Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.K.

D DENGAN KASUS
COMBUSTIO GRADE II AB 3 % GRADE III 1,5%DI RUANG
BURN UNIT RSUP SANGLAH DENPASAR

OLEH

INDRA YATI KARIM


N201601075

CI INSTITUSI CI KLINIK

(.) (..)

STIKES MANDALA WALUYA KENDARI

PROGRAM STUDI NERS

TAHUN 2017
LAPORAN PENDAHULUAN LUKA BAKAR

A. Konsep Penyakit
1. Definisi

Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan


kontak dengan sumber panas seperti api, air (cairan) panas, bahan kimia, listrik dan
radiasi.
Luka bakar adalah bentuk cedera pada kulit akibat trauma oleh panas, listrik,
zat kimia atau zat radioaktif.
Cedera inhalasi adalah kejadian yang sering menyertai luka bakar, yang sering
mengakibatkan angka kematian yang tinggi (50-60%).
Cedera inhalasi merupakan penyebab utama kematian pada korban-korban
kebakaran. Diperkirakan separuh dari kematian ini seharusnya bisa dicegah dengan
alat pendeteksi asap. Cedera pulmoner diklasifikasikan menjadi beberapa kategori:
cedera saluran napas atas; cedera inhalasi di bawah glotis, yang mencakup keracunan
karbon monoksida; dan defek restriktif. Cedera saluran napas atas terjadi akibat panas
langsung atau edema. Keadaan ini bermanifestasi sebagai obstruksi-mekanis saluran
napas atas yang mencakup faring dan laring. Karena vaporisasi yang cepat dalam
traktus pulmonalis akan menimbulkan efek pendinginan, cedera panas langsung
biasanya tidak terjadi di bawah tingkat bronkus. Cedera saluran napas atas diatasi
dengan intubasi nasotrakeal atau endotrakeal yang dini.

2. Etiologi
Penyebab luka bakar:
a. Terbakar api langsung atau tidak langsung,
b. Pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia
c. Tersiram air panas banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.
d. Radiasi
(Brunner & Suddarth, 2002).

3. Klasifikasi Luka Bakar

a. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan dibagi atas:


1) Luka bakar derajat I: kerusakan pada lapisan epidermis dimana kulit tampak
kering, hiperemik berupa eritema tanpa bulae. Penyembuhan luka spontan
dalam waktu 5 10 hari.
2) Luka bakar derajat II: kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis yang
ditandai ada reaksi inflamasi disertai eksudasi, bulae, rasanya nyeri karena
ujung syaraf teriritasi, dasar luka berwarna merah atau pucat
Derajat II dibagi atas:
a) Derajat II dangkal (superfisial): kerusakan mengenai bagian superfisial dari
dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebasea, kelenjar
keringat masih utuh. Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 10 14
hari.
b) Derajat II dalam (Deep): kerusakan mengenai hampir seluruh dermis, organ
kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat dan sebasea sebagian besar
masih utuh. Penyembuhan lebih lama yaitu 1 bulan
3) Luka bakar derajat III: Kerusakan mengenai seluruh tebal dermis, organ-organ
kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat dan sebasea mengalami
kerusakan, tidak dijumpai bulae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu, terjadi
koagulasi protein yang menyebabkan eskar dan tidak dijumpainya rasa nyeri
karena ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan.
b. Berdasarkan luas luka bakar
Luka bakar secara umum digunakan rule of nine untuk orang dewasa yaitu luas
kepala dan leher, dada, punggung, bokong, ekstremitas atas kanan kiri, paha
kanan kiri, tungkai dan kaki kanan kiri, masing-masing 9% sisanya 1% adalah
genetalia.

4. Patofisiologi Luka Bakar

Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas kepada
tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik. Luka
bakar dapat dikelompokkan menjadi luka bakar termal, radiasi atau kimia. Destruksi
jaringan terjadi akibat koagulasi, denaturasi protein atau ionisasi isi sel. Kulit dan
mukosa saluran napas atas merupakan lokasi destruksi jaringan. Jaringan yang dalam,
termasuk organ visera, dapat mengalami kerusakan karena luka bakar elektrik atau
kontak yang lama dengan agens penyebab (burning agent). Nekrosis dan kegagalan
organ dapat terjadi.
Dalamnya luka bakar bergantung pada suhu agen penyebab luka bakar dan
lamanya kontak dengan agen tersebut. Sebagai contoh, pada kasus luka bakar tersiram
air panas pada orang dewasa, kontak selama 1 detik dengan air yang panas dari
shower dengan suhu 68,9C dapat menimbulkan luka bakar yang merusak epidermis
serta dermis sehingga terjadi cedera derajat-tiga (full-thickness injury). Pajanan
selama 15 menit dengan air panas yang suhunya sebesar 56,1 C mengakibatkan cede-
ra full-thickness yang serupa. Suhu yang kurang dari 44C dapat ditoleransi dalam
periode waktu yang lama tanpa menyebabkan luka bakar.
Perawatan luka bakar harus direncanakan menurut luas dan dalamnya luka
bakar; kemudian perawatannya dilakukan melalui tiga fase luka bakar, yaitu: fase
darurat atau resusitasi, fase akut atau intermediat dan fase rehabilitasi (Brunner &
Suddarth, 2002).
Pathway:
Respon Sistem Tubuh Terhadap Luka Bakar

a. Respons Sistemik
Perubahan patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama
awal periode syok luka-bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ
yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase
hiperdinamik serta hipermetabolik. Pasien yang luka bakarnya tidak melampaui 20%
dari luas total permukaan tubuh akan memperlihatkan respons yang terutama bersifat
lokal. Insidensi, intensitas dan durasi perubahan patofisiologik pada luka bakar
sebanding dengan luasnya luka bakar dengan respon maksimal terlihat pada luka
bakar yang mengenai 60% atau lebih dari luas permukaan tubuh. Kejadian sistemik
awa! sesudah luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamika akibat
hilangnya integritas kapiler dan kemudian terjadinya perpindahan cairan, natrium
serta protein dari ruang intravaskuler ke dalam ruang interstisial. Gambar 55-1
melukiskan proses patofisiologi pada luka bakar akut yang berat. Ketidakstabilan
hemodinamika bukan hanya melibatkan mekanisme kardiovaskuler tetapi juga
keseimbangan cairan serta elektrolit, volume darah, mekanisme pulmoner dan
pelbagai mekanisme lainnya.

