Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Guillain-Barre (GBS) merupakan penyebab kelumpuhan yang


cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali mencemaskan
penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada
beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya
mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk
penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective
Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
GBS biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus ringan
seperti sakit tenggorokan, bronchitis atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur
bedah. GBS relatif jarang terjadi, hanya mempengaruhi 1atau 2 orang per
100.000. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala
pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan
seluruh tubuh. Otot-otot wajah mungkin lumpuh juga, sehingga sulit untuk
menelan normal. Padakasus yang berat, kelumpuhan otot pernafasan
membutuhkan ventilasi buatan (respirator). Dengan perawatan medis yang
intensif dandukungan, mayoritas pasien sembuh sepenuhnya. Namun sekitar
10 sampai 20 persen sisanya dengan beberapa sisa kelemahan.
Mielin merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti akson-
askon saraf dan berperan penting dalam transmisi impuls saraf. Kelumpuhan
terjadi akibat dari peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri
dari lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar
beberapa jenis serat saraf) yang mirip dengan yang terlihat pada multiple
sclerosis. Perbedaan utama, bagaimanapun, adalah bahwa multiple sclerosis
menyerang sistem saraf pusat, sedangkan pada sindrom Guillain-Barre, itu

1
adalah saraf perifer yang terpengaruh. Kerusakan saraf ini dianggap sebagai
hasil dari reaksi kekebalan yang abnormal terhadap mielin sistem saraf perifer.
Perbedaan lain adalah bahwa sindrom Guillain-Barre tidak terulang kecuali
dalam kasus yang jarang terjadi

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Guillain-Barre Syndrome adalah polineuropati inflamasi akut yang
mengalami dimielinasi (Ginsberg, 2005).
GSB merupakan sindrom klinis yang ditunjukkan oleh onset akut dari
gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial (Price & Wilson dalam
Muttaqin, 2008). Guillain-Barre Syndrome (GBS) yaitu penyakit autoimun
yang menyerang selubung myelin pembungkus saraf perifer, yang merupakan
penyebab utama acute flaccid paralysis (Parry, 1993). Parry mengatakan
bahwa, GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang
sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut.
Menurut Centers of Disease Control and Prevention/CDC (2012),
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem
kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini
terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum
belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf
tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada
penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu:
1. Idiopathic polyneuritis
2. Acute Febrile Polyneuritis
3. Infective Polyneuritis
4. Post Infectious Polyneuritis
5. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
6. Guillain Barre Strohl Syndrome
7. Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.

3
B. Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim.
Dowling dkk mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musim panas dan
musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao
Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari
setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus
terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim
gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9
kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical
Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000
orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74
tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah
dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita
sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita
adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada
kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia
adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-
laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan
bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.
Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim
hujan dan kemarau. Angka kejadian penyakit ini di seluruh dunia antara 1 2
kasus per 100.000 penduduk per tahun, insidensi lebih tinggi terjadi pada
perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1 (Swanson,
1998). Di Indonesia belum banyak didapatkan gambaran epidemiologik pada
GBS Candra pada pengamatan selama 16 tahun di surabaya (1 Januari 1957 1
Januari 1973) mendapatkan pasien terbanyak pada dekade I - III (Budiarto,
1998). Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS)
Bandung oleh Hamiprodjo selama1,5 tahun (1 Mei 1984 31 Oktober 1985)

