DEFINISI
DEFINISI
DEFINISI
Lupus Eritematosus Diskoid berhubungan erat dengan kondisi lain yang disebut
Lupus Eritematosus Sistemik [LES]. LES merupakan penyakit autoimun, yang berarti system
pertahanan [imun] alami tubuh menjadikan sel dan jaringan tubuh sebagai target dan
menghancurkannya. Lupus Eritematous mengacu pada kelainan yang berdampak luas. Pada
LES kelainan dapat menyerang organ internal, sedangkan pada LED hanya menyerang kulit,
tapi ada sebagian kecil LED yang menyerang organ dalam, yang membuat penderita menjadi
sakit. (Sudoyo, et all, 2009).
Lupus Eritematosus Diskoid selalu dibatasi pada kulit, tapi LES juga mempengaruhi
sendi, ginjal, jantung, liver, dan darah selain pada kulit. Sekitar 10% masyarakat yang terkena
lupus eritematosus discoid dapat menuju ke LES. Mustahil untuk memperkirakan siapa saja
yang dapan menderita LES, dan mustahil untuk mencegah dari timbulnya LES. Beberapa ahli
percaya bahwa orang yang dari LED ke LES mungkin merupakan penderita LES dengan lesi
discoid sebagai keluhan utamanya. Ketika orang didiagnosis dengan LES, sangat penting
untuk melakukan follow up yang teratur dengan dokter sehingga dokter dapan memonitor
kondisi dan mengenal gejala kemajuan LED ke LES. (Mansjoer, Arif, 1999).
B. EPIDEMIOLOGI
Di dunia, prevalensi LES berkisar dari 17-48 kasus per 100.000. prevalensi tertinggi
terjadi pada orang dengan usia 40-60 tahun. Biasanya menyerang wanita 2-3 kali lebih
banyak daripada pria. LED berkisar 50-85% dari kasus lupus eritematosus kuntaneus. Pasien
dengan LED jarang mengalami penyakit sistemik yang kalihatan secara klinis. Lesi dapat
timbul sebagai jaringan parut atau atropi. Lesi yang alopesia sanga mengganggu. LED
biasanya menyerang pada ras arfika amerika dan jarang pada kaukasia dan asia. LED dapat
timbul di berbagai umur tapi terutama pada umur 20-40 tahun, dengan rata rata umur 38
tahun. LED juga berkisar antara 15-30% dari populasi kasus LES. 5 % kasus LED dapat
mengarah ke LES. (Sukmana, Nanang, 2011).
Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem pertahanan manusia
sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme,
termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit.
Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda yang semuanya
siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit penyakit seperti virus, bakteri,
mikroba, parasit dan polutan. Sebagai contoh adalah cytokines yang mengarahkan sel-sel
imun ke tempat infeksi, untuk melakukan proses penyembuhan.
Berdasarkan fungsinya :
1. Organ Limfoid Primer : organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel imun, yaitu
kelenjar timus dan susmsum tulang.
D. ETIOLOGI
Lupus Eritematosus Diskoid diperkirakan sebagai penyakit yang autoimun. Kelainan
autoimun terjadi ketika sel imun salah arah menyerang tubuh sendiri. Normalnya sel imun
bekerja mengenali dan menghancurkan invasi luar, seperti bakteri, virus, dan jamur. Insiden
bertambah tinggi pada mereka dengan kombinasi HLA. Biasanya dipicu oleh sinar matahari.
Penyebab yang pasti dari LED belum diketahui. Para ahli mempercayai bahwa kombinasi
genetik, lingkungan dan factor hormonal terlibat dalam pembentukan LED. Karena tidak ada
gen spesifik untuk LED ditemukan, para peneliti talah menemukan beberapa gen yang
berkontribusi pada pembentukan penyakit ini. Dan beberapa orang yang mempunyai gen ini
meningkatkan resiko dalam pembentukan LED. Penyakit dapat pula diinduksi oleh obat,
misalnya prokainamid, hidantoin, griseufulvin, fenil butazone, penisilin, streptomisin,
tetrasiklin, dan sulfonamide dan disebut sebagai SLE like sindrom. (Sukmana, Nanang,
2011).