b. Respons Kardiovaskuler
Curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang signifikan pada volume
darah terlihat dengan jelas. Karena berlanjutnya kehilangan cairan dan berkurangnya
volume vaskuler, maka curah jantung akan terus turun dan terjadi penurunan tekanan
darah. Keadaan ini merupakan awitan syok luka bakar. Sebagai respons, sistem saraf
simpatik akan melepaskan katekolamin yang meningkatkan resistensi perifer
(vasokonstriksi) dan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya vasokonstriksi pembuluh
darah perifer menurunkan curah jantung.
Resusitasi cairan yang segera dilakukan memungkinkan dipertahankannya
tekanan darah dalam kisaran normal yang rendah sehingga curah jantung membaik.
Meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat, tekanan pengisian
jantungtekanan vena sentral, tekanan arteri pulmonalis dan tekanan baji arteri
pulmonalis-tetap rendah selama periode syok luka-bakar. Jika resusitasi cairan tidak
adekuat, akan terjadi syok distributive.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada luka bakar yang kurang dari 30 %
luas total permukaan tubuh, maka gangguan integritas kapiler dan perpindahan cairan
akan terbatas pada luka bakar itu sendiri sehingga pembentukan lepuh dan edema
hanya terjadi di daerah luka bakar. Pasien luka bakar yang lebih parah akan
mengalami edema sistemik yang masif. Karena edema akan bertambah berat pada
luka bakar yang melingkar (sirkumferensial), tekanan terhadap pembuluh darah kecil
dan saraf pada ekstremitas distal menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi
iskemia. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (compartment syndrome).
Dokter harus melakukan tindakan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi
efek konstriksi dari jaringan yang terbakar.

c. Efek pada Cairan, Elektrolit, dan Volume Darah


Volume darah yang beredar akan menurun secara dramatis pada saat terjadi
syok luka-bakar. Di samping itu, Kehilangan cairan akibat evaporasi lewat luka bakar
dapat mencapai 3 hingga 5L atau lebih selama periode 24 jam sebelum permukaan
kulit yang terbakar ditutup.
Selama syok luka-bakar, respons kadar natrium seram terhadap resusitasi
cairan bervariasi. Biasanya hiponatremia (deplesi natrium) terjadi. Hiponatremia juga
sering dijumpai dalam minggu pertama fase akut karena air akan pindah dari ruang
interstisial ke dalam ruang vaskuler.
Segera setelah terjadi luka bakar, hiperkalemia (kadar kalium yang tinggi)
akan dijumpai sebagai akibat dari destruksi sel yang masif. Hipokalemia (deplesi
kalium) dapat terjadi kemudian dengan berpindahnya cairan dan tidak memadainya
asupan cairan.
Pada saat luka bakar, sebagian sel darah merah dihancurkan dan sebagian
lainnya mengalami kerusakan sehingga terjadi anemia. Kendati terjadi keadaan ini,
nilai hematokrit pasien dapat meninggi akibat kehilangan plasma. Kehilangan darah
selama prosedur pembedahan, perawatan luka dan pemeriksaan untuk menegakkan
diagnosis serta tindakan hemodialisis lebih lanjut turut menyebabkan anemia.
Transmisi darah diperlukan secara periodik untuk mempertahankan kadar hemoglobin
yang memadai yang diperlukan guna membawa oksigen. Abnormalitas koagulasi,
yang mencakup penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) dan masa pembekuan
serta waktu protrombin yang memanjang juga ditemukan pada luka bakar.

d. Respons Pulmoner
Pada luka bakar yang berat, konsumsi oksigen oleh jaringan tubuh pasien akan
meningkat dua kali lipat sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme dan respons
lokal (White, 1993). Untuk memastikan tersedianya oksigen bagi jaringan, mungkin
diperlukan suplemen oksigen.
Cedera inhalasi merupakan penyebab utama kematian pada korban-korban
kebakaran. Diperkirakan separuh dari kematian ini seharusnya bisa dicegah dengan
alat pendeteksi asap.
Cedera pulmoner diklasifikasikan menjadi beberapa kategori: cedera saluran
napas atas; cedera inhalasi di bawah glotis, yang mencakup keracunan karbon
monoksida; dan defek restriktif. Cedera saluran napas atas terjadi akibat panas
langsung atau edema. Keadaan ini bermanifestasi sebagai obstruksi-mekanis saluran
napas atas yang mencakup faring dan laring. Karena vaporisasi yang cepat dalam
traktus pulmonalis akan menimbulkan efek pendinginan, cedera panas langsung
biasanya tidak terjadi di bawah tingkat bronkus. Cedera saluran napas atas diatasi
dengan intubasi nasotrakeal atau endotrakeal yang dini.
Cedera inhalasi di bawah glotis terjadi akibat menghirup produk pembakaran
yang tidak sempurna atau gas berbahaya. Produk ini mencakup gas karbon
monoksida, sulfur oksida, nitrogen oksida, senyawa-senyawa aldehid, sianida,
amonia, klorin, fosgen, benzena dan halogen. Cedera langsung terjadi akibat iritasi
kimia jaringan paru pada tingkat alveoli. Cedera inhalasi di bawah glotis
menyebabkan hilangnya fungsi silia, hipersekresi, edema mukosa yang berat, dan
kemungkinan pula bronkospasme. Zat aktif permukaan (surfaktan) paru menurun
sehingga timbul atelektasis (kolapsnya paru). Ekspektorasi partikel-partikel karbon
dalam sputum merupakan tanda utama cedera inhalasi ini.
Karbon monoksida mungkin merupakan gas yang paling sering menyebabkan
cedera inhalasi karena gas ini merupakan produk-sampingan pembakaran bahan-
bahan organik dan dengan demikian akan terdapat dalam asap. Efek patofisiologiknya
ditimbulkan oleh hipoksia jaringan yang terjadi ketika karbon monoksida berikatan
dengan hemoglobin untuk membentuk karboksihemoglobin.
Indikator kemungkinan terjadinya kerusakan paru mencakup hal-hal berikut
ini:

1) Riwayat yang menunjukkan bahwa luka bakar terjadi dalam suatu daerah yang
tertutup
2) Luka bakar pada wajah atau leher
3) Rambut hidung yang gosong
4) Suara yang menjadi parau, perubahan suara, batuk yang kering, stridor, sputum
yang penuh jelaga
5) Sputum yang berdarah
6) Pernapasan yang berat atau takipnea (pernapasan yang cepat) dan tanda-tanda
penurunan kadar oksigen (hi-peksemia) yang lain
7) Eritema dan pembentukan lepuh pada mukosa oral atau faring
Komplikasi pulmoner yang dapat terjadi sekunder akibat cedera inhalasi
mencakup kegagalan akut respirasi dan ARDS (adult respiratory distress syndrome).
Kegagalan respirasi terjadi kalau derajat gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah
mengancam jiwa pasien. Intervensi yang harus segera dilakukan adalah intubasi dan
ventilasi mekanis (pemasangan respirator). Jika ventilasi independen terganggu oleh
ekskursi dada yang terhalang, eskaurotomi harus segera dikerjakan.

e. Respons Sistemik Lainnya


Fungsi renal dapat berubah sebagai akibat dari berkurangnya volume darah.
Destruksi sel-sel darah merah pada lokasi cedera akan menghasilkan hemoglobin
bebas dalam urin. Jika terjadi kerusakan otot (misalnya, akibat luka bakar listrik),
mioglobin akan dilepaskan dari sel-sel otot dan diekskresikan oleh ginjal. Penggantian
volume cairan yang memadai akan memulihkan aliran darah renal, meningkatkan laju
filtrasi glomerulus dan menaikkan volume urin. Bila aliran darah lewat tubulus renal
tidak memadai, hemoglobin dan mioglobin menyumbat tubulus renal sehingga timbul
komplikasi nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal.
Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar. Semua tingkat
respons imun akan dipengaruhi secara merugikan. Kehilangan integritas kulit
diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal, perubahan
kadar imunoglobulin serta komplemen serum, gangguan fungsi neutrofil, dan
penurunan jumlah limfosit (limfositopeniu). Imunosupresi membuat pasien luka bakar
berisiko tinggi untuk mengalami sepsis.
Hilangnya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk mengatur
suhunya. Karena itu pasien-pasien luka bakar dapat memperlihatkan suhu tubuh yang
rendah dalam beberapa jam pertama pasca-luka bakar, tetapi kemudian setelah
keadaan hipermetabolisme menyetel kembali suhu inti tubuh, pasien luka bakar akan
mengalami hipertermia selama sebagian besar periode pasca-luka bakar kendati tidak
terdapat infeksi.
Ada dua komplikasi gastrointestinal yang potensial, yakni: ileus paralitik
(tidak adanya peristalsis usus) dan uikus Curling. Berkurangnya peristalsis dan bising
usus merupakan manifestasi ileus paralitik yang terjadi akibat luka bakar. Distensi
lambung dan nausea dapat mengakibatkan vomitus kecuali jika segera dilakukan
tindakan dikompresi lambung (dengan pemasangan sonde lambung). Pendarahan
lambung yang terjadi sekunder akibat sires fisiologik yang masif dapat ditandai oleh
darah okulta dalam feses, regurgitasi muntahan seperti bubuk kopi dari dalam
lambung, atau vomitus yang berdarah. Semua tanda ini menunjukkan erosi lambung
atau duodenum ulkus Curling (Brunner & Suddarth, 2002).

5. Komplikasi Luka Bakar

Komplikasi yang sering terjadi pada luka bakar adalah:


a. Hipertrofi jaringan parut
Terbentuk hipertrofi jaringan parut dipengaruhi oleh:
1) Kedalaman luka bakar
2) Sifat kulit
3) Usia klien
4) Lamanya waktu penutupan
Jaringan parut terbentuk secara aktif pada 6 bulan post luka bakar dengan warna awal
merah muda dan menimbulkan rasa gatal. Pembentukan jaringan parut terus berlangsung
dan warna berubah merah, merah tua dan sampai coklat muda dan terasa lebih lembut
b. Kontraktur
Kontraktur merupakan komplikasi yang sering menyertai luka bakar serta
menimbulkan gangguan fungsi pergerakan. Beberapa hal yang dapat mencegah atau
mengurangi terjadinya kontraktor antara lain:
1) Pemberian posisi yang baik dan benar sejak dini
2) Latihan ROM baik pasif maupun aktif
3) Presure garmen yaitu pakaian yang dapat memberikan tekanan yang bertujuan
menekan timbulnya hipertrofi scar (Brunner & Suddarth, 2002).
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Hitung darah lengkap
Peningkatkan Ht awal menunjukkan hemokonsentrasi sehubungan dengan
perpindahan/kehilangan cairan. Selanjutnya menurunkan Ht dan SDM dapat terjadi
sehubungan dengan kerusakan oleh panas terhadap endotelium pembuluh darah.
b. SDP
Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan kehilangan sel pada sisi luka dan
respons inflamasi terhadap cedera.
c. GDA
Dasar penting untuk kecurigaan cedera inhalasi. Penurunan PaCh/peningkatan PaCO2
mungkin terlihat pada retensi karbon monoksida. Asidosis dapat terjadi sehubungan
dengan penurunan fungsi ginjal dan kehilangan mekanisme kompensasi pernapasan.
d. COHbg (karboksi hemoglobin)
Peningkatan lebih dari 15% mengindikasikan keracunan karbon monoksida/cedera
inhalasi.
e. Elektrolit serum
Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cedera jaringan/kerusakan
SDM dan penurunan fungsi ginjal; hipokalemia dapat terjadi bila mulai diuresis;
magnesium mungkin menurun. Natrium pada awal mungkin menurun pada
kehilangan air; hipernatremia dapat terjadi selanjutnya saat terjadi konservasi ginjal.
f. Natrium urine random
Lebih besar dari 20 mEg/L mengindikasikan kelebihan resusitasi cairan; kurang dari
10 mEq/L menduga ketidakadekuatan resusitasi cairan.
g. Alkalin fosfat
Peningkatan sehubungan dengan perpindahan cairan interstisial atau gangguan pompa
natrium.
h. Glukosa serum
Peninggian menunjukkan respons stres.
i. Albumin serum
Rasio albumin atau globulin mungkin terbalik sehubungan dengan kehilangan protein
pada edema cairan.
j. BUN atau kreatinin
Peninggian menunjukkan penurunan perfusi/fungsi ginjal; namun kreatinin dapat
meningkat karena cedera jaringan.
k. Urine
Adanya albumin, Hb, dan mioglobulin menunjukkan kerusakan jaringan dalam dan
kehilangan protein (khususnya terlihat pada luka bakar listrik serius). Warna hitam,
kemerahan pada urine sehubungan dengan mioglobin. Kultur luka: mungkin diambil
untuk data dasar dan diulang secara periodik.
l. Foto ronsen dada
Dapat tampak normal pada pascaluka bakar dini meskipun dengan cedera inhalasi;
namun cedera inhalasi yang sesungguhnya akan ada saat progresif tanpa foto dada
(SDPD).
m. Bronkoskopi serat optic
Berguna dalam diagnosa luas cedera inhalasi; hasil dapat meliputi edema, perdarahan,
dan/atau tukak pada saluran pernapasan alas.
n. Loop aliran volum
Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek/luasnya cedera inhalasi.
o. Skan paru
Mungkin dilakukan untuk menentukan luasnya cedera inhalasi.
p. EKG
Tanda iskemia miokardial/disritmia dapat terjadi pada luka bakar listrik.
q. Fotografi luka bakar
Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar selanjutnya (Doenges, 2000).