4
telah dirawat penderita GBS sebanyak 81 penderita, didapatkan 75 % pria dan
25 % wanita. Dari hasil penelitian Nugraha di RSHS selama 5 tahun (1 Januari
1993 31 Desember 1997) didapatkan penderita sebanyak 87 orang.
GBS bukan termasuk penyakit genetik, tidak dapat diturunkan, tidak
menular dan bisa menyerang semua umur. Pada sebagian kasus penyakit
GBS bisa meninggalkan gejala sisa secara fisik berupa kelumpuhan
(Asbury,1981).
Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-
40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan
berkembang tidak nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria
dibandingkan wanita. Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
menunjukkan pada akhir tahun 2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu
tahun dengan berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012
berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Anonim, 2012 ;
Mikail, 2012). Keadaan tersebut di atas menunjukkan walaupun kasus
penyakit GBS relatif jarang ditemukan namun dalam beberapa tahun terakhir
ternyata jumlah kasusnya terus mengalami peningkatan. Meskipun bukan
angka nasional negara Indonesia, data RSCM tidak dapat dipisahkan
dengan kasus yang terjadi di negara ini, karena RSCM merupakan salah
satu Rumah Sakit pusat rujukan nasional.
Setiap orang bisa terkena GBS tetapi pada umumya lebih banyak terjadi
pada orangtua. Orang berumur 50 tahun keatas merupakan golongan
paling tinggi risikonya untuk mengalami GBS (CDC, 2012). Namun,
menurut ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)
dr. Darma Imran, Sp S(K) mengatakan bahwa GBS dapat dialami semua
usia mulai anak-anak sampai orang tua, tapi puncaknya adalah pada
pasien usia produktif (Mikail, 2013).

C. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan,
yaitu:

5
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fishers syndrome
6. Acute pandysautonomia

D. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya. Proses autoimun diperkirakan dipicu oleh berbagai agen
Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya
dengan terjadinya GBS, antara lain:
1. Infeksi
a. Virus: CMV, EBV, HIV
b. Bakteri: Mycoplasma pneumoniae, Campylobacter jejuni
2. Vaksinasi
Contohnya untuk influenza babi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik:
a. Keganasan
b. Systemic Lupus Erythematosus
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -
80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal

6
Tabel 2.1 Agen yang Diduga Berperan dalam Patogenesis GBS
Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella zoster Measles
Vaccini/smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Jejeni Mycoplasma Pneumonia
Campylobacter

E. Patogenesis
GBS umumnya terjadi didahului oleh adanya infeksi pernafasan,
gastrointestinal sekitar 1 4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik
(Asbury, 1981). Sistem kekebalan tubuh menghancurkan selubung myelin dan
akson, sehingga saraf tidak dapat mengirim sinyal secara efisien ke otak.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf
tepi.

7
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

Peran imunitas seluler


Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini
terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui
makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh
virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh
penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif
karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma
interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang
dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar
darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag .
Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin
disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran
pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf
tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke
empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada
hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada
hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tiga belas. Perubahan pada
myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari
ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk

8
mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel
limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural.
Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat
akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan
makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari
sel schwan dan akson.

F. Patofisiologi
Kelemahan otot
Kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya atau terhentinya
konduksi saraf dari medulla spinalis ke neuromuscular junction. Kelumpuhan
(plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit atau semua, dalam satu otot yang
tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut tidak bisa dikontraksikan.
Sedangkan kelemahan (parese) terjadi akibat hanya sebagian motor unit dalam
satu otot yang masih terkonduksi saraf, sehingga masih mampu untuk
mengkontraksikan otot tersebut. Oleh karena hanya sebagian serabut otot
yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan satu otot, sehingga
penderita GBS lebih cepat lelah. Bila otot tidak bisa berkontraksi berarti
bagian badan tersebut tidak bergerak. Bila hal ini terjadi dalam kurun waktu
lama, yang akan terjadi bukan hanya kekuatan otot yang terganggu,
tetapi juga akan terjadi pemendekan otot dan keterbatasan luas gerak
sendi. Jadi akibat berkurangnya konduksi saraf, akan mengurangi jumlah
motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama sekali, sehingga
terjadi kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, pemendekan otot dan pada
akhirnya keterbatasan gerak sendi (Price &Wilson, 1995).

Sesak napas
Proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf
thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot otot pernafasan, yaitu otot
intercostal. Bila menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami
gangguan. Oleh karena otot-otot intercostal dan diafragma, berkurang

9
kekuatannya, maka ekspansi dada berkurang. Hal ini berakibat berkurangnya
kapasitas vital paru, sehingga fungsi ventilasi juga menurun.

