Anda di halaman 1dari 116

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pemerintah daerah pada zaman Orde Baru baik Daerah Tingkat I maupun
Daerah Tingkat II keuangannya sebagian besar berasal dari pusat, berupa subsidi
daerah otonom, Inpres, dan dana sektoral lewat anggaran departemen teknis dan
sebagian kecil berasal dari pendapatan asli daerah. Semua dana diluar pendapatan
asli daerah tersebut yang menentukan adalah pusat, keputusan dan
implementasinya menjadi wewenang pusat. Suatu daerah menerima dana tersebut
atau tidak, semuanya tergantung sekali pada pemerintah pusat. Akibatnya daerah
tidak mampu mengembangkan otonominya secara kreatif dan inovatif

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 32


Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun
1999 jo Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Daerah, merubah secara mendasar model pembiayaan
Pemerintah Daerah. Konsepsi dasar model pembiayaan daerah menurut kedua
undang-undang tersebut, adalah penyerahan kewenangan pemerintah kepada
daerah baik menurut azas desentraliasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan
harus diikuti biaya, perangkat, dan tenaga yang memadai, agar daerah mampu
menyelenggarakan semua kewenangan yang diserahkan tersebut. Dengan model
penganggaran seperti itu maka pemerintah pusat tak lagi menentukan secara
subyektif dana tersebut, tapi mengalokasikan dana secara proporsional dan
rasional kepada daerah agar pemerintah daerah mampu menyelenggarakan
otonominya secara kreatif dan bertanggung jawab. Melalui struktur pendanaan
demikian, diharapkan pemerintah daerah makin mampu memberikan pelayanan
prima kepada publik yang berujung pada penciptaan kesejahteraan masyarakat.

Penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya membawa serangkaian

perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan tetapi


juga telah membawa perubahan dalam pengambilan kebijakan daerah guna
menunjang pembangunan ekonomi daerah. Dalam suasana otonomi daerah terasa
begitu banyak permasalahan yang melingkupi daerah sehingga seakan-akan
daerah bebas berkehendak untuk mengatur dan menetapkan apa saja melalui
peraturan daerah (perda). Substansi otonomi daerah tidak begitu jelas dipahami
maknanya sehingga dalam tataran implementasinya banyak menuai bias
kesalahan.

Setelah berjalan hampir sebelas tahun sejak efektif dilaksanakan pada


tahun 2001, otonomi daerah sejauh ini lebih diterjemahkan oleh pemerintah
daerah untuk menggali potensi-potensi penerimaan daerah. Implementasi otonomi
daerah banyak dimaknai sebagai upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dalam pengertian jangka pendek. Oleh karena itu, banyak sekali peraturan-
peraturan daerah (perda) dikeluarkan oleh pemerintah daerah hanya untuk
meningkatkan PAD, terutama perda pajak dan retribusi daerah yang seringkali
mengabaikan prisip-prinsip dan dasar filosofi pajak dan retribusi. Perda pajak dan
perda tentang retribusi seringkali justru tidak kondusif bagi aktivitas ekonomi
daerah serta kontraproduktif bagi kepentingan masyarakat terhadap tujuan
otonomi daerah.

Pajak Daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dari


pendapatan asli daerah, menurut Pasal 8 Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004
dan Pasal 158 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, ditetapkan dengan
undang -undang, yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Daerah. Kedua pasal tersebut merupakan penegasan dari apa yang telah
diatur oleh Undang Undang Dasar 1945 hasil Amandemen, khususnya Pasal 23A
yang menegaskan, bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dalam perkembangan
selanjutnya, sebagai penyesuaian terhadap Undang Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka

Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah yang kemudian diubah menjadi Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Dalam pasal 180 Undang - undang Nmor 28 Tahun 2009 mengamanatkan paling
lambat 2 (dua) tahun daerah harus membuat peraturan daerah tentang pajak
daerah.

Berdasarkan kewenangan tersebut diatas, Pemerintah Kota Tangerang


Selatan saat ini telah memiliki Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah.
Keberadaan Perda tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah
Kota Tangerang Selatan dalam menghimpun sumber-sumber pendapatan daerah
dari sektor pajak daerah.

Sebagai gambaran awal, Kota Tangerang Selatan merupakan daerah


otonom yang terbentuk pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Propinsi
Banten tertanggal 26 November 2008. Pembentukan daerah otonom baru tersebut,
yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang, dilakukan dengan tujuan
meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan serta dapat memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi
daerah.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang


Pemerintahan Daerah, diberikan kewenangan secara hukum kepada
kabupaten/kota sebagai daerah otonomi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1
angka 2, dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah untuk membiayai otonomi serta
dalam hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1)
Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 5 ayat (2).

Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari :

a. Pendapatan Asli Daerah;.

b. Dana Perimbangan; dan


c. Lain-lain pendapatan.

Pasal 6 ayat (1).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari :

a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d. Lain-lain PAD yang sah.

Di sisi lain di dalam Pasal 157 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004,
tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa sumber pendapatan daerah
terdiri dari atas:

a. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu :


1) hasil pajak daerah;
2) hasil retribusi daerah;
3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;
4) lain-lain PAD yang sah.
b. Dana perimbangan;
c. Dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Salah satu problema yang dihadapi oleh Kota Tangerang Selatan dewasa
ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian
kalangan birokrat di Kota Tangerang Selatan yang menganggap bahwa parameter
utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah
terletak pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kecenderungan berpikir di atas dapat dipahami karena adanya perspektif


sejarah pemerintahan daerah yang mengungkap mengenai penyebab
keterbelengguan daerah baik secara politis maupun secara ekonomis lewat piranti
hukum pemerintahan daerah, yaitu Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 beserta

semua peraturan pelaksanaannya. Piranti hukum itulah yang membatasi


kewenangan daerah untuk tumbuh dan berkembang dalam rangka menggali segala
potensi ekonomi yang strategis di daerah.

Rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan


daerah, karena daerah hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana pajak
dan yang mampu memenuhi hanya sekitar 20% - 30% dari total penerimaan untuk
membiayai kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70% - 80% didrop dari
pusat.

Selain karena persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi


sumber dana pajak dan retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis
yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi daerah untuk
memungut Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari
Retribusi Daerah.

Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Perda tersebut


ditemukan setelah pihaknya melakukan pengkajian terhadap 2400 Perda dari 3000
Perda yang direncanakan untuk dikaji. Hasil kajian itu menunjukan bahwa
terdapat 329 Perda yang bermasalah. Hal tersebut dikemukakannya dalam rapat
dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di gedung DPD, Senayan,
Jakarta.

Secara umum permasalahan yang ada di Kota Tangerang Selatan terdiri


dari beberapa hal, antara lain masalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang
memadai dalam suatu Pemerintahan baru,selain daripada itu sarana dan prasarana
wilayah juga masih mengalami keterbatasan, sehingga berdampak pada laju
pembangunan seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat. Permasalahan yang
tidak kalah penting adalah persoalan aset daerah yang belum sepenuhnya
diserahkan dari Kabupaten Tangerang ke Kota Tangerang Selatan, sehingga
potensi-potensi yang bisa dimaknfaatkan oleh Kota Tangerang Selatan mengalami
permasalahan. Serta regulasi-regulasi yang dibutuhkan berupa Peraturan Daerah
(Perda) baik berupa pengaturan maupun penetapan belum ada. Sehingga berbagai

kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan masih
terhambat persoalan payung hukum dan legal formal.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka rumusan


masalah dapat di kemukakan sebagai berikut :

1. Apakah pembuatan Perda Nomor 7 tahun 2010 tentang pajak daerah telah
memenuhi azas-azas pembuatan peraturan perundang-undangan?

2. Bagaimana efektivitas pelaksanaan Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang


Pajak Daerah dalam menunjang Otonomi Daerah di Kota Tangerang Selatan?

3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pemungutan


Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang akan dicapai didalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :

1. Untuk mengetahui apakah pembuatan Perda Nomor 7 tahun 2010 tentang


pajak daerah telah memenuhi azas-azas pembuatan peraturan daerah.

2. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan Perda nomor 7 tahun 2010 tentang


pajak daerah Kota Tangerang Selatan dalam menunjang Otonomi Daerah di
Kota Tangerang Selatan.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam


pelaksanaan pemungutan pajak daerah di Kota Tangerang Selatan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Atas hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan


manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis :

a. Melalui penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan dalam bidang pendapatan, terutama dalam bidang

pajak daerah di Kota Tangerang Selatan

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan awal oleh peneliti-

peneliti lain yang membahas permasalahan yang sama.

c. Untuk menambah wawasan keilmuan terutama berkaitan dengan


Hukum Pajak dalam hal ini Pajak Daerah.

2. Secara praktis

a. Menjadi masukan bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan


berdasarkan identifikasi faktor pendukung dan penghambat
implementasi Perda tentang Pajak Kota Tangerang Selatan.

b. Menjadi masukan bagi para pengambil keputusan, khususnya

dalam upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah melalui pajak

daerah di Kota Tangerang Selatan.

1.5 Sistematika Penulisan.

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai hasil penelitian yang


dilakukan, maka tesis ini disusun dalam 5 (lima) bab yaitu :

BAB I Pendahuluan, pada bab ini berisikan mengenai Latar Belakang


Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka, pada bab ini berisikan kerangka teori mengenai
Tata Cara Pembuatan Peraturan Daerah, Pemahaman kebijakan
desentralisasi fiskal, Pengertian Pajak, Pendekatan terhadap Pajak,
Fungsi dan Azas-Azas Pajak, Asas dan Teori Pemungutan Pajak, Pajak

Daerah, Fungsi Pajak Daerah, Pemahaman umum tentang Otonomi


Daerah, Pemahaman tentang Kewenangan Daerah, serta.Pemahaman
Pemencaran Kewenangan

BAB III Metodologi Penelitian, bab ini akan membahas metode penelitian yaitu
tentang kerangka penelitian, metode penelitian, obyek penelitian,
bentuk dan pendekatan penelitian, penentuan sampel, sumber data
penelitian, tehnik pengumpulan data, definisi operasional, dan tehnik
analisa data

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan , dalam bab ini disajikan hasil-hasil
dan analisis penelitian melalui data-data yang terkumpul selama
penelitian baik data primer maupun data sekunder dan dianalisis
melalui metode yang digunakan. Sub bab dari Bab IV ini meliputi :
Gambaran Umum Kota Tangerang Selatan, Penerapan asas-asas
pembuatan peraturan daerah dalam menunjang pelaksanaan otonomi
daerah di Kota Tangerang Selatan. Pelaksanaan Pemungutan Pajak di
Kota Tangerang Selatan, Faktor-Faktor Yang Menjadi hambatan dan
kendala Dalam Pelaksanaan Pemungutan Pajak Daerah di Kota
Tangerang Selatan, Peranan Pajak Dalam Menunjang Otonomi Daerah
di Kota Tangerang Selatan.

BAB V Penutup, dalam bab ini dibahas kesimpulan dan saran-saran, sehingga
dalam bab ini dapat ditarik suatu kesimpulan dari masing-masing
fokus penelitian dan saran-saran yang bersifat konstruktif yang bisa
menjadi acuan dan pertimbangan untuk pelaksanaan kebijakan.

Daftar Pustaka.

Lampiran-Lampiran

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tata Cara Pembuatan Peraturan Daerah

Menurut Pasal 14 Undang undangan Nomor 12 tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung
kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Sejalan dengan ketentuan diatas, Pasal 136 ayat (3)
Undang - undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah
memberikan ruang lingkup materi muatan Peraturan daerah sebagai penjabaran
peraturan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing
daerah. Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam konteks ini yang
dimaksudkan dengan bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan
yang mengakibatkan terganggunya kerukunan warga, terganggunya pelayanan
umum, dan terganggunya ketertiban/ketentraman masyarakat serta kebijakan/
Peraturan daerah yang bersifat diskriminatif serta berorientasi pada kebutuhan
masyarakat. Peraturan daerah dibentuk berdasarkan azas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang meliputi, kejelasan tujuan, kelembagaan, atau organ
pembentuk yang tepat, kesesuaian anatara jenis dan materi muatan, dapat
dilaksanakan, pendayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan
keterbukaan. Adapun materi muatan yang tertuang dalam Perda harus
mengandung azas Pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan,
kenusantaraan, bhinneka tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan atau
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain azas yang dimaksud tersebut
perda dapat memuat azas lain sesuai dengan substansi perda yang bersangkutan.

Prinsip utama pembentukan perundang-undangan berkaitan dengan


hierarkinya adalah peraturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Menurut pasal 7 Undang Undang Nomor 12 Tahun
2011 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam pembuatan peraturan daerah sesuai dengan pasal 39 Undang


Undang Nomor 12 Tahun 2011 bahwa, perencanaan penyusunan peraturan daerah
Kabupaten/Kota dilakukan dalam prolegda Kabupaten/Kota. Didalam program
legislasi daerah (prolegda) kabupaten/kota rancangan peraturan daerah dapat
berasal dari DPRD Kabupaten/kota atau Walikota, rancangan peraturan daerah
harus disertai dengan penjelasan atau keterangan dan atau naskah akademik. 1

2.2 Pemahaman Kebijakan Pajak Daerah dalam Kebijakan Desentralisasi


Fiskal

Kebijakan atau policy dipergunakan untuk menunjuk perilaku aktor


(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga pemerintah)
atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian semacam ini
dapat dipergunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-
pembicaraan biasa, namun menjadi sistematis menyangkut analisis kebijakan
publik. Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau defenisi mengenai apa yang
dimaksud dengan public policy.

Salah satu definisi mengenai kebijakan publik dikemukakan oleh Robert

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan Fokusindo Mandiri, 2011, Bandung. Hal 15

10

Eyestone, yang menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai hubungan suatu unit
pemerintah dengan lingkungannya.2 Konsep yang ditawarkan oleh Robert
Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti, karena
apa yang dimaksudkan dengan kebijakan publik bisa mencakup banyak hal;
sedangkan Thomas R Dye menyatakan bahwa public policy adalah apapun yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.3 Pendapat ini pun
dirasa agak tepat namun batasan ini tidak cukup memberi pembedaan yang jelas
antara apa yang diputuskan pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya
dilakukan oleh pemerintah.

Budi Winarno mengemukakan bahwa tahap-tahap dari suatu public policy


meliputi.4

1. Tahap penyusunan agenda, yaitu tahapan ketika para pembuat kebijakan akan
menempatkan suatu masalah pada agenda policy.

2. Tahap formulasi kebijakan, yaitu tahapan pada saat masalah yang sudah
masuk agenda policy kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan.
Masalah-masalah tersebut didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahannya
yang terbaik.

3. Tahap implementasi kebijakan, yaitu tahapan pada saat kebijakan yang


diambil telah diimplementasikan atau dijalankan. Namun dalam hal tertentu
tahap ini tidak mesti untuk diimplementasikan. Mungkin karena sesuatu hal
policy yang sudah diambil tidak langsung diimplementasikan.

4. Tahap evaluasi, yaitu tahap penilaian terhadap suatu kebijakan yang telah
dijalankan atau tidak dijalankan. Tahap ini untuk melihat sejauh mana
kebijakan yang diambil mampu atau tidak mampu untuk memecahkan
masalah publik.

Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui

2
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, 2000, Yogyakarta, hal 15
3
Budi Winarno, Loc cit
4
Ibid hal 29-30

11

kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kebijakan mengenai


perpajakan daerah dan retribusi daerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
berlaku efektif sejak 1 Januari 2010.

Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun


2009. Pertama adalah closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa
dipungut oleh daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada
masyarakat dan dunia usaha tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar.
Kedua adalah penguatan local taxing power. Hal ini dilakukan, antara lain melalui
perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan
jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokok dan pengalihan PBB menjadi
pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, serta
pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistem
pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak
provinsi yang lebih ideal dan kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu
(seperti earmarking sebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan
jalan). Keempat adalah peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah
dengan mengubah mekanisme pengawasan represif menjadi preventif dan
korektif.5

2.3 Pengertian Pajak

Pengertian pajak amatlah berbeda-beda, tergantung dari perspektif mana


seseorang memandang masalah pajak, karena sampai saat ini tidak pengertian
pajak bersifat universal, namun substansi dan tujuan dari pajak itu sendiri adalah
sama.

Para ahli dalam bidang perpajakan yang memberikan batasan atau definisi
yang berbeda-beda mengenai pajak, namun demikian berbagai definisi tersebut
mempunyai inti atau tujuan yang sama dan ada beberapa definisi yang
diungkapkan oleh para pakar antara lain :

5
http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/10-08-16

12

1. P.J.A. Adriani (pernah menjabat guru besar dalam hukum pajak pada
Universitas Amsterdam, mengemukakan sebagai berikut6 :

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung dengan
tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

2. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja, dalam disertasinya yang berjudul


Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong, Universitas Padjadjaran Bandung
tahun 1964, memberikan definisi mengenai pajak sebagai berikut Pajak
adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-
barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.7

3. Definisi Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam bukunya Dasar Dasar
Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan adalah sebagai berikut8: Pajak adalah
iuran rakyat kepada kas negara herdasarkan undang undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum, dengan penjelasan sebagai berikut: Dapat dipaksakan artinya: bila
utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan
kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan; terhadap
pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbalbalik tertentu, seperti
halnya dengan retribusi.

4. Menurut Mr. Dr. N.J Feldman dalam bukunya De overheidsmidsmiddelen van


Indonesia, Leiden 1949, Belastigen Zijn Overheid (Volgen Algemene door
haar vastgesteelde nomen) verschuldigde afwigbarepresstties waar

6
Darwin, Pajak Daerah & Retribusi Daerah, Mitra Wacana Media, jakarta.Edisi Pertama, 2010.
Hal.15.
7
Ibid hal. 15.
8
Ibid hal. 16.

13

tegenprestagie tegonever staat en uitsluiend dienen tot decking van uitgaven,


pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada
penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa adanya
kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran
umum.9

5. Menurut Prof DR Djajadiningrat

Pajak sebagai suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian kekayaan negara


karena suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan
tertentu, Pengutan tersebut bukan sebagai hukuman, tetapi menurut peraturan-
peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan. Untuk itu, tidak
ada jasa balik dari Negara secara langsung misalnya untuk memelihara
kesejahteraan umum.10

Dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik adanya beberapa ciri atau
karakteristik dari pajak sebagai berikut:

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang atau peraturan


pelaksanaannya;
2. Terhadap pembayaran pajak, tidak ada tegen prestasi yang dapat
ditunjukkan secara langsung;
3. Pemungutannya dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, karena itu ada istilah pajak pusat dan pajak daerah;
4. Hasil uang dari pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan, dan apabila terdapat kelebihan maka sisanya dipergunakan
untuk public investment;
5. Di samping mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukan dana dari
rakyat ke dalam kas negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai
fungsi yang lain, yakni fungsi mengatur.

9
Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, Bandung, Edisi 5, 2011 hal 8.
10
Tunggul Anshari Setia Negara, Pengantar Hukum pajak, Malang, Edisi 1, 2006 hal 5

14

Apa yang dikemukakan diatas sebagai karakteristik pajak, terutama


ditujukan untuk membedakan dengan pungutan-pungutan lain selain pajak Dalam
hal ini yang termasuk di dalam pungutan (heffing) selain pajak masih dikenal
adanya retribusi dan sumbangan. Retribusi berbeda dengan pajak. Dalam retribusi,
hubungan antara prestasi yang dilakukan (dalam wujud pembayaran) dengan
kontraprestasi itu bersifat langsung. Dalam hal ini, pembayar retribusi justru
menginginkan adanya jasa timbal balik secara langsung dari pemerintah.

2.4. Pendekatan Terhadap Pajak

Dilihat dari segi hukum, pajak merupakan suatu ikatan yang timbul karena
Undang Undang. Hal ini disebabkan karena bahwa seseorang membayar atau
tidak membayar pajak ditentukan oleh Undang Undang, artinya disini adalah
bahwa keterikatan antara pemerintah dengan masyarakat sebagai wajib pajak
semata-mata didasarkan pada Undang Undang pajak (asas legalitas). Di Indonesia
asas ini tercantum dalam pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang telah diamandemen
menjadi pasal 23A UUD 1945. Pada pasal 23 A ini disebutkan bahwa: Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
Undang Undang. Berdasarkan Undang Undang mengandung konsekwensi bahwa
pungutan pajak oleh negara harus dilakukan negara dengan persetujuan rakyat
melalui perwakilannnya yaitu DPR. Secara tidak langsung ini menandakan adanya
kedaulatan rakyat di dalam menentukan nasibnya sendiri walaupun melalui
perwakilan.

Pasal 23 A UUD 1945 ini selain dianggap sebagai dasar hukum utama
pengenaan pajak, dapat juga dianggap sebagai dasar filosofi pemungutan pajak di
Indonesia11. Sebagai dasar hukum, karena pasal ini menjadi dasar dalam
pembentukan Undang Undang perpajakan, sedangkan sebagai dasar falsafah,
pasal ini menghendaki adanya persetujuan rakyat apabila negara akan melakukan
pemungutan pajak.

Rochmat Soemitro mengatakan bahwa pajak dilihat dari segi hukum dapat

11
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, op. cit hal. 50

15

didefenisikan sebagai perikatan yang timbul karena undangundang (jadi dengan


sendirinya) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang
ditentukan dalam Undang Undang, untuk membayar sesuatu jumlah tertentu
kepada negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat
imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiaya
pengeluaran-pengeluaran negara.12

Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa pajak merupakan sebuah


perikatan. Akan tetapi, perikatan dalam pajak berbeda dengan perikatan perdata
pada umumnya, karena beberapa hal yakni:13

1. Perikatan perdata dapat lahir karena perjanjian dan dapat pula karena Undang
Undang, sedangkan perikatan pajak hanya lahir karena Undang Undang dan
tidak lahir karena perjanjian;

2. Perikatan perdata berada dalam lapangan hukum privat sementara perikatan


pajak berada dalam lapangan hukum publik;

3. Dalam perikatan perdata hubungan terjadi diantara para pihak yang


mempunyai kedudukan yang sama/sederajat. Sementara di dalam perikatan
pajak kedudukan para pihaknya tidak sederajat. Dalam hal Subyek Pajak
diartikan sebagai mereka yang memnuhi syarat subyektif. Istilah fiscus
diartikan sebagai seluruh aparatur pajak sebagai wakil negara ini perikatan
pajak melibatkan orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk membayar
suatu jumlah tertentu kepada negara yang dapat dipaksakan. Dari pendekatan
yang seperti itu pajak lebih menitik beratkan pada perikatan dan pada hak dan
kewajiban dari para pihak. Dalam hal ini perikatan terjadi antara pemerintah
selaku fiscus dengan rakyat selaku subyek pajak atau wajib pajak. Perikatan
antara fiscus dengan subyek pajak/wajib pajak tersebut memberikan posisi
yang berbeda kepada para pihak, hal tersebut mengingat dalam hal ini fiscus
dilekati oleh adanya kewenangan hukum publik untuk kepentingan

12
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, op. cit hal. 51
13
Rochmat soemitro,Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco Bandung Hal 6.

