Anda di halaman 1dari 34

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Amputasi

2.1.1. Defenisi

Amputasi berasal dari kata amputare yang berarti pancung. Amputasi

adalah penghilangan satu atau lebih bagian tubuh dan bisa sebagai akibat dari

malapetaka atau bencana alam, belum pernah terjadi sebelumnya, seperti

kecelakaan, gempa dengan intensitas kuat, terorisme dan perang, atau dilakukan

karena alasan medis dengan motif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas

hidup pasien. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi

pilihan terakhir apabila masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak

mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau apabila kondisi

organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak

organ tubuh yang lain, (Demet K, 2003, Glass, Vincent, 2004).

Amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh

seperti sistem integumen, sistem persarafan, sistem muskuloskeletal dan sistem

cardiovaskuler. Lebih lanjut amputasi dapat menimbulkan masalah psikologis

bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas,

(Wahid, 2013).

Amputasi ekstremitas bawah adalah prosedur pembedahan yang dihasilkan

dari sebuah kondisi medis yang serius seperti diabetes, trauma atau neoplasma,

gangren, deformitas kongenital. Dari semua penyebab tadi, penyakit vaskuler

Universitas Sumatera Utara


perifer merupakan penyebab yang tertinggi amputasi ekstremitas bawah, (Senra,

Arago, Leal, 2011).

2.1.2. Penyebab/predisposisi amputasi

Penyakit vaskular perifer adalah penyebab utama amputasi pada individu

non diabetes dan memberikan kontribusi sekitar setengah dari semua amputasi

pada individu dengan diabetes. Kontroversi mengenai penilaian yang tepat dan

manajemen penyakit pembuluh darah perifer juga ada meskipun beberapa pusat

keunggulan telah melaporkan penurunan tingkat amputasi setelah revaskularisasi

bedah agresif (Wrobel, Mayfield, Rieber, 2001).

Lebih dari 60 % dari amputasi tungkai bawah non traumatik di Amerika

Serikat terjadi di antara orang-orang dengan diabetes melitus, dan meningkat

enam hingga sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan orang tanpa diabetes. Setelah

amputasi tungkai bawah pertama, hingga 50 % pasien memerlukan amputasi lain

dalam waktu 3-5 tahun, (Lipsky, Weigelt, Sun, 2011). Menurut Jumeno dan

Adliss (2010) amputasi dapat juga disebabkan oleh berbagai hal seperti penyakit,

faktor cacat bawaan lahir ataupun kecelakaan.

Menurut Wahid tahun 2013, amputasi dapat dilakukan pada kondisi

sebagai berikut :

1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.

2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.

3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.

4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.

5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.

Universitas Sumatera Utara


6. Deformitas organ.

2.1.3. Jenis amputasi

Menurut Wahid (2013) ada beberapa jenis amputasi yaitu :

a. Amputasi selektif/terencana ; amputasi jenis ini dilakukan pada

penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta

terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu

tindakan alternatif terakhir.

b. Amputasi akibat trauma ; merupakan amputasi yang terjadi sebagai

akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah

memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum

klien.

c. Amputasi darurat ; kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim

kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang

cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan

kerusakan/kehilangan kulit yang luas.

2.1.4. Faktor yang mempengaruhi amputasi

Klien yang memerlukan amputasi biasanya orang muda dengan trauma

ekstremitas berat atau lanjut usia dengan penyakit vaskuler perifer. Orang muda

umumnya sehat, sembuh dengan cepat, dan berpartisipasi dalam program

rehabilitasi segera. Karena amputasi sering merupakan akibat dari cedera, klien

memerlukan lebih banyak dukungan psikologis untuk menerima perubahan

mendadak citra diri dan menerima stress akibat hospitalisasi, rehabilitasi jangka

panjang, dan penyesuaian gaya hidup. Klien ini memerlukan waktu untuk

Universitas Sumatera Utara


mengatasi perasaan mereka mengenai kehilangan permanen tadi. Reaksi mereka

sudah diduga dan dapat berupa kesedihan terbuka dan bermusuhan (Liu, William,

2010, Smeltzer, 2010).