E. PATOFISIOLOGI
Lupus eritematosus Diskoid dimulai dengan mutasi somatic pada sel asal limfositik
[lymphositic stem cell] pada orang yang mempunyai predisposisi. Faktor genetik memang
ada. Pada LED, sel imun yang menyerang dipercaya sebagai salah satu tipe dari sel darah
putih [leukosit] yaitu limfosit T. Lesi pada kulit dan jaringan parut merupakan hasil dan
proses inflamasi dan berkarakteristik berupa lesi diskiod.
Terjadi peningkatan HLA-B7, -B8, -DR2, -DR3 dan DQA0102 dan penurunan
HLA-A2 telah dilaporkan pada pasien penderita Lupus Eritematoses Diskoid. KOmbinasi
dari HLA-DR3, HLA-DQA0102 dan HLA-B7 diperkirakan memiliki resiko yang maksimum
untuk LED. LED juga meningkat terjadi pada wanita dengan karier X-linked penyakit
granulomatous kronik. Pada pasien LED baik laki-laki maupun perempuan usia 15 - 39 tahun
terjadi peningkatan insiden HLA-B7, dan perempuan lebih 40 tahun terjadi peningkatan
insiden HLA-B8 (Price, Sylvia A. 2006).
Patogenesisnya juga diduga berhubungan dengan sistem imun yaitu terjadi gangguan
otoimun dan berhubungan dengan genetik tiap individu, dimana gangguan otoimun ini terjadi
ketika sel-sel imunitas salah mengenali antigen sehingga rnenyerang tubuh sendiri.
Normalnya, sel imunitas bekerja untuk mengenali dan membantu menyerang benda asing
misalnya bakteri, virus dan jamur yang masuk ke dalam tubuh, namun dengan adanya
gangguan sistem imun, sel imun tersebut salah mengenali jaringan-jaringan tubuh dianggap
sebagai benda asing dan kemudian akan menyerang dan menghancurkan jaringan tubuh
tersebut. Interleukin [IL]-1 reseptor antagonis dan faktor nekrosis tumor [TNF-] polimorfik
gen telah disebut sebagai faktor genetik dari LE. Ditemukan peningkatan prevalensi dari
polimorfik promotor dari TNF- [308A] pada pasien LE. (Price, S ylvia A. 2006).
F. GEJALA KLINIS
Pada Lupus Eritomatosus Diskoid, lesi kulit berbentuk bulat
dan timbul. Rush kemerahan ini berukuran 5-10 mm dengan bagian
tengah biasanra lebih cerah dari pada bagian tepinya. Permukaan
lesi biasanya warty. Biasanya tidak terdapat gatal atau nyeri
berhubungan dengan lesi. Biasanya terjadi di wajah, telinga, leher,
dahi, dada, punggung, dan lengan.. Karena lesi biasa bertambah
besar, lesi tersebut dapat menjadi menipis dan melebar. Tanpa pengobatan, batas-batas lesi
secara bertahap tahap melebar keluar dengan bagian tengah yang mongering [menjadi lebih
cerah] dan semakin tipis menyebabkan jaringan parut. Lesi jarang nyeri dan jarang gatal.
Ketika lesi LED sembuh, lesi tersebut meninggalkan lapisan tipis pada kulit (Price, Sylvia A.
2006).
Kadang kadang LED akan tampil di wajah pada lesi berbentuk kupu-kupu [butterfly
erythema] yang menutup pipi dan hidung. Lesi ini menyebabkan jaringan parut kecil tapi
menyebar yang disebabkan kapiler yang menebal yang biasa terjadi di wajah. Lesi dapat
timbul di bibir dan di dalam mulut. Jika lesi terjadi di dahi, maka dapat menyebabkan
rontoknya folikel rambut dan menghasilkan daerah botak secara permanen. Orang dengan
penyakit ini dapat meninggalkan sikatrik artrofik, kadang hipertrofik, bahkan distorsi telinga
atau hidung. Hidung dapat berbentuk seperti paruh kakatua. Bagian badan yang tidak tertutup
pakaian, yang terkena sinar matahari langsung lebih cepat beresidif daripada bagian lain.