16

negara.Adanya hubungan hukum yang seperti itulah yang menyebabkan


penempatan hukum pajak ke dalam bagian lapangan hukum publik;

4. Prestasi yang dilakukan oleh subyek pajak untuk membayar pajak itu tidak
mendapat imbalan langsung yang dapat ditunjukkan.Hal tersebut
membedakannya dengan retribusi.

2.5 Fungsi dan Azas-azas Pajak

Fungsi pajak menurut Erly Suandy ada dua, yaitu14:


1. Fungsi Budgeter;
2. Fungsi Mengatur;
Fungsi yang pertama, dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut memasukan
uang sebanyak-banyaknya ke kas negara, dengan tujuan untuk mebiayai
pengeluaran-pengeluaran negara.Dalam upaya meningkatkan penerimaan
perpajakan, pemerintah secara konsisten melakukan berbagai upaya pembenhan
baik aspek kebijakan maupun aspek sistem dan administrasi perpajakan melalui
hal-hal berikut :
Amandemen undang-undang perpajakan.
modernsisasi kantor pajak.
Ekstensifikasi dan intensifikasi.
extra effort dalam pemeriksaan dan penagihan pajak.
Pembangunan data base terintegrasi.
penyediaan layanan melalui pemanfaatan teknologi informasi.
penegakan kode etik pegawai untuk meningkatkan kedisiplinan dan
Good Governance aparatur pajak.

Sedangkan fungsi yang kedua yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk
mengatur masyarakat baik dibidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan
tujuan tertentu. Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat
dilihat dalam contoh sebagai berikut.

14
Erly Suandy, Hukum Pajak, PT. Salemba Empat, Bandung. 2011. Edisi-5, hal .12 s.d. 13.

17

Pemberian intensif pajak (misalnya tax holiday, penyusutan


dipercepat) dalam rangka meningkatkan investasi baik investasi dalam
negeri maupun investasi asing.
pengenaan ekspor pajak untuk produk-produk tertentu dalam rangka
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pengenaan bea masuk dan pajak penjualan atas barang mewah untuk
produk-produk tertentu dalam rangka melindungi produk-produk
dalam negeri.

Disamping kedua fungsi diatas, pajak masih mempunyai tujuan-tujuan lain


seperti untuk retribusi pendapatan dan menanggulangi inflasi

2.6 Asas dan Teori Pemungutan Pajak

Dalam buku An Inquiry into the nature and causes of the wealth of nation
yang ditulis oleh Adam Smith pada abad ke 18 mengajarkan tentang asas-asas
pemungutan pajak yang dikenal dengan nama four cannons atau the four maxims
dengan uraian sebagai berikut:15

1. Equality
Pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemapuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya
dibawah perlindungan pemerintah. Dalam hal equility ini tidak
diperbolehkan suata negara mengadakan diskriminasi diantara sesama
wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib pajak harus diperlakukan
sama dalam keadaan berbeda wajib pajak harus diperlakukan berbeda.

2. Certainty
Pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak kenal kompromi
(not arbitary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah
mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai
pembayarannya.

15
ibid hal 25

18

3. Convenience of payment
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak,
yaitu saat dekat dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang
dikenakan pajak.

4. Economic of collection
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat mungkin, jangan sampai
biaya pemungutan pajak lebih besar dari pada penerimaan pajak itu
sendiri.Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang
dikeluarkan lebiyh besar dari pada penerimaan pajak yang akan diperoleh.

Beberapa teori yang memberikan dasar pembenaran untuk menjawab


penelitian penulis dihubungan dengan Perda No 7 tahun 2010 tentang Pajak
Daerah di Kota Tangerang Selatan sesuai dengan teori pemungutan pajak, yaitu :
Teori Gaya Pikul.

Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan


kekuatan dari membayar dari si wajib pajak (individu-indvidu) jadi tekanan semua
pajak-pajak harus sesuai dengan daya pikul si wajib pajak dengan memperhatikan
pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran belanja siwajib pajak
tersebut. W.J. de Langen berpendapat dalam bukunya, daya pikul adalah besarnya
kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-
tingginya, setelah dikurangi dengan yang mutlak pada kebutuhan primer
(biaya hidup yang sangat mendasar). Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada
negara (pajak) barulah ada, jika kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia. Hak
manusia pertama adalah hak untuk hidup, maka sebagai analisir yang pertama
adalah minimum kehidupan (bestaans minimum). Mr. A.J. Cohen Stuart
berpendapat bahwa, daya pikul diumpamakan sebuah jembatan, yamg pertama-
tama harus memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk dibebani dengan
beban yang lain. Beliau menyarankan bahwa yang sangat diperlukan dalam
kehidupan tidak dimasukan kedalam daya pikul. Kekuatan untuk menyerahkan
uang kepada negara barulah ada jika kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup

19

sudah tersedia. Kelemahan dari teori ini adalah sulitnya menentukan secara tepat
daya pikul seeorang karena akan berbeda dan selalu berubah-ubah.

2.7 Pajak Daerah

Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada


pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan
Daerah. Pajak pusat diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pajak Daerah yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, terdiri atas 5 jenis pajak daerah provinsi dan 11 jenis pajak daerah
kabupaten/kota adalah sebagai berikut:

Jenis Pajak provinsi terdiri atas:

a. Pajak Kendaraan Bermotor;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

d. Pajak Air Permukaan; dan

e. Pajak Rokok.

Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:

a. Pajak Hotel;

b. Pajak Restoran;

c. Pajak Hiburan;

d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

20

g. Pajak Parkir;

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak Sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan

k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.16

2.8 Fungsi Pajak Daerah

Pajak daerah adalah bentuk pajak yang dipungut oleh negara yang
pelaksanaan pemungutannya diserahkan kepada daerah. Maka pajak daerah
merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah dalam konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu pelaksanaannya tetap diatur
dalam peraturan perundangan-undangan. Dalam hal pemungutannya secara
konstitusional Undang Undang Dasar 1945 menentukan sebagai berikut: Pasal 5
ayat (1) yang menyatakan:

"Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang Undang dengan persetujuan


Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 18 yang menyatakan:

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan


daerah provinsi itu dibagi atas Kota, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan Undang Undang.

Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang Undang.

Pasal 23 ayat (2) menyatakan:

Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang Undang.

16
Undang-Undang Republik Indonesia , Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pustaka Yustisi, 2010 hal 11

21

Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang


Pemerintahan Daerah, di antara pasal-pasalnya menentukan antara lain :

1. Pasal 157 yang menyatakan bahwa Sumber Pendapatan Daerah terdiri dari :
a. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu :
1) Hasil Pajak Daerah;
2) Hasil Retribusi Daerah;
3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
4) Lain-Lain PAD yang sah.
b. Dana Perimbangan.
c. Lain-Lain Pendapatan Daerah yang sah.

2. Pasal 158 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pajak daerah dan retribusi daerah
ditetapkan dengan Undang Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Daerah (Perda).

Pada dasarnya dengan berlakunya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004,


tentang Pemerintahan Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
pembangunan daerah, maka dalam hal ini fungsi pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah adalah sebagai berikut:17

1. Fungsi anggaran (Fungsi budgeter), Sebagai sumber pendapatan negara, pajak


berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk
menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan,
negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak.
Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,
belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan
pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan
dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun
ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang
semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

17
Djafar Saidi, Pembaharuan hukum pajak edisi revisi, PT. Rajagrafindo Persada 2007, hal 38.

22

2. Fungsi mengatur (fungsi regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak.


Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam
negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan
pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah
menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

3. Fungsi investasi, yang dimaksud dengan fungsi investasi adalah wajib pajak
telah menyisihkan sebagian pengahsilan atau kekayaan untuk kepentingan
Negara maupun daerah. Sebenarnya pajak yang dibayar merupakan peran
serta wajib pajak menanamkan modal agar dapat mengurangi dan bahkan
memberantas kemiskinan.

2.9 Pemahaman Tentang Otonomi Daerah

Perkembangan masyarakat Indonesia dalam memasuki era globalisasi dan


reformasi telah memberikan pengalaman yang cukup berarti, antara lain
kebijaksanaan di daerah yang diputuskan dari pusat berdasarkan pendekatan Top
Down sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan di daerah, maka salah satu cara
mengatasi ketidaksesuaian antara kebijaksanaan yang diputuskan dari pusat dan
kondisi daerah adalah harus segera dibuat sebuah kerangka kebijaksanaan yang
sangat strategis. Salah satu kebijaksanaan yang sangat strategis sesuai dengan
kondisi saat ini adalah otonomi daerah.

Pengertian pemerintahan daerah menurut Undang Undang Nomor 32


Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah ialah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Asas otonomi
daerah yang artinya ialah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

23

setempat Pengertian pemerintahan daerah menurut Undang Undang Nomor 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ialah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
pasal 1 ayat (1) Negara Indoensia ialah Negara kesatuan yang berbentuk
Republik18 Sebagai konsekwensi dari begara kesatuan, Negara republic
Indonesia membagi wilayahnya menjadi daerah-daerah, yang terdiri dari daerah
Propinsi, daerah Kabupaten, dan kota. Daerah-daerah ini saling berhubungan
dengan Pemerintah pusat. Sekalipun demikian, daerah-daerah tersebut diberi
kewenangan untuk menyelenggarakan Pemerintahnnya sesuai dengan aspirasi
masyarakat setempat. Asas otonomi daerah yang artinya ialah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-
undangan. Dengan daerah otonom dimaksudkan agar daerah dapat berkembang
sesuai dengan kemampuannya sendiri dan tidak bergantung pada Pemerintah
Pusat, sehingga daerah harus mampu mengatur pendapatan dan pengeluarannya
sendiri.

Sistem desentralisasi ini Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk


membuat kebijakan dan mengatur rumah tangganya sendiri. Selain itu tujuan
kebijakan desentralisasi yakni dalam rangka efisiensi alokasi arus barang publik
ke daerah, serta untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat lokal guna
mendorong demokratisasi, mengakomodasi aspirasi dan partisipasi masyarakat
daerah.

Sedangkan upaya yang paling dominan untuk mengatur dan mengurus


rumah tangga Pemerintah Daerah adalah dengan melakukan pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah. Hal ini cukup menentukan kelangsungan hidup dan
otonomnya daerah yang bersangkutan.

18
Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Pustaka Setia Bandung, 2010

24

Pada hakekatnya dalam rangka meefesiensikan pemungutan pajak daerah


dan retribusi daerah diperlukan peningkatan kinerja aparat perpajakan daerah
(dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah kabupaten/kota), maka peningkatan
kinerja ini bisa dilaksanakan bila ada peninjauan terhadap kelembagaan
perpajakan daerah, sedangkan menurut Osborne dan Ted Gabler tentang
Reinventing Government mengharapkan adanya transformasi sektor publik
dengan jiwa kewirausahaan (Enterpreneurship) dengan melepaskan aktifitas
pelaksanaan administrasi yang mampu dilakukan masyarakat. Dan berdasarkan
teori yang terkenal yaitu Reinventing Government ada 10 (sepuluh) kunci pokok
yang diajukan salah satu diantaranya adalah pemerintahan yang katalis:
mengarahkan ketimbang mengayuh (Catalytic Government: Steering Rather Than
Rowing).19

Dengan demikian secara teoritis pelaksanaan otonomi daerah dan


pembangunan daerah berdasarkan kekuasaan yang dibagi secara vertikal dan
horizontal, yaitu:

1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, maksudnya


ialah pembagian kekuasan antar beberapa tingkat pemerintahan, sedangkan
menurut Carl J Federich memakai istilah pembagian kekuasaan secara
teritorial (teritorial Division Of Power).

2. Secara Horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Pembagian


ini menunjukan perbedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif,
eksekutif dan yudikatif yang lebih dikenal dengan Trias Politica atau
pembagian kekuasaan (Division Of Power).

Adapun prinsip-prinsip otonomi daerah tersebut dalam rangka pelaksanaan


pembangunan daerah dan untuk mengembangkan kedaulatan daerah yang harus
dilihat sebagai suatu dialetika antara kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang
berhadapan dengan kepentingan kekuasaan, oleh arena itu kebijakan yang

19
David Osbone dan Tead Gabler, Mewirausahakan Birokrasi, PT Pustaka Binaman Presindo,
Jakarta 1996 hal 58

25

mengatur hak dasar daerah, tanpa eksplisit menyebutkan apa hak rakyat akan
menyimpan potensi penyimpangan, sehingga dengan demikian proses kebijakan
tersebut didefenisikan sebagai sebuah rangkaian tindakan secara defenit berkaitan
dengan tujuan.

2.10 Pemahaman Tentang Kewenangan Daerah

Kewenangan daerah otonom secara jelas disebutkan dalam Undang


Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Pasal 7 Ayat (1) yaitu: Kewenangan
Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Pada Undang undang
Nomor 32 Tahun 2004 diatur pada Pasal 10.

(1) Kewenangan daerah Kota dan kota mencakup semua kewenangan


pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang
diatur dalam Pasal 9.

(2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kota dan
Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman
modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.

Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 hal tersebut secara rinci
telah disebutkan pada Pasal 14 Ayat (1) kewenangan untuk daerah kabupaten/kota
meliputi 16 kewenangan dan pada Ayat (2) urusan pemerintahan ada juga bersifat
pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Memperhatikan kewenangan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat


diketahui bahwa terdapat sejumlah kewenangan dibidang pemerintahan yang tidak
diserahkan kepada daerah, sehingga kewenangan tersebut tetap menjadi
wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

26

Menurut Syaukani HR, pada Seminar Otonomi Daerah Starategi


Pemberdayaan Daya saing Daerah menyatakan bahwa kebijkan otonomi daerah
berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan kebijakan yang
lahir dalam rangka menjawab dan memenuhi tuntutan revormasi dan
demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta upaya pemberdayaan daerah.20

Inti otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan. Otonomi


daerah. Sebagai demokratisasi berarti ada keserasian antara pusat, daerah dan
daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan,
kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah
mendapat perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat, sedangkan
otonomi daerah pemberdayaan daerah merupakan suatu proses pembelajaran dan
penguatan bagi daerah untuk mengatur, mengurus dan mengelola kepentingan dan
aspirasi masyarakat sendiri. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000,
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah
Otonom tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah
adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi
dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Atas dasar inilah Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999
dan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas,
nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah sehingga daerah diberikan peluang
untuk mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dan potensi daerahnya.
Kewenangan ini merupakan upaya untuk membatasi kewenangan Pemerintah dan
kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom, karena Pemerintah dalam hal ini
pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi hanya diberi kewenangan sebatas yang
telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000.
Kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua
aspek pemerintahan.

20
Syaukani HR, Seminar Otonomi daerah Starategi Pemberdayaan Daya saing Daerah (Jurnal
Otda, Nomor 3,2001:10

27

Kewenangan otonomi luas adalah Keleluasaan daerah untuk


menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya
yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Otonomi nyata adalah Keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan


kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan
diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.

Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab adalah berupa perwujudan


pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada
daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan
demokrasi, keadilan dan pemerataan serat pemeliharaan hubungan yang serasi
antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Dasar pemikiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut di atas,


menunjukkan bahwa prinsip pemberian otonomi dalam pelaksanaan pemerintahan
daerah meliputi beberapa hal yaitu:

1. Mengutamakan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan


keanegaragaman daerah.

2. Otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab.

3. Otonomi daerah yang luas, utuh diletakkan pada daerah kabupaten/kota,


sedangkan daerah provinsi menunjukkan otonomi yang terbatas.

4. Otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap


terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah

28

otonom oleh sebab itu daerah Kota dan kota tidak ada lagi wilayah
administratif.

6. Pelaksanaan otonomi daerah lebih meningkatkan peran dan fungsi badan


legislatif daerah.

7. Asas dekonsentrasi masih diberikan dan dilaksanakan di daerah provinsi


dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

8. Tugas pembantuan dimungkinkan dari pemerintah kepada daerah maupun


dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan dengan
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskan.

Dengan memperhatikan prinsip otonomi yang dianutdalam Undang


Undang Nomor 22 Tahun 1999 yaitu otonomi yang luas, nyata dan
bertanggungjawab, maka tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah dalam
rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, maupun antara
daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk mengantar masyarakat


kearah kehidupan yang lebih baik melalaui kegiatan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan dan pemberian pelayananan kepada masyarakat yang semakin
dekat. Penyelenggaraan urusan pemerintah pada Undang Undang 32 Tahun 2004
telah diatur dalam Pasal 11, urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian
hubungan antara susunan pemerintahan, sehingga ada keterkaitan, ketergantungan
dan sinergis sebagai satu system pemerintahan oleh sebab itu urusan pemerintahan
ada yang wajib dan ada pilihan yang nantinya dalam pelaksanaannya akan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

29

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

Penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya membawa serangkaian


perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan tetapi
juga telah membawa perubahan dalam pengambilan kebijakan daerah guna
menunjang pembangunan ekonomi daerah. Dalam suasana otonomi daerah terasa
begitu banyak permasalahan yang melingkupi daerah sehingga seakan-akan
daerah bebas berkehendak untuk mengatur dan menetapkan apa saja melalui
peraturan daerah (perda). Substansi otonomi daerah tidak begitu jelas dipahami
maknanya sehingga dalam tataran implementasinya banyak menuai bias
kesalahan.

Salah satu problema yang dihadapi oleh Kota Tangerang Selatan dewasa
ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian
kalangan birokrat di Kota Tangerang Selatan yang menganggap bahwa parameter
utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah
terletak pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dalam negara hukum modern tugas pokok negara tidak saja terletak pada
pelaksanaan hukum, tetapi juga mencapai keadilan sosial (sociale gerechtigheid)
bagi seluruh rakyat. Sebagai negara berdasar atas hukum, negara Indonesia
didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Selain
itu adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Upaya memajukan
kesejahteraan umum obyektif yang membuat negara Indonesia terkategori
sebagai negara hukum modern ataupun bercorak welfare state ditujukan untuk

30

merealisasikan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual.21

Dari uraian tersebut, terkandung makna bahwa negara atau pemerintah


Indonesia mempunyai kewajiban yang mutlak untuk menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat. Untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat tersebut,
pajak berperan sangat sentral dalam memenuhi kebutuhan anggaran untuk itu.

Pasal 18 UUD RI 1945 perubahan kedua tahun 2000 menegaskan bahwa


pemerintah terdiri atas pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur
dengan Undang Undang, langkah-langkah penting sudah dilakukan oleh
Pemerintah, seperti lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pemerintahan daerah. Melalui undang-undang tersebut bangsa
Indonesia menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam sistem administrasi
pemerintahannya.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan


Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, juga disebutkan bahwa:

Daerah otonom, atau yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan


masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam penjelasan umum Undang


Undang Nomor 12 Tahun 2008, Daerah diberikan kewenangan memungut dan
mendayagunakan pajak dan retribusi daerah. Dengan demikian pungutan daerah
itu meliputi pajak daerah dan retribusi daerah.

Pajak daerah adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah


daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Pemungutan
pajak diatur dengan peraturan perundang-undangan. Merujuk kepada peraturan

21
Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, 2007, hal. 73.

31

pajak daerah dan retribusi daerah dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud
dengan:

Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib


kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Apa rasionya sehingga pemungutan pajak harus berdasarkan undang-
undang? Sebagaimana diketahui bahwa pajak adalah peralihan kekayaan dari
sektor swasta ke sektor pemerintah (untuk membiayai pengeluaran negara) tanpa
ada jasa timbal (tegen prestasi) yang langsung ditunjuk, Jadi pajak disini adalah
merupakan kekayaan rakyat yang diserahkan kepada negara.

Biasanya peralihan kekayaan dari sektor satu ke sektor lain tanpa adanya
kontraprestasi (jasa timbal), hanya dapat terjadi, bila terjadi suatu hibah,
kekerasan dan perampasan atau perampokan.

Pengertian hukum pajak secara umum terdapat beberapa pendapat


Menurut Rochmat Soemitro menyatakan bahwa:

Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan


antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar
pajak. Hukum pajak menerangkan : siapa wajib pajak (subyek) dan apa
kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah,
obyek-obyek apa yang dikenakan pemerintah, cara penagihan, cara
pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya. 22

Jenis pajak kabupaten/kota yang dipungut adalah pajak hotel, pajak


restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak
pengambilan bahan galian golongan c, dan pajak parkir.

Dasar hukum pemungutan pajak daerah adalah hukum pajak daerah


(Peraturan Daerah), dengan batasan pada Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Syarat yang ditentukan adalah
peraturan daerah yang dipergunakan untuk mengatur Pajak Daerah substansinya

22
Mustaqiem, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, FH UII Press, 2008, hal.230.

32

harus selaras dengan substansi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi


tingkatannya.

Bangsa Indonesia sebagai negara hukum maka dalam segala tindakannya


juga harus berdasarkan atas aturan hukum termasuk bidang perpajakan. Hal ini
menjadi syarat mutlak untuk memungut pajak dari masyarakat karena pemungutan
pajak yang tidak didasari hukum adalah perampokan. Ketentuan Pasal 23A UUD
RI 1945 bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
Negara harus diatur dengan undang-undang, merupakan landasan yuridis
konstitusional bagi Negara untuk memungut pajak.

