Definisi
Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan
dan kerusakan mielin(material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk
selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer).
Sindrom Guillain-Barre (SGB) yaitu penyakit autoimun yang menyerang selubung
myelin pembungkus saraf perifer, yang merupakan penyebab utama acute flaccid paralysis
(Parry, 1993). Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut.
Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain
BarreSyndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang
menyerangsistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah
bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan
otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem
syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan
respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu:
1. Idiopathic polyneuritis
2. Acute Febrile Polyneuritis
3. Infective Polyneuritis
4. Post Infectious Polyneuritis
5. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
6. Guillain Barre Strohl Syndrome
7. Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
B. Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk
mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi
peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini
hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak
bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan
musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan
penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan
paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia
dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 :
1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi
pergantian musim hujan dan kemarau. Angka kejadian penyakit ini di seluruh dunia antara1
2 kasus per 100.000 penduduk per tahun, insidensi lebih tinggi terjadi pada perempuan
daripada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1 (Swanson, 1998). Di Indonesia belum
banyak didapatkan gambaran epidemiologik pada SGB Candra pada pengamatan selama 16
tahun di surabaya (1 Januari 1957 1 Januari 1973)mendapatkan pasien terbanyak pada
dekade I - III (Budiarto, 1998). Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin
(RSHS) Bandung oleh Hamiprodjo selama1,5 tahun (1 Mei 1984 31 Oktober 1985) telah
dirawat penderita SGB sebanyak 81 penderita, didapatkan 75 % pria dan 25 % wanita. Dari
hasil penelitian Nugraha di RSHS selama 5 tahun (1 Januari 1993 31 Desember 1997)
didapatkan penderita sebanyak 87 orang. SGB bukan termasuk penyakit genetik, tidak
dapat diturunkan, tidak menular dan bisa menyerang semua umur. Pada sebagian kasus
penyakit SGB bisa meninggalkan gejala sisa secara fisik berupa kelumpuhan
(Asbury,1981).
Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000 penduduk.
Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak nampak. Kasus
inicenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Data RS Cipto
Mangunkusumo(RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2010-2011 tercatat 48 kasus
GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012
berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Anonim, 2012 ; Mikail, 2012).
Keadaan tersebut di atas menunjukkan walaupun kasus penyakit GBS relatif
jarangditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir ternyata jumlah kasusnya terus
mengalami peningkatan. Meskipun bukan angka nasional negara Indonesia, data RSCM
tidak dapat dipisahkan dengan kasus yang terjadi di negara ini, karena RSCM
merupakan salah satu Rumah Sakit pusat rujukan nasional.
Setiap orang bisa terkena GBS tetapi pada umumya lebih banyak terjadi pada
orangtua. Orang berumur 50 tahun keatas merupakan golongan paling tinggi risikonya
untuk mengalami GBS (CDC, 2012). Namun, menurut ketua Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI) dr. Darma Imran, Sp S(K) mengatakan bahwa GBS dapat
dialami semua usia mulai anak-anak sampai orang tua, tapi puncaknya adalah pada
pasien usia produktif ( Mikail, 2013).
C. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fishers syndrome
6. Acute pandysautonomia
D. Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik:
a. Keganasan
b. Systemic Lupus Erythematosus
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB
yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum
gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
E. Patogenesis
SGB umumnya terjadi didahului oleh adanya infeksi pernafasan, gastrointestinal
sekitar 1 4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik (Asbury, 1981). Sistem kekebalan
tubuh menghancurkan selubung myelin dan akson, sehingga saraf tidak dapat mengirim
sinyal secara efisien ke otak.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini
adalah melalui mekanisme imunologi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas
saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah
infeksi virus.
Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.
Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema
yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas
selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan
makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada
myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan
pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil
pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila
peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin
disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari
sel schwan dan akson.
F. Patofisiologi
Kelemahan otot
Sesak napas
Proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena
akan terjadi kelemahan otot otot pernafasan, yaitu otot intercostal. Bila menyerang tingkat
cervical, diafragma mengalami gangguan. Oleh karena otot-otot intercostal dan
diafragma, berkurang kekuatannya, maka ekspansi dada berkurang. Hal ini berakibat
berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi ventilasi juga menurun.
Baal
Gejala lain yang dirasakan penderita SGB adalah gangguan rasa (sensasi).
Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar, ataupun nyeri.
Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun
gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut menimbulkan rasa
tidak nyaman. Rasa nyeri juga terjadi akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam
waktu tertentu. Kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala
juga disebabkan oleh kombinasi gangguann sensasi dan sendi yang sudah lama tidak
digerakkan. Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi juga
bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa tebal, disertai kelemahan otot,
bisa menyebabkan dekubitus. Oleh karenanya perawat perlu memperhatikan mobilisasi
partisipan saat berada di atas tempat tidur, karena tekanan yang lama pada daerah yang
menonjol menyebabkan sirkulasi darah pada daerah yang mengalami penekanan tidak
adekuat sehingga bisa menyebabkan timbulnya luka dekubitus (Price &Wilson, 1995).
Nyeri Tenggorokan
Partisipan mengungkapkan terasa nyeri di tenggorokan pada saat di suction. Karena
penghisapan lendir yang dilakukan pada selang endotrakea menimbulkan
ketidaknyamanan pada partisipan dan bahaya potensial, penghisapan harus dilakukan
hanya bila diindikasikan dan frekuensinya tidak ditentukan (Berman, 2009). Pemasangan
ventilasi mekanik melalui jalan trakeostomi merupakan sebuah benda asing yang masuk
ke dalam tenggorokan sampai dengan melewati glottis yang menyebabkan rasa tidak
nyaman pada daerah tenggorokan (Price &Wilson, 1995). Beberapa gejala yang
dikeluhkan partisipan pada tindakan trakeostomi antara lain adalah: nyeri tenggorok (sore
throat)(Christensen, 1994).
Batuk
Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien pada pemasangan selang endotrakeal selain
nyeri tenggorok (sore throat) adalah batuk (cough)(Christensen, 1994). Batuk yang timbul
pada partisipan dikarenakan produksi sekret yang meningkat. Dalam keadaan normal,
setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekret saluran pernafasan. Pembersihan sekret
merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh, namun apabila sekresi yang dihasilkan lebih
dari normal, atau ada kegagalan kerja silia, maka diperlukan mekanisme batuk untuk
mengeluarkannya dari saluran pernafasan.
G. Manifestasi Klinis
Gejala SGB sampai pada kondisi penderita menjadi lumpuh bisa berlangsung
beberapa hari dan bisa memburuk dengan cepat dalam beberapa jam. Kelumpuhan yang
terjadi pada SGB biasanya diawali pada anggota gerak bagian bawah dan mengenai
otot otot distal maupun proksimal. 2/3 kasus dapat menunjukkan adanya gangguan
sensorik pada onset, namun abnormalitas sensorik pada pemeriksaan sering hanya
minimal.
Gejala yang ditimbulkan berupa:
1. Kelemahan dan sensasi kesemutan di kaki dan tangan
Rasa kesemutan, nyeri kaki dan tangan seperti ditusuk tusuk, serta kelemahan
tangan dan kaki sehingga tidak mampu menggenggam sesuatu
2. Ketidakmampuan berjalan
3. Kesulitan gerakan mata, wajah, berbicara, mengunyah atau menelan
4. Rasa sakit di punggung bagian bawah
5. Sulit mengontrol kandung kemih atau fungsi usus
6. Hilang atau menurunnya refleks ditemukan pada sebagian besar pasieN
7. Dapat ditemukan pula gangguan saraf kranial serta otonom.
8. Tekanan darah naik turun
9. Mati rasa
10. Kejang otot
11. Pandangan kabur
12. Berdebar-debar
H. Diagnosis
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya
suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi
dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan
gangguan sensorik dan motorik perifer. Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria
dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS),
yaitu:
1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
a. Terjadinya kelemahan yang progresif
b. Hiporefleksi
2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
1) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4
minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90%
dalam 4 minggu.
2) Relatif simetris
3) Gejala gangguan sensibilitas ringan
4) Gejala saraf kranial 5 0% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain
dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang <
5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
5) Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang
sampai beberapa bulan.
6) Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala
vasomotor.
7) Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
1) Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP
serial
2) Jumlah sel CSS < 10 MN/mm
3) Varian:
a) Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
b) Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar
kurang 60% dari normal
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap
Berupa pemeriksaan kimia darah secara komplit
2. Lumbal puncture
Berfungsi untuk mengambil cairan otak. tes ini dapatmenunjukkan peningkatan
jumlahprotein dalam cairan tulang belakangtanpa tanda infeksi lain.
3. EMG (Electromyogram)
Untuk merekam kontraksi otot. menentukanapakah kelemahan Anda disebabkan
olehkerusakan otot atau kerusakan saraf.