Lesi-lesi dapat terjadi dimukosa, yakni dimukosa oral dan vulva, atau di konjungtiva. Klinis
Nampak deskuamasi, kadang ulserasi dan sikatrisasi. (Mansjoer, Arif. 1999)
2. Lupus Eritematosus Profunda, nodus-nodus letak dalam, tampak pada dahi, leher, bokong, dan
lengan atas. Kulit di atas nodus eritematosus, atrofik, atau berulserasi.
3. Lupus pernio [chilblain lupus, Hutchinson], penyakit terdiri atas bercak-bercak eritematosa
yang berinfiltrasi di daerah daerah yang tidak tertutup pakaian, memburuk pada hawa dingin.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes serologi
- Beberapa pasien dengan LED [sekitar 20%] bermanifestasi pada antinuclear
antibody yang positif ketika dites.
- Anti-Ro [SS-A] autoantibody terdapat pada 1-3% pasien
- Antinative DNA atau antibody anti-Sm biasanya menggambarkan LES dan terjadi
pada beberpa pasien
3. Immunopatologi
- Deposit immunologi dan komplemen dermal-epidermal merupakan tampilan
karakteristik. Jaringan yang diuji diambil dari lesi atau pada kulit normal.biopsi
jaringan normal dapat diambil dari permukaan yang terekspos atau yang tidak
terekspos. Tes untuk kulit non lesi non ekspos merupakan Lupus Band Test [LBT]
- Penggunaan dan interpretasi dari tes ini berdasarkan dari biopsy. Sekitar 90% pasien
dengan manifestasi LED mengarah pada tes immunoflourence [DIF] pada kulit
berlesi. Daerah membrane dari lesi kulit tidak spesifik untuk lupus dan dapat
berupa penyakit kulit lainnya. Lesi yang lama atau yang sangat baru dapat
diinterpretasikan negative pada gambaran mikroskopi immunoflourence.
(Smeltzer, Suzanne C. 2002).
Jika biopsi kulit telah mengarah pada Lupus Eritematous Diskoid maka sebaiknya dilakukan
tes yang lainnya berupa tes darah.
G. PENATALAKSANAAN
A. PENCEGAHAN
Adapun tujuan dari terapi LED adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien,
mengontrol lesi yang telah ada, mengurangi bekas lesi, dan untuk mencegah perkembangan
lesi lebih lanjut.
B. PENGOBATAN TOPIKAL
1. Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum luas-kedap air
[SPF 15 dengan agen penghambat UVA seperti parsol dan mikronized titanium
dioksida. [11]
2. Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari preparat ini seperti
triamcinolon acetonide 0,1% pada area sensitif wajah, obat topikal superpoten kelas
satu seperti clobetasol proprionat atau betametason diproprionat memberikan hasil
yang memuaskan pada kulit. Penggunan 2 kali sehari selama 2 minggu diikuti dengan
2 minggu periode istirahat dapat meminimalkan komplikasi seperti atropi dan
telengiektasis. Salep lebih efektif daripada krim pada lesi hiperkeratosis. [11]
3. Glukokortikoid intralesi. Penggunaan intalesi glukokortikoid seperti suspensi
triamsinolon asetonida 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan konsentrasi tinggi
dibolehkan pada kulit yang kurang sensitif. Hal ini diindikasikan pada lesi
hiperkeratosis atau pada lesi yang tidak merespon pada penggunaan kortikosteroid
lokal, namun pasien dengan lesi yang terlalu banyak perlu berhati-hati dengan
penggunaan terapi ini.
