D DENGAN KASUS
COMBUSTIO GRADE II AB 3 % GRADE III 1,5%DI RUANG
BURN UNIT RSUP SANGLAH DENPASAR
OLEH
CI INSTITUSI CI KLINIK
(.) (..)
TAHUN 2017
LAPORAN PENDAHULUAN LUKA BAKAR
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
2. Etiologi
Penyebab luka bakar:
a. Terbakar api langsung atau tidak langsung,
b. Pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia
c. Tersiram air panas banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.
d. Radiasi
(Brunner & Suddarth, 2002).
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas kepada
tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik. Luka
bakar dapat dikelompokkan menjadi luka bakar termal, radiasi atau kimia. Destruksi
jaringan terjadi akibat koagulasi, denaturasi protein atau ionisasi isi sel. Kulit dan
mukosa saluran napas atas merupakan lokasi destruksi jaringan. Jaringan yang dalam,
termasuk organ visera, dapat mengalami kerusakan karena luka bakar elektrik atau
kontak yang lama dengan agens penyebab (burning agent). Nekrosis dan kegagalan
organ dapat terjadi.
Dalamnya luka bakar bergantung pada suhu agen penyebab luka bakar dan
lamanya kontak dengan agen tersebut. Sebagai contoh, pada kasus luka bakar tersiram
air panas pada orang dewasa, kontak selama 1 detik dengan air yang panas dari
shower dengan suhu 68,9C dapat menimbulkan luka bakar yang merusak epidermis
serta dermis sehingga terjadi cedera derajat-tiga (full-thickness injury). Pajanan
selama 15 menit dengan air panas yang suhunya sebesar 56,1 C mengakibatkan cede-
ra full-thickness yang serupa. Suhu yang kurang dari 44C dapat ditoleransi dalam
periode waktu yang lama tanpa menyebabkan luka bakar.
Perawatan luka bakar harus direncanakan menurut luas dan dalamnya luka
bakar; kemudian perawatannya dilakukan melalui tiga fase luka bakar, yaitu: fase
darurat atau resusitasi, fase akut atau intermediat dan fase rehabilitasi (Brunner &
Suddarth, 2002).
Pathway:
Respon Sistem Tubuh Terhadap Luka Bakar
a. Respons Sistemik
Perubahan patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama
awal periode syok luka-bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ
yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase
hiperdinamik serta hipermetabolik. Pasien yang luka bakarnya tidak melampaui 20%
dari luas total permukaan tubuh akan memperlihatkan respons yang terutama bersifat
lokal. Insidensi, intensitas dan durasi perubahan patofisiologik pada luka bakar
sebanding dengan luasnya luka bakar dengan respon maksimal terlihat pada luka
bakar yang mengenai 60% atau lebih dari luas permukaan tubuh. Kejadian sistemik
awa! sesudah luka bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamika akibat
hilangnya integritas kapiler dan kemudian terjadinya perpindahan cairan, natrium
serta protein dari ruang intravaskuler ke dalam ruang interstisial. Gambar 55-1
melukiskan proses patofisiologi pada luka bakar akut yang berat. Ketidakstabilan
hemodinamika bukan hanya melibatkan mekanisme kardiovaskuler tetapi juga
keseimbangan cairan serta elektrolit, volume darah, mekanisme pulmoner dan
pelbagai mekanisme lainnya.
b. Respons Kardiovaskuler
Curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang signifikan pada volume
darah terlihat dengan jelas. Karena berlanjutnya kehilangan cairan dan berkurangnya
volume vaskuler, maka curah jantung akan terus turun dan terjadi penurunan tekanan
darah. Keadaan ini merupakan awitan syok luka bakar. Sebagai respons, sistem saraf
simpatik akan melepaskan katekolamin yang meningkatkan resistensi perifer
(vasokonstriksi) dan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya vasokonstriksi pembuluh
darah perifer menurunkan curah jantung.
Resusitasi cairan yang segera dilakukan memungkinkan dipertahankannya
tekanan darah dalam kisaran normal yang rendah sehingga curah jantung membaik.
Meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat, tekanan pengisian
jantungtekanan vena sentral, tekanan arteri pulmonalis dan tekanan baji arteri
pulmonalis-tetap rendah selama periode syok luka-bakar. Jika resusitasi cairan tidak
adekuat, akan terjadi syok distributive.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada luka bakar yang kurang dari 30 %
luas total permukaan tubuh, maka gangguan integritas kapiler dan perpindahan cairan
akan terbatas pada luka bakar itu sendiri sehingga pembentukan lepuh dan edema
hanya terjadi di daerah luka bakar. Pasien luka bakar yang lebih parah akan
mengalami edema sistemik yang masif. Karena edema akan bertambah berat pada
luka bakar yang melingkar (sirkumferensial), tekanan terhadap pembuluh darah kecil
dan saraf pada ekstremitas distal menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi
iskemia. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (compartment syndrome).