Aspek perpajakan merupakan sarana yang mempunyai peran dalam


pembiayaan Negara dan Pembangunan Nasional. Di samping pajak daerah
merupakan sumber pendapatan daerah guna pembiayaan pembangunan dalam
rangka otonomi daerah, maka dapat dikatakan pemungutan pajak daerah erat
kaitannya dengan pembangunan ekonomi daerah, sehingga dapat dikatakan
menurut Todaro keberhasilan ekonomi ditunjukan oleh tiga nilai pokok antara
lain:

1. berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan


pokoknya (basic needs);

2. meningkatkan harga diri (self esteem) masyarakat sebagai manusia;

3. meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from


servitude) merupakan salah satu Hak Azasi Manusia.23

Berarti antara pembangunan ekonomi dengan perpajakan (pajak daerah)


mempunyai hubungan yang bersifat interdepensi, artinya keberhasilan
pembangunan ekonomi akan mampu menaikan penarikan pajak dan retribusi yang
akan dilakukan oleh pemerintah daerah, sebaliknya dengan penarikan pajak
daerah akan mampu pula meningkatkan pelaksanaan pembangunan di daerah,

23
Lincolin Arsyad, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, BPFE,
Yogyakarta, 1999, hal 5-6.

33

yang merupakan urat nadi dari pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana


diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang Undang
Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah serta Undang Undang
Nomor 18 Tahun 1997 Jo Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai
pengganti Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000, tentang Perubahan atas
Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997, dan tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.

Dalam rangka pembangunan daerah melalui penyelenggaraan otonomi


daerah selalu dikaitkan dengan kemampuan pemerintah daerah untuk menggali
sumber daya keuangan terutama pada sektor pajak, maka dapat dikatakan pajak
daerah dan retribusi daerah mempunyai peranan yang sangat besar dalam
pelaksanaan peningkatan pendapatan daerah.

Seluruh penyelenggaran otonomi daerah, pada dasarnya adalah untuk


mempercepat pencapaian kepentingan nasional (national interest) serta untuk
mewujudkan tujuan nasional (national goal), yakni melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia
1945.

Melalui konsep otonomi daerah, segala potensi yang ada di daerah akan
diberdayakan untuk kepentingan daerah, dalam kerangka mencapai tujuan
nasional. Meminjam teori yang dikemukakan Devey tentang development from
below dapat dikatakan bahwa orang akan lebih bersedia membayar pajak kepada
Pemda dari pada kepada Pemerintah Pusat karena mereka dapat melihat manfaat
dalam kemudahan dan pembangunan di daerah mereka.24

Pemerintahan di daerah (local government), dalam memberdayakan


potensi daerah akan mengemas berbagai kebijakan itu dalam bentuk produk

24
Devey sebagaimana dikutip oleh Kesit Bambang Prakosa, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
UII Press, 2003, hlm.: 23

34

hukum (ius constitutum) dan akan menjadi landasan pelaksanaan pemerintahan di


daerah. Dalam perspektif hukum, kebijakan yang mengikat warga masyarakat di
daerah akan ditetapkan dalam bentuk produk hukum daerah yang salah satunya
berupa Perda. Dengan adanya regulasi yang mengatur jelas tentang pungutan yang
dibebankan kepada masyarakat serta menjamin kepastian hukum dan penegakan
hukum bagi masyarakat dan investor dalam melakukan aktivitas ekonomi/usaha
sehingga menciptakan iklim investasi yang baik. Ini juga akan berdampak baik
bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dalam melakukan pembangunan daerah.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka kerangka pikir dalam penelitian


ini adalah sebagai berikut :

35

Gambar : 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

INPUT PROSES
OUTPUT
Inventarisirdasar SistempemungutuanPajak
hukumsistem DaerahdalamEraOtonomi
ImplentasiPerdaPajak
pemungutan DaerahdiKotaTnagerang
dalammenunjangotonomi
PajakDaerah Selatan
DaerahdiKotaTangerang
Selatan

Undangundang 1. MimilihPasalpasalyang
bersifatnormahukum PeningkatanPAD
PP/Permen 2. Menyusunsistematikadari
Kepmen pasalpasaltersebut
sehinggamenghasilkan Pembangunan
Perda klasifikasitertentu
3. Menganalisispasalpasal
Perwal
tersebutdengan
Peningkatankesejahteraan
menggunakanasasasas
hukumyangada
4. Menyusunsuatukonstruksi Menunjang
denganpersyaratan:
a. mencakupsemuabahan
hukumyangditeliti OTONOMI
b. konsisten DAERAH
c. memenuhisyaratsyarat
etestis
d. sederhana

Penjelasan bagan diatas, pertama dalam kelompok INPUT penulis,


menginventarisir dasar pemungutan pajak daerah sebagai payung hukum antara
lain mengumpulkan bahan berupa Undang undang yang berhubungan dengan
perpajakan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri yang berhubungan dengan
pengelolaan keuangan daerah, Peraturan daerah tentang pajak daerah dan
peraturan Walikota Tangerang Selatan. Kedua dalam kelompok PROSES penulis
meneliti sistem pemungutan pajak daerah di Kota Tangerang Selatan oleh Instansi

36

terkait yaitu DPPKAD, dengan menganalisa pasal pasal yang termuat dalam
Perda No 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Ketiga kelompok OUT PUT bahwa
hasil dari implementasi Perda No 07 tahun 2010 tentang pajak daerah tersebut,
apakah sudah di implemntasikan secara efisien sehingga potensi pajak daerah
dapat dipungut secara optimat sesuai target yang sudah direncanakan, dan apakah
hasil pungutan pajak daerah tersebut benar-benar terealisasi dalam menunjang
otonomi berupa pembangunan infrastruktur daerah untuk meningkatan
kesejahteraan masyarakat di Tangerang Selatan.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan survey dengan pendekatan diskriptif


kualitatif. Pendekatan ini untuk mengetahui dan memahami kondisi dan situasi
penelitian secara keseluruhan sebagai suatu kesatuan yang utuh, selain itu untuk
memperoleh informasi dan data yang sangat rinci khususnya mengenai
implementasi Perda Pajak di Tangerang Selatan. Sehingga hasil penelitian ini
dapat dijadikan sebagai bahan rujukan tentang Pajak Daerah khususnya. Menurut
Prasetya Irawan (2004: 78) bahwa penelitian kualitatif tidak mengenal populasi
dan tidak pula sampel. Metodologi penelitian cenderung bersifat deskriptif ,
naturalistik dan berhubungan dengan sifat data kualitatif.

Pendekatan kualitatif pada penelitian ini menurut Lexy J Moloeng (2004)


oleh karena beberapa pertimbangan.Pertama , menyesuaikan pendekatan kualitatif
lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda ; Kedua , pendekatan
ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan,
responden ; ketiga, pendekatan ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri
dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi.

Penelitian untuk suatu kebijakan publik digunakan antara lain metode


deskriptik dan metode normatif (Suryadi dan Tilaar, 1994 : 42). Dari metode
tersebut, yang lebih relevan dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif. Tujuan metode deskriptif dalam analisis kebijakan ialah supaya para

37

pengambil keputusan memahami permasalahan yang yang sedang menjadi topik


terutama tentang pajak daerah di Kota Tangerang Selatan. Penggunaan metode
deskriptif dilandasi oleh pertimbangan bahwa analisis kebijakan pada dasarnya
merupakan suatu proses pemahaman terhadap masalah kebijakan, sehingga dapat
melahirkan suatu gagasan dan pemikiran mengenai cara cara pemecahannya.

3.2.1 Obyek Penelitian

Dalam penelitian ini objek penelitian tentang peran pajak daerah


dalam menunjang otonomi daerah. Alasan pengambilan Kota
Tangerang Selatan sebagai lokasi penelitian dikarenakan Kota
Tangerang Selatan merupakan daerah baru ( tahun ke-3) dan
perolehan terbesar Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) berasal dari
sektor perdagangan dan jasa. Sehingga sangat relevan dengan
penelitian yang sudah dirancang oleh penulis. Selain itu Kota
Tangerang Selatan walaupun baru memasuki usianya yang ke -3
telah memiliki Perda Pajak, yaitu Perda Nomor 7 Tahun 2010 yang
telah diundangkan sejak bulan Januari 2010. Hal tersebut menjadi
sangat menarik untuk diteliti terkait proses pembuatan perda hingga
implementasi Perda Pajak tersebut.

3.2.2 Bentuk dan Pendekatan Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan adalah kajian normatif dengan


menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang
didasarkan pada peraturan perundang-undangan, adapun data yang
diketemukan dilapangan hanya merupakan data pendukung

Adapun alasan digunakannya pendekatan ini karena permasalahan


yang diteliti berkaitan erat dengan pengungkapan seberapa jauh
peran pajak daerah dalam menunjang otonomi daerah di Kota
Tangerang Selatan Provinsi Banten dapat dilaksanakan oleh
pemegang peran dan pembuat keputusan baik secara vertikal

38

maupun secara horizontal, serta sinkronisasi perundang-undangan


tentang pajak daerah.

3.2.3 Penentuan Sampel

Untuk mendapatkan data di lapangan sampel diambil dengan


menggunakan teknik purposive sampling atau penarikan sampel.
Tehnik ini dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan
pada tujuan tertentu.25 Alasan digunakan teknik ini adalah karena
populasi* dalam penelitian ini mempunyai karakteristik yang tidak
sama, disamping itu dengan menggunakan teknik ini diharapkan
sampel yang diambil dapat menjaga populasinya.

Sampel diambil dari unsur-unsur yang terdiri dari:

1) Walikota Tangerang Selatan sebagai kepala daerah yang yang


mana mempunyai tanggung jawab penuh atas implementasi
perda pajak tersebut dalam menunjang otonomi daerah.

2) Kepala Bapeda Kota Tangerang Selatan; bagian koordinasi


rencana pembangunan daerah pada Badan ini yang akan
dijadikan sampel karena akan memberikan konstruksi informasi
tentang pengembangan pembangunan daerah di Kota Tangerang
Selatan.

3) Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset


Daerah (DPPKAD) Kota Tangerang Selatan; dijadikan sampel
karena akan memberikan informasi pemungutan pajak daerah
serta kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan pajak
daerah.

25
Rony Hanitijo Soemitro ibid hal 51
* Yang dimaksud dengan populasi disini adalah semua anggota masyarakat yang mempunyai
keterkaitan langsung dengan pajak daerah.

39

4) Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Tangerang


Selatan; bagian perundang-undangan yang akan dijadikan
sampel, karena bagian perundang-undangan ini adalah
merancang Peraturan Daerah secara tekhnis maupun substansial,
terutama yang berkaitan dengan pajak daerah.

5) Kepala Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kota Tangerang


Selatan; bagian Pembukuan, karena bagian ini akan memberikan
gambaran/data mengenai Realisasi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah yang bersumber dari Pajak Daerah.

6) Pengusaha restoran sebanyak 42 (Empat puluh dua ) orang,


responden ini menjadi sangat penting terkait dengan
pemahaman tentang Perda Pajak dan mekanismenya. Informasi
yang diberikan sangat berarti dalam rangka memberikan
berbagai masukan dan sejauh mana Perda pajak diketahui oleh
masyarakat Kota Tangerang terutama para pengusaha.

3.2.4 Sumber Data Penelitian

Berdasarkan pendekatan yang digunakan, maka dapat ditentukan


sumber bahan penelitian yaitu bahan hukum primer yaitu peraturan
perundang-undangan, Perda Pajak, buku literatur hukum, jurnal
hukum yang berkaitan dengan objek penelitian dan bahan hukum
sekunder berupa tambahan lembaran Negara yang berkaitan dengan
objek penelitian, data yang berbentuk angka hanya merupakan data
penunjang dan sumber-sumber data yang menunjang.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh


secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh

40

langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan
yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.26

1. Data Primer.

Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu :

- Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara baik dengan petugas pada
Kantor Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan, Dinas Pendapatan
Daerah Kota Tangerang Selatan dan Kantor Bappeda Kota Tangerang
Selatan atau masyarakat yang mencakup :
- Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
Pemungutan Pajak Daerah.
- Sejauhmana peran Pajak Daerah terhadap Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Kota Tangerang Selatan.

2. Data sekunder.

Adapun data sekunder yang diperlukan adalah data diperoleh dari studi
kepustakaan dan dokumentasi yang ada kaitannya dengan masalah yang
diteliti, baik dari hasil-hasil penelitian terdahulu, peraturan-peraturan, buku-
buku literatur, dokumen-dokumen, majalah, koran dan lain-lain yang ada
kaitannya dengan perpajakan nasional pada umumnya serta pajak daerah dan
retribusi daerah pada khususnya.

Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup27 :

- Pertumbuhan dan realisasi penerimaan pajak daerah per sektor dari tahun
2010 s/d 2011;
- Prosentase kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten
Tahun Anggaran 2010 s/d 2011

26
Soerjono Soekandi & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT.Raja Grafindo Persada Jakarta 2004, hal 12
27
Soerjono Soekandi & Sri Mamudji ibid hal. 13.

41

- Dan data lain yang diperlukan sesuai dengan perkembangan di lapangan.

Kemudian di dalam penelitian juga diperlukan Bahan Hukum Primer maupun


Bahan Hukum Sekunder yang meliputi :

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang ada
kaitannya dengan permasalahan diatas terdiri dari:

- Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan


Daerah.

- Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan


Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

- Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000, tentang Perubahan atas


Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997, tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.

- Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008, tentang Perubahan Kedua


Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah

- Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti Undang


Undang Nmor 34 Tahun 2000, tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah

- Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001, tentang Pajak Daerah.

- Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 7 tahun 2010


tentang Perda Pajak Daerah

- Peraturan Walikota Tangerang Selatan No 79 Tahun 2011 Tentang


Penyelenggaraan Nama Pengenal Usaha

- Peraturan Walikota Tangerang Selatan No 73 Tahun 2011 Tentang


Tata Cara Perhitungan harga dasar air sebgai dasar penetapan nilai
perolehan air tanah.

42

- Peraturan Walikota Tangerang Selatan No 78 Tahun 2011 Tentang


Nilai Sewa Reklame

- Serta Peraturan perundang-undangan lainnya yang ada kaitannya


dengan penelitian diatas.

2. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan


hukum primer, seperti rancangan undang undang, hasil-hasil penelitian,
hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya.

Selain itu dalam upaya memperoleh berbagai macam informasi lapangan


secara baik dan akurat, digunakan beberapa metode, yaitu antara lain :

1. Wawancara

Tehnik ini digunakan oleh karena wawancara mempunyai


sejumlah kelebihan,antara lain sebagai berikut : dapat dipergunakan
oleh peneliti untuk lebih cepat mendapat jawaban yang sesuai dengan
yang dibutuhkan, oleh karena jawaban lebih tepat dan meyakinkan
peneliti bahwa informan menafsirkan pertanyaan dengan benar,
informasi dapat lebih siap diperiksa keakuratannya atas dasar isyarat
non verbal (Black & Champion )

2. Observasi

Teknik ini digunakan untuk mendapatkan fakta-fakta empirik yang


tampak ( kasat mata ) dan guna memperoleh dimensi-dimensi baru
untuk pemahaman konteks maupun fenomena yang diteliti

3. Studi Dokumentasi

Teknik ini dilakukan dengan memanfatkan dokumen-dokumen


tertulis yang berkaitan dengan aspek-aspek yang diteliti.

4. Survey Lapangan

43

Metode ini digunakan melalui teknik wawancara dan dialog langsung


dengan subyek dan obyek kegiatan. Wawancara dan dialog ini
ditujukan untuk menggali data dan informasi sebanyak mungkin.
Hasil data survey ini, akan kami rumuskan dalam bentuk tabulasi,
sehingga lebih mudah untuk dilakukan analisis.

3.4 Definisi Operasional.

1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom


untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

2. Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan


pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

3. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan


kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada
dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.

4. Otonomi bertanggungjawab adalah perwujudan pertanggungjawaban


sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah
dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah
dalam mencapai tujuan pemberian otonom, berupa peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

44

5. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh


pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur urusan
pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Imdonesia.

6. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh


pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu

7. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah


dan/atau desa dari daerah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan
tugas tertentu.

8. Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai


penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan.

9. Pendapatan asli daerah adalah segala penerimaan yang diperoleh


daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya yang ditetapkan dengan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yaitu:
a. Hasil pajak daerah.
b. Hasil retribusi daerah.
c. Perusahan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan.
d. Lain-lain pendapatan asli daerah.

10. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau
badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang
dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

45

11. Retribusi daerah adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau
diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau
badan.

12. Lain-lain pendapatan yang sah adalah pendapatan-pendapatan lain


yang tidak termasuk ke dalam jenis-jenis pajak daerah dan retribusi
daerah dan pendapatan dinas-dinas yang sifatnya
insidentil/temporer.yang menunjang pelaksanaan atonomi daerah
adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dilapangan tidak ada
hambatan pada pelaksanaannya.

13. Peraturan Daerah yang menunjang pelaksanaan otonomi daerah


adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dimasyarakat tidak
ada kendala,

14. Peraturan Daerah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat


adalah Peraturan daerah yang materi muatannya memperhatikan
aspirasi dan kepentingan masyarakat.

3.5 Teknik Analisa Data.

Semua data yang terkumpul baik itu data primer maupun sekunder secara
garis besar di analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu
dengan cara menguraikan, menghubungkan dengan peraturan yang berlaku,
menghubungkan dengan pendapat pakar hukum dan pemangku kepentingan. Dan
untuk mengambil keputusan dilakukan dengan pendekatan deduktif.

Analisis data kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap data-data


non angka seperti hasil wawancara atau artikel-artikel, laporan, bacaan dari buku-
buku dan juga termasuk non tulisan seperti foto, gambar atau film (Irawan;2003).
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif.
Menurut Irawan analisis data kualitatif dilakukan bersamaan atau hampir
bersamaan dengan pengumpulan data. Di dalam penelitian kualitatif tersebut tidak

46

ada panduan baku bagi peneliti untuk melakukan analisis data. Tetapi data
kualitatif tetap harus dianalisis dengan cara membaca baris demi baris, diberi kode
dan dicari intisari dari data itu.

Menurut Bogdan dan Biklen, analisis data adalah proses mencari dan
mengatur secara sistematis transkrip, interview, catatan di lapangan, dan bahan-
bahan lain yang didapatkan yang kesemuanya itu dikumpulkan untuk
meningkatkan pemahaman dan membantu untuk mempresentasikan penemuan
kepada orang lain (Irawan , 2003). Dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengorganisasikan data, memilah, mencari dan menemukan apa yang penting
untuk dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan dengan
mendiskripsikan secara kualitatif. Menurut pendapat Seidel (1998) analisis data
dan keabsahannya dapat dilakukan sebagai berikut: 1) mengumpukan hasil catatan
dari lapaangan, kemudian diberi kode agar sumber datanya dapat dengan mudah
ditelusuri, 2) Memilah dan mengklasifikasikan kemudian mensintesiskan dan
membuat ikhtisar dan indeks, dan 3) membut kategori yang mempunyai makna,
mencari pola hubungan serta membuat temuan umum.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu
peneliti membuat analisis hasil observasi, wawancara secara mendalam yang
dilakukan terhadap informan kemudian disajikan dan disusun menjadi kasus
sesuai dengan proses dan urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola
juga kategori dan satuan uraian dasar, akhirnya menarik kesimpulan dari hasil
temuan.

Langkah- langkah analisis data penelitian kualitatif menurut Irawan adalah


sebagai berikut: 1) Pengumpulan data mentah, dapat dilakukan dengan
menggunakan alat-alat yang perlu, seperti tape recorder, kamera, dan lain-lain, 2)
Transkrip data, dalam tahap ini merubah catatan ke bentuk tertulis ( apakah itu
berasal dari tape recorder atau catatan tulisan tangan) semuanya diketik persis
seperti apa adanya (verbatin). 3) Pembuatan koding, pada tahap ini perlu dibaca
ulang seluruh data yang sudah di transkrip. Baca pelan-pelan dengan sangat teliti.

47

Pada bagian-bagian tertentu pada transkrip tersebut kita akan menemukan hal-hal
penting yang perlu dicatat untuk diproses pada tahap berikutnya. Dari hal-al
penting ini, kita ambil kata kunci nya dan kata kunci ini nanti akan diberi kode,
4) Kategori Data, pada tahap ini mulai menyederhanakan data dengan cara
mengikat konsep-konsep (kata-kata) kunci dalam satu besaran yang dinamakan
kategori, 5) Penyimpulan sementara, 6) Trianggulasi, yaitu proses check dan
recheck antara satu sumber data dengan sumber data lainnya, 7) Penyimpulan
Akhir (Irawan; 2006 ).

Uji keabsahan data ini dilakukan dengan metode Triangulasi (Chek ricek)
atau dengan istilah lain teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu. Pengecekan beberapa sumber data dengan metode
yang sama. Pengecekan dilakukan dengan wawancara kepada beberapa responden
(informan) dengan pertanyaan yang sama.

48

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Kota Tangerang Selatan

Pada masa penjajahan Belanda, Kota Tangerang Selatan masuk ke dalam


Karesidenan Batavia dan mempertahankan karakteristik tiga etnis, yaitu Suku
Sunda, Suku Betawi, dan Suku Tionghoa. Pembentukan Kota Tangerang Selatan
sebagai kota otonom berawal dari keinginan warga di kawasan Tangerang Selatan
untuk mensejahterakan masyarakat. Pada tahun 2000, beberapa tokoh dari
kecamatan-kecamatan mulai menyebut-nyebut Cipasera sebagai wilayah otonom.
Warga merasa kurang diperhatikan Pemerintah Kabupaten Tangerang sehingga
banyak fasilitas terabaikan. Pada 27 Desember 2006, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kabupaten Tangerang menyetujui terbentuknya Kota Tangerang
Selatan. Calon kota otonom ini terdiri atas tujuh kecamatan, yakni, Ciputat,
Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu. Pada
22 Januari 2007, Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Tangerang yang dipimpin
oleh Ketua DPRD, Endang Sujana, menetapkan Kecamatan Ciputat sebagai pusat
pemerintahan Kota Tangerang Selatan secara aklamasi. Komisi I DPRD Provinsi
Banten membahas berkas usulan pembentukan Kota Tangerang Selatan mulai 23
Maret 2007. Pembahasan dilakukan setelah berkas usulan dan persyaratan
pembentukan kota diserahkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ke Dewan
pada 22 Maret 2007. Pada 2007, Pemerintah Kabupaten Tangerang menyiapkan
dana Rp 20 miliar untuk proses awal berdirinya Kota Tangerang Selatan. Dana itu
dianggarkan untuk biaya operasional kota baru selama satu tahun pertama dan
merupakan modal awal dari daerah induk untuk wilayah hasil pemekaran.
Selanjutnya, Pemerintah Kabupaten Tangerang akan menyediakan dana bergulir
sampai kota hasil pemekaran mandiri.