C. PENGOBATAN SISTEMIK
Anti malaria adalah obat pilihan yang efektif untuk LED. Klorokuin [CQ]
Hidroklorokuin [HCQ], dan kuinakrin adalah tiga obat yang sering digunakan. Adapun
mekanisme dari obat ini adalah [19]
Menginterfensi proses antigen dalam makrofage dan sel presenting antigen lainnya
Mengurangi formasi dari peptida Major Histocompatibility Complex [MHC]
kompleks protein sehingga menurunkan stimulasi dari autoreaktif CD4+ sel T dan
menurunkan pelepasan sitokin.
Memperkenalkan apoptosis pada limfosit, dan
Menurunkan kadar IL-6, IL-1, dan TNF-..
Pada beberapa pasien, hidoklorokuin dimulai dengan dosis 200 mg per hari untuk
menilai toleransi saluran cerna terhadap dosis obat yang diberikan. Apabila pasien tidak
mengalami diare atau gangguan saluran cerna dosis ditingkatkan dua kali lipat menjadi dua
kali 200 mg per hari. Dosis maksimal hidroklorokui kurang dari 6,5 mg/kgBB/hari.
Pemberian hidroklorokuin selama 3-4minggu pertama kemudian dosis dikurangi perlahan-
lahan selama 3-4 minggu kemudian dengan pemberian 1 kali sehari. Sedangkan Kuinakrin
dapat diberikan jika tidak ada respon terhadap klorokuin dan hidroklorokuin. Efek samping
dari klorokuin adalah retinopati pada mata, sakit kepala mengantuk dan gangguan sistem
saluran cerna. [7,19]
Farmakoterapi bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan untuk mencegah komplikasi.
Hidroksikloroquin dan kloroquin telah memperlihatkan hasil yang bermanfaat dalam
mengobati LED. Terapi alternative, laporan anekdot, dan percobaan kecil berpendapat bahwa
obat-obat berikut mungkin berguna pada beberapa pasien: dapson, auranofin, quinakrine,
thalidomid, isotretinoin, acitretin, azathioprin, mikofenolat mofetil, fenitoin, interferon, dan
antibodi monoklonal simerik. [8]
Thalomide [50 300mg/hari] sangat efektif pada LED yang refrakter terhadap
pengobatan lainnya. Beberapa studi melaporkan keberhasilan antara 85-100%, dengan
banyak laporan pasien yang menyatakan sembuh sempurna. Adapun efek sampingnya ialah
efek teratogenik, sehingga sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil. Selain itu neuropati
sensorik dapat terjadi pada sekitar 25% dari padien yang mengkonsumsi obat ini.[11]
Obat lain yang dapat digunakan yaitu preparat emas [auranofin, mycochrysine] dan
clofazimin [lampren] walaupun hasilnya bervariasi pada tiap kasus. [11]
Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan lesi yang
sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan simtomatik
metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain seperti azatioprin [imuran]
1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai glukokortikoid-sparing kasus berat lupus
eritematosus kulit. Mikofenolat mofetil [25-45 mg/kg/hari oral] maerupakan analog purin
yang serupa dengan azatioprin. Metotreksat [7,5-25mg/kg oral sekali seminggu] efektif untuk
kasus berat yang refrakter.
LED dapat membuat alopesia permanen, atropi kulit, dan perubahan pigmen. Intervensi
bedah seperti transplantasi rambut dan dermabrasi membawa resiko karena LED dapat dipicu
oleh trauma termasuk opersi. Pemulihan dari skar atropi dengan Erbium : YAG atau laser
karbon dioksida dilaporkan bermanfaat. Injeksi lesi atropi menggunakan kolagen atau
sejenisnya sebaiknya dihindari. [11]
Pengobatan alternatif adalah diet yang sehat, mengurangi konsumsi daging merah,
dan banyak menkonsumsi ikan yang mengandung asam lemak esensial omega-3, misalnya
makarel, sarden, dan salmon. Suplemen makanan [Vit B,C, E dan selenium] dipercaya dapat
mengurangi lesi LED. [18]
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada LED berupa skar atau atropi, tetapi dapat
dicegah dengan pengobatan dini. Perubahan lain yang terjadi termasuk hiperkeratosis dan
penyumbatan folikuler. Gejala sistemik yang serius jarang terjadi, tetapi apabila itu terjadi
gejala sisa [sequele] seumur hidup(Smeltzer, Suzanne C. 2002).