Baal
Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa
(sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa
terbakar, ataupun nyeri. Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak
simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun gangguan tersebut tidak
berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman.
Rasa nyeri juga terjadi akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu
tertentu. Kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi
kadangkala juga disebabkan oleh kombinasi gangguann sensasi dan sendi
yang sudah lama tidak digerakkan. Selain gangguan rasa yang berakibat
tidak nyaman, gangguan sensasi juga bisa menyebabkan komplikasi.
Misalnya gangguan rasa tebal, disertai kelemahan otot, bisa menyebabkan
dekubitus. Oleh karenanya perawat perlu memperhatikan mobilisasi partisipan
saat berada di atas tempat tidur, karena tekanan yang lama pada daerah
yang menonjol menyebabkan sirkulasi darah pada daerah yang mengalami
penekanan tidak adekuat sehingga bisa menyebabkan timbulnya luka
dekubitus (Price &Wilson, 1995).

Nyeri Tenggorokan
Partisipan mengungkapkan terasa nyeri di tenggorokan pada saat di
suction. Karena penghisapan lendir yang dilakukan pada selang endotrakea
menimbulkan ketidaknyamanan pada partisipan dan bahaya potensial,
penghisapan harus dilakukan hanya bila diindikasikan dan frekuensinya tidak
ditentukan (Berman, 2009). Pemasangan ventilasi mekanik melalui jalan
trakeostomi merupakan sebuah benda asing yang masuk ke dalam
tenggorokan sampai dengan melewati glottis yang menyebabkan rasa
tidak nyaman pada daerah tenggorokan (Price &Wilson, 1995). Beberapa

10
gejala yang dikeluhkan partisipan pada tindakan trakeostomi antara lain
adalah: nyeri tenggorok (sore throat)(Christensen, 1994).

Batuk

Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien pada pemasangan selang


endotrakeal selain nyeri tenggorok (sore throat) adalah batuk (cough)
(Christensen, 1994). Batuk yang timbul pada partisipan dikarenakan
produksi sekret yang meningkat. Dalam keadaan normal, setiap hari
dihasilkan sekitar 100 ml sekret saluran pernafasan. Pembersihan sekret
merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh, namun apabila sekresi yang
dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja silia, maka
diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran
pernafasan.

G. Manifestasi Klinis
Gejala GBS sampai pada kondisi penderita menjadi lumpuh bisa
berlangsung beberapa hari dan bisa memburuk dengan cepat dalam
beberapa jam. Kelumpuhan yang terjadi pada GBS biasanya diawali pada
anggota gerak bagian bawah dan mengenai otot-otot distal maupun
proksimal. 2/3 kasus dapat menunjukkan adanya gangguan sensorik pada
onset, namun abnormalitas sensorik pada pemeriksaan sering hanya minimal.
Gejala yang ditimbulkan berupa:
1. Kelemahan dan sensasi kesemutan di kaki dan tangan
Rasa kesemutan, nyeri kaki dan tangan seperti ditusuk tusuk, serta
kelemahan tangan dan kaki sehingga tidak mampu menggenggam
sesuatu
2. Ketidakmampuan berjalan
3. Kesulitan gerakan mata, wajah, berbicara, mengunyah atau menelan
4. Rasa sakit di punggung bagian bawah

11
5. Sulit mengontrol kandung kemih atau fungsi usus
6. Hilang atau menurunnya refleks ditemukan pada sebagian besar pasieN
7. Dapat ditemukan pula gangguan saraf kranial serta otonom.
8. Tekanan darah naik turun
9. Mati rasa
10. Kejang otot
11. Pandangan kabur
12. Berdebar-debar

H. Diagnosis

Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan


timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam
disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik
perifer. Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National
Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS),
yaitu:
1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
a. Terjadinya kelemahan yang progresif
b. Hiporefleksi
2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS:
a. Ciri-ciri klinis:
1) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam
3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
2) Relatif simetris
3) Gejala gangguan sensibilitas ringan
4) Gejala saraf kranial 5 0% terjadi parese N VII dan sering bilateral.
Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan

12
otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot
ekstraokuler atau saraf otak lain
5) Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
6) Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dangejala vasomotor.
7) Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
1) Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial
2) Jumlah sel CSS < 10 MN/mm
3) Varian:
a) Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
b) Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya
kecepatan hantar kurang 60% dari normal

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus GBS adalah sebagai
berikut:
1. Darah lengkap
Berupa pemeriksaan kimia darah secara komplit
2. Lumbal puncture
Berfungsi untuk mengambil cairan otak. tes ini dapat menunjukkan
peningkatan jumlahprotein dalam cairan tulang belakang tanpa tanda
infeksi lain.
3. EMG (Electromyogram)
Untuk merekam kontraksi otot. Menentukan apakah kelemahan Anda
disebabkan olehkerusakan otot atau kerusakan saraf.
4. Pemeriksaan kecepatan hantar syaraf.