B. Penatalaksanaan Medis
1. Perawatan di Tempat Kejadian
Prioritas pertama dalam perawatan di tempat kejadian bagi seorang korban luka bakar
adalah mencegah agar orang yang menyelamatkan tidak turut mengalami luka bakar.
Langkah kerja:
a. Mematikan api
Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api misalnya dengan
menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan pasokan
oksigen bagi api yang menyala. Korban dapat mengusahakan dengan cepat
menjatuhkan diri dan berguling dan mencegah meluasnya bagian pakaian yang
terbakar. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri missal
dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menceburkan diri ke air dingin
atau melepaskan baju yang tersiram air panas. Jika sumber luka bakarnya adalah
arus listrik, sumber listrik harus dipadamkan.
b. Mendinginkan luka bakar
Proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi
berlangsung terus setelah api dipadamkan sehingga destruksi tetap meluas. Proses
ini dapat dihentikan dengan mendinginkan daerah yang terbakar dan
mempertahankan suhu dingin ini pada jam pertama. Oleh karena itu merendam
bagian yang terbakar selama lima belas menit pertama dalam air sangat
bermanfaat untuk menurunkan suhu jaringan sehingga kerusakan lebih dangkal
dan diperkecil. Dengan demikian luka yang sebenarnya menuju derajat II dapat
dihentikan pada derajat I atau luka yang menjadi derajat III dihentikan pada
tingkat I atau II. Pencelupan atau penyiraman dapat dilakukan dengan air apa saja
yang dingin sekurang-kurangnya 15 menit.
c. Melepaskan benda penghalang
Meskipun pakaian yang menempel pada luka bakar dapat dibiarkan,
pakaian lain dan semua barang perhiasan harus segera dilepaskan untuk
melakukan penilaian serta mencegah terjadinya kontriksi sekunder akibat edema
yang timbul dengan cepat.
d. Menutup luka bakar
Luka bakar harus ditutup secepat mungkin untuk memperkevil
kemungkinan kontaminasi bakteri dan mengurangi nyeri dengan mencegah aliran
udara agar tidak mengenai permukaan kulit yang terbakar.
e. Mengirigasi Luka bakar kimia
Luka bakar kimia akibat bahan korosif harus segera dibilas dengan air
mengalir. Jika mengenai mata harus segera dicuci dengan air bersih yang sejuk.
ABC pada semua perawatan luka bakar selama periode awal pasca-luka bakar,
yaitu:
1) Airway (saluran napas)
2) Breathing (pernapasan)
3) Circulation/sirkulasi darah (dan Cervical spine immobilization/fiksasi vertebra
cervikalis jika diperlukan).
Airway dan breathing terapi harus segera dilakukan. Jika oksigen dengan
konsentrasi yang tinggi itu tidak dapat disediakan dalam kondisi emerjensi, pemberian
oksigen lewat masker atau kanula hidung merupakan tindakan pertama yang harus
dikerjakan. Apabila tersedia petugas serta peralatan yang memenuhi syarat dan
bilamana korbannya menderita gangguan pernapasan yang berat atau edema saluran
napas, penolong dapat memasang pipa endotrakeal dan memulai ventilasi manual.
Sistem sirkulasi harus pula dinilai dengan segera. Denyut apikal dan tekanan
darah dimonitor dengan sering. Takikardia (frekuensi jantung yang abnormal cepat)
dan hipotensi ringan diperkirakan terjadi pada pasien yang tidak ditangani segera
sesudah terjadinya luka bakar. Pada saat yang sama, survei sekunder dari kepala
hingga ujung jari kaki pasien untuk menemukan cedera lainnya yang berpotensi
menimbulkan kematian harus dilaksanakan.
Pencegahan syok pada pasien luka bakar yang luas akan memperbaiki
prognosis secara mengesankan. Karena itu, pemberian infus cairan dan elektrolit
harus segera dimulai.
2. Penatalaksanaan Medis Darurat
Prioritas pertama dalam ruang darurat tetap ABC (airway, breathing dan
circulation). Untuk cedera paru yang ringan, udara pernapasan dilembabkan dar.
pasien didorong supaya batuk sehingga sekret saluran napas bisa dikeluarkan dengan
pengisapan. Untuk situasi yang lebih parah diperlukan pengeluaran sekret dengan
pengisapan bronkus dan pemberian preparat bronkodilator serta mukolitik. Jika terjadi
edema pada jalan napas, intubasi endotrakeal mungkin merupakan indikasi.
Continuous positive airway pressure dan ventilasi mekanis mungkin pula diperlukan
untuk menghasilkan oksigenasi yang adekuat.