I. PROGNOSIS
Sekitar 10 % pasien yang menderita LED akan berkembang menjadi LES. Beberapa
pasien dapat merasakan nyeri yang berlanjut disekitar lesi atau merasakan ketidaknyamanan
akibat skar dan atrofi yang timbul. Kemungkinan eksaserbasi dapat muncul terutama pada
musim semi dan musim panas. Dengan demikian, prognosis LED umumnya baik. Walaupun
lesi kulit dapat menetap beberapa tahun dan kosmetik kelihatan tidak baik tetapi hal tersebut
tidak mengganggu aktivitas dan gaya hidup pasien (Black, Jacobs. 2002).
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Diskoidbisa terjadi pada wanita maupun pria, namun
penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul, Artralgia/arthritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan
kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama
atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat inspirasi, produksi
sputum, reaksi alergi . Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura. .
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic
click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur. Friction rub pericardium
yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran ( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi klien.
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan., turgor kulit.
Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa.
B6 ( Bone )
Nyeri persendian, rentang gerak, oedema persendian, nyeri tekan, kesimetrisan
skeletal.
Selain pemeriksaan fisik diatas, dapat pula dilakukan pemeriksaan system
integument yang meliputi :
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, nyeri,
hiperventilasi
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perikarditis, penurunan fungsi
ventrikel, gangguan volume sekuncup
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran
Darah, gangguan aliran arteri, hipovolemia
4. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan, agenn penyebab
cedera ; kimia
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kehilangan nafsu makan akibat luka di mulut, mual, muntah, anoreksia, nyeri
abdomen.
6. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan
otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
7. Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat
anemia.
8. Kerusakan integritas kulit; ruam, lesi berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
fotosensitivitas, dan edema.
9. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ruam, ulkus, lesi, purpura, kebotakan.
10. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan
hemoglobin
11. Resiko perdarahan berhubungan dengan penurunan faktor pembekuan darah
12. Defisit perawatan diri : berpakaian, makan, berdandan berhubungan dengan keletihan,
gangguan muskuloskeletal, nyeri, kelemahan, intoleransi terhadap aktifitas
13. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi, tidak
mengenal sumber informasi
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, nyeri,
hiperventilasi
Tujuan : Menunjukkan pola pernafasan efektif
Kriteria Hasil :
a. Respirasi rate normal (16-24 x/menit)
b. Klien tidak mengalami sesak nafas
c. bunyi nafas bersih
d. kepatenan jalan nafas
e. TTV dalam batas normal
No Intervensi Rasional
1. Auskultasi bunyi nafas, tandai daerah memperkirakan adanya perkembangan
paru yang mengalami penurunan / komplikasi atau infeksi pernafasan.
kehilangan ventilasi, dan munculnya
bunyi adventisius misalnya, krekels,
mengi, ronchi
2. Takipnea, sianosis, tak dapat
Catat kecepatan / kedalaman beristirahat, dan peningkatan nafas
pernafasan, sianosis, peggunakan otot menunjukkan kesulitan pernafasan dan
aksesori/peningkatan kerja pernafasan adanya kebutuhan untuk meningkatkan
dan munculnya dipsnea, ansietas. pengawasan / intervensi medis.
Kriteria hasil: Menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas yang dapat diterima
(disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung (mis : parameter
hemodinamik dalam batas normal, haluaran urine adekuat). Melaporkan penurunan
episode dispnea,angina. Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja
jantung.
NO. Intervensi Rasional
1. Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara Memonitor adanya perubahan
teratur setiap 4 jam. sirkulasi jantung sedini mungkin.