13
I. Diagnosis Banding
Gejala klinis GBS biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan
kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang
harus dibedakan dengan keadaan lain, seperti:
1. Mielitis akuta
2. Poliomyelitis anterior akuta
3. Porphyria intermitten akuta
4. Polineuropati post difteri

J. Tata Laksana

GBS apabila tidak tertangani dari awal timbulnya gejala dapat


mengakibatkan kelumpuhan yang bisa menyebabkan kematian (Parry, 1993).
GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis yang membutuhkan
perawatan intensif, karena perjalanan penyakit yang begitu cepat. Sekitar
30% terjadi kesulitan bernafas dan memerlukan bantuan ventilasi mekanik.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan
penggunaan ventilasi endotrakeal adalah waktu antara terjadinya onset hingga
masuk rumah sakit. Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mendeteksi
kemungkinan penggunaan ventilasi endotrakeal adalah:
1. Waktu antara terjadinya onset hingga masuk rumah sakit < 7 hari
2. Tidak mampu batuk
3. Tidak mampu berdiri
4. Tidak mampu mengangkat kedua lengan
Adanya minimal satu dari indikasi tersebut sudah merupakan indikasi
perawatan di Intensive Care Unit (ICU) (Mahfoed, 2003).
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simptomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat
sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi, sehingga pengobatan tetap harus

14
diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

1. Terapi
a. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.
b. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada GBS
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih
cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti
200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
c. Imunosupresan:
1) Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih
ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a) 6 Merkaptopurin (6-MP)
b) Azathioprine
c) Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual, dan
sakit Kepala

15
d. Fisioterapi

Perlakuan utama GBS adalah mencegah dan mengelola komplikasi


(seperti masalah pernapasan atau infeksi) dan memberikan perawatan
suportif sampai gejala mulai membaik. Ini mungkin termasuk:
1. Mengurangi masalah pernapasan
2. Monitoring tekanan darah dan denyut jantung
3. Menyediakan cukup gizi jika pasien memiliki masalah mengunyah dan
menelan
4. Mengelola kandung kemih dan masalah usus
5. Menggunakan terapi fisik untukmembantu mempertahankan kekuatan
otot dan fleksibilitas
6. Mencegah dan mengobati komplikasi, seperti radang paru-paru ,
gumpalan darah di kaki, atau infeksi saluran kemih .
7. Masuk ke rumah sakit atau unit perawatan intensif sering dibutuhkan
ketika kelemahan otot berlangsung cepat.
8. Pemantauan pasien rawat jalan mungkin cukup hati-hati dalam kasus-
kasus di mana kelemahan otot yang signifikan belum nampak.
9. Pasien mungkin perlu dirawat di rumah sakit jika:
a) Tidak dapat bergerak sendiri.
b) Ada kelumpuhan
c) Memiliki masalah pernapasan
d) Memiliki masalah tekanan darah atau tidak normal , sangat cepat, atau
detak jantung yang sangat lambat.

Pemantauan yang hati-hati sangat penting selama tahap awal GBS


karena masalahpernapasan dan komplikasi yang mengancam jiwa lainnya
dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah gejala mulai pertama.