Dokter harus melakukan tindakan eskarotomi (insisi pada eskar) untuk mengurangi
efek konstriksi dari jaringan yang terbakar.
d. Respons Pulmoner
Pada luka bakar yang berat, konsumsi oksigen oleh jaringan tubuh pasien akan
meningkat dua kali lipat sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme dan respons
lokal (White, 1993). Untuk memastikan tersedianya oksigen bagi jaringan, mungkin
diperlukan suplemen oksigen.
Cedera inhalasi merupakan penyebab utama kematian pada korban-korban
kebakaran. Diperkirakan separuh dari kematian ini seharusnya bisa dicegah dengan
alat pendeteksi asap.
Cedera pulmoner diklasifikasikan menjadi beberapa kategori: cedera saluran
napas atas; cedera inhalasi di bawah glotis, yang mencakup keracunan karbon
monoksida; dan defek restriktif. Cedera saluran napas atas terjadi akibat panas
langsung atau edema. Keadaan ini bermanifestasi sebagai obstruksi-mekanis saluran
napas atas yang mencakup faring dan laring. Karena vaporisasi yang cepat dalam
traktus pulmonalis akan menimbulkan efek pendinginan, cedera panas langsung
biasanya tidak terjadi di bawah tingkat bronkus. Cedera saluran napas atas diatasi
dengan intubasi nasotrakeal atau endotrakeal yang dini.
Cedera inhalasi di bawah glotis terjadi akibat menghirup produk pembakaran
yang tidak sempurna atau gas berbahaya. Produk ini mencakup gas karbon
monoksida, sulfur oksida, nitrogen oksida, senyawa-senyawa aldehid, sianida,
amonia, klorin, fosgen, benzena dan halogen. Cedera langsung terjadi akibat iritasi
kimia jaringan paru pada tingkat alveoli. Cedera inhalasi di bawah glotis
menyebabkan hilangnya fungsi silia, hipersekresi, edema mukosa yang berat, dan
kemungkinan pula bronkospasme. Zat aktif permukaan (surfaktan) paru menurun
sehingga timbul atelektasis (kolapsnya paru). Ekspektorasi partikel-partikel karbon
dalam sputum merupakan tanda utama cedera inhalasi ini.
Karbon monoksida mungkin merupakan gas yang paling sering menyebabkan
cedera inhalasi karena gas ini merupakan produk-sampingan pembakaran bahan-
bahan organik dan dengan demikian akan terdapat dalam asap. Efek patofisiologiknya
ditimbulkan oleh hipoksia jaringan yang terjadi ketika karbon monoksida berikatan
dengan hemoglobin untuk membentuk karboksihemoglobin.
Indikator kemungkinan terjadinya kerusakan paru mencakup hal-hal berikut
ini:
1) Riwayat yang menunjukkan bahwa luka bakar terjadi dalam suatu daerah yang
tertutup
2) Luka bakar pada wajah atau leher
3) Rambut hidung yang gosong
4) Suara yang menjadi parau, perubahan suara, batuk yang kering, stridor, sputum
yang penuh jelaga
5) Sputum yang berdarah
6) Pernapasan yang berat atau takipnea (pernapasan yang cepat) dan tanda-tanda
penurunan kadar oksigen (hi-peksemia) yang lain
7) Eritema dan pembentukan lepuh pada mukosa oral atau faring
Komplikasi pulmoner yang dapat terjadi sekunder akibat cedera inhalasi
mencakup kegagalan akut respirasi dan ARDS (adult respiratory distress syndrome).
Kegagalan respirasi terjadi kalau derajat gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah
mengancam jiwa pasien. Intervensi yang harus segera dilakukan adalah intubasi dan
ventilasi mekanis (pemasangan respirator). Jika ventilasi independen terganggu oleh
ekskursi dada yang terhalang, eskaurotomi harus segera dikerjakan.
B. Penatalaksanaan Medis
1. Perawatan di Tempat Kejadian
Prioritas pertama dalam perawatan di tempat kejadian bagi seorang korban luka bakar
adalah mencegah agar orang yang menyelamatkan tidak turut mengalami luka bakar.
Langkah kerja:
a. Mematikan api
Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api misalnya dengan
menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan pasokan
oksigen bagi api yang menyala. Korban dapat mengusahakan dengan cepat
menjatuhkan diri dan berguling dan mencegah meluasnya bagian pakaian yang
terbakar. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri missal
dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menceburkan diri ke air dingin
atau melepaskan baju yang tersiram air panas. Jika sumber luka bakarnya adalah
arus listrik, sumber listrik harus dipadamkan.
b. Mendinginkan luka bakar
Proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi
berlangsung terus setelah api dipadamkan sehingga destruksi tetap meluas. Proses
ini dapat dihentikan dengan mendinginkan daerah yang terbakar dan
mempertahankan suhu dingin ini pada jam pertama. Oleh karena itu merendam
bagian yang terbakar selama lima belas menit pertama dalam air sangat
bermanfaat untuk menurunkan suhu jaringan sehingga kerusakan lebih dangkal
dan diperkecil. Dengan demikian luka yang sebenarnya menuju derajat II dapat
dihentikan pada derajat I atau luka yang menjadi derajat III dihentikan pada
tingkat I atau II. Pencelupan atau penyiraman dapat dilakukan dengan air apa saja
yang dingin sekurang-kurangnya 15 menit.
c. Melepaskan benda penghalang
Meskipun pakaian yang menempel pada luka bakar dapat dibiarkan,
pakaian lain dan semua barang perhiasan harus segera dilepaskan untuk
melakukan penilaian serta mencegah terjadinya kontriksi sekunder akibat edema
yang timbul dengan cepat.
d. Menutup luka bakar
Luka bakar harus ditutup secepat mungkin untuk memperkevil
kemungkinan kontaminasi bakteri dan mengurangi nyeri dengan mencegah aliran
udara agar tidak mengenai permukaan kulit yang terbakar.
e. Mengirigasi Luka bakar kimia
Luka bakar kimia akibat bahan korosif harus segera dibilas dengan air
mengalir. Jika mengenai mata harus segera dicuci dengan air bersih yang sejuk.
ABC pada semua perawatan luka bakar selama periode awal pasca-luka bakar,
yaitu:
1) Airway (saluran napas)
2) Breathing (pernapasan)
3) Circulation/sirkulasi darah (dan Cervical spine immobilization/fiksasi vertebra
cervikalis jika diperlukan).
Airway dan breathing terapi harus segera dilakukan. Jika oksigen dengan
konsentrasi yang tinggi itu tidak dapat disediakan dalam kondisi emerjensi, pemberian
oksigen lewat masker atau kanula hidung merupakan tindakan pertama yang harus
dikerjakan. Apabila tersedia petugas serta peralatan yang memenuhi syarat dan
bilamana korbannya menderita gangguan pernapasan yang berat atau edema saluran
napas, penolong dapat memasang pipa endotrakeal dan memulai ventilasi manual.
Sistem sirkulasi harus pula dinilai dengan segera. Denyut apikal dan tekanan
darah dimonitor dengan sering. Takikardia (frekuensi jantung yang abnormal cepat)
dan hipotensi ringan diperkirakan terjadi pada pasien yang tidak ditangani segera
sesudah terjadinya luka bakar. Pada saat yang sama, survei sekunder dari kepala
hingga ujung jari kaki pasien untuk menemukan cedera lainnya yang berpotensi
menimbulkan kematian harus dilaksanakan.
Pencegahan syok pada pasien luka bakar yang luas akan memperbaiki
prognosis secara mengesankan. Karena itu, pemberian infus cairan dan elektrolit
harus segera dimulai.
2. Penatalaksanaan Medis Darurat
Prioritas pertama dalam ruang darurat tetap ABC (airway, breathing dan
circulation). Untuk cedera paru yang ringan, udara pernapasan dilembabkan dar.
pasien didorong supaya batuk sehingga sekret saluran napas bisa dikeluarkan dengan
pengisapan. Untuk situasi yang lebih parah diperlukan pengeluaran sekret dengan
pengisapan bronkus dan pemberian preparat bronkodilator serta mukolitik. Jika terjadi
edema pada jalan napas, intubasi endotrakeal mungkin merupakan indikasi.
Continuous positive airway pressure dan ventilasi mekanis mungkin pula diperlukan
untuk menghasilkan oksigenasi yang adekuat.
Sesudah tercapai status respirasi dan sirkulasi yang adekuat, perhatian harus
diberikan kepada luka bakarnya sendiri. Semua pakaian dan perhiasan yang
dikenakan pasien dilepas. Pembilasan luka bakar kimia dengan air diteruskan.
a. Rumus Konsensus
Larutan Ringer Laktat (atau larutan saline seimbang lainnya): 2-4 ml X kg BB X
% luas luka baker.
b. Rumus Evans
1) Koloid: 1ml X kg BB X % luas luka baker
2) Elektrolit (saline): 1ml X kg BB X % luas luka baker
3) Glukosa (5% dalam air): 2000ml untuk kehilangan insensible
Hari 1: Separuh diberikan dalam 8 jam pertama, separuh sisanya dalam 16 jam
selanjutnya.
Hari 2: Separuh dari cairan elektrolit dan koloid yang diberikan pada hari
sebelumnya, seluruh penggantian cairan insensible.
Maksimum 10.000 selama 24 jam. Luka baker derajat II dan III yang melebihi
50% luas permukaan tubuh dihitung berdasarkan 50% luas permukaan tubuh.
Luka baker derajat II dan III yang melebihi 50% luas permukaan tubuh
dihitung berdasarkan 50% luas permukaan tubuh.
d. Rumus Parkland/Baxter
Larutan ringer laktat: 4ml X kg BB X luas luka baker
Hari 1: Separuh diberikan dalam 8 jam pertama, separuh sisanya dalam 16 jam
selanjutnya.
Larutan pekat natrium klorida dan laktat dengan konsentrasi 250-300 mEq
natrium perLiter yang diberikan pada kecepatan yang cukup untuk
mempertahankan volume keluaran urin yang diinginkan. Jangan meningkatkan
kecepatan infuse selama 8 jam pertama pasca luka baker. Kadar natrium serum
harus dipantau dengan ketat. Tujuan: meningkatkan kadar natrium serum dan
osmolalitas untuk mengurangi edema dan mencegah komplikasi paru.
e. Obat-obatan
Antibiotik sistemik spectrum luas diberikan untuk mencegah infeksi. Yang
banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang efektif terhadap
pseudomonas. Bila ada infeksi, antibiotic diberikan berdasarkan hasil biakan dan
uji kepekaan kuman. Antasida diberikan untuk pencegahan tukak stress dan
antipiretik diberikan bila suhu tinggi.
f. Debridemen
Debridemen merupakan sisi lain pada perawatan luka bakar. Tindakan ini
memiliki dua tujuan:
g. Graft
Jika lukanya dalam (full-thickness) atau sangat luas, reepitelialisasi
spontan tidak mungkin terjadi. Karena itu diperlukan graft (pencakokan) kulit
dari pasien sendiri (autograft). Daerah-daerah utama graft kulit mencakup daerah
wajah dengan alasan kosmetik dan psikologik; tangan dan bagian fungsional
lainnya seperti kaki; dan daerah-daerah yang meliputi persendian. Graft memung-
kinkan pencapaian kemampuan fungsional yang lebih dini dan akan mengurangi
kontraktur. Kalau luka bakarnya sangat luas, daerah dada dan abdomen dapat
dicangkok terlebih dahulu untuk mengurangi luas luka bakar.
Selama proses kesembuhan luka akan terbentuk jaringan granulasi.
Jaringan ini akan mengisi ruangan yang ditimbulkan oleh luka, membentuk barier
yang merintangi bakteri dan berfungsi sebagai dasar (bed) untuk pertumbuhan sel
epitel.
h. Autograft
Autograft berasal dari kulit pasien sendiri. Bentuk cangkokan ini bisa
berupa split-thickness, full-thickness, pedicle flaps atau epitelium yang dikultur.
Full-thickness dan pedicle flaps lebih sering digunakan untuk pembedahan
rekonstruksi, dan dilaksanakan beberapa bulan atau tahun sesudah terjadinya
cedera pertama.
Penggunaan epitelium yang dikultur masih berada dalam tahap eksprimen
pada beberapa rumah sakit khusus luka bakar. Secara mendasar, prosedur ini
meliputi biopsi kulit pasien di daerah yang tidak terbakar. Kemudian keratinosit
diisolasi dan sel-sel epitel dikultur dalam laboratorium. Sampel sel epitel yang
asli dapat mengadakan multiplikasi hingga ukurannya mencapai 10.000 kali
ukuran sampel semula dalam tempo 30 hari. Sel-sel ini kemudian ditempelkan
pada luka bakar. Prosedur ini telah dilaporkan dengan berbagai derajat
keberhasilan tetapi hasil-hasil tersebut cukup menggembirakan (Wong &
Munster, 1993).
3. Evaluasi
Hasil yang Diharapkan:
Brunner & Suddart (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Jakarta : AGC.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) Rencana Asuhan
Keperawatan, Jakarta : EGC.
Guyton & Hall (1997) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta : EGC.