2. Catat bunyi jantung. Mengetahui adanya perubahan irama
jantung.
3. Kaji perubahan warna kulit Pucat menunjukkan adanya
terhadap sianosis dan pucat. penurunan perfusi perifer terhadap
tidak adekuatnya curah jantung.
Sianosis terjadi sebagai akibat
adanya obstruksi aliran darah pada
ventrikel.
4. Pantau intake dan output setiap 24 Ginjal berespon untuk menurunkna
jam. curah jantung dengan menahan
produksi cairan dan natrium.
5. Batasi aktifitas secara adekuat. Istirahat memadai diperlukan untuk
memperbaiki efisiensi kontraksi
jantung dan menurunkan komsumsi
O2 dan kerja berlebihan.
6. Berikan kondisi psikologis Stres emosi menghasilkan
lingkungan yang tenang. vasokontriksi yang meningkatkan TD
dan meningkatkan kerja jantung.
4. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan, agen penyebab
cedera ; kimia
9. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ruam, ulkus, lesi, purpura, kebotakan.
Tujuan : menunjukkan citra tubuh yang baik
Kriteria Hasil : Menerima perubahan konsep diri tanpa meniadakan diri,
mengungkapkan penerimaan diri dalam situasi, Kinerja peran meningkat, Bicarakan
dengan keluarga tentang situasi dan perubahan yang telah terjadi, Mengembangkan
tujuan yang realistis dan rencana untuk masa depan, keinginan menyentuh bagian
tubuh yang mengalami gangguan
No Intervensi Rasional
1. Menilai arti kehilangan atau Hasil episode traumatis secara tiba-
perubahan ke klien termasuk harapan tiba, perubahan tak terduga,
masa depan dan dampak budaya dan menciptakan perasaan duka atas
agama kerugian aktual atau dirasakan. Hal
ini membutuhkan dukungan untuk
bekerja optimal
2. Mengakui dan menerima ekspresi menerima perasaan ini sebagai
perasaan frustrasi, ketergantungan, respon normal terhadap apa yang
kemarahan, kesedihan, dan telah terjadi. Hal ini bisa membantu
permusuhan. Perhatikan perilaku dan atau mendorong klien sebelum ia
penggunaan penyangkalan. siap untuk berurusan dengan situasi.
Denial mungkin berkepanjangan
dan menjadi adaptif karena
Mekanisme klien tidak siap untuk
mengatasi masalah pribadi
3. Menetapkan batas perilaku agar klien dan keluarga cenderung
maladaptif (misalnya, manipulatif untuk menangani krisis ini dengan
atau agresif). Menjaga sikap tidak cara yang sama dan bukan hanya
menghakimi saat memberikan membantu penyembuhan tetapi
perawatan, dan bantuan klien harus menyadari bahwa perilaku
mengidentifikasi perilaku positif diarahkan kearah adaptif
yang akan membantu dalam
pemulihan.
11 Bermain peran dalam situasi sosial Siapkan klien dan keluarga untuk
agar menjadi perhatian klien melihat reaksi orang lain dan
mengantisipasi cara untuk berurusan
dengan mereka
12 Rujuk ke terapi fisik atau okupasi, Membantu dalam mengidentifikasi
konselor kejuruan, dan konseling cara dan perangkat untuk
kejiwaan, misalnya, psikiatri mendapatkan kembali kepercayaan.
spesialis perawat klinis, pelayanan Klien mungkin perlu bantuan lebih
sosial, atau psikolog, sesuai lanjut untuk mengatasi masalah.
kebutuhan.