49

Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada


akhir tahun 2008 berdasarkan Undang Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten. Pembentukan daerah
otonom baru tersebut dilakukan dengan tujuan meningkatkan pelayanan dalam
bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta dapat memberikan
kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah.

Kota Tangerang Selatan lahir dari cita-cita besar dan hasil perjuangan
masyarakat Tangerang Selatan serta dukungan pemerintah daerah, pemerintah
provinsi dan pemerintah pusat untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang ada di wilayah Kota Tangerang Selatan.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah Kota Tangerang Selatan didasarkan


pada beberapa peraturan perundangan sebagai berikut:

1. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah


sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun
2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

2. Undang Undang Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota


Tangerang Selatan di Provinsi Banten

3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian


Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi


Perangkat Daerah

5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan


Keuangan Daerah.

Kota Tangerang Selatan terdiri atas 7 kecamatan, yang dibagi lagi atas 49
kelurahan dan 5 desa. Berdasarkan Undang Undang Nomor 51 Tahun 2008, Kota

50

Tangerang Selatan terdiri atas 7 (tujuh) kecamatan:

1. Serpong dengan luas 2.404 Ha


2. Serpong Utara dengan luas 1.784 Ha
3. Ciputat dengan luas 1.838 Ha
4. Ciputat Timur dengan luas 1.543 Ha
5. Pondok Aren dengan luas 2.988 Ha
6. Pamulang dengan luas 2.682 Ha
7. Setu dengan luas 1.480 Ha

Batas Wilayah Kota Tangerang Selatan ;

- Utara : Kota Tangerang dan DKI Jakarta


- Selatan : Provinsi Jawa Barat (Kota Bogor dan Kota Depok)
- Barat : Kota Tangerang
- Timur : Provinsi Jawa Barat (Kota Depok) dan DKI Jakarta

4.2 Penerapan asas-asas pembuatan peraturan daerah dalam menunjang


pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang Selatan

Peraturan daerah merupakan produk hukum tertinggi di daerah, oleh


karena itu dalam proses pembuatan peraturan daerah harus sesuai dengan asas-
asas perundang-undangan yang baik, agar sempurna teknik penyusunannya,
terjaga keabsahan penerbitannya, diakui secara formal dan dapat berlaku efektif
serta diterima oleh masyarakat. Jika kita konsisten berpedoman pada asas-asas
perundang-undangan yang baik maka ada beberapa ciri atau syarat-syarat yang
perlu mendapat perhatian dalam proses pembuatan peraturan daerah, yaitu Asas
kejelasan tujuan, Asas manfaat, Asas kewenangan, Asas kesesuaian, Asas dapat
dilaksanakan, Asas kejelasan rumusan, Asas keterbukaan, Asas efisiensi, dan
asas-asas Materi Muatan.

Untuk mengungkap bagaimana implementasinya telah dilakukan


penelitian terhadap proses pembuatan peraturan daerah kota Tangerang Selatan
mulai dari proses pembuatan rancangan peraturan daerah, pengajuan rancangan

51

peraturan daerah, pembahasan rancangan peraturan daerah sampai persetujuan dan


ditetapkannya sebagai peraturan daerah pada masa persidangan periode tahun
2010 dan tahun 2011

Setelah diadakan penelitian terhadap rancangan peraturan daerah yang


diajukan oleh pemerintah daerah Kota Tangerang Selatan khususnya yang
berkaitan dengan pajak daerah belum memperhatikan asas-asas pembuatan
peraturan daerah yang baik, karena tujuan pembentukan peraturan daerah
semuanya adalah sama yaitu dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah
untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu asas yang pada
umumnya tidak mendapat perhatihan oleh perancang peraturan daerah adalah asas
keterbukaan karena peran serta masyarakat tidak dilibatkan dalam penyusunan
rancangan peraturan daerah dan juga kejelasan rumusan belum terpenuhi karena
masih ada isi pasal-pasal yang belum jelas maknanya namun tidak ada
penjelasannya baik diketentuan umum maupun dalam penjelasan peraturan
tersebut yang pada umumnya tertulis cukup jelas.

Pasal 69 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa


Kepala Daerah menetapkan peraturan daerah atas persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran
lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 136 Ayat
(1) menyatakan Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat
persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Makna persetujuan
bersama dalam pasal ini tidak selalu bermakna untuk setuju, tetapi bisa juga
dimaknakan untuk tidak setuju. Ketidak setujuan bisa saja terjadi manakala
antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah tidak sepakat mengenai
substansi yang diatur dalam rancangan Undang Undang atau rancangan peraturan
daerah.

Peraturan daerah sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan otonomi


daerah bertujuan untuk mengatur substansi materi muatan yang sesuai dengan

52

kondisi daerah. Jadi tidak harus berdasarkan peraturan yang lebih tinggi (tingkat
pusat), tetapi dapat juga membuat aturan sesuai dengan kebutuhan daerah masing-
masing dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah sepanjang aturan tersebut
tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Di dalam peraturan daerah
yang dibentuk untuk menyelenggarakan otonomi daerah obyek pengaturannya
meliputi baik yang bersifat substantif maupun yang bersifat teknis tata cara
pelaksanaannya.

Di Kota Tangerang Selatan dalam pembentukan peraturan daerahnya pada


umumnya dapat dilihat dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum dari
peraturan daerah tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa di dalam produk
hukum peraturan daerah di Kota Tangerang Selatan pada masa persidangan
periode tahun 2010 dan 2011, terungkap bahwa rancangan peraturan daerah yang
diajukan oleh pemerintah daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Tangerang Selatan untuk dibahas bersama-sama, kemudian ditetapkan sebagai
peraturan daerah didalam setiap konsideran menimbang dan penjelasan umumnya,
tujuan dibentuknya peraturan daerah adalah:

a. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan


bertanggung jawab, peningkatan penyelenggaraan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat yang berdaya
guna dan berhasil guna;

b. Mengatur kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah


kabupaten/kota;

c. Pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan kewenangan


yang telah menjadi urusan pemerintah daerah kabupaten/kota.

d. Peningkatan pendapat asli daerah.

Bilamana dilihat dari aspek penerapan asas kejelasan tujuan di dalam


pembentukan perundang-undangan, maka pembuatan keduapuluhenam peraturan
daerah tersebut di atas, memperlihatkan bahwa tujuan yang hendak dicapai itu

53

sangat beragam. Dalam konteks demikian, tujuan pembuatan peraturan daerah


kembali menjadi tidak jelas apakah dalam rangka peningkatan pelayanan,
pengaturan kewenangan, pembinaan dan pengawasan atau peningkatan
pendapatan asli daerah.

Pemerintah Kota Tangerang Selatan nampaknya menjadikan peraturan


daerah khususnya peraturan daerah yang mengatur tentang pajak dan retribusi
untuk menghasilkan uang untuk mengisi kas daerah. Melalui payung hukum
peraturan daerah tersebut Pemerintah Kota Tangerang Selatan berharap dapat
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD) dalam rangka pelaksanaan
pembangunan di daerahnya dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Berikut kutipan wawancara dengan Walikota Tangerang Selatan dan Kepala
Dinas DPPKAD Kota Tangerang Selatan :

Perda pajak di Tangsel sudah ada dan ini menjadi acuan Pemerintah
Kota Tangsel dalam rangka meningkatkan Potensi Asli daerah (PAD).
Dengan adanya peningkatan Pendapatan Asli daerah(PAD) maka laju
pertumbuhan ekonomipun juga akan meningkat. Karena kita memiliki
Pendapatann Asli Daerah sendiri sehingga kita tidak terlalu tergantung
sekali dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat ( Responden :
Walikota Tangerang Selatan )

..Sebelum masuk substansi, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008


mengatakan Pemerintah Kota Tangerang Selatan merupakan daerah
otonomi baru. Dan kita bicara UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa untuk
melaksanakan pembangunan perlu pembiayaan. Pembiayaan berasal dari
3 (tiga) item, yaitu : pertama; Pendapatan Asli Daerah, kedua; Dana
Perimbangan dan ketiga ;Pendapatan lain-lain yang sah. Kita bicara PAD
merupakan penopang pembangunan. Komponen PAD terdiri dari
beberapa item antara lain : kesatu Pajak Daerah, kedua Retribusi daerah
dan lain-lain pendapatan yang sah atau kekayaan daerah lain yang yang
dipisahkan

54

Timbul pertanyaan, dapatkah peraturan daerah yang dibuat dengan tujuan


beraragam bermanfaat bagi masyarakat? Pertanyaan ini terkait dengan asas
manfaat dalam pembuatan peraturan daerah. Maksud dari asas manfaat adalah
setiap pembentukan peraturan daerah harus benar-benar bisa memberi manfaat
yang jelas bagi kehidupan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
peraturan daerah tentang pajak daerah tidak memberi manfaat secara langsung
kepada peningkatan pelayanan kepada masyarakat, tetapi lebih diorientasikan
kepada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Selain asas kejelasan tujuan dan asas manfaat, ada hal lain yang penting
yang perlu diperhatikan yaitu penerapan asas kewenangan dalam pembuataan
peraturan daerah. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk
dalam hal ini peraturan daerah harus dibuat oleh pejabat atau lembaga/organ yang
berwenang. Peraturan daerah yang dibuat oleh pejabat atau lembaga/organ yang
tidak berwenang akan berimplikasi peraturan daerah tersebut menjadi batal demi
hukum.

Secara umum tujuan pembentukan perundang-undangan adalah mengatur


dan menata kehidupan dalam suatu negara supaya masyarakat yang diatur oleh
hukum itu memperoleh kepastian, kemanfaatan dan keadilan di dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Untuk mewujudkan maksud tersebut dimulai
penulisan draf rancangan perundang-undangan yang baik. Oleh sebab itu
peraturan daerah sebaiknya menggunakan bahasa yang padat dan sederhana,
menghindari penggunaan kata-kata atau kalimat yang bermakna ganda dan
berlebihan, tidak proporsional, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya norma
ganda, norma kabur dan norma terbuka dan istilah yang digunakan jangan sampai
mengundang berdebatan, dan gunakanlah istilah yang lazim dan mempunyai
makna yang baku, bersifat mutlak, sedang materinya harus mengenai hal yang
aktual, bukan hasil refleksi pemikiran penulis konsep rancangan. Penulisan
konsep rancangan harus dimulai dari hasil penelitian yang berangkat dari
hipotesis-hipotesis yang dibangun dalam memecahkan masalah di masyarakat
yang termuat dalam naskah akademik dan diadakan uji publik, sehingga pada

55

pengajuan rancangan peraturan daerah tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat


Daerah, naskah akademik dikirimkan bersama rancangan peraturan daerah.
Mengingat peraturan daerah itu dibuat untuk mengatur kepentingan antara
pemerintah daerah dan masyarakat maka hendaknya bahasanya yang digunakan
adalah bahasa indonesia yang baik, tidak rumit, dan bisa dipahami oleh setiap
orang yang membacanya, dan dihindari penggunaan perkecualian, kecuali benar-
benar diperlukan, sebab ini akan mengakibatkan kaburnya permasalahan pokok
yang hendak diatur dalam peraturan daerah. Akibatnya membuka perdebatan
yang panjang dan tidak ada ujung pangkalnya. Hal semacam ini yang akan
mengakibatkan tidak efektifnya pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan berdampak penolakan rancangan yang telah dibuat dengan pengorbanan
biaya dan waktu yang tidak sedikit. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
tetap menyetujui rancangan peraturan daerah tersebut menjadi peraturan daerah
dipastikan akan terjadi gejolak di dalam penerapannya di masyarakat sehingga
tidak efektif diberlakukan dan menyebabkan peraturan daerah itu lemah karena
masyarakat tidak mau mematuhinya.

Selain itu terungkap pula dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis
terhadap orang-orang yang berhubungan dengan perancangan dan penulisan draf
awal rancangan peraturan daerah di Kota Tangerang Selatan, bahwa penulisan
rancangan peraturan daerah Kota Tangerang Selatan semua berawal dan dimulai
dari konsep pemikiran yang terbangun dalam visi pemerintah daerah, sehingga
dapat diindikasikan bahwa produk hukum peraturan daerah terkesan hanya
mencerminkan dan merefleksikan kehendak-kehendak pemerintah daerah tanpa
memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat daerah kota Tangerang
Selatan.

Dalam proses penyiapan pembentukan peraturan perundang-undangan


hendaknya perlu meminta masukan atau pendapat masyarakat melalui konsultasi
publik terutama apabila materi yang akan diatur dalam rancangan peraturan
daerah tersebut berkaitan dengan pajak daerah hal mana sangat erat kaitannya
dengan masyarakat yang akan menjadi sasaran di dalam peraturan perundang-

56

undangan tersebut, sehingga pada waktu diberlakukan, masyarakat telah siap


menerima peraturan daerah tersebut dan membantu pemerintah dalam
pelaksanaannya sehingga harapan pemerintah daerah untuk meningkatkan
pendapatan asli daerahnya dapat terwujud. Untuk mengetahui apakah dalam
pembentukan peraturan daerah di Kota Tangerang Selatan telah diterapkan asas
keterbukaan, penulis akan melihat bagaimana mekanisme pembuatan rancangan
dan pembahasan rancangan rancangan peraturan daerah di Kota Tangerang
Selatan.

Di dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota


Tangerang Selatan, dan juga mekanisme yang berjalan dalam prosedur
penyusunan produk hukum daerah diketahui bahwa materi rancangan yang berasal
dari Walikota dirancang oleh Dinas-Dinas, Badan atau Bagian-Bagian yang
terkait erat dengan materi yang akan diatur. Dalam penyusunan dan pembahasan
rancangan peraturan daerah oleh pimpinan Unit dapat mendelegasikan kepada
Bagian Hukum Sekertariat Daerah Kota Tangerang Selatan dan melibatkan
stakeholder. Materi Rancangan peraturan daerah yang telah selesai dipersiapkan
oleh Dinas-Dinas terkait, kemudian disampaikan kepada Walikota untuk
mendapatkan persetujuannya. Setelah disetujui Walikota, kemudian disampaikan
kepada Bagian Hukum untuk memperoleh tanggapan dari segi yuridisnya,
harmonisasi materi dan singkronisasi pengaturannya. Bagian Hukum mengadakan
rapat bersama dengan Dinas atau Bagian yang berkaitan dengan Materi rancangan
peraturan daerah, sehingga ada persesuaian atau singkronisasi. Dalam
pembahasan konsep rancangan peraturan daerah harus melibatkan Bagian hukum
dan unit kerja terkait, LSM dan Akademisi. Setelah rancangan peraturan daerah
itu selesai dipersiapkan, kemudian oleh Walikota dengan Nota Pengantar
Walikota disampaikan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
kemudian oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disampaikan kepada
seluruh anggota DPRD dan komisi-komisi yang membidanginya untuk
dibicarakan. Sesudah dibicarakan bersama-sama kemudian disampaikan kepada
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang Selatan untuk dibahas

57

pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang Selatan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Produk Hukum Daerah. Penyusunan program legislasi daerah dilaksanakan oleh
Pemerintah daerah dan DPRD, penyusunan prolegda tersebut berdasarkan atas
perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Rencana Pembangunan
Daerah, penyelenggaan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan aspirasi
masyarakat daerah. Program legislasi dilingkungan Pemerintah Daerah, yaitu
Kepala Daerah memerintahkan kepala SKPD menyusun Prolegda di lingkungan
Pemerintah Daerah, dalam penyusunan prolegda ditetapkan untuk jangka 1 (satu)
tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan rancangan perda sebelum
penetapan perda APBD, penyusunan prolegda dilingkungan Pemerintah Daerah
dikoordinasikan oleh biro hukum Kota Tangerang Selatan, yang mana mengikut
sertakan instansi vertical terkait sesuai dengan kewenangan, materi muatan, atau
kebutuhan dalam pengaturan. Hasil penyusunan prolegda diajukan biro hukum
Kota Tangerang Selatan kepada Kepala daerah melalui Sekretaris Daerah. Kepala
Daerah menyampaikan hasil penyusunan prolegda di lingkungan Pemerintah
Daerah kepada Balegda melaui pimpinan DPRD.

Gambar 4.1
Proses Fungsi Legislasi Proses Fungsi Legislasi

Penyusunan Penyusunan Pengajuan Sosialisasi


PROLEGDA RAPERDA RAPERDA RAPERDA

1 2 3 4

Sosialisasi Pengundanga Pengesahan Pembahasan


PERDA n & Penetapan RAPERDA

8 7 6 5

58

Gambar. 4.2
Tata cara pembahasan Raperda atas prakarsa DPRD

Anggota/Komisi/Gab.Komisi
/Baleg, dan daftar nama &
tanda tangan pengusul+ Rapat Peripurna,
draft raperda+Naskah kesepakatan bersama
Akademik+ no pokok dengan KDH bahwa
raperda tersebut sah
menjadi perda

PIMPINAN DPRD
MENOLAK
Pembahasan Raperda
Rapat Paripurna MENYETUJUI
oleh Pansus dgn
KDH/Pejabat
Meyetujui dengan
Perubahan

Jawab Fraksi terhadap


- Pengusul memberikan pendapat KDH
Penjelaskan tentang inisiatif tersebut
maksud dan tujuan - DPRD menugaskan Pengusul
raperda tersebut untuk penyerpurnaan.
- Bentuk Pansus
Pendapat KDH
terhadap Raperda
Pimpinan DPRD Menyampaikan
raperda kepada KDH.

Rapat Paripurna
Penjelasan dalam
KDH menunjuk Pejabat yang akan rapat paripurna
mewakili

59

Gambar 4.3
Tata cara pembahasan Raperda atas Prakarsa Pemda

KDH melalui bagian Rapat Paripurna


hukum penyampaikan persetujuan bersama
usulan raperda disertai dengan KDH
Naskah Akademik ke
DPRD
Bamus pembentukan
Pansus, untuk pembahasan
PIMPINAN DPRD raperda bersama
KDH/pejabat

Rapat Paripurna
Rapat Paripurna
Jawaban KDH terhadap
Pandangan Umum fraksi-
- KDH memberikan frkasi
Penjelaskan tentang
maksud dan tujuan
raperda tersebut
Rapat Paripurna
Pandangan Umum Fraksi-
fraksi

Keseluruhan rangkaian kegiatan proses pembentukan peraturan daerah


tersebut diatas, terungkap bahwa didalam Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang Selatan, tidak diatur secara tegas
mengenai bagaimana tata cara keterlibatan masyarakat dalam pembahasan
Raperda. Jadi apakah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau eksekutif yang
mengundang masyarakat yang berkaitan langsung dengan isi dan substansi
peraturan daerah yang akan dibahas itu tergantung kebijakan dari keduanya. Tidak
ada jaminan prosedural dan forum terbuka bagi masyarakat untuk memberikan
kontrol dalam pembentukan peraturan daerah, hal ini mempersempit ruang bagi
publik untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan daerah.

60

Padahal, walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah merupakan


representasi dari rakyat, tapi karena dalam kedudukan sejajar, dan bahkan sebagai
mitra pemerintah dan juga Kepala Daerah/Walikota adalah bawahan Menteri
Dalam Negeri, maka oleh karena itu masih diperlukan keterlibatan langsung
masyarakat, khususnya memberikan kontrol dalam proses pembentukan peraturan
daerah, agar benar-benar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam memberikan
persetujuannya didasari atas pertimbangan bahwa rancangan peraturan daerah
yang akan ditetapkan menjadi peraturan daerah adalah benar-benar aspirasi
masyarakat. Di dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kota Tangerang Selatan ditentukan bahwa pembahasan rancangan peraturan
daerah dilakukan melalui empat tahapan pembicaraan, yaitu tahap I, II, III, IV,
kecuali apabila Badan Musyawarah menentukan lain. Sebelum dilakukan tahap II,
III dan IV, diadakan Rapat Fraksi. Apabila dipandang perlu Badan Musyawarah
dapat menentukan bahwa pembicaraan tahap II dilakukan dalam rapat gabungan
Komisi atau dalam Panitia Khusus.

Pembicaraan Tahap I meliputi:

a. Penjelasan Walikota dalam Rapat Paripurna terhadap Rancangan Peraturan


Daerah yang berasal dari Walikota.
b. Penjelasan dalam Rapat Paripurna oleh Pimpinan Rapat Komisi/ Pimpinan
Rapat Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus atas nama Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Rancangan Peraturan Daerah usul
prakarsa.

Pembicaraan tahap II meliputi:

a. Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Walikota.


1. Pemandangan Umum dalam Rapat Paripurna oleh para Anggota yang
membawakan suara Fraksinya terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang
berasal dari usul prakarsa Walikota.
2. Jawaban Walikota dalam Rapat Paripurna terhadap pemandangan umum
para anggota .

61

b. Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah usul inisiatif Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah:
1. Pendapat Walikota dalam Rapat Paripurna terhadap Rancangan Peraturan
Daerah usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Jawaban pimpinan komisi, pimpinan rapat gabungan komisi atau ketua
panitia khusus atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rapat
paripurna terhadap pendapat walikota mengenai rancangan peraturan
daerah usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pembicaraan tahap III adalah Pembahasan dalam Rapat Komisi atau Rapat
Gabungan Komisi atau Rapat panitia Khusus yang dilakukan bersama-sama
dengan pejabat yang ditunjuk oleh Walikota.

Pembicaraan tahap IV meliputi;

a. Pengambilan Keputusan dalam Rapat Paripurna, yang didahului dengan:


1. Laporan hasil pembicaraan tahap III.
2. Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi yang disampaikan oleh Anggotanya.
b. Pemberian kesempatan kepada Walikota untuk menyampaikan sambutan
terhadap pengambilan Keputusan tersebut.

Tahapan pembicaraan sebagaimana ditentukan di atas, meperlihatkan


bahwa mekanisme pembahasan rancangan Peraturan Daerah memberikan
kesempatan yang seimbang anatara pihak eksekutif dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dalam meberikan tanggapannya, baik terhadap Rancangan
Peraturan Daerah dari Prakarsa eksekutif maupun dari parakarsa Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.

Pembicaraan pada tahap I dilakukan dalam suatu Rapat Paripurna Dewan,


Rapat tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan pihak pemerintah untuk
memberi keterangan atau penjelasan terhadap Rancangan Peraturan daerah yang
diajukan pemerintah Daerah dan memberi kesempatan Anggota Dewan untuk
menanyakan sesuatu berkenaan dengan Rancangan Peraturan daerah yang sedang
dibahas. Sesudah itu Fraksi-Fraksi diberi kesempatan Rapat Fraksi. Rapat Fraksi

62

tersebut dimaksudkan untuk menentukan sikap atau pandangan terhadap


rancangan peraturan daerah tersebut dan sekaligus menentukan juru bicara Fraksi-
Fraksinya dalam Rapat Paripurna pada pembicaraan tahap II.

Pembicaraan pada tahap II dilakukan dalam Rapat Paripurna dengan


materi pemandangan umum oleh Anggota Dewan yang membawakan suara
Fraksinya terhadap Rancangan Perda dari pemerintah dan terhadap keterangan
atau penjelasan pemerintah sebagaimana disampaikan pada Rapat Paripurna
pembicaraan tahap I. Setelah juru bicara Fraksi-Fraksi menyampaikan pendapat
dan suara Fraksinya, maka kesempatan berikutnya adalah jawaban pemerintah
terhadap sikap atau pandangan Fraksi-Fraksi atas Rancangan Perda yang diajukan
pemerintah daerah. Untuk menetukan sikap Fraksi atas pemandangan umum dan
jawaban pemerintah, maka Fraksi-Fraksi diberi kesempatan melakukan Rapat
Fraksi, Hasil Rapat Fraksi akan dibawa dalam pembicaraan tahap ke III.

Pembicaraan tahap III adalah pembahasan secara mendalam dan secara


tuntas tentang isi rancangan peraturan daerah. Rapat tahap III ini dilakukan dalam
Rapat Komisi atau dalam Rapat Gabungan Komisi atau Rapat Panitia khusus.
Jenis rapat yang diputuskan tergantung pada pentingnya materi Rancangan Perda
yang sedang dibahas sehingga mereka akan menyertakan Anggota Dewan yang
dipandang lebih memahami persoalan yang dibahas, tetapi tidak termasuk anggota
Komisi atau suatu Panitia Khusus. Pada tahap pembicaraan III inilah Rancangan
Perda dibahas secara tuntas dan pada rapat tahap III ini diuji kemampuan wakil
pemerintah daerah maupun Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk
berargumentasi. Dan pada tahap ini peranan musyawarah sangat menonjol.
Pembicaraan tahap III inilah yang menentukan bobot suatu peraturan daerah,
menentukan cepat lambatnya diambil keputusan, musyawarah atau suara
terbanyak pada pembicaraan tahap IV.

Materi pembicaraan tahap IV adalah mengambil keputusan perihal


persetujuan terhadap Rancangan Perda menjadi Perda. Pembicaraan pada tahap ini
sangat tergantung pada hasil pembicaraan tahap III. Apabila Fraksi-Fraksi di tahap

63

pembicaraan III telah menyetujui Rancangan Perda secara bulat maka dapat
dikatakan bahwa rapat pada tahap IV bersifat formalistik belaka. Pengambilan
Keputusan pada pambicaraan tahap IV dilakukan dalam Rapat Paripurna dengan
didahului laporan hasil laporan pembicaraan tahap III oleh Komisi atau Gabungan
Komisi atau Panitia khusus.

Dari tahapan-tahapan pembicaraan itu, tahap pembicaraan III dilakukan


pembicaraan mendalam antara wakil pemerintah daerah yang ditunjuk oleh
walikota dengan Komisi sebagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang ditugasi membahas Rancangan Peraturan Daerah mengenai masalah
prinsip, subtansi dan teknis yuridis rancangan Perda, yang sebentar nanti akan
disampaikan pada Rapat Paripurna tahap IV.

Pada kesempatan pembicaraan tahap IV sebagai forum mengambil


keputusan, maka pemerintah daerah diberi kesempatan memberi sambutan.
Kesempatan yang diberikan pemerintah untuk menyampaikan sambutannya
sekaligus digunakan oleh pemerintah daerah untuk memperlihatkan pengetahuan
dan penguasaan serta sikapnya terhadap pentingnya substansi/materi muatan
rancangan peraturan daerah yang baru disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.

Dalam upaya memberikan pembinaan, pengaturan dan pengawasan kepada


objek dan subjek hukum agar masyarakat dapat menumbuhkan kreaktivitasnya
untuk berpartisipasi aktif dalam proses penyelenggaraan pembangunan, sehingga
tidak terkesan bahwa proses penyusunan Peraturan Daerah hanya didominasi oleh
keinginan pemerintah, tetapi justru sebaliknya lebih banyak diharapkan muncul
dari masyarakat. Pertanyaan yang muncul apakah mungkin bisa diharapkan
munculnya proses draf penyusunan rancangan peraturan daerah dari masyarakat
secara langsung, sementara aturan normatifnya, atau pedoman yang melandasi tata
cara dan mekanisme pembentukan peraturan daerah yang ada sekarang
menghendaki adanya dominasi eksekutif terhadap Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Walaupun dalam pembahasan melibatkan stakeholder, orang yang

64

dikenai kewajiban sebagai subjek atau objek pungutan atas ditetapkan peraturan
daerah berada pada posisi lemah, diperintah, sehingga secara psikologis tidak
akan maksimal memberikan saran dan belum tentu saran itu diterima.

Suatu hal yang sangat penting dalam pembentukan peraturan daerah


adalah adanya partisipasi Masyarakat diluar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan pemerintah daerah dalam menyusun dan membentuk rancangan peraturan
daerah .

Ada dua sumber partisipasi yaitu:

1. Dari unsur-unsur pemerintahan diluar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan


Pemerintah Daerah, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, perguruan
tinggi dan lain-lain.

2. Dari masyarakat, baik individu seperti ahli-ahli atau yang memiliki


pengalaman atau dari kelompok seperti LSM, tokoh-tokoh masyarakat sesuai
dengan keahlian atau pengalamannya.

Dengan mengikutsertakan pihak-pihak di luar Dewan Perwakilan Rakyat


Daerah dan pemerintah daerah sangat penting dalam rangka menjaring
pengetahuan, keahlian, atau pengalaman masyarakat sehingga peraturan daerah
benar-benar memenuhi syarat sebagai peraturan perundang-undangan yang baik,
dapat menjamin peraturan daerah sesuai kehendak dan kenyataan yang hidup
dalam masyarakat (politik, ekonomi, sosial dan lain-lain), dapat menumbuhkan
rasa memiliki, rasa bertanggungjawab atas peraturan daerah tersebut.

Berbagai faktor tersebut di atas akan memudahkan penerimaan masyarakat


terhadap peraturan daerah, dan memudahkan pula pelaksanaan atau
penegakannya. Oleh karena itu, menurut Manan bahwa keikutsertaan atau
partisipasi dapat dilakukan dengan berbagai cara mengikutsertakan dalam tim atau
kelompok kerja penyusunan rancangan peraturan daerah, mengundang dalam
rapat-rapat penyusunan rancangan peraturan daerah , melakukan uji publik kepada
pihak-pihak tertentu untuk mendapat tanggapan, melakukan lokakarya (workshop)

65

atas rancangan peraturan daerah, mensosialisasikan atau mempublikasikan


melalaui madia cetak atau elektronik agar mendapat tanggapan publik. sebelum
secara resmi dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Idealnya keikutsertaan atau partisipasi masyarakat seperti yang disebutkan


di atas harus melalui pintu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bukan melalui
pintu eksekutif. Kalau keikutsertaan masyarakat melalui pintu Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah diharapkan dapat terjadi penyesuaian antara keinginan masyarakat
dengan keinginan-keinginan pihak eksekutif. Tapi hal ini masih sangat tergantung
dari peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam memberikan tekanan
kepada pemerintah. Sebaliknya kalau partisipasi masyarakat melalui pintu
eksekutif maka, dihawatirkan aspirasi itu bisa disumbat oleh visi sosial
pemerintah yang telah dibakukan dalam visi misi pemerintahan daerah. Partisipasi
masyarakat semacam itu hanya akan menjadi sarana pelegitimasi bahwa dalam
proses pembentukan peraturan daerah pemerintah melibatkan masyarakat luas,
sehingga memenuhi unsur untuk disebut bahwa peraturan daerah itu aspiratif-
responsif terhadap tuntutan masyarakat.

4.3 Pelaksanaan Pemungutan Pajak di Kota Tangerang Selatan

4.3.1 Peraturan-peraturan yang melandasi Pajak Daerah

Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah


dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin
besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan


dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat
otonomi daerah.

3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis

66

pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum


pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Prinsip-prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang


dipergunakan dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai berikut:

1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi


daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral
terhadap fiskal nasional.

2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah


hanya yang ditetapkan dalam Undang-undang.

3. Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif


pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang
ditetapkan dalam Undang-undang.

4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan


retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai
kebijakan pemerintahan daerah.

5. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah


dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan
Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus mendapat
persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda.
Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.

Materi yang diatur dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009


terkait dengan pajak daerah adalah sebagai berikut:

1. Penambahan jenis pajak daerah

Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis


pajak provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan
tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak

67

daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak


kabupaten/kota.

Jenis pajak daerah kabupaten/kota yang baru adalah PBB


Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung
Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada
penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang
sebelumnya merupakan pajak provinsi.

a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan


Perkotaan

Selama ini PBB merupakan pajak pusat, namun hampir


seluruh penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk
meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan
daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan
dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih
merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB
Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka
penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai
pendapatan asli daerah (PAD). Undang-Undang
Republik Nomor 28 Tahun 2009 menagtur pajak daerah
dan retribusi mulai berlaku 1 Januari 2010 untuk
pengelolaan PBB dan BPHTB yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat akan dialihkan keseluruh Pemerintah
daerah paling lambat 31 Desember 201328

b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun


seluruh hasilnya diserahkan kepada daerah. Untuk

28
Irwansyah Lubis, Kreatif gali sumber pajak tanpa bebani rakyat, Elecmedia computindo,
Jakarta, 2011 hal: 21

68

meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan


daerah, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah.
Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan
meningkatkan PAD.

c. Pajak Sarang Burung Walet

Pajak Sarang Burung Walet merupakan jenis pajak


daerah baru, yang dapat dipungut oleh daerah untuk
memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan dan
perkembangan sarang burung walet di wilayahnya. Bagi
daerah yang memiliki potensi sarang burung walet yang
besar akan dapat meningkatkan PAD.

2. Perluasan Basis Pajak Daerah

Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah:

a. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama


Kendaraan Bermotor (BBNKB), termasuk kendaraan
pemerintah

b. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel, dan

c. Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga.

3. Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah

Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem


perpajakannya dalam rangka peningkatan pendapatan dan
peningkatan kualitas pelayanan, penghematan energi, dan
pelestarian/perbaikan lingkungan, tarif maksimum beberapa
jenis pajak daerah dinaikkan, antara lain:

a. Tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor (PKB),


dinaikkan dari 5% menjadi 10%. Khusus untuk kendaraan

69

pribadi dapat diterapkan tarif progresif.

b. Tarif maksimum Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor


(BBNKB), dinaikkan dari 10% menjadi 20%.

c. Tarif maksimum Pajak Bahan Bakar Kendaraan


Bermotor, dinaikkan dari 5% menjadi 10%. Khusus untuk
kendaraan angkutan umum, tarif dapat ditetapkan lebih
rendah.

d. Tarif maksimum Pajak Parkir, dinaikkan dari 20%


menjadi 30%.

e. Tarif maksimum Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan


(sebelumnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan
C), dinaikkan dari 20% menjadi 25%.

4. Bagi Hasil Pajak Provinsi

Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan


kemampuan keuangan kabupaten/kota dalam membiayai
fungsi pelayanan kepada masyarakat, pajak provinsi
dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dengan proporsi
sebagai berikut:

a. Pajak Kendaraan Bermotor: Provinsi 70%,


kabupaten/kota 30%.

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor: Provinsi 70%,


kabupaten/kota 30%.

c. Pajak Bahan Bakar Kend. Bermotor: Provinsi 30%,


kabupaten/kota 70%.

d. Pajak Air Permukaan: Provinsi 50%, kabupaten/kota


50%.

70

e. Pajak Rokok: Provinsi 30%, kabupaten/kota 70%.

4.3.2 Pemungutan pajak berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 2010


di Kota Tangerang Selatan

Pemungutan pajak di Kota Tangerang Selatan sebelum


terbentuknya perda Nomor 7 Tahun 2010 masih menggunakan
Perda Kabupaten Tangerang, sesuai amanat Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2008 Undang-Undang Pembentukan Kota
Tangerang Selatan.
Pasal 2 Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang pajak daerah, Kota
Tangerang Selatan dapat memungut 10(sepuluh) jenis pajak, antara
lain :

1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Parkir;
7. Pajak Air Tanah;
8. Pajak Sarang Burung Walet;
9. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
10. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

4.3.3. Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah

1. Pendaftaran wajib pajak

Wajib Pajak wajib mendaftarkan usahanya kepada Fiscus


dalam jangka waktu tertentu, selambat-lambatnya tiga
puluh (30) hari sebelum dimulainya kegiatan usaha untuk
dikukuhkan sebagai Wajib Pajak

71

Pemberian identitas kepada Wajib Pajak berupa Kartu


NPWPD (Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah) sebagai
sarana Administrasi dan Pengawasan bagi petugas (fiscus)

2. Pendataan objek Pajak

Wajib Pajak yang telah memiliki Kartu NPWPD (Nomor


Pokok Wajib Pajak Daerah), wajib mengisi SPTPD (Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah) yang berisi data objek pajak

SPTPD diisi dengan jelas, lengkap dan benar serta


ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya dan
disampaikan selambat-lambatnya 15 hari setelah
berakhirnya masa pajak

Wajib Pajak yang tidak melaporkan atau melaporkan tidak


sesuai dengan batas waktu yang ditentukan akan dikenakan
sangsi administrasi berupa denda sesuai ketentuan dalam
Peraturan Daerah

3. Penetapan objek pajak

SELF ASSESMENT : Wajib Pajak diberikan kepercayaan


penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan
melaporkan SPTPD yang berisi Dasar Pengenaan (Omset) dan
Pajak Terhutangnya pada setiap tanggal 20 bulan berikutnya.
Jenis Objek Pajak yang dipungut berdasarkan Self Asessment,
adalah:
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Penerangan Jalan
5. Pajak Parkir
6. Pajak Sarang Burung Walet

72

7. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

OFFICIAL ASSESMENT : Berdasarkan SPTPD yang


disampaikan oleh WP dan Pendataan yang dilakukan oleh
Fiscus, Fiscus menetapkan Pajak Terhutang dengan
menerbitkan SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah).
Jenis Objek Pajak yang dipungut berdasarkan Official
Asessment, adalah :
1. Pajak Reklame
2. Pajak Air Tanah
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perdesaan &
Perkotaan

Gambar 4.4. Sistem dan Prosedur Pajak Official Assesment

MENGISIDATAOBJEKPAJAK
WP SPTPD

PENDATAAN

Kartu
BANKBJB d
PENETAPAN

PENGENDALIAN
PENGAWASAN
PENAGIHAN
SPKPD

73

4. Pembayaran pajak

Pembayaran Pajak Terhutang dilakukan ke Kas Daerah


melalui Bank BJB sesuai dengan waktu yang ditentukan
dalam Surat Ketetapan nya
Pembayaran Pajak dilakukan dengan menggunakan SSPD
(Surat Setoran Pajak Daerah)
Pembayaran Pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas
Pembayaran paling lambat tgl 15 setelah berakhirnya masa
pajak (Self Asessment) atau batas tanggal jatuh tempo yang
tercantum pada Surat Ketetapan.Dalam hal pembayaran
melewati tanggal Jatuh Tempo, maka akan dikenakan
sangsi administrasi berupa bunga 2% per bulan (max 24
bulan) dari jumlah Pokok Pajak Terhutang

5. Pengendalian, pengawasan dan Penagihan Ketaatan Wajib


Pajak

a. Ketaatan membayar pajak pada masa pajak tertentu -


Tanggal pembayaran paling lambat tanggal 30 bulan
berikutnya
b. Ketaatan melaporkan hasil penjualan (omset) pada masa
pajak tertentu Tanggal pelaporan paling lambat tanggal
15 bulan berikutnya
c. Secara periodik dapat dilakukan pemeriksaan oleh Fiscus
untuk menguji kepatuhan dan kebenaran pelaporan antara
hasil penjualan dan pembayaran pajak yang dilakukan
dengan hasil penjualan yang sesungguhnya.
Penagihan STPD dapat diterbitkan :
1. Pajak tidak atau kurang dibayarkan
2. Hasil penelitian SPTPD kurang bayar akibat salah

74

tulis/hitung
3. WP dikenakan sanksi bunga dan atau denda Sesuai
dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
1. Surat Teguran7 hari
2. Surat Paksa 21 hari
3. Surat Sita 2 hari
4. Pelaksanaan Lelang 14 hari
5. Surat Perintah Penagihan Seketika dan sekaligus

6. Hak, Kewajiban dan Sanksi bagi wajib pajak dan fiscus

6.1. Hak wajib pajak

1. Mendapatkan kemudahan ataupun keringanan atas


kewajiban pajaknya sesuai dengan tahapan prosedur
yang telah ditetapkan.

a. Pengurangan, keringanan dan pembebasan sanksi


adm

b. Keberatan dan banding atas Keputusan Pajak yang


diterima.

c. Pembayaran Angsuran dan Penundaan Pembayaran


Pajak

2. Mempunyai hak untuk meminta dan menerima


kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan
sesuai prosedur yang sudah ditentukan dalam
Peraturan Daerah yang berlaku.

3. Menerima penjelasan dan informasi dari Fiscus, yang


lengkap dan benar tentang semua hal yang
menyangkut hak, kewajiban dan sangsi sebagai Wajib
Pajak.

6.2. Kewajiban wajib pajak

1. Mencatat, menyimpan semua bukti transaksi yang

75

sah sebagai dasar pelaporan data dan pembayaran


yang telah dilakukan.
2. Melaporkan dan membayar kewajiban pajak dengan
benar sesuai dengan waktu yang telah ditentukan .
3. Memberikan informasi yang benar untuk Fiscus yang
bertugas sesuai dengan lingkup penugasan yang
diberikan.

6.3. Sanksi wajib pajak

Sanksi kepada wajib pajak dapat berupa sanksi


administrasi (diatur dalam peraturan daerah )
1. Pelanggaran atau kelalaian atas kewajiban
pembayaran

Sanksi Administrasi timbul dihitung sejak tanggal


batas pembayaran ataupun tanggal jatuh tempo
yang telah ditetapkan.
Sanksi Administrasi berupa bunga 2 % setiap
bulan yang dihitung dari Total Pajak yang belum
dibayar selama-lamanya (maksimal) 24 bulan
2. Pelanggaran atau kelalaian atas pelaporan data
(SPTPD)

Fiscus dapat membuat Ketetapan Pajak secara jabatan


yang artinya berdasarkan norma-norma yang ada
dalam perpajakan bukan berdasarkan isian data yang
seharusnya dilakukan oleh Wajib Pajak. Sanksi
administrasi yang timbul adalah kenaikan pajak
sebesar 25 % dari pajak yang terhutang. Akibat
kelalaian/kealpaan Wajib Pajak dalam hal
menyampaikan dan melaporkan SPTPD (Self
Assesment), WP dikenakan denda paling banyak 2
kali jumlah pajak terhutang. Jumlah kekurangan pajak

76

yang terhutang dalam SKPDKBT (akibat hasil


Pemeriksaan), dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak
yang harus dibayar.Selain sanksi administrasi, ada
juga sanksi pidana ( diatur dalam peraturan daerah )
Pelanggaran atau kelalaian atas pelaporan data,
berikut penjelasan atas sanksi pidana yang dimaksud.

a. Kealpaan / ketidaksengajaan
Pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak 2 kali dari jumlah pajak
terhutang.
b. Kesengajaan
Pidana penjara paling lama 2 (dua ) tahun atau
denda paling banyak 4 kali jumlah dari pajak
terhutang.
6.4. Hak Fiscus
1. Mencatat, memeriksa laporan dan pembayaran dari
Wajib Pajak;
2. Melakukan pengendalian, pengawasan dan penagihan
berdasarkan semua catatan data pajak dan retribusi
yang ada;
3. Menerbitkan Surat Ketetapan atas Pajak Terhutang;
4. Menerbitkan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Sita,
Lelang dan lain-lain
6.5. Kewajiban Fiscus

1. Memahami, menyampaikan dan melaksanakan


semua tugas perpajakan yang sudah ditetapkan.
2. Memberi bimbingan, penjelasan dan informasi yang
jelas, lengkap dan benar kepada Wajib Pajak.
3. Melakukan pemungutan pajak dan retribusi daerah

77

sesuai dengan Sistem dan Prosedur Perpajakan yang


berlaku.
4. Merahasiakan data-data Wajib Pajak

6.6. Sanksi bagi fiscus


Sanksi bagi fiscus sudah diatur dalam undang-undang,
peraturan pemerintah, dan semua aturan hukum yang
berlaku menyangkut kedudukan dan statusnya sebagai
pegawai negeri sipil.

4.4. Realisasi Pajak

4.4.1. Hasil Pelaksanaan Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah di


Kota Tangerang Selatan

Hasil penerimaan pemungutan Pajak Daerah di Kota Tangerang


Selatan Provinsi Banten dapat dilihat berdasarkan jenis penerimaan,
berikut tabel realisasi penerimaan pajak daerah di Kota Tangerang
Selatan Tahun 2010 yang disajikan sebagai berikut :
Tabel 1
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah
di Kota Tangerang Selatan Tahun 2010
JENIS RENCANA SELISIH LEBIH
PENERIMAAN %
PENERIMAAN PENDAPATAN KURANG
Pajak Hotel 1.808.000.000 2.236.123.883 428.123.883 123,68%
Pajak Restoran 30.000.000.000 36.674.448.481 6.674.448.481 122,25%
Pajak Hiburan 3.250.000.000 3.978.251.737 728.251.737 122,41%
Pajak Reklame 3.242.000.000 4.518.158.568 1.276.158.568 139,36%
Pajak
34.000.000.000 39.408.169.823 5.408.169.823 115,91%
Penerangan Jalan
Pajak Parkir 2.900.000.000 3.168.079.000 268.079.000 109,24%
JUMLAH 90.597.425.025 101.931.836.547 122,14%

Sumber Data Sekunder : Dinas Pendapatan Kota Tangerang Selatan

Dari Tabel 1 terlihat bahwa realisasi pajak daerah di Kota Tangerang


Selatan tahun 2010 secara keseluruhan sebesar Rp.
101.931.836.547,- melampaui target yang telah ditetapkan sebesar
Rp. 90.597.425.025,-. Setara dengan 122,14%. Dari data yang ada,

78

dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan pajak daerah melebihi dari


rencana pendapatan yang telah ditetapkan. Penyumbang pendapatan
tertinggi diperoleh dari jenis penerimaan pajak penerangan jalan
sebesar Rp 39.408.169.823 atau sebesar 115,91% dari rencana
pendapatan sebesar Rp 34.000.000.000. Sedangkan penerimaan
pendapatan pajak hotel hanya sebesar Rp 2.236.123.883 dari rencana
pendapatan sebesar Rp. 1.808.000.000. Penyumbang pendapatan
tertinggi berikutnya berasal dari pajak restoran yaitu sebesar Rp
36.674.448.481 atau terjadi peningkatan sebesar 122,25% dari
rencana pendapatan.

Sedangkan Realisasi Penerimaan Pajak Daerah di Kota Tangerang


Selatan Tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah
di Kota Tangerang Selatan Tahun 2011
SELISIH
JENIS RENCANA
PENERIMAAN LEBIH %
PENERIMAAN PENDAPATAN
KURANG
Pajak Hotel 2.300.000.000 2.337.900.555 37.900.555 101,65%
Pajak Restoran 47.000.000.000 50.103.065.338 3.103.065.338 106,60%
Pajak Hiburan 5.000.000.000 7.038.435.710 2.038.435.710 140,77%
Pajak Reklame 4.011.000.000 5.664.735.300 1.653.735.300 141,23%
Pajak Penerangan
40.000.000.000 46.444.000.000 6.444.000.000 116,11%
Jalan
Pajak Parkir 4.000.000.000 4.367.307.274 367.307.274 109,18%
Pajak Air Tanah 1.600.000.000 1.696.958.740 96.958.740 106,06%
BPHTB 170.000.000.000 210.756.818.979 40.756.818.979 123,97%

JUMLAH 273.911.000.000 328.409.221.896 118,20%

Sumber Data Sekunder : Dinas Pendapatan Kota Tangerang Selatan

Secara kumulatif terlihat bahwa Realisasi Pajak Daerah telah


melampaui target yang telah ditetapkan. Realisasi Pajak Daerah
untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp. 273.911.000.000,- melampaui
target dari yang telah ditetapkan sebesar Rp.328.409.221.896,-,
sehingga pencapaian target seluruhnya adalah sebesar 118,20%.

79

Dibandingkan pada tahun 2010, secara persentase memang terjadi


penurunan pencapaian target dari 122,14% menjadi 118,20%. Tetapi
jumlah nominal yang diperoleh jauh lebih besar, pada tahun 2010
penerimaan sebesar Rp.101.931.836.547,-, sedangkan pada tahun
2011 sebesar Rp.328.409.221.896,-, atau 3,22 kali dan
peningkatannya sebesar Rp. 226.477.385.349,-

Kenaikan sebesar Rp.226.477.385.349,- tersebut disebabkan adanya


penambahan jenis penerimaaan yaitu Pajak Tanah dan BPHTB yang
pada tahun 2010 masih menjadi pajak provinsi, dan pada tahun 2011
telah termasuk pajak daerah untuk kabupaten/kota. Perubahan Pajak
Tanah dan BPHTB yang menjadi pajak daerah untuk kabupaten/kota
sangat menguntungkan, karena peningkatan PAD pemerintah kota
Tangerang Selatan meningkat secara signifikan yang berujung pada
pelaksanaan otonomi daerah di daerahnya.

Dan jika dikaitkan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, untuk


penyelenggaraan pembangunan. Kontribusinya dibandingkan
dengan daerah-daerah lain sampai saat ini mendapatkan porsi
yang cukup besar 26% sampai 27% dalam bentuk dana
perimbangan. Kondisi tersebut secara umum terjadi untuk daerah-
daerah baru seperti kota tangerang Selatan (Responden : Kepala
Dinas DPPKAD)
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah di
Kota Tangerang Selatan yang didasari UU No. 28 Tahun 2009 dapat
dianalisis dengan 3 (tiga) elemen yaitu:

1. Pembenaran (Warrant) Pembenaran merupakan suatu asumsi di


dalam argumen kebijakaan yang memungkinkan analisis untuk
berpindah dari informasi yang relevan dengan kebijakan ke klaim
kebijakan. Pembenaran dapat mengandung berbagai macam
asumsi otoritatif, analisentris, kausal, pragmatis, dan kritik nilai,
peranan dari pembenaran adalah untuk membawa informasi yang
relevan dengan kebijakan kepada klaim kebijakan tentang

80

terjadinya ketidaksepakatan atau konflik, dengan demikian


memberi suatu alasan untuk menerima klaim.

2. Dukungan (Backing). Dukungan bagi pembenaran terdiri dari


asumsi-asumsi tambahan atau argumen-argumen yang dapat
digunakan untuk mendukung pembenaran yang tidak diterima
pada nilai yang nampak. Dukungan terhadap pembenaran dapat
mengambil berbagai macam bentuk, yaitu hukum-hukum ilmiah,
pertimbangan para pemegang otoritas keahlian, atau prinsip-
prinsip moral dan etis. Dukungan terhadap pembenaran
memungkinkan analisis bergerak ke belakang dan menyatakan
asumsi-asumsi yang menyertainya.

3. Bantahan (Rebbutal). Bantahan merupakan kesimpulan yang


kedua, asumsi, atau argumen yang menyatakan kondisi dimana
klaim asli tidak diterima, atau klaim asli hanya dapat diterima
pada derajat penerimaan tertentu. Secara keseluruhan klaim
kebijakan dan bantahan membentuk substasi isu-isu kebijakan,
yaitu ketidak sepakatan diantara segmen-segmen yang berbeda
dalam masyarakat terhadap serangkaian alternatif tindakan
pemerintah pertimbangan terhadap bantahan-bantahan membantu
analisis mengantisifasi tujuan tujuan dan menyediakan perangkat
sistimatis untuk mengkritik salah satu klaim, asumsi, dan
argumennya.29

Menganalisa peraturan-peraturan yang telah dibuat untuk


meregulasikan pajak daerah berdasarkan pandangan kebijakan publik
melalui peraturan-peraturan yang ada, tiga konsep diatas merupakan
suatu cara yang paling efektif, pembenaran sebagai kekuatan untuk
berperannya suatu perundang-undangan dengan mengkaji ulang dan
mengamati substansial undang-undang, secara keilmuan tidak

29
William N Dunn, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, Gajah Mada University Press, 2000.

81

bertentangan dengan rasa keadilan dan ketertiban umum serta susila,


maka suatu peraturan itu dapat dibenarkan.

Demikian juga dukungan yang diberikan kepada suatu peraturan


untuk menjamin berlakunya suatu peraturan dapat diterima oleh
masyarakat, sementara itu bantahan akan diungkapkan melalui
pengamatan dan penelitian terhadap kinerja perundang-undangan
serta permasalahan yang timbul di masyarakat setelah suatu
perundangan tersebut diberlakukan.

4.5. Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan tentang Pajak Daerah di


Kota Tangerang Selatan.

Dalam sistem perpajakan dikenal ada tiga unsur pokok, yaitu:30

1. Kebijaksanaan Perpajakan (Tax Policy)


2. Undang-Undang Perpajakan (Tax Laws)
3. Administrasi Perpajakan (Tax Administration).

Ketiga unsur tersebut saling kait mengkait dan terjadi menurut proses sesuai
dengan urutan, sebagai sebuah kebijaksanaan pemerintah. Sebagai kebijaksanaan
pemerintah maka sistem perpajakan merupakan sesuatu yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan, yang ditetapkan secara jelas dalam peraturan
perundang-undangan dan bagaimana tindakan-tindakan tersebut akan dilakukan.
Kebijaksanaan perpajakan merupakan sesuatu yang akan dituju, sedangkan
undang-undang perpajakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut dan
administrasi perpajakan merupakan sarana mengimplementasikan kebijak-sanaan
perpajakan dalam bentuk undang-undang.

Kebijaksanaan perpajakan merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang


hendak dituju dalam sistem perpajakan. Alternatif-alternatif tersebut meliputi :

1. Pajak yang akan dipungut


2. Siapa yang akan dijadikan Subyek Pajak.

30
Ilyas dan Burton, Hukum Pajak, Salembat Empat\, Jakarta, 2010, Hal. 30

82

3. Apa saja yang merupakan Obyek Pajak


4. Berapa besarnya tarif pajak
5. Bagaimana prosedurnya

Kebijaksanaan perpajakan tersebut selanjutnya akan ditetapkan dalam


bentuk undang-undang, yang akan dikelompokkan dalam hukum (UU) pajak
Materiil yang mengatur tentang norma-norma yang menerangkan keadaan,
perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, yang
meliputi : siapa yang menjadi Subyek Pajak, apa yang menjadi obyek pajak dan
berapa besar tarif pajaknya. Dengan kata lain hukum pajak materiil memuat
segala sesuatu tentang timbulnya, besar dan hapusnya hutang pajak dan hubungan
hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak.

Kelompok kedua dikenal dengan hukum (UU) pajak formil, yang mengatur
tentang tata cara menjelmakan hukum materiil menjadi kenyataan. Hukum pajak
formil memuat tentang tata cara penyelenggaraan penetapan suatu hutang pajak,
pengawasan pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban para Wajib
Pajak, kewajiban pihak ketiga dan prosedurnya. Prosedur pelaksanaan, meliputi
administrasi pajak atau instansi pajak, tata cara pemungutan yang berkaitan
dengan hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak serta birokrat (aparatur) pajak.
Maksud dari hukum pajak formil disini adalah untuk melindungi, baik aparat
pajak maupun Wajib Pajak.

Secara hierarki penerbitan Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi


Daerah di Kota Tangerang Selatan adalah sebagai aplikasi dari diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.

Sebelum menguraikan dan mengungkapkan serta menganalisis data yang


diperoleh melalui penelitian, terlebih dahulu diketengahkan hubungan antara
konsep teori dan analisis penelitian mengenai permasalahan diatas sebagaimana
tampak pada Tabel 3 berikut ini :

83

Tabel 3
Hubungan Teori dan Analisis Penelitian
Untuk Permasalahan Nomor 1

Rumus Data Penelitian Persoalan Teori yang


Permasalahan Potensial Digunakan
Bagaimana Mengamati Konsistensi peraturan Teori Hukum
sinkronisasi Peraturan sinkronisasi Pajak dalam Modern oleh
di Bidang Pajak peraturan pelaksanaannya belum Marc Galanter.
Daerah dengan perundang- mencerminkan tentang
Peraturan Daerah undangan tentang keinginan masyarakat,
mengenai Pajak Daerah Pajak Daerah sedang keputusan
terhadap Perda. yang diambil masih
sepihak (Pemerintah)
untuk memenuhi
target PAD.
Sumber: Data penelitian diolah.

Dari Tabel 3 dapat dijelaskan permasalahan tentang seberapa jauh


sinkronisasi peraturan di bidang perpajakan. Bila dianalisis dengan menggunakan
teori hukum modern tentang ciri-ciri hukum modern oleh Marc Galenter salah
satunya menyebutkan : Hukum modern terdiri dari peraturan-peraturan yang
uniform dan konsisten di dalam penerapannya lebih bersifat teritorial daripada
personal artinya tidak membedakan agama, suku, kasta dan jenis kelamin., maka
dapat diketahui bahwa terdapat persoalan potensial mengenai konsistensi
peraturan pajak daerah dalam pelaksanaannya belum membuktikan dan
mencerminkan tentang keinginan masyarakat, sedangkan keputusan yang diambil
masih sepihak (pemerintah) untuk memenuhi target Pendapat Asli Daerah.

Terkait dengan sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Pajak Daerah


dan Retribusi Daerah serta konsistensi Peraturan Daerah berdasarkan Tabel 3
dapat diamati melalui hubungan vertikal yang diartikan kebersesuaian peraturan
daerah dengan peraturan diatasnya.

Jika diamati lebih lanjut dapat diungkapkan secara hierarki tentang


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, sebagai pedoman bagi peraturan-peraturan dibawahnya yang pada
prinsipnya kebersesuaian merupakan faktor utama untuk menjamin agar

84

peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan di bawahnya tidak bertentangan


dengan pokok-pokok pikiran yang ada pada undang-undang ini.

Selanjutnya untuk melaksanakan perundang-undangan pada setiap daerah


dibentuk Peraturan Daerah yang berkenaan dengan ketentuan di atas, sebagai
aplikasi dan pedoman serta pegangan bagi setiap daerah untuk melaksanakan
kebijakan dan operasional administratif, tak terkecuali Pemerintah Kota
Tangerang Selatan.

Apabila dilihat isi dari Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Tangerang Selatan, terlihat bahwa
Pemerintah Kota Tangerang Selatan berupaya melakukan pemungutan
menggunakan prinsip-prinsip teori yang antara lain terdapatnya teori asuransi,
teori kepentingan, teori daya pikul, teori bakti, teori daya beli, teori pemungutan
berdasarkan hukum, teori pemungutan pajak secara sederhana dan tidak
mengganggu perekonomian.

Dari prinsip-prinsip teori pemungutan pajak, penulis menganalisis bahwa


teori yang paling mendukung dalam penelitian ini terkait dengan Perda No.7
Tahun 2010 tentang Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan adalah teori daya
pikul.

Teori daya pikul adalah beban pajak untuk semua orang harus sama
beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing
orang. Jadi wajib pajak membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya yakni
seorang wajib pajak tidak akan dikenakan pajak penghasilan atas seluruh
penghasilan kotornya. Suatu jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan
hidupnya haruslah dikeluarkan terlebih dahulu sebelum dikenakan tarif pajak.
Jumlah yang dikeluarkan tersebut disebut Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Dengan demikian pajak setiap orang berbeda bahkan ada yang bebas pajak
jika wajib pajak tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penjelasan
tersebut termasuk unsur subyektif. Jika dilihat dari unsur obyektif, besar kecilnya
pajak diukur dari obyek, seperti, pajak BPHTB, PBB, dan lain-lain.

85

Teori daya pikul ini tercermin dalam Pasal 17 ayat (3) Perda No. 7 Tahun
2010 tentang Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan yang berbunyi
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi
Rp 15.000.000 per bulan (tidak kena pajak). Adapun yang dimaksud ayat (2)
adalah pelayanan yang disediakan restoran yang kena pajak.

Konsistensi Peraturan Pajak Daerah terlihat dari konsistensinya peraturan-


yang dikeluarkan dan diberlakukan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan
dengan prinsip kebersesuaian peraturan seperti yang diuraikan dalam sub 4.3.2
bab IV.

4.6 Peranan Pajak Daerah Dalam Menunjang Otonomi Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah merupakan legalitas desentralisasi
ekonomi dan politik. Dengan mengedepankan pembangunan sektoral diharapkan
menguatkan desentralisasi atau otonomi daerah yang dapat mengurangi berbagai
ketimpangan regional melalui pemberdayaan daerah khususnya Kabupaten/Kota.

Konsekuensi bagi pemerintah daerah Kota Tangerang Selatan adalah


kewenangan sekaligus pertanggungjawaban terlaksananya pembangunan di
daerah yang harus menimbulkan manfaat bagi masyarakat setempat. Dari sisi
pembiayaan, pemerintah daerah harus cermat dalam menentukan urusan-urusan
prioritas, disamping tetap melakukan fungsi pelayanan pokok masyarakat seperti
pendidikan, kesehatan, lingkungan, transportasi, dll. Disamping itu pemerintah
daerah juga harus melakukan penentuan pilihan yang paling optimal dalam
melaksanakan urusan otonominya yaitu apakah akan dilaksanakan oleh sektor
publik (pemda sendiri), atau diserahkan kepada swasta, atau dilakukan kemitraan
antara pemerintah daerah dan swasta. Pentingnya kehadiran swasta
mengindikasikan kebutuhan akan investasi pada kegiatan potensial. Strategi
pembangunan harus dikembangkan sedemikian rupa bertumpu pada pemanfaatan
dan pengembangan potensi daerah. Hal ini penting karena akan berpengaruh

86

terhadap kapasitas penerimaan pemerintah daerah yang bersumber dari kekuatan


internal

Suatu pembangunan akan berkelanjutan jika terjamin kontinuitas


pembiayaan dan penerimaan daerah. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan pendapatan masyarakat merupakan sasaran penting dari kegiatan
pengembangan potensi ekonomi daerah dalam rangka mengimplementasikan
otonomi daerah. Gambar 4.5 memperlihatkan mekanisme pembangunan yang
disesuaikan pada kondisi sosial, ekonomi dan fisik.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 mengatakan Pemerintah Kota


Tangerang Selatan merupakan daerah otonomi baru. Dan kita bicara
UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa untuk melaksanakan pembangunan
perlu pembiayaan. Pembiayaan berasal dari 3 (tiga) item, yaitu :
pertama ;Pendapatan Asli Daerah, kedua;Dana Perimbangan dan
ketiga ; Pendapatan lain-lain yang sah Responden : ( Kepala Bagian
Keuangan Sekretariat Daerah Kota Tangerang Selatan)
Gambar 4.5.
Potensi Daerah,Penggalian PAD dan Peningkatan Pembangunan
Daerah
Visi dan Misi
Daerah

Kondisi Sosial, Ekonomi Informasi Peluang


dan Infrastruktur Daerah Pengembangan Daerah

Pengembangan Kapasitas dan Potensi


Kegiatan Ekonomi Unggulan

PAD / Penerimaan Pembiayaan/Investasi


Daerah - Pemerintah
- Swasta

Pendapatan Masyarakat Kinerja Pembangunan


Meningkat Meningkat

87

Rencana Pembangunan Daerah sesuai otonominya memerlukan kebutuhan


penganggaran secara agregat baik dalam bentuk anggaran rutin (recurrent
expenditures) maupun anggaran pembangunan (capital expenditures). Sumber
Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah pasal 157 adalah:

Pendapatan Asli Daerah (PAD).


Dana Perimbangan.
Pinjaman Daerah.
Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.

Dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) bahwa Pajak Daerah merupakan


komponen yang penting dalam rangka menunjang otonomi daerah sesuai dengan
fungsi Pajak Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001, tentang Pajak Daerah, dengan demikian Pajak
Daerah perlu ditingkatkan penerimaannya sehingga kemandirian Daerah dalam
hal pembiayaan penyelenggaraan di daerah dapat terwujud.

Arah kebijakan anggaran Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk


Tahun Anggaran 2010, meliputi arah kebijakan yang berkenaan dengan Anggaran
Pendapatan, Anggaran Belanja dan Anggaran Pembiayaan sebagaimana terdapat
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun
Anggaran 2010. Anggaran Pendapatan adalah semua rencana penerimaan kas
daerah dalam periode Tahun Anggaran 2010, yang menjadi hak daerah.
Pendapatan dirinci menurut kelompok Pendapatan, yang meliputi:

1. Pendapatan Asli Daerah;


2. Dana Perimbangan; dan
3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah.

Belanja Daerah terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung,
belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan sedangkan belanja langsung

88

merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan


program dan kegiatan.

Sebagai daerah yang baru terbentuk, Kota Tangerang belum memiliki


dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah sehingga
RKPD Tahun 2010 masih mengacu kepada rancangan RPJM Kabupaten
Tangerang Tahun 2008 - 2013.

Masalah dan tantangan utama yang dihadapi Kota Tangerang Selatan pada
tahun 2010, ditetapkan prioritas pembangunan yang menjadi dasar penentuan
fokus dan kegiatan prioritas untuk mencapai sasaran yang ditentukan.
Pemanfaatan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) dalam rangka pelaksanaan
pembangunan Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 yang dituangkan dalam skala
prioritas adalah sebagai berikut :

1. Optimalisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif dan


efisien.

a. Penyusunan regulasi penyelenggaraan pemerintahan daerah

b. Penyediaan sarana dan prasarana pemerintah daerah

c. Pengelolaan data sebagai dasar perencanaan pembangunan

d. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia

2. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah

Fokus dari prioritas tersebut adalah pelaksanaan pemilihan kepala


daerah melalui fasilitas pelaksanaannya dan pendataan kependudukan.

3. Peningkatan kualitas infrastruktur dasar

a. Peningkatan pelayanan prasarana perkotaan

b. Peningkatan sarana perkotaan

c. Penataan utilitas perkotaan

89

d. Peningkatan kualitas prasarana dan sarana transportasi

e. Pengembangan pengelolaan dan konservasi Sumber Daya Air

f. Pengelolaan lingkungan hidup

g. Penataan ruang

h. Penataan permukiman perkotaan

i. Pengendalian banjir

4. Peningkatan kualitas pelayanan pendidikan

a. Peningkatan kualitas sarana pendidikan


b. Pemantapan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan
tahun
c. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah
d. Peningkatan kompetensi pendidik

5. Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan


a. Peningkatan kualitas sarana kesehatan
b. Penurunan kematian ibu dan anak, kekurangan gizi dan
pemberantasan penyakit menular
c. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dasar
d. Peningkatan pemanfaatan obat
e. Pemantapan revitalisasi program KB

6. Peningkatan Akses Masyarakat Miskin Kepada Pelayanan Dasar

Fokus dari prioritas tersebut adalah peningkatan akses masyarakat


miskin kepada pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan.

7. Pengembangan Program Pembangunan Berbasis Masyarakat


Fokus dari prioritas tersebut adalah peningkatan keberdayaan
masyarakat melalui penanggulangan kemiskinan perkotaan (PNPM)
dan penyelenggaraan padat karya produktif.

90

8. Penanggulangan Pengangguran

Fokus dari prioritas tersebut adalah penurunan angka pengangguran


perkotaan melalui pelatihan dan pemagangan tenaga kerja usia muda
terdidik dan pengembangan informasi pasar kerja.

9. Pengembangan Industri, Jasa dan Perdagangan

Fokus dari prioritas tersebut adalah pemberdayaan usaha mikro dan


kecil melalui peningkatan akses terhadap permodalan.

10. Pengembangan Pertanian dan Perikanan

Fokus dan prioritas tersebut adalah pengembangan pertanian dan


perikanan perkotaan.

11. Penanganan Bencana Situ Gintung

a. Penempatan kembali (resettlement) para pengungsi


b. Penetapan kebijakan terkait perencanaan tata ruang kawasan situ
c. Penyelenggaraan pelayanan pendidikan pasca Situ Gintung
d. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan pasca Situ Gintung
e. Perbaikan infrastruktur jalan pasca Situ Gintung

Pada era otonomi daerah sekarang ini, maka setiap daerah dipacu untuk
bisa membiayai keperluan dan urusan rumah tangga daerahnya, hal ini sebagai
konsekwensi dari adanya pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan urusan rumah tangga daerahnya.
Dengan demikian mengharuskan setiap daerah bisa mengoptimalkan pelaksanaan
pembangunan di daerahnya dalam rangka otonomi daerah.

Otonomi daerah lahir sebagai sebuah gagasan yang menarik sebagai


bentuk koreksi atas corak pemerintahan dan hubungan antara pusatdaerah yang
sentralistik, eksploitatif serta jauh dari nilainilai demokrasi yang saat ini menjadi
mainstream sistem politik yang berlaku di dunia.

91

Tabel 4
Realisasi Alokasi Anggaran dalam APBD 2010 dan 2011
di Kota Tangerang Selatan

No ALOKASI ANGGARAN Tahun 2010 2011


KE SKPD
1 Dinas pendidikan 243,337,242,687.00 343,612,783,103.00
2 Dinas kesehatan 89,311,762,970.55 104,250,513,655.00
3 RSUD 0.0 7,505,579,482.75
4 PU 77,248,106,092.72 151,718,839,037.00
5 Pemadam Kebakaran 3,171,848,724.70 10,218,092,961.88
6 Dinas Tata Kota 24,200,616,966.88 62,229,956,692.13
7 Bapeda 11,023,725,833.00 16,526,163,447.00
8 Dinas Perhubungan 8,937,832,411.00 18,521,769,773.00
9 Badan Lingkungan Hidup 5,983,711,008.00 13.018,764,686.63
10 DKPP 24,359,846,984.33 50,203,195,384.00
11 Disdukcapil 9,403,489,408.43 10,299,338,205.63
12 Dinas Sosial, Tenaga Kerja & 4,939,341,515.23 8,182,913,949.00
Transmigrasi
13 Dinas Koperasi & UMKN 6,365,628,815.80 8,243,122,274.38
14 Kantor Kebudayaan & 298,330,750.00 4,561,581,067.48
pariwisata
15 Dinas Pemuda & Olah raga 8,432,123,850.75 11,631,272,571.13
16 Kesbangpol 5,487,501,635.58 8,819,380,146.25
17 Satpol PP 7,261,501,323.53 9,875,451,337.66
18 DPRD 8,199,670,846.00 11,243,702,528.00
19 Walikota & wakil Walikota 585,133,833.68 784,395,074.85
20 Sekda 40,715,390,296.55 75,013,443,121.51
21 Sekwan 29,646,708,850.83 48,485,384,377.47
22 Inspektorat 6,653,727,872.00 10,031,452,941.47
23 DPPKAD 120,541,765,620.60 152,562,164,459.00
24 BP2T 11,021,219,160.12 12,930,025,708.00
25 BKD 32,309,665,116.50 30,023,625,495.38
26 BPMPKB 5,346,373,180.00 9,966,808,544.81
27 KANTOR ARSIP 1,320,691.751.93 4,458,137,778.63
28 DINAS PERTANIAN 6,286,538,590.68 12,189,769,678.00
29 DISPERINDAG 5,863,218,680.90 8,359,820,706.77
30 PERPUSTAKAAN 0 3,700,000,000.00
Sumber:RingkasanAPBDTahunAnggaran2010dan2011

92

Dikaitkan dengan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah


dan pelaksanaan pembangunan daerah harus mengutamakan usaha-usaha untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga untuk membiayai urusan
rumah tangganya diperlukan sumber-sumber pendapatan daerah terutama pajak
daerah, dan dalam kondisi yang demikian tersebut membawa paradigma yang
baru dalam pembangunan ekonomi daerah dengan timbulnya orientasi
pembangunan daerah untuk pendapatan asli daerah.

Dengan diberlakukannya otonomi daerah Kabupaten/Kota oleh pusat


memberikan kesempatan yang besar bagi pemerintah daerah untuk memperbesar
peranan dan kemampuannya dalam pelaksanaan pembangunan daerah yaitu
dengan pengembangan potensi ekonomi melalui penggunaan sumber daya dan
sektor-sektor strategis yang dimilikinya, sehingga penerapan pola pembangunan
ekonomi daerah sebagai dasar kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya
yang ada harus menjadi landasan utama bagi daerah dalam bertindak.

Pelaksanaan pemungutan pajak daerah di dalam menunjang pembangunan


daerah di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten yang mempunyai fungsi pajak
sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam
bidang sosial dan bidang ekonomi dan disamping itu mempunyai fungsi budgeter
yang letaknya di sektor publik dan disini pajak dan retribusi merupakan alat (suatu
sumber) untuk memasukan ke kas negara yang digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pembangunan. Jadi dengan
demikian pajak daerah sebagai pendapatan asli daerah yang dialokasikan daerah
untuk membiayai pembangunan, sehingga dengan demikian pemerintah daerah
harus mempunyai hak atas penerimaan pajak daerah.

Jadi dengan demikian peranan pajak daerah terhadap pembangunan daerah


sangat penting antara lain digunakan : untuk membangun sarana dan prasarana
untuk kepentingan masyarakat. Contohnya : pembangunan jalan, pembangunan
rumah sakit, puskesmas, dll yang di sesuaikan dengan Rencana Jangka Pendek,
Menengah dan Panjang sesuai dengan visi dan misi daerah masing-masing.

93

Sebelum menguraikan dan mengungkapkan serta menganalisis data yang


diperoleh melalaui penelitian, terlebih dahulu diketengahkan hubungan antara
konsep teori dan analisis penelitian untuk permasalahan nomor 2 sebagaimana
tempak pada tabel berikut ini.

Tabel 5
Hubungan Teori dan Analisis Penelitian
Untuk Permasalahan Nomor 2

Rumusan Data Penelitian Persoalan Teori yang


Permasalahan Potensial digunakan
Bagaimana - Data Peningkatan Teori Fungsi
Peranan Pajak Pendapatan Pajak Daerah Pajak
Daerah dalam Asli Daerah secara signifikan (Wirayan,2010,hal
Menunjang terhadap mengalami 12) Teori Evsey
Otonomi Daerah APBD kenaikan dari Domar & Roy
- Data hasil tahun ke tahun. Harrod ( Arief
Penerimaan Budiman 1995,
Pajak hal 18-19).
Daerah. Konsederan UU
No.28 Thn 2009

Dari Tabel 5 dapat dijelaskan bagaimana peranan pajak daerah dan


retribusi daerah terhadap pelaksanaan pembangunan daerah di Kota Tangerang
Selatan. Bila dianalisis dengan menggunakan teori fungsi pajak oleh Miyasto,
tentang fungsi budgeter adalah sebagai salah satu sumber penerimaan negara
untuk membiaya pembangunan, teori Evsey Domar dan Roy Harrod yang
menyatakan bahwa masalah pembangunan pada dasarnya merupakan masalah
penambahan investasi modal, dan bunyi konsederan UU No.28 Tahun 2009,
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyatakan bahwa Pajak Daerah
merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai
penyelenggaraan daerah dan pembangunan daerah untuk memantapkan Otonomi
Daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, maka dapat disimpulkan bahwa
betapa berperannya Pajak Daerah terhadap pelaksanaan pembangunan daerah
khususnya di Daerah Kota Tangerang Selatan.

94

4.7 Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pemungutan


Pajak Daerah

Kendala-kendala yang selalu timbul dalam suatu sistem perpajakan adalah


bagaimana menciptakan sistem yang dapat menghasilkan suatu pengertian yang
baik antara masyarakat sebagai pembayar pajak dan pemerintah selaku pembuat
peraturan dan undang-undang perpajakan. Pemerintah selaku fiskus pajak
merencanakan dan menggodok undangundang perpajakan atas dasar dan prinsip
perpajakan yang seadil-adilnya, yang memliki nilai dan manfaat bagi masyarakat
maupun bagi negara itu sendiri. Dalam melaksanakan tugasnya selaku perancang
dan pembuat undang-undang perpajakan, pemerintah harus membuat peraturan itu
sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti. Jika produk peraturan yang dibuat
sulit dimengerti oleh masyarakat, otomatis akan timbul suatu bentuk perlawanan
pajak, yang cara, bentuk dan dalihnya bisa bermacam-macam.

Secara umum masalah dan kendala dalam rangka pemungutan pajak


daerah antara lain :

1. Kurang tersedianya aparat pemungut yang terlatih

2. Belum optimalnya pemungutan yang sesuai dengan potensi


sebagaimana telah direncanakan

3. Kurangnya sosialisasi peraturan daerah yang mengatur tentang pajak


dan retribusi kepada wajib pajak / retribusi

4. Koordinasi yang belum optimal diantara masing-masing SKPD dan


antara SKPD dengan pihak eksternal Pemerintah Kota Tangerang
Selatan.

Selain beberapa alasan tersebut, responden memberikan alasan hambatan


dan kendala terkait dengan pemungutan pajak di Kota Tangerang Selatan. Berikut
kutipan dari responden perihal tersebut ;

Pasti ada, karena kita daerah baru, kendala terkait Sumber Daya
Manusiannya maupun sistem dan mekanismenya selama ini kita

95

tingkatkan perbaikan-perbaikan dan bagaimana kita mempertahankan


yang sudah baik untuk lebih baik lagi dan kita memperbaiki yang
kemaren belum sempurna (responden : Walikota Tangerang Selatan)
Sedangkan pihak pemilik/pengelola restoran yang menjadi responden
mengemukakan hambatan yang terkait dengan pemungutan pajak. Berikut
kutipannya:

Kita mendukung upaya peningkatan pajak restoran yang


memungkinkan pajak dibayar konsumen masuk ke kas daerah, tetapi
perlu dilakukan sosialisasi untuk mengingatkan kami akan kewajibatan
memberikan laporan pajak. (responden: Budi Darmawan, Pemilik
Restoran Sari Kuring)
Jumlah pajak haruslah sesuai keadaan sebenarnya, yang sebelumnya
telah ditelaah tim pendataan pajak ke restoran untuk mengetahui
jumlah omzet per harinya. Nah, dari jumlah tersebut diambil 10 persen
pendapatannya sebagai pajak. (responden: Valentina Yosephine, PT
Nuansa Timur Lestari / Kopi Tiam)
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi Perda Pajak Daerah ke dalam kategori Strengths, Weaknesses,
Opportunities, dan Threaths sebagai dasar untuk menentukan tujuan, sasaran dan
strategi mencapainya. Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi faktor-
faktor yang merupakan kekuatan dan kelemahan serta faktor-faktor yang
merupakan peluang dan ancaman, dan selanjutnya dilakukan pencocokan dengan
menggunakan Matriks SWOT.31

Langkah-langkah dalam membuat matriks SWOT adalah sebagai berikut:


Membuat daftar peluang eksternal Membuat daftar ancaman eksternal Membuat
daftar kekuatan internal Membuat daftar kelemahan internal Mencocokkan
kekuatan internal dan peluang eksternal dan mencatat hasil dalam strategi SO
Mencocokkan kelemahan internal dan peluang eksternal dan mencatat hasilnya
dalam strategi WO. Mencocokkan kekuatan internal dan ancaman eksternal dan
mencatat hasilnya dalam strategi ST Mencocokkan kelemahan internal dan
ancaman eksternal dan mencatat hasilnya dalam strategi WT.

31
JPG, Sianipar dan M. Endang, Teknik-teknik Analisis Manajemen, LAN. 2003

96

Teknik analisis yang digunakan adalah analisis matrik SWOT. Matriks


SWOT adalah alat yang dipakai untuk menggambarkan secara jelas bagaimana
peluang dan ancaman yang dihadapi organisasi dapat disesuaikan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Secara ringkas Matriks SWOT dapat
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 6
Matriks SWOT
Faktor Internal Strength (S) Weaknesses (W
Faktor Eskternal
Opportunities (O) STRATEGI (SO) STRATEGI (WO)
Gunakan kekuatan untuk Meminimalkan kelemahan
memanfatkan peluang. untuk memanfatkan
peluang.
Threaths (T) STRATEGI (ST) STRATEGI (WT)
Gunakan kekuatan untuk Meminimalkan kelemahan
mengatasi ancaman. dan menghindari ancaman.

Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya pendapatan dari pajak


daerah. Untuk mencapai sasaran dimaksud, perlu dipertimbangkan 2 (dua) faktor,
yaitu faktor pendorong dan faktor penghambat, yang berasal dari dalam
lingkungan kerja sendiri (internal) maupun dari luar (eksternal). Faktor pendorong
internal disebut sebagai kekuatan (strength) sedangkan yang dari luar disebut
peluang (opportunity). Faktor penghambat pun ada dua, yang berasal dari dalam
disebut kelemahan (weaknesses) dan yang berasal dari luar disebut ancaman
(tkreath). Adapun

1) Identifikasi faktor pendorong Kekuatan


(Strengths)
Adanya Perda tentang Pajak Daerah
Tingginya motivasi pegawai
Tersedianya dana operasional
Peluang (Opportunites)
Dukungan dari Dinas terkait
Adanya kerjasama dengan wajib pajak
Potensi wajib pajak cukup tinggi

97

2) Identifikasi Faktor Penghambat


Kelemahan (Weaknesses)
Kurang jumlah petugas pelayanan pajak
Kurangnya sarana transportasi
Ancaman (Threats)
Jangkauan daerah yang luas.
Kesadaran wajib pajak masih rendah
Wajib pajak kurang pengetahuan tentang Perda pajak Daerah
3) Analisa Faktor Pendorong
a) Adanya Perda tentang Pajak Daerah
Adanya kepastian hukum yang mengikat untuk menegakan / menetapkan
besarnya pajak daerah sesuai dengan yang telah ditentukan;
b) Tingginya motivasi pegawai
Dapat meningkatkan kinerja yang optimal dalam upaya pencapaian
sasaran.
c) Tersedianya dana operasional
Menunjang dalam pelaksanaan tugas untuk operasional kegiatan.
d) Dukungan dari Dinas terkait
Dukungan dari Instansi terkait akan memudahkan potensi data dapat
segera diperoleh yang merupakan dasar dari ketepatan pajak.
e) Adanya kerjasama dengan wajib pajak
Adanya kerjasama dengan wajib pajak akan memperlancar pembayaran
pajak daerah tepat waktu dan mendorong wajib pajak berpartisipasi dalam
meningkatkan PAD.
f) Potensi wajib pajak cukup tinggi
Adanya beberapa sumber potensi pajak yang masih/belum tergali dan
perluasan dunia usaha khususnya sektor perdagangan, hotel dan
restoran.
4) Analisis Faktor Penghambat
a) Kurangnya pengawasan
Adanya peluang untuk penyimpangan yang dilakukan oleh aparat;

98

b) Kurang jumlah petugas pelayanan pajak


Kurangnya jumlah petugas pelayanan pajak akan menghambat
penagihan terhadap wajib pajak.
c) Kurangnya sarana transportasi
Kurangnya sarana transportasi akan menghambat kelancaran pelaksanaan
tugas.
d) Tingkat kesadaran masyarakat masih rendah
Kurangnya kesadaran masyarakat akan menghambat kepada penerimaan
dari pajak daerah.
e) Wajib pajak kurang pengetahuan tentang pajak
Kurangnya pengetahuan tentang peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan pajak akan menghambat kepada tingkat akurasi data yang dikelola
oleh petugas pajak.

Dari Identifikasi Masalah dan Potensi, dimana untuk faktor pendorong


dipilih 3 (tiga) kekuatan kunci sebagai berikut:

D1. Adanya perda tentang pajak daerah.


D2. Adanya kerjasama dengan wajib pajak.
D3. Tersedianya dana operasional.

Sedangkan untuk faktor penghambat dipilih dua (dua) kekuatan kunci yaitu
sebagai berikut:

H1. Kurangnya sarana transportasi.


H2. Kurangnya jumlah petugas pelayanan pajak.
H3. Wajib pajak kurang pengetahuan tentang pajak daerah.

Berikut ini akan ditetapkan strategi yang mendorong atau memacu kekuatan
pendorong dan mengurangi sedini mungkin faktor-faktor penghambat atau
kekuatan penghambat. Kunci dan strategi atau ide-ide kekuatan yang akan
dilaksanakan tertuang dalam tabel berikut ini.

99

Tabel 7
Ide-ide Strategi

No. Kode. Kekuatan Kunci Strategi


1. D1 Adanya perda tentang pajak Manfaatkan perda tersebut
daerah sebagai panduan
2. D2 Adanya kerjasama dengan Optimalkan kerjasama dengan
wajib pajak wajib pajak
3. D3 Tersedianya dana operasional Gunakan seefisien dan
seefektif mungkin
4. H1 Kurangnya Sarana Tingkatkan pengadaan sarana
Transportasi transportasi
5. H2 Kurangnya jumlah petugas Adanya penambahan petugas
pelayanan pajak pelayanan pajak
6. H3 Wajib pajak kurang Adanya penyuluhan tentang
pengetahuan tentang pajak pajak daerah
daerah

Dari hasil analisa yang telah dilakukan beberapa rekomendasi dapat


disampaikan sebagai berikut:

1. Kerjasama dengan beberapa perbankan setempat untuk mendekatkan lokasi


pembayaran dan memudahkan masyarakat dalam membayar pajak.

2. Melakukan sosialisasi Perda Pajak secara intensif, terjadwal dan kontinyu


kepada masyarakat.

3. Mengoptimalkan unit-unit pelayanan pajak yang ada di setiap Kecamatan.

4. Diupayakan untuk memenuhi sarana transportasi bagi petugas income pajak


di kecamatan

Mengamati secara umum tentang pemungutan pajak daerah dan retribusi


daerah dapat diprediksikan dan diungkapkan melalui pemikiran secara universal32

Tentang tarif pemungutan pajak daerah berdasarkan Undang-Undang


Nomor 28 Tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tarif
sebagai berikut :

32
UU No.28 Tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

100

f. Pajak Hotel; max 10 %


g. Pajak Restoran; max 10 %
h. Pajak Hiburan; max 75 %
i. Pajak Reklame; max 25 %
j. Pajak Penerangan Jalan; max 10 %
k. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; max 25 %
l. Pajak Parkir; max 30 %
m. Pajak Air Tanah; max 20 %
n. Pajak Sarang Burung Walet; max 10 %
o. Pajak Bumi dan Bangunan (Pds & Pkt); max 0,3 %
p. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan; max 5 %

Tentang tarif pemungutan pajak daerah berdasarkan Peraturn Daerah


nomor 7 tahun 2010, tentang Pajak Daerah sebagai berikut :

a. Pajak Hotel; 10 %
b. Pajak Restoran; 10 %
c. Pajak Hiburan dirinci sebagai berikut;
1. tontonan Filme 15%
2. Pagelaran kesenian 10 % dan Pagelaran Busana 15%
3. Kontes kecantikan, binaraga 15%
4. Pameran 15%
5. Permainan bilyar, pacuan kuda, Kendaraan bermotor 20%
6. Bowling 25%
7. Sirkus 15%
8. Karaoke 30%
9. Diskotik 35%
10. Golf 25%
11. Permainan Ketangkasan 25%
12. Panti Pinjat dengan fasitlitas Mandi Uap 30%
13. Panti Pinjat tanpa fasitlitas Mandi Uap 20%

101

c. Pajak Reklame; 25 %
d. Pajak Penerangan Jalan;
1. untuk umum 3%
2. untuk industri 2%
3. tenaga listrik yang dihasilkan sendiri 1%
f. Pajak Parkir; 25 %
g. Pajak Air Tanah; 20 %
h. Pajak Sarang Burung Walet; 10 %
i. Pajak Bumi dan Bangunan
Untuk NJOP sampai dengan 1 milyar 0,1%
Untuk NJOP diatsa 1 milyar 0,2%
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 5%
3. Tentang tanggung jawab (accountability) pemerintah daerah dalam mengelola
dan memanfaatkan pajak daerah. Pajak daerah dipungut berdasarkan
penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah
(SKPD), atau dokumen lain yang dipersamakan. Untuk melakukan
pembayaran pajak daerah menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD),
pembayaran dilakukan pada Kantor Pos atau Bank Persepsi. Jika wajib pajak
tidak membayar akan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak
Daerah (STPD.33
Disisi lain hambatan-hambatan terhadap pemungutan pajak dapat
dikelompokkan menjadi34 :
1. Perlawanan pasif.
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan
antara lain :
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat;
b. Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat;
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.

33
Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, Bandung, Edisi 5, 2011 hal 143.
34
Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum dan
Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2005, hal.
39

102

2. Perlawanan aktif.
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antara lain :
a. Tax avoidance, usaha meringkan beban pajak dengan tidak
melanggar undang-undang.
b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar
undang-undang (menggelapkan pajak).

Sebelum menguraikan dan mengungkapkan serta menganalisis data yang


diperoleh melalui penelitian, terlebih dahulu diketengahkan hubungan antara
konsep teori dan analisis penelitian mengenai permasalahan nomor 3 sebagaimana
tampak pada tabel dibawah ini :
Tabel 8
Hubungan Teori dan Analisis Penelitian
Mengenai Permasalahan Nomor 3
Rumusan Data Penelitian Persoalan Potensial Teori yang
Permasalahan Digunakan
Faktor-faktor yang Terdapat beberapa Tentang sanksi, Teori hukum kodrat
menjadi kendala dalam faktor kendala teknis penyesuaian tarif Thomas Aquinas. 35
pelaksanaan pemungutan dalam bentuk : dan kinerja aparat
pajak daerah kesiapan (kuantitatif/ birokrasi yang
kualitatif) para fiskus, lemah
dokumentasi tentang
obyek dan subjek
pajak, sarana dan
prasarana pendukung,
persoalan internal
obyek pajak
(kesadaran, kesiapan,
waktu yang tepat),
kondisi geografis dll
Sumber: Data Penelitian Diolah

Dari tabel di atas dapat dijelaskan permasalahan tentang faktor-faktor yang


menjadi kendala dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi daerah di
Kota Tagerang Selatan Barat. Ditemukan sesuai dengan data penelitian dimana
terdapat beberapa faktor kendala teknis dalam bentuk kesiapan (kuantitatif/

35
Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta:
Kanisius, 2009, hal. 51.

103

kualitatif) para fiskus, dokumentasi tentang subjek dan obyek pajak,sarana dan
prasarana pendukung, persoalan internal obyek pajak (kesadaran, kesiapan waktu
yang tepat) Bila dianalisis dengan menggunakan teori hukum kodrat (dalam
Andrea Ata Ujan, 2009): diketahui bahwa terdapat persoalan potensial mengenai
sanksi, penyesuaian tarif dan kinerja aparat birokrasi yang lemah.

Berikut petikan wawancara dengan Bpk. Drs. Uus Kusnadi, M.Si, Kepala
Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota
Tangerang Selatan,

Tangerang Selatan ini merupakan daerah yang baru terutama dari


aspek Sumber Daya. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tapi
intinya kami dari jajaran aparat pemungut pajak kami memncoba
menerapkan reward and punishment yang jelas sehingga
produktifitasnya mereka terukur,, dan minimal moralitas dan mentalitas
mereka terjaga dengan pengawasan internal yang cukup handal
(responden : Kepala Dinas DPPKAD )
Sedangkan petikan wawancara dari pelaku usaha yaitu Ibu Catherine,
pemilik PT. Sejahtera Nusa Jaya, Bandar Jakarta sebagai berikut:

Diperlukan suatu peninjauan kembali atas kebijakan penentuan batas


minimum penghasilan restoran yang di kenakan pajak. Pemerintah
Tangerang Selatan juga tidak perlu terburu-buru untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah, karena hal ini semestinya diawali dulu dengan
penyelenggaraan program-program pemerintah daerah yang dapat
berdampak pada peningkatan kompetensi pengelolaan usaha, setelah itu
mendata potensi secara akurat, kemudian menginventarisir dampak
yang mungkin muncul atas kebijakan tersebut. Setelah proses tersebut
dilakukan, barulah PERDA dapat ditetapkan, agar dapat diterima
semua pihak secara lapang hati, bukan karena keterpaksaaan, sebagai
akibat dari ketidakberdayaan. (responden : Pemilik Bandar Jakarta)
Selain itu kendala-kendala yang dihadapi Pemerintah daerah khususnya
DPPKAD Kota Tangerang Selatan dalam melakukan pemungutan pajak daerah
yang secara teknis dapat diungkap antara lain:

1. Tentang sanksi, sering terdapat kendala untuk menerapkan sanksi pada


wajib pajak yang sekarang hanya dilakukan dengan menyampaikan
surat teguran / peringatan saja.

104

2. penyesuaian tarif, yang kadangkala membingungkan masyarakat


sebagai wajib pajak yang tidak pernah diberitahu sebelumnya tentang
penyesuaian tarif.

3. Tentang pengesahan Peraturan Daerah Kota / Kab, yang semula


dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I, dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000,
pengesahannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dengan
pertimbangan Menteri Keuangan yang notabene pemerintah pusat. Hal
ini menimbulkan rentang birokrasi yang semakin panjang dan
pengendalian/pengawasan menjadi semakin lemah. Disamping itu
pemerintah provinsi tidak dapat lagi melakukan pembinaan,
pengawasan serta pengendalian secara intensif terhadap pelaksanaan
Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
kabupaten/kota, karena pada hakekatnya pembinaan telah dilakukan
atau diambil oleh Pemeintah Pusat, sehingga dimungkinkan sangat
lemah pengawasannya, karena terlalu banyak jumlah kota/kota di
Indonesia.

4. Kurangnya kesadaran wajib pajak daerah

5. Kemampuan dan keterampilan pegawai yang belum merata.

6. Pengolahan data yang belum tertata secara baik.

7. Pemahaman pegawai terhadap tata kerja dan prosedur belum merata.

8. Jabatan struktural sebagian belum terisi.

Adapun usaha-usaha dalam rangka mengatasi atau paling tidak


mengurangi hambatan-hambatan sebagaimana tersebut diatas perlu dilakukan
langkah-langkah antisipatif sebagai berikut :

1. Meningkatkan kesadaran wajib pajak dengan memberikan informasi

105

yang seluas-luasnya kepada masyarakat melalui berbagai media


antara lain spanduk, dan papan himbauan serta koran lokal.

2. Mengupayakan peningkatan kompetensi SDM aparatur.

3. Melakukan pendataan baik pajak daerah serta membantu pendataan


PBB.

4. Memelihara database pajak daerah..

5. Melakukan monitoring dan pengawasan serta penagihan kepada


wajib pajak baik pajak daerah maupun retribusi daerah serta pajak
PBB.

6. Memantapkan koordinasi dan konsultasi baik sesama unit kerja


perangkat daerah maupun dengan pemerintah provinsi.

7. Mengupayakan pemenuhan sarana mobilitas.

8. Mengupayakan revisi/perubahan terhadap perangkat hukum yang


melandasi berbagai pungutan daerah yang telah ada dan
mengupayakan adanya pungutan daerah yang baru.

Menanggapi kendala diatas apabila dihubungkan dengan usaha Pemerintah


Daerah Kota Tagerang Selatan untuk melakukan sosialisasi dalam rangka
meningkatkan kesadaran wajib pajak tentunya hal tersebut tidak terlepas dari
masalah komunikasi, sehingga perlu menyampaikan peraturan hukum kepada
rakyat atas pertimbangan moralitas. Adalah suatu sikap yang tidak bermoral
apabila rakyat dituntut untuk patuh kepada hukum yang isinya tak diketahui
olehnya. Dengan demikian apa yang telah dikemukakan oleh Drs. Uus Kusnadi,
M.Si, tidak semata-mata hanya dalam rangka untuk memenuhi target yang telah
ditetapkan pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah namun tentunya
harus dibarangi dengan timbal balik pemerintah daerah dalam rangka memberikan
pelayanan dan kepuasan serta kenyamanan kepada masyarakat pengguna jasa.

106

4.8. Realisasi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD

Pendapatan Asli Daerah memiliki kecenderungan yang meningkat dengan


menurunnya Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang Sah yang
meningkat tidak terlalu signifikan, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9
Komposisi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD
Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 dan 2011

Tahun 2010 Tahun 2011


PAD 10,366,185,000.00 13.87% 307,176,100,000.00
23.51%
Dana
458,282,516,311.75 57.61% 649,407,222,809.00 46.51%
Perimbangan
Lain-lain
Pendapatan 226,790,716,257.00 28.52% 347,614,480,065.00 29.98%
yang Sah
APBD 695,439,417,568.75 100.00% 1,304,197,802,874.00 100.00%
Sumber Data : DPPKAD Kota Tangerang Selatan, Data diolah

Kalau diperhatikan hasil yang digambarkan pada Tabel di atas terlihat


bahwa hasil penerimaan Pendapatan Asli Daerah dari tahun 2010 ke 2011
terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Ini membuktikan bahwa dengan
adanya Perda Pajak Daerah di Kota Tangerang Selatan, Pendapatan Asli
Daerah yang bersumber dari Pajak merupakan penyumbang terbesar.

Berikut petikan wawancara salah satu responden tentang Pendapatan Asli


Daerah:

Trend Pendapatan Asli Daerah dari pajak juga semakin


meningkat. Terget kita kemarin khususnya di pajak restoran,
target kita 50 milyar ternyata kita lebih daripada 50 milyar.ini
sangat baik dan positif . Sehingga perda pajak ini sangat
bermanfaat bagi kami Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
Sebagai bahan acuan bagi kami untuk melaksanakan sesuai
dengan ketentuan.

107

4.9 Objek Pajak terhadap Realisasi Pajak Daerah Tahun Anggaran 2010
dan 2011

Pajak Daerah memiliki kontribusi yang paling besar diantara keempat


komponen pendapatan asli daerah. Perkembangan Penerimaan Pajak Daerah
selalu mengalami peningkatan siginikan dari tahun 2010 ke tahun 2011, hal ini
dapat terlihat pada tabel berikut:

Tabel 10
Komposisi Objek Pajak terhadap Realisasi Pajak Daerah
Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 dan 2011

No. Objek Pajak Realisasi 2010 Realisasi 2011 Pertumbuhan


1. Pajak Hotel 2.236.123.883 2.337.900.555 5%
2. Pajak Restoran 36.674.448.481 50.103.065.338 37%
3. Pajak Hiburan 3.978.251.737 7.038.435.710 77%
4. Pajak Reklame 4.518.158.568 5.664.735.300 25%
5. Pajak Penerangan
39.408.169.823 49.444.000.000 25%
Jalan
6. Pajak Parkir 3.168.079.000 4.367.307.274 38%
7. Pajak Air Tanah 0 1.696.958.740 100%
8. BPHTB 0 210.756.818.979 100%

Sumber Data : DPPKAD Kota Tangerang Selatan, Data diolah

Tabel 10 di atas dapat dianalisis bahwa terlihat peningkatan penerimaan


yang segnifikan dari tahun ke tahun dari target yang telah ditetapkan. Berdasarkan
hasil wawancara peneliti dengan Pejabat DPPKAD Kota Tangerang Selatan
peningkatan tersebut disebabkan Pemerintah Kota Tangerang Selatan telah
mengimplementasikan Perda Pajak Daerah antara lain Pajak Restoran dan Pajak
Hiburan yang pertumbuhannya sangat tinggi.

108

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,


maka sebagai jawaban dari tujuan penelitian dalam tesis ini disimpulkan bahwa
Implementasi Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah dalam
Menunjang Otonomi Daerah Secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pertama secara umum Perda tentang Pajak Daerah telah memenuhi kriteria
pembuatan peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal 5 UU No.12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan yaitu: azas
kejelasan tujuan; azas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; azas
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; azas kesesuaian antara
jenis, hierarki, dan materi muatan; azas dapat dilaksanakan; azas
kedayagunaan dan kehasilgunaan; azas kejelasan rumusan; dan azas
keterbukaan. Tetapi ada catatan yang perlu diperhatikan, hasil kajian dan
telaah proses pembuatan Perda yang dihimpun dari beberapa responden,
dapat disimpulkan bahwa Perda Pajak Kota Tangerang Selatan masih ada
yang belum memenuhi salah satu asas pembuatan peraturan daerah yaitu
azas keterbukaan. Walaupun demikian secara umum Perda Pajak Daerah
Kota Tangerang Selatan dapat dipergunakan sebagai dasar hukum dalam
menunjang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang Selatan
terutama dalam melakukan pengelolaan sumber-sumber pendapatan sektor
pajak.

2. Kedua Secara umum Pelaksanaan Perda No 7 tahun 2010 tentang Pajak


Daerah Kota Tangerang Selatan, sudah dilaksanakan oleh instansi terkait,
yaitu Dinas Pendapatan Pengelolaan dan Aset Daerah (DPPKAD) yang
mana telah menghasilkan pungutan pajak terhadap Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah pada tahun 2010 sebesar 17%, dan meningkat pada

109

tahun 2011 menjadi 24% dari realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kota Tangerang Selatan. Namun demikian jika ditelaah lebih dalam
maka perda pajak tersebut belum sepenuhnya efektif dikarenakan kurang
jumlah petugas pelayanan pajak, kurangnya sarana transportasi, jangkauan
daerah yang luas, kesadaran wajib pajak masih rendah, wajib pajak kurang
pengetahuan tentang Perda pajak Daerah. Seharusnya setelah adanya Perda
No. 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, pendapatan dari sektor pajak
daerah masih dapat ditingkatkan secara optimal sesuai dengan potensi pajak
daerah di Tangerang Selatan. Adapun hasil dari pungutan pajak tersebut
untuk menunjang otonomi daerah, dalam rangka membiayai
penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah antara lain
dipergunakan untuk Penyelenggaraan Pemilihan Kepala pemilihan Walikota
dan Wakil Walikota Tangerang Selatan tahun 2010, Peningkatan Kualitas
Infrastruktur Dasar, Peningkatan pelayanan prasarana perkotaan
(membangun Jalan yang rusak, melebarkan jalan alternatif, untuk mengatasi
kemacetan), Pengelolaan lingkungan hidup, Penataan ruang, Penataan
permukiman perkotaan Pengendalian banjir, Peningkatan kualitas sarana
pendidikan (memperbaiki ruang kelas yang rusak, menambah fasilitas
laboratorium di sekolah-sekolah), Peningkatan kualitas sarana kesehatan
(membangun rumah sakit umum daerah di Pamulang, membangun
puskesmas ditingkat kecamatan), peningkatan akses masyarakat miskin
kepada pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan.

3. Ketiga kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemungutan pada


pajak daerah di Kota Tangerang Selatan pertama kurang tersedianya aparat
pemungut yang terlatih, belum optimalnya pemungutan yang sesuai dengan
potensi pajak sebagaimana telah direncanakan, kurangnya sosialisasi
peraturan daerah yang mengatur tentang pajak kepada wajib pajak,
koordinasi yang belum optimal diantara masing-masing SKPD dan antara
SKPD dengan pihak eksternal Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Kedua
kurangnya kesadaran wajib pajak daerah, Kemampuan dan keterampilan

110

pegawai yang belum merata. Pengolahan data yang belum tertata secara
baik/Pemetaan wilayah (mapping) tentang potensi pajak. Pemahaman
pegawai terhadap tata kerja dan prosedur belum merata. Jabatan struktural
sebagian belum terisi.

5.2 Saran-Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, ada beberapa saran untuk dijadikan


bahan pertimbangan dalam rangka optimalisasi implementasi Perda Pajak daerah
di Kota Tangerang Selatan, saran-saran yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Dalam pembuatan Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang pajak daerah di


Kota Tangerang Selatan masih kurang terakomodirnya salah satu asas
pembuatan peraturan perundanganundangan yaitu asas keterbukaan.
Bahwa yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan
harus bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Kekuatan hukum yang menjamin keterlibatan rakyat dalam
pembuatan kebijakan publik adalah Undang-Undang No 12 Tahun 2011
pasal 5 huruf g, yaitu asas keterbukaan. Begitu juga pasal 96 Undang-
undang No 12 tahun 2011 menegaskan Masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Adapun Masukan tersebut boleh secara lisan
dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui, rapat dengar pendapat umum,
kunjungan kerja, sosialisasi; dan/atau, seminar, lokakarya, dan/atau
diskusi. Sementara itu, pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 pasal
139 disebutkan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
Dengan kata lain, keterlibatan rakyat untuk bisa terlibat dalam pembuatan

111

perundang-undangan dijamin oleh hukum. Tahap Pertama Ketika usulan


sudah masuk dalam program legislasi, rakyat harus mengawal
pembahasan dan memastikan poin-poin penting yang diatur dalam
peraturan sesuai dengan usulan. Proses pembahasan peraturan merupakan
proses politik sehingga seringkali terjadi tarik-ulur, tawar-menawar,
negosiasi, dan lobi dari pelbagai pihak yang berkepentingan terhadap
peraturan yang disusun. Rakyat harus mampu mengidentifikasi,
memetakan, dan menjalin komunikasi yang intensif dengan para
pengambil keputusan supaya usulannya ditetapkan sebagai peraturan.
Tahap Kedua, setelah peraturan disahkan dan dicatat dalam daerah,
rakyat dapat terlibat dalam menyebarluaskan atau mensosialisasikan
peraturan tersebut ke publik, baik melalui seminar, publikasi, maupun
pelatihan.

2. Agar Implementasi Perda Nomor 7 Tahun 2010 Pajak Daerah Kota


Tangerang efektif perlu adanya sosialisasi berkesinambungan yang
dilakukan sehingga masyarakat mengetahui tentang isi perda pajak serta
meningkatan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam menunjang
pemungutan pajak daerah di Kota Tangerang Selatan. Adapun kontribusi
hasil pajak daerah Kota Tangerang Selatan pada umumnya untuk
pembangunan daerah, namun demikian hasil penelitian saya, pemerintah
daerah dalam penganggaran masih ada kekurangan, yang seharusnya
pembiayaan sektor mikro yang berdampak kepada masyarakat belum
banyak tersentuh dengan baik sehingga anggaran tersebut masih pilih
kasih terhadap dinas-dinas yang diangap besar. Seyogyanya dalam
penganggaran harus bertumpu terhadap kinerja atau anggaran berbasis
kinerja. Sedangkan yang dimaksud anggaran berbasis kinerja adalah:
yang pertama menentukan indikator kinerja. Sedangkan Indikator Kinerja
adalah ukuran kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu
sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator
kinerja harus merupakan suatu yang akan dihitung dan diukur serta

112

digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik
dalam tahapan perencanaan, tahap pelaksanaan maupun tahap setelah
kegiatan selesai dan bermanfaat (berfungsi). Indikator kinerja meliputi:

a. Masukan (Input) adalah sumber daya yang digunakan dalam suatu


proses untuk menghasilkan keluaran yang telah direncanakan dan
ditetapkan sebelumnya. Indikator masukan meliputi dana, sumber
daya manusia, sarana dan prasarana, data dan informasi lainnya yang
diperlukan.

b. Keluaran (Output) adalah sesuatu yang terjadi akibat proses tertentu


dengan menggunakan masukan yang telah ditetapkan. Indikator
keluaran dijadikan landasan untuk menilai kemajuan suatu aktivitas
atau tolok ukur dikaitkan dengan sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan dengan baik dan terukur.

c. Hasil (Outcome) adalah suatu keluaran yang dapat langsung


digunakan atau hasil nyata dari suatu keluaran. Indikator hasil adalah
sasaran program yang telah ditetapkan.

d. Manfaat (Benefit) adalah nilai tambah dari suatu hasil yang


manfaatnya akan nampak setelah beberapa waktu kemudian.
Indikator manfaat menunjukkan hal-hal yang diharapkan dicapai bila
keluaran dapat diselesaikan dan berfungsi secara optimal.

e. Dampak (Impact) pengaruh atau akibat yang ditimbulkan oleh


manfaat dari suatu kegiatan. Indikator dampak merupakan akumulasi
dari beberapa manfaat yang terjadi, dampaknya baru terlihat setelah
beberapa waktu kemudian.

Kedua Evaluasi dan pengambilan keputusan terhadap pemilihan dan


prioritas program. Kegiatan ini meliputi penyusunan peringkat-peringkat
alternatif dan selanjutnya mengambil keputusan atas program/kegiatan
yang dianggap menjadi prioritas.

113

3. Untuk mengatasi kendala-kendala adalah dengan meningkatkan motivasi


pegawai agar dapat meningkatkan kinerja yang optimal dalam upaya
pencapaian sasaran, tersedianya dana operasional yang cukup dalam
menunjang pelaksanaan tugas untuk operasional kegiatan, adanya
dukungan dari dinas terkait agar memudahkan potensi data dan dapat
segera diperoleh yang merupakan dasar dari ketepatan pajak, adanya
kerjasama dengan wajib pajak untuk memperlancar pembayaran pajak
daerah tepat waktu dan mendorong wajib pajak berpartisipasi dalam
meningkatkan PAD.

114

DAFTAR PUSTAKA

Andrea, Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan,


Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Arsyad, Lincolin, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah,
BPFE, Yogyakarta, 1999.
Asshiddiqie, Jimly, Konsolidasi Naskah UUD1945 Setelah Perubahan Kedua,
Pusat Studi Negara, Fakultas Hukum UI, Jakarta,2002.
Baswir, Revrisond, Politik Ekonomi Indonesia Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2000.
Darwin, Pajak Daerah & Retribusi Daerah , Mitra Wacana Media, jakarta.Edisi
Pertama, 2010.
Devey sebagaimana dikutip oleh Kesit Bambang Prakosa, Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, UII Press, 2003.
Djumhana, Muhammad, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung 1994, hal 41
Dunn, William N, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, Gajah Mada University
Press, 2000.
Guruh, Syahda, Menimbang Otonomi Vs Federal, PT. Remaja Rodakarya,
Bandung.
HR, Syaukani, Seminar Otonomi daerah Starategi Pemberdayaan Daya saing
Daerah (Jurnal Otda, Nomor 3,2001:10)
Ilyas dan Burton, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2010.
Ismail, Tjip, Pengaturan Pajak Daerah Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, 2007,
hal. 73.
Judisseno, K Rimsky. Pajak dan Strategi Bisnis Suatu Tinjauan tentang
Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi, PT.
Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2005.
Kebijakan Departemen Dalam Negeri di bidang Pendapatan dan Keuangan
Daerah, Makalah Rapat Koordinasi Teknis Dirjen Umum Daerah, Jakarta,
tanggal 23 Maret 2000
Malarangeng, Andi, dkk, Otonomi Daerah Prospektif, Teoritis dan Praktis,
BIGRAF, Publishing, Yogyakarta, 2001.
Manan, Bagir, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut Undang
Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.

115

Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2000.


Mustaqiem, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, FH UII Press, 2008.
Osborne, David & Ted Gabler, Mewirausahakan Birokrasi, PT Pustaka Binaman
Presindo, Jakarta 1996.
Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Soemitro, Rochmat, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, 1994
Cet.VIII, Eresco, Jakarta-Bandung, 1977.
Soemitro, Rochmat,Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco Bandung Hal 6.
Soemitro, Rony Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, PT.Ghalia
Indonesia Jakarta.
Suandy, Erly, Hukum Pajak, PT. Salemba Empat, Bandung. 2011. Edisi-5.
Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta 2008.
Syaukani, Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah, Gerbang Dayaku,
Yogyakarta, 2000.
Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, 2000,
Yogyakarta.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, tentang
Pemerintahan Daerah, Jakarta 1999.
Internet:
TEMPO Interaktif, Senin, 17 Januari 2011
http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/10-08-16

116

Anda mungkin juga menyukai