16
2. Pemulihan
Pemulihan memerlukan waktu 3-6 bulan,kadang-kadang lebih
lama-dalam beberapakasus, sampai 18 bulan. Orang-orang yangmemiliki
kelemahan otot yang parah mungkinharus tinggal di sebuah rumah sakit
rehabilitasiuntuk menerima terapi fisik berkesinambungandan terapi
pekerjaan agar fungsi motorik kembali normal.. Bagi mereka yang tinggal
dirumah, perangkat yang membantu melakukankegiatan sehari-hari
tertentu dapat digunakansampai fungsi motorik dan kekuatan otot
kembali.
Terapi fisik dan latihan yang teratur diperlukan selama periode
pemulihan untuk memperkuat otot-otot melemah. Meskipun pemulihan
bisa lambat, kebanyakan orang yang telah GBS akhirnya sembuh. Banyak
orang memiliki efek jangka panjang kecil, seperti mati rasa pada jari-
jari kaki dan jari. Dalam kebanyakan kasus, masalah ini tidak akan
secara signifikan mengganggu.
Sekitar 20% dari orang mempunyai masalah permanen yang
cenderunglebih menonaktifkan, seperti kelemahan atau masalah
keseimbangan. Masalah-masalah ini mungkin akan mengganggu kegiatan
sehari-hari. Sekitar 3% hingga 8% dari orang yang menderita GBS
meninggal karena komplikasi penyakit, seperti kegagalanpernafasan,
infeksi (sering pneumonia), atau serangan jantung .Sampai dengan 67%
dari orang yangmendapatkan GBS memiliki beberapa masalah dengan
kelelahan (fatigue).

K. Komplikasi

Komplikasi paling berat pada penderita GBS yaitu kematian, yang


disebabkan oleh kelemahan atau paralisis pada otot otot pernafasan, dimana
angka mortalitas sekitar 5% bila terjadi paralisis pernapasan. Kematian
pada GBS biasanya disebabkan oleh pneumonia, sepsis dan Acute
Respiratory Distress Syndrome(ARDS) (Van koningsveld, 2002).

17
1. Kesulitan bernapas.
Sebuah komplikasi berpotensi mematikan Guillain-Barre Syndrome
adalah kelemahan atau kelumpuhan bisa menyebar ke otot yang
mengontrol pernapasan anda.. Anda mungkin butuh bantuan sementara
dari mesin untuk bernapas ketika Anda sedang dirawat di rumah sakit
untuk perawatan
2. Sisa mati rasa atau sensasi lainnya.
Kebanyakan penderita sindrom Guillain-Barre sembuh sepenuhnya atau
hanya kecil, kelemahan residu atau sensasi abnormal, seperti mati rasa
atau kesemutan. Namun, pemulihan sepenuhnya mungkin lambat, sering
mengambil tahun atau lebih.

L. Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan menjaga kesehatan supaya tidak


mengalami infeksi danmelakukan pemantauan keamanan vaksin. Vaccine
Adverse Event Reporting (VAERS) adalah suatu sistem yang dikelola CDC
dan Food and Drug Administration (FDA) untuk mengumpulkan laporan
sukarela tentang kemungkinan efek samping yang dialami orang setelah
mendapatkan vaksinasi. Hal ini bisa kita lakukan di Indonesia dengan
melaporkan kasus efek samping pemberian vaksinasi pada Puskesmas
setempat yang akan dilanjutkan sampai Kementrian Kesehatan untuk
ditindaklanjuti. Melalui tindak lanjut tersebut diharapkan dapat mendeteksi
adanya kemungkinan risiko GBS yang terkait dengan vaksinasi diketahui
secara dini dan mengambil tindakan lebih awal dan tepat.

M. Prognosis
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95%
terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila
dengankeadaan antara lain:

18
1. Pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
2. Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
3. Progresifitas penyakit lambat dan pendek
4. Pada penderita berusia 30-60 tahun

Kambuh atau episode berulang dari GBS terjadi di sekitar 5%


sampai 10% kasus, dan mereka mungkin sangat serius. Jika terjadi
kekambuhan, pengobatan agresif dengan pertukaran plasma atau
imunoglobulin IV bisa mengurangi keparahan serangan dan mencegah lebih
lanjut kambuh.
Tingkat kesembuhan pasien GBS mencapai full and functional
recoverydalam waktu 6 18 bulan, 80% penderita sembuh sempurna atau
hanya menderita gejala sisa yang ringan berupa kelemahan ataupun sensasi
abnormal seperti kesemutan atau baal. Bagaimanapun pada beberapa
pasien memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia, dan parestesia.
Sekitar 7 15% pasien memiliki gejala neurologis sisa yang menetap
termasuk bilateral footdrop. Otot tangan instrinsik kebas, sensori ataxia,
dan disestesia. Sejumlah 50% mengalami masalah koordinasi yang lebih
serius dan permanen sehingga menyebabkan disabilitas berat dan 10%
diantaranya beresiko mengalami relaps karena dipengaruhi oleh faktor
usia. GBS sering menyerang pada usia produktif, yaitu 15 35 tahun
dan sulit untuk disembuhkan secara sempurna apabila mengenai pasien
dengan usia50 60 tahun
Setelah beberapa waktu, kondisi mati rasa akan berangsur
membaik. Pasien harus tetap waspada karena hanya 80% pasien yang
dapat sembuh total, tergantung parahnya penyakit. Pasien bisa berjalan
dalam waktu lagi setelah perawatan dalam hitungan minggu atau tahun.
Namun, statistik membuktikan bahwa rata-rata pasien akan membaik
dalamwaktu 3 sampai 6 bulan. Pasien parah akan menjadi cacat pada bagian
yang terserang paling parah, perlu terapi yang cukup lama untuk

