500 u/jam dalam infus kontinu.
Indikasi:
Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat
Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi
Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati,
sindroma gagal nafas
Dosis: 100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam)
kontinu, dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrolLow
molecular weight heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.
2. Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit
diberikan hanya kepada pasien DIC dengan perdarahan atau pada prosedur invasive
dengan kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan,
karena di dalam palasma hanya berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara
pada pasien DIC terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan.
3. Penghambat pembekuan (AT III)
Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien DIC, meski biaya pengobatan ini cukup
mahal. Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70%
Dosis:
Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu
selama 3 5 hari.
Rumus:
1 iu x BB (kg) x AT III, dengan target AT III > 120%
AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%
4. Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien
DIC pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat
proses fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya DIC yang
terjadi akan semakin berat.
3) Asidosis
Keadaan ini lebih disebabkan terapi hipovolemia yang tidak adekuat. Pada keadaan
normal, tubuh dengan mudah mampu menetralisir kelebihan asam dari transfusi. Asidosis
metabolik hampir selalu menyertai syok dengan adanya akumulasi asam laktat akibat
hipoksemia, hal ini dikarenakan pada saat mengalami syok, konsumsi oksigen dalam oksigen
menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya aliran
darah yang mengandung oksigen kejaringan. Kekurangan ini menyebabkan sel terpaksa
melangsungkan metabolism anaerob dan menghasilkan asm laktat. Metabolisme anaerobik
mengalami komplikasi akibat penurunan fungsi hati dimana hati tidak mampu memetabolisir
laktat yang terbentuk. Sehingga keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam
piruvat, asam lemak dan keton.
4) Hyperkalemia
Hal ini dikarenakan faktor penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium
ekstraselular meningkat, dan akan semakin meningkat bila semakin lama disimpan.
5) Keracunan sitrat dan hipokalsemia
Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting
setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hipokalsemia penting, karena
menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1
U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau
disfungsi hepar (dan kemungkinan pada pasien hipotermi) memerlukan infus kalsium selama
transfusi masif.
Keracunan sitrat jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada transfusi darah lengkap
masif. Pasien yang mengalami keracunan sitrat ata mengaami deficit kalsium yaitu mereka yang
mendapatkan transfusi lasma, whole blood dan trombosit dengan ecepatan melebihi
100ml/menit, atau lebih rendah pada pasien dengan penyakit hati, dimana hati tidak bias
mengikuti pemberian sitrat dengan cepat, tidak bias memetabolisme sitrat, mengrangi kalsium
terionisasi.
Hipokalsemia terutama bila disertai dengan hipotermia dan asidosis dapat menyebabkan
penurunan curah jantung (cardiac output), bradikardia dan disritmia lainnya. Proses metabolisme
sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung cepat, oleh karena itu tidak perlu menetralisir
kelebihan asam.
6) Kekurangan fibrinogen dan faktor koagulasi
Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara progresif selama penyimpanan, terutama
faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada suhu -25C atau lebih rendah. Pengenceran
(dilusi) faktor koagulasi dan trombosit terjadi pada transfusi massif.
7) Kekurangan trombosit
Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap dan trombosit tidak
berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam.
8) Hipotermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah
cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Hipotermia adalah kondisi dimana tubuh
kita mengalami penurunanan suhu inti (suhu organ dalam). Hipotermia bias menyebabkan
terjadinya pembengkakan di seluruh tubuh (Edema Generalisata), menghilangnya reflex
tubuh (areflexia), koma, hingga menghilangnya reaksi pupil mata. Disebut hipotermia berat
bila suhu tubuh < 320C. Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan termometer
ukuran rendah (low reading termometer) sampai 250C. Di samping sebagai suatu gejala,
hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
Hipotermia terjadi ketika darah dingin dengan volume yang banyak diberikan dengan
cepat. Pemberiaan dengan cepat ini dapat menyebabkan pasien menggigil, hipotermi
vasokontriksi perifer dan aritmia ventrikuler yang dapat menjadi fibrilasi, sering terjadi pada
temperatur sekitar 30C dan mengahambat resusitasi jantung hingga henti jantung. Penggunaan
alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi
timbulnya insiden hipotermia yang terkait dengan transfuse. Pemberian cepat transfusi masif
yang langsung berasal dari pendingin menyebabkan penurunan suhu tubuh yang bermakna. Bila
terjadi hipotermia, berikan perawatan selama berlangsungnya transfusi.
9) Kelainan asam basa
Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam
sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merah (karbondioksida dan asam laktat), berkenaan
dengan metabolisme asidosis metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang
terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah masif adalah alkalosis metabolik
postoperatif. Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolik berakhir dan alkalosis
metabolik progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah
menjadi bikarbonat oleh hepar.
10) Perubahan konsentrasi kalium serum
Konsentrasi kalium ekstraselular dalam darah yang disimpan meningkat dengan waktu. Jumlah
kalium ekstraselular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang dari 4 mEq perunit.
Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika transfusi melebihi 100
mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama sekali dihubungkan dengan
alkalosis metabolik
11) Mikroagregat
Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap yang disimpan membentuk
mikroagregat. Selama transfusi, terutama transfusi masif, mikroagregat ini menyebabkan
embolus paru dan sindrom distress pernapasan. Penggunaan buffy coat-depleted packed red cell
akan menurunkan kejadian sindrom tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Syok hemoragik disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Cairan tubuh
manusia terdiri dari cairan intraselular dan cairan ekstraseluler terbagi dalam cairan intravascular,
cairan interstitial, dan cairan transelular. Syok hemoragik dapat terjadi pada keadaan trauma ataupun
selama pembedahan. Resusitasi pada syok hemoragik akan mengurangi angka kematian, dengan
tujuan untuk mengembalikan volume sirkulasi, perfusi jaringan dengan mengoreksi hemodinamik,
control perdarahan, optimalisasi transfer oksigen. Pemberian cairan merupakan hal penting dalam
pengelolaan syok hemoragik dimulai dengan pemberian kristaloid dan koloid dilanjutkan dengan
transfuse darah komponen. Transfusi darah dapat optimal jika pemilihan jenis darah yang digantikan
tepat dan sesuai kondisi pasien, dengan mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi dalam
reaksi transfuse darah.
Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak dari total
volume darah pasien dalam waktu <24 jam. Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat
pada beberapa pasien. bukan disebabkan oleh banyaknya volume darah yang ditransfusikan,
tetapi karena trauma awal, kerusakan jaringan dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia.
Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi,
dibandingkan dengan transfusi itu sendiri. Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan
risiko komplikasi.