Sesudah tercapai status respirasi dan sirkulasi yang adekuat, perhatian harus
diberikan kepada luka bakarnya sendiri. Semua pakaian dan perhiasan yang
dikenakan pasien dilepas. Pembilasan luka bakar kimia dengan air diteruskan.

Kateter urin indwelling dipasang untuk memungkinkan pemantauan haluaran


urin dan faal ginjal yang lebih akurat. Nilai-nilai dasar untuk tinggi dan berat badan,
gas darah arteri, hematokrit, elektrolit, golongan darah serta hasil pencocokan-silang
(cross-matching), urinalisis, dan foto rontgen toraks harus didapat. Jika pasien
menderita luka bakar listrik, pemeriksaan elektiokardiogram dasar harus dilakukan.
Karena luka bakar merupakan luka yang terkontaminasi, tindakan profilaksis tetanus
perlu dilakukan jika status imunisasi pasien tidak jelas.
Meskipun fokus utama perawatan selama fase darurat berupa stabilisasi fisik,
perawat harus memperhatikan pula kebutuhan psikologis pasien dan keluarganya.

3. Pemindahan ke Unit Luka Bakar


Dalam dan luasnya luka bakar perlu dipertimbangkan dalam menentukan
apakah pasien harus dipindahkan ke unit atau rumah sakit khusus luka bakar. Jika
pasien akan dipindahkan ke unit atau rumah sakit khusus luka bakar, tindakan berikut
ini harus dilakukan sebelum pemindahan pasien: selang infus harus terpasang dengan
kecepatan tetesan yang diperlukan untuk menghasilkan haluaran urin sedikitnya 30 ml
per jam; saluran napas yang paten (lapang) dipastikan; terapi yang adekuat untuk
meredakan nyeri dilakukan; dari sirkulasi perifer yang memadai dihasilkan pada
setiap ekstremitas yang terbatas. Luka ditutup dengan balutan steril yang kering, dan
kenyamanan serta kehangatan tubuh pasien harus dijaga. Penilaian serta penanganan
pasien dicatat, dan informasi ini harus disampaikan kepada petugas unit luka bakar.

4. Penatalaksanaan Kehilangan Cairan dan Syok


Setelah menangani kesulitan pernapasan, kebutuhan yang paling mendesak
adalah mencegah terjadinya syok ireversibel dengan menggantikan cairan dan
elektrolit yang hilang. Selang infus dan kateter urin harus sudah terpasang pada
tempatnya sebelum resusitasi cairan dimulai. Hasil pengukuran berat badan dan tes
laboratorium juga dicatat. Semua parameter ini harus dipantau dengan ketat dalam
periode segera sesudah terjadinya luka bakar (periode resusitssi).

Pedoman Rumus untuk Penggantian Cairan Pada Pasien Luka Bakar:

a. Rumus Konsensus
Larutan Ringer Laktat (atau larutan saline seimbang lainnya): 2-4 ml X kg BB X
% luas luka baker.

Separuh diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam


selanjutnya.

b. Rumus Evans
1) Koloid: 1ml X kg BB X % luas luka baker
2) Elektrolit (saline): 1ml X kg BB X % luas luka baker
3) Glukosa (5% dalam air): 2000ml untuk kehilangan insensible
Hari 1: Separuh diberikan dalam 8 jam pertama, separuh sisanya dalam 16 jam
selanjutnya.
Hari 2: Separuh dari cairan elektrolit dan koloid yang diberikan pada hari
sebelumnya, seluruh penggantian cairan insensible.
Maksimum 10.000 selama 24 jam. Luka baker derajat II dan III yang melebihi
50% luas permukaan tubuh dihitung berdasarkan 50% luas permukaan tubuh.

c. Rumus Brooke Army


1) Koloid: 0,5ml X kg BB X % luas luka baker
2) Elektrolit (larutan ringer laktat): 1,5 ml X kg BB X % luas luka baker
3) Glukosa (5% dalam air): 2000ml untuk kehilangan insensible
Hari 1: Separuh diberikan dalam 8 jam pertama, separuh sisanya dalam 16 jam
selanjutnya.

Hari 2: Separuh dari cairan koloid, separuh elektrolit, seluruh penggantian


cairan insensible.

Luka baker derajat II dan III yang melebihi 50% luas permukaan tubuh
dihitung berdasarkan 50% luas permukaan tubuh.

d. Rumus Parkland/Baxter
Larutan ringer laktat: 4ml X kg BB X luas luka baker

Hari 1: Separuh diberikan dalam 8 jam pertama, separuh sisanya dalam 16 jam
selanjutnya.

Hari 2: Bervariasi. Ditambahkan koloid

Larutan Salin Hipertonik

Larutan pekat natrium klorida dan laktat dengan konsentrasi 250-300 mEq
natrium perLiter yang diberikan pada kecepatan yang cukup untuk
mempertahankan volume keluaran urin yang diinginkan. Jangan meningkatkan
kecepatan infuse selama 8 jam pertama pasca luka baker. Kadar natrium serum
harus dipantau dengan ketat. Tujuan: meningkatkan kadar natrium serum dan
osmolalitas untuk mengurangi edema dan mencegah komplikasi paru.

e. Obat-obatan
Antibiotik sistemik spectrum luas diberikan untuk mencegah infeksi. Yang
banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang efektif terhadap
pseudomonas. Bila ada infeksi, antibiotic diberikan berdasarkan hasil biakan dan
uji kepekaan kuman. Antasida diberikan untuk pencegahan tukak stress dan
antipiretik diberikan bila suhu tinggi.

Nutrisi harus diberikan cukup untuk menutup kebutuhan kalori dan


keseimbangan nitrogen yang negative pada fase katabolisme, yaitu sebanyak
2500-3000 kalori sehari dengan kadar protein tinggi. Kalau perlu makanan
diberikan melalui pipa lambung atau ditambah parenteral.

Penderita yang mulai stabil keadaannya perlu fisioterapai untuk


memperlancar peredaran darah dan mencegah kekakuan sendi.