12. Defisit perawatan diri : berpakaian, makan, berdandan berhubungan dengan keletihan,
gangguan muskuloskeletal, nyeri, kelemahan, intoleransi terhadap aktifitas
Tujuan : setelah dilakukan perawatan, pasien dapat menunjukkan perawatan diri dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari
Kriteria hasil : pasien dapat menunjukkan melakukan aktifitas sehari-hari tanpa bantuan
orang lain
No Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan untuk Mengetahui batasan kemampuan
menggunakan alat bantu pasien dalam beraktivitas
2. Pantau peningkatan atau penurunan Menilai batas toleransi kemampuan
kemampuan untuk berpakaian dan pasien
melakukan perawatan rambut,
untuk makan sendiri
3. Pantau tingkat kekuatan dan Mengetahui tingkat kemampuan
toleransi terhadap aktivitas pasien
4. Dukung kemandirian dalam Membantu pasien dalam memenuhi
berpakaian/berhias kebutuhas berpakaian
5. Dorong kemandirian dalam makan Membuat pasien tidak tergantung
dan minum kepada bantuan
6. Tawarkan pengobatan nyeri Meminimalkan nyeri pada saat
sebelum berpakaian/berhias beraktifitas
7. Tunjukkan penggunaan alat bantu Membantu pasien dalam beraktifitas
dan aktifitas adaptif dan meminimalkan kegiatan
No Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pemahaman proses Mengidentifikasi area
penyakit, harapan /prognosis, kekurangan/salah informasi dan
kemungkinan pilihan pengobatan memberikan informasi tambahan
sesuai keperluan.
2. Berikan informasi khusus tentang Kebutuhan atau informasi
penyakitnya. mengenai penyakit dan situasi
terhadap individu
3. Mengulang informasi tentang obat Pengulangan memungkinkan
termasuk tujuan, dosis, dan hasil kesempatan bagi klien untuk
yang diharapkan serta efek samping. mengajukan pertanyaan dan
memastikan pemahaman akurat.
4. anjurkan klien untuk menghindari Menyediakan perspektif untuk
kelelahan, kebosanan, emosi yang beberapa masalah yang klien
labil, dan masalah penyesuaian. mungkin alami, dan menyakinkan
Dengan memberikan informasi bahwa bantuan tersedia bila
tentang kemungkinan diskusi serta diperlukan.
interaksi dengan spesilisasi yang
sesuai.
5. Mengidentifikasi tanda-tanda dan Deteksi dini komplikasi (misalnya
gejala yang membutuhkan evaluasi infeksi, yang dapat menunda
medis seperti : demam, menggigil, penyembuhan) dapat mencegah
perubahan dalam karakteristik nyeri, pengembangan menjadi lebih
atau kehilangan fungsi mobilitas serius atau situasi yang
membahayakan jiwa.
6. Tekankan perlunya dan pentingnya Dukungan jangka panjang dengan
follow-up dan program rehabilitasi. reevaluasi terus-menerus dan
perubahan terapi yang dibutuhkan
untuk mencapai pemulihan yang
optimal.
7. Menyediakan nomor telepon untuk Menyediakan akses mudah ke tim
contact person. pengobatan untuk mengklarifikasi
kesalahpahaman, dan mengurangi
potensi komplikasi.
8. Mengidentifikasi sumber daya Memfasilitasi transisi ke rumah,
masyarakat, seperti crisis center; menyediakan bantuan dengan
kelompok-kelompok pemulihan; dan pertemuan mengenai kebutuhan
kesehatan mental individu
DAFTAR PUSTAKA
Doenges. Marilynn E. et al., 2010 Nursing Care Plans, Guidelines for individualizing Client
Care Across the life span, edition 8. FA. Davis Company, Philadelphia USA.
Wilkinson, J.M., Ahern, N.R,. Buku saku diagnosis keperawatan NANDA NIC NOC, 2016.
Black, Jacobs. 2002. Lucmann and sorensens medical surgical nursing : a psychophysiologic
Maxine, patrick. 2000. Medical surgical nursing. J.B Lippincontc company. Pennsylvania
Sudoyo, et all. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3 edisi 5. Interna publishing. Jakarta
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2004. LupusEritematosus Hal 246 - 249 Edisi ketiga,
Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3. Jakarta : Balai
penerbit FKUI
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta : EGC