4. Pemeriksaan kecepatan hantar syaraf.
I. Diagnosis Banding
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria diagnostik
dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan keadaan lain,
seperti:
1. Mielitis akuta
2. Poliomyelitis anterior akuta
3. Porphyria intermitten akuta
4. Polineuropati post difteri
J. Tata Laksana
SGB apabila tidak tertangani dari awal timbulnya gejala dapat mengakibatkan
kelumpuhan yang bisa menyebabkan kematian (Parry, 1993). SGB dipertimbangkan sebagai
kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan intensif, karena perjalanan penyakit
yang begitu cepat. Sekitar 30% terjadi kesulitan bernafas dan memerlukan bantuan ventilasi
mekanik. Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan
penggunaan ventilasi endotrakeal adalah waktu antara terjadinya onset hingga masuk rumah
sakit. Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan penggunaan
ventilasi endotrakeal adalah:
1. Waktu antara terjadinya onset hingga masuk rumah sakit < 7 hari
2. Tidak mampu batuk
3. Tidak mampu berdiri
4. Tidak mampu mengangkat kedua lengan
Adanya minimal satu dari indikasi tersebut sudah merupakan indikasi perawatan di
Intensive Care Unit (ICU) (Mahfoed, 2003).
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simptomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi,
sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya
penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Terapi
a. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
b. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi
yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik,
berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih
sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan
mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat
bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
c. Imunosupresan:
1) Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a) 6 Merkaptopurin (6-MP)
b) Azathioprine
c) Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.
Pemulihan
Terapi fisik dan latihan yang teratur diperlukan selama periode pemulihan untuk
memperkuatotot-otot melemah. Meskipun pemulihan bisa lambat, kebanyakanorang yang telah
GBS akhirnya sembuh.Banyak orang memiliki efek jangkapanjang kecil, seperti mati rasa
padajari-jari kaki dan jari. Dalamkebanyakan kasus, masalah ini tidakakan secara signifikan
mengganggu.
Selain terapi pokok tersebut juga telah dijelaskan di atas tentang pemberian fisioterapi dan
perawatan dengan terapi khusus serta pemberian obat untuk mengurangi rasa sakit. GBS
merupakan penyakit akut akan tetapi bila diterapi dengan baik dan tepat maka dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien.
K. Komplikasi
Komplikasi paling berat pada penderita SGB yaitu kematian, yang disebabkan oleh
kelemahan atau paralisis pada otot otot pernafasan, dimana angka mortalitas sekitar 5%
bila terjadi paralisis pernapasan. Kematian pada SGB biasanya disebabkan oleh
pneumonia, sepsis dan Acute Respiratory Distress Syndrome(ARDS) (Van koningsveld,
2002).
1. Kesulitan bernapas.
Sebuah komplikasi berpotensi mematikansindrom Guillain-Barre adalahkelemahan atau
kelumpuhan bisamenyebar ke otot yang mengontrolpernapasan anda.. Anda
mungkinbutuh bantuan sementara dari mesinuntuk bernapas ketika Anda
sedangdirawat di rumah sakit untukperawatan.
2. Sisa mati rasa atau sensasi lainnya.
Kebanyakan penderita sindromGuillain-Barre sembuh sepenuhnyaatau hanya kecil,
kelemahan residuatau sensasi abnormal, seperti matirasa atau kesemutan.
Namun,pemulihan sepenuhnya mungkinlambat, sering mengambil tahun atau lebih.
Kurang dari 1 dalam 10 orang denganpengalaman sindrom Guillain-Barrekomplikasi
jangka panjang, seperti:
L. Pencegahan
M. Prognosis
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil
penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa
gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara lain:
Tingkat kesembuhan pasien SGB mencapai full and functional recoverydalam waktu
6 18 bulan, 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa yang ringan
berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal seperti kesemutan atau baal. Bagaimanapun
pada beberapa pasien memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia, dan parestesia.
Sekitar 7 15% pasien memiliki gejala neurologis sisa yang menetap termasuk
bilateral footdrop. Otot tangan instrinsik kebas, sensori ataxia, dan disestesia.
Sejumlah 50% mengalami masalah koordinasi yang lebih serius dan permanen
sehingga menyebabkan disabilitas berat dan 10% diantaranya beresiko mengalami
relaps karena dipengaruhi oleh faktor usia. SGB sering menyerang pada usia produktif
yaitu 15 35 tahun dan sulit untuk disembuhkan secara sempurna apabila mengenai
pasien dengan usia50 60 tahun
Setelah beberapa waktu, kondisi mati rasa akan berangsur membaik. Pasien
harus tetap waspada karena hanya 80% pasien yang dapat sembuh total, tergantung
parahnyapenyakit. Pasien bisa berjalan dalam waktu lagi setelah perawatan dalam
hitungan mingguatau tahun. Namun statistik membuktikan bahwa rata-rata pasien akan
membaik dalamwaktu 3 sampai 6 bulan. Pasien parah akan menjadi cacat pada bagian yang
terserang palingparah, perlu terapi yang cukup lama untuk mengembalikan fungsi-
fungsi otot yang layuhakibat GBS. Bisanya memakan waktu maksimal 4 tahun.