19
mengembalikan fungsi-fungsi otot yang layuhakibat GBS. Bisanya
memakan waktu maksimal 4 tahun.

20
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem
kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot bahkan apabila parah bisaterjadi kelumpuhan. Hal ini
terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum
belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem
syaraf ini menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga
ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf .
2. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita.
3. Pasien yang diduga mengidap GBS diharuskan melakukan tes darah
lengkap, berupa pemeriksaan kimia darah secara komplit, lumbal
puncture berfungsi untuk mengambil cairan otak, electromyogram (EMG)
untuk merekam kontraksi otot, dan pemeriksaan kecepatanhantar syaraf.
4. Pengobatan GBS adalah dengan pemberian imunoglobulin secara
intravena dan plasmapharesis atau pengambilan antibodi yang merusak
sistem saraf tepi dengan jalan mengganti plasma darah. Selain terapi
pokok tersebut juga perlu dilakukan pemberian fisioterapi dan perawatan
dengan terapi khusus serta pemberian obat (sitostatik) untuk mengurangi
rasa sakit

B. Saran
1. Pencegahan GSB dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan supaya tidak
mengalami infeksi dan melakukan pemantauan keamanan vaksin.
2. Bagi para tenaga kesehatan agar selalu menjaga kebersihan alat-alat bedah
untuk mencegah infeksi pasca bedah pada pasien
3. Dianjukan dilakukan pemberian antibiotik profilaksis untuk pasien pasca
bedah

21
4. Kasus GBS merupakan kasus level 3B, sehingga manajemen penanganan
yang cepat dan tepat sangat diperlukan
5. Selain farmakoterapi, fisioterapi dan psikoterapi juga diperlukan

22
DAFTAR PUSTAKA

Asbury, A.K. (1981). Diagnostic considerations in GuillainBarr syndrome.


Annals of Neurology;9 (suppl):S1S5.Price, S. A., & Wilson, L. M. 1995.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit(P. Anugerah, Trans. 4
ed.). Jakarta: EGC

Berman, A (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb.Ed.5,
Jakarta: EGC

Christensen, A., Larsen, W.H., Lundby, L., & Jakobsen (1994). Post
Operative Throat Camplaints After Tracheal Intubation. Br J, Anaesth,
7(73), 786.ahfoed, M.H., Guillain Barre Syndrome Update, From
Basic to Emergency, dalam Pendekatan Terbaru Tata Laksana
Penyakit Autoimun dengan IVIG 7S, konggres Nasional V Perdossi
Denpasar, 12 Juli 2003

Ginsberg, L (2005). Lecture Notes: Neurologi Edisi 8. Erlangga: Jakarta

Parry G.J (1993).Guillain-Barre Syndrome . New York : Theime Medical


Publisher

Mikail, B (2012). Penderita Guillain Barre Syndrome (GBS) meningkat di


Kalangan Usia Produktif.
http://health.kompas.com/read/2012/04/14/09265323/Penderita Guillain
Barre Syndrome(GBS).Meningkat.di.Kalangan.Usia.Produktif.Center for
disease control (CDC). 2012. Guillain Barre Syndrome (GBS).
http://www.cdc.gov/flu/protect/vaccine//guillainbarre.htm

Muttaqin, A (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Salemba Medika: Jakarta

Van Koningsveld, R., Schmittz, P.I.M., Ang. C.W., et al (2002). Infections and
Course of Disease dalam Mild Forms of Guillain-Barre Syndrome,
Neurology; 58(4):1.

23

Anda mungkin juga menyukai