Penderita luka baker harus dipantau terus-menerus, keberhasilan


pemberian cairan dapat dilihat dari diuresis normal yaitu sekurang-kurangnya
1ml/kgBB/jam. Yang penting juga apakah sirkulasi normal/tidak.

f. Debridemen
Debridemen merupakan sisi lain pada perawatan luka bakar. Tindakan ini
memiliki dua tujuan:

1) Untuk menghilangkan jaringan yang terkontaminasi oleh bakteri dan benda


asing, sehingga pasien dilindungi terhadap kemungkinan invasi bakteri
2) Untuk menghilangkan jaringan yang sudah mati atau eskar dalam persiapan
bagi graft dan kesembuhan luka
Sesudah terjadi luka bakar derajat-dua dan tiga, bakteri yang terdapat pada
antarmuka jaringan yang terbakar dan jaringan viabel yang ada di bawahnya
secara bersng-sur-angsur. akan mencairkan serabut-serabut kolagen yang
menahan eskar pada tempatnya selama minggu pertama atau kedua pasca-luka
bakar.
Macam-macam debridemen:
1) Debridemen Alami. Pada peristiwa debridemen alami, jaringan mati akan
memisahkan diri secara spontan dari jaringan viabel yang ada di bawahnya.
Namun, pemakaian preparat topikal antibakteri cenderung memperlambat
proses pemisahan eskar yang alami ini.
2) Debridemen Mekanis. Debridemen mekanis meliputi penggunaan gunting
bedah dan forsep untuk memisahkan dan mengangkat eskar.
3) Debridemen Bedah. Debridemen bedah merupakan tindakan operasi dengan
melibatkan eksisi primer seluruh tebal kulit sampai fasia (eksisi tangensiai)
atau dengan mengupas lapisan kulit yang terbakar secara bertahap hingga
mengenai jaringan yang masih viabel dan berdarah.

g. Graft
Jika lukanya dalam (full-thickness) atau sangat luas, reepitelialisasi
spontan tidak mungkin terjadi. Karena itu diperlukan graft (pencakokan) kulit
dari pasien sendiri (autograft). Daerah-daerah utama graft kulit mencakup daerah
wajah dengan alasan kosmetik dan psikologik; tangan dan bagian fungsional
lainnya seperti kaki; dan daerah-daerah yang meliputi persendian. Graft memung-
kinkan pencapaian kemampuan fungsional yang lebih dini dan akan mengurangi
kontraktur. Kalau luka bakarnya sangat luas, daerah dada dan abdomen dapat
dicangkok terlebih dahulu untuk mengurangi luas luka bakar.
Selama proses kesembuhan luka akan terbentuk jaringan granulasi.
Jaringan ini akan mengisi ruangan yang ditimbulkan oleh luka, membentuk barier
yang merintangi bakteri dan berfungsi sebagai dasar (bed) untuk pertumbuhan sel
epitel.

h. Autograft
Autograft berasal dari kulit pasien sendiri. Bentuk cangkokan ini bisa
berupa split-thickness, full-thickness, pedicle flaps atau epitelium yang dikultur.
Full-thickness dan pedicle flaps lebih sering digunakan untuk pembedahan
rekonstruksi, dan dilaksanakan beberapa bulan atau tahun sesudah terjadinya
cedera pertama.
Penggunaan epitelium yang dikultur masih berada dalam tahap eksprimen
pada beberapa rumah sakit khusus luka bakar. Secara mendasar, prosedur ini
meliputi biopsi kulit pasien di daerah yang tidak terbakar. Kemudian keratinosit
diisolasi dan sel-sel epitel dikultur dalam laboratorium. Sampel sel epitel yang
asli dapat mengadakan multiplikasi hingga ukurannya mencapai 10.000 kali
ukuran sampel semula dalam tempo 30 hari. Sel-sel ini kemudian ditempelkan
pada luka bakar. Prosedur ini telah dilaporkan dengan berbagai derajat
keberhasilan tetapi hasil-hasil tersebut cukup menggembirakan (Wong &
Munster, 1993).

i. Kelainan pada Penyembuhan Luka


Kelainan-penyembuhan luka pada pasien luka bakar terjadi akibat proses
penyembuhan yang secara abnormal berlebihan atau akibat pembentukan jaringan
baru yang tidak memadai Pembentukan parut yang hipertrofik dan keloid terjadi
akibat kesembuhan yang abnormal dan berlebihan.
1) Parut.
Parut (sikatriks) yang hipertrofik dan kontraktur luka lebih besar
kemungkinannya untuk terjadi jika luka bakar yang primer melampaui tingkat
lapisan dermis yang dalam. Kesembuhan luka bakar yang dalam ini terjadi
akibat penggantian integumen yang normal dengan jaringan yang secara
metabolik sangat aktif sehingga kurang mengandung arsitektur kulit yang
normal. Dalam lapisan kolagen di bawah epilelium terdapat banyak sel
fibroblast yang mengalami proliferasi secara bertahap. Sel-sel miofibroblast
yang memiliki kemampuan untuk berkontraksi juga terdapat dalam luka yang
immatur. Ketika unsur-unstir ini berkontraksi, serabut kolagen yang
normalnya terletak dalam berkas yang datar cenderung untuk membentuk
corak yang bergelombang. Akhirnya berkas kolagen tersebut menghasilkan
penampakan super-koil dan terbentuk nodul-nodul kolagen. Jaringan parut
berwarna sangat merah (karena sifat hipervaskularitas-nya), menonjol dan
keras. Penanganan parut terutama dilaksanakan dalam fase rehabilitasi sesudah
luka bakarnya menutup. Parut yang hipertrofik dapat menyebabkan kontraktur
yang hebat pada persendian yang terkena. Namun demikian, parut ini hanya
terbatas pada daerah luka bakar dan secara berangsur-angsur akan mengalami
regresi dengan berlalunya waktu.
2) Keloid
Pada sebagian pasien yang lain, massa jaringan parut yang besar dan
bertumpuk akan terjadi dan dapat meluas sampai di luar permukaan luka.
Massa ini dinamakan koloid. Keloid cenderung ditemukan pada orang yang
kulitnya berpigmen (berwarna gelap), tumbuh di luar tepi luka dan lebih besar
kemungkinannya untuk timbul kembali sesudah dilakukan eksisi.
a. Kegagalan untuk Sembuh
Kegagalan luka untuk sembuh dapat disebabkan oleh banyak faktor yang
mencakup infeksi dan nutrisi yang tidak adekuat. Kadar albumin serum di
bawah 2 gm/dl biasanya menjadi salah satu faktor yang mengganggu
kesembuhan pada pasien luka bakar.
b. Kontraktur
Kontraktur merupakan masalah lain yang dikhawatirkan terjadi ketika luka
bakarnya sembuh. Jaringan tubuh yang terbakar akan memendek karena gaya
yang ditimbulkan oleh sel-sel fibroblast dan fleksi otot dalam proses
kesembuhan luka yang alami. Gaya lawan yang ditimbulkan oleh bidai, traksi
dan pengaturan posisi serta latihan gerak yang bertujuan harus digunakan
untuk melawan deformitas pada luka bakar yang mengenai persendian.

TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN LUKA BAKAR


1. Pengkajian
a. AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Tanda: Penurunan kekuatan, tahanan.
Keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit. Gangguan massa
otot, perubahan tonus.
b. SIRKULASI
Tanda: Hipotensi (syok).
(dengan cederaluka bakar lebih dari 20% APTT):
Penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera;
vasokonstriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan
dingin (syok listrik).
Takikardia (syok/ansietas/nyeri).
Disritmia (syok listrik).
Pembentukan edema jaringan (semua luka bakar).
c. INTEGRITAS EGO
Gejala: Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda: Ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
d. ELIMINASI
Tanda: Haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat. Warna mungkin
hitam kemerahan bila terjadi mioglobin, mengindikasikan kerusakan
otot dalam.
Diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam
sirkulasi).
Penurunan bising usus/tak ada, khususnya pada luka bakar kutaneus
lebih besar dari 20% sebagai stres penurunan motilitas/peristaltik
gastrik.
e. MAKANAN/CAIRAN
Tanda: Edema jaringan umum.
Anoreksia, mual/muntah.
f. NEUROSENSORI
Gejala: Area kebas, kesemutan.
Tanda: Perubahan orientasi, afek, perilaku.
Penurunan refleks tendon dalam (RTD) pada cedera ekstremitas.
Aktivitas kejang (syok listrik).
Laserasi korneal, kerusakan retinal, penurunan ketajaman penglihatan
(syok listrik).
Ruptur membran timpanik (syok listrik).
Paralisis (cedera listrik pada aliran saraf).
g. NYERI/KENYAMANAN
Gejala: Berbagai nyeri, contoh luka bakar derajat pertama secara ekstrem
sensitif untuk disentuh, ditekan, gerakan udara, dan perubahan suhu;
luka bakar ketebalan sedang derajat kedua sangat nyeri, sementara
respons pada luka bakar ketebalan derajat kedua tergantung pada
keutuhan ujung saraf; luka bakar derajat tiga tidak nyeri.
h. PERNAPASAN
Gejala: Terkurung dalam ruang tertutup, terpajan lama (kemungkinan cedera
inhalasi).
Tanda: Serak, batuk mengi, partikel karbon dalam sputum, ketidakmampuan
menelan sekresi oral, dan sianosis, indikasi cedera inhalasi.
Pengembangan torak mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar
dada.
Jalan napas atas stridor/mengi (obstruksi sehubungan dengan
laringospasme, edema laringeal)
Bunyi napas: gemericik (edema paru), stridor (edema laringeal). sekret
jalan napas dalam (ronki).
i. KEAMANAN
Tanda: Kulit: Umum: Destruksi jaringan dalam mungkin tidak terbukti selama
3-5 hari sehubungan dengan proses trombus mikrovaskuler pada
beberapa luka.
Area kulit tak terbakar mungkin dingin/lembab, pucat, dengan
pengisian kapiler lambat pada adanya penurunan curah jantung
sehubungan dengan kehilangan cairan/status syok
Cedera api: Terdapat area cedera campuran dalam sehubungan
dengan vanase intensitas panas yang dihasilkan bekuan terbakar. Bulu
hidung gosong; mukosa hidung dan mulut kering, merah; lepuh pada
faring posterior; edema lingkar mulut dan/atau lingkar nasal
Cedera kimia: Tampak luka bervariasi sesuai agen penyebab.
Kulit mungkin coklat kekuningan dengan tekstur seperti kulit samak
halus; lepuh, ulkus, nekro sis, atau jaringan parut tebal. Cedera secara
umum lebih dalam dari tampaknya secara perkutan dan kerusakan
jaringan dapat berlanjut sampai 72 jam setelah cedera.
Cedera listrik: Cedera kutaneus eksternal biasanya lebih sedikit dari di
bawah nekrosis. Penampilan luka bervariasi dapat meliputi luka aliran
masuk/keluar (eksplosif), luka bakar dari gerakan aliran pada
proksimal tubuh tertutup, dan luka bakar termal sehubungan dengan
pakaian terbakar.
Adanya fraktur/dislokasi (jatuh, kecelakaan sepeda motor; kontraksi
otot tetanik sehubungan dengan syok listrik).
j. PENYULUHAN/PEMBELAJARAN
Pertimbangan Rencana Pemulangan:
DRG menunjukkan rerata lama dirawat: Tergantung pada
beratnya dan terlibatnya sistem organ.
Memerlukan bantuan untuk pengobatan, perawatan luka/bahan,
aktivitas perawatan diri, tugas pemeliharaan rumah, transportasi,
keuangan, konsul kejuruan, perubahan susunan rumah atau fasilitas
tempat tinggal selain itu rehabilitasi lama (Marlyn Doenges, 2000).
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

a. Defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan kebocoran kapiler dan


perpindahan cairan dari intravaskuler ke ruang interstitiel.
Tujuan: pemulihan cairan optimal dan keseimbanganelketrolit serta perrfusi organ
vital.
Intervensi:
1) Pantau tanda-tanda vital
2) Pantau dan catat input dan output cairan
3) Berikan pengganti cairan intravena dan elektrolit
4) Awasi pemeriksaan laboratorium (hemoglobin, hematokrit, elektrolit)
b. Resiko tinggiinfeksi berhubungan dengan kerusakan barier kulit, kerusakan
respon imun, prosedur invasif.
Tujuan : mencegah terjadinya infeksi
Intervensi:
1) Kaji adanya tanda-tanda infeksi
2) Terapkan tehnik aseptik dalam perawatan luka
3) Pertahankan personal hygiene pasien
4) Ganti balutan dan bersihkan area luka bakar
5) Kaji tanda-tanda vital dan leukosit
6) Kolaborasi pemberian antibiotik
c. Gangguan nutrisi kurang darikebutuhan tubuh berhubungan dengan status
hipermetabolik, katabolisme protein.
Tujuan : masukan nutrisi adekuat
Intervensi:
1) Pertahankan jumlah kalori ketat
2) Berikan makanan sedikittapi sering
3) Timbang berat badan tiap hari
4) Berikan diit tinggi protein dan kalori
5) Kolaborasi dengan ahli gizi
d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan trauma kerusakan permukaan kulit
Tujuan : menunjukkan regresi jaringan, mencapai penyembuhan yang cepat
Intervensi:
1) Kaji atau catat ukuran, warna, kedalaman luka terhadap iskemik
2) Berikan perawatanluka yang tepat
3) Pertahankan tempat tidur bersih dan kering
4) Pertahanklan masukan cairan 2.500-3.000 mL/hari
5) Dorong keluarga untuk membantu dalam perawatan diri
e. Nyeriakut berhubungan dengan kerusakan kulit/aringan
Tujuan : nyeri berkurang/terkontrol, ekspresi wajah rileks
Intervensi :
1) Kaji terhadap keluhan nyeri lokasi, karakteristik, dan intensitas
2) Aarkan tehnik relaksasi
3) Pertahankan suhu lingkungan yang nyaman
4) Jelaskan setiap prosedur tindakan pada pasien
5) Kolaborasi pemberiananalgetik

3. Evaluasi
Hasil yang Diharapkan:

1. Mencapai keseimbangan cairan yang optimal


a. Mempertahankan asupan serta keluaran cairan dan berat badan yang
mempunyai korelasi dengan pola yang diharapkan
b. Memperlihatkan tanda-tanda vital, CVP, tekanan arteri pulmonalis dan
tekanan baji (wedge pressure) yang tetap berada dalam batas-batas yang
direncanakan
c. Memperlihatkan peningkatan haluaran urin sebagai reaksi terhadap pemberian
diuretik dan preparat vasoaktif
d. Memiliki frekuensi denyut jantung yang kurang dari 110/menit dengan irama
sinus yang normal
2. Tidak mengalami infeksi lokal maupun sistemik
a. Memperlihatkan hasil pemeriksaan kultur dengan jumlah bakteri yang
minimal
b. Memperlihatkan hasil pemeriksaan kultur sputum dan urin yang normal.
3. Memperlihatkan status nutrisi yang anabolik
a. Mengalami kenaikan berat badan setiap hari sesudah sebelumnya
menunjukkan penurunan awal yang terjadi sekunder karena diuresis cairan dan
tidak adanya asupan makanan atau cairan per oral
b. Tidak memperlihatkan tanda-tanda defisiensi protein, vitamin atau mineral
c. Memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan lewat asupan per oral
d. Turut berpartisipasi dalam memilih makanan yang mengandung nutrien yang
dipreskripsikan
e. Memperlihatkan kadar protein serum yang normal
4. Memperlihatkan perbaikan integritas kulit
a. Mempertahankan kulit yang secara unium tampak utuh dan bebas dari infeksi,
dekubitus serta cedera.
b. Memperlihatkan daerah-daerah luka terbuka yang berwarna merah muda,
mengalami reepitelialisasi dan bebas dari infeksi
c. Memperlihatkan lokasi donor (tempat cangkokan kulit diambil) yang bersih
dan sedang berada dalam proses kesembuhan
d. Sudah memperlihatkan luka yang sembuh, teraba lunak dan halus
e. Memperlihatkan kulit yang licin dan elastis
5. Mengalami nyeri yang minimal
a. Memerlukan preparat analgelik hanya untuk aktivitas fisioterapi atau
perawatan luka yang spesifik
b. Melaporkan nyeri yang minimal
c. Tidak memperlihatkan tanda-tanda fisiologik nonverbal yang menunjukkan
terdapatnya nyeri yang sedang atau berat.
d. Menggunakan tindakan untuk mengendalikan nyeri seperti inhalasi nitrous
oksida, teknik relaksasi, imajinasi dan distraksi untuk mengatasi serta
menghilangkan gangguan rasa nyaman
e. Dapat tidur tanpa terganggu oleh rasa nyeri
f. Melaporkan bahwa kulit terasa nyaman tanpa rasa gatal atau kencang
6. Memperlihatkan mobilitas fisik yang optimal
a. Memperbaiki kisaran gerak pada sendi setiap hari
b. Memperlihatkan kisaran gerak pra-luka bakar pada semua sendi
c. Tidak mengalami tanda-tanda kalsifikasi di sekitar sendi
d. Turut berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
7. Tidak mengalami komplikasi
a. Memperlihatkan paru-paru yang terdengar bersih pada auskultasi
b. Tidak memperlihatkan dispnea atau ortopnea dan dapat bernapas dengan bebas
ketika berdiri, duduk serta berbaring
c. Tidak memperlihatkan bunyi jantung S3 atau St atau distensi vena jugularis
d. Menunjukkan haluaran urin, CVP, tekanan, arteri pulmonalis, tekanan baji
serta curah jantung yang berada dalam batas-batas normal
e. Memperlihatkan hasil pemeriksaan kultur darah, sputum dan urin yang normal
f. Mempertahankan nilai gas darah arteri yang berada dalam batas-batas normal
g. Memiliki kelenturan paru yang normal
h. Tidak mengalami kerusakan pada organ viseral
i. Memiliki irama jantung yang stabil (Brunner & Suddarth, 2002).
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Jakarta : AGC.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) Rencana Asuhan
Keperawatan, Jakarta : EGC.

Guyton & Hall (1997) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta : EGC.

Price, S & Wilson, L. M. (1995) Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit,Jakarta : EGC.

Sudoyo Aru, dkk (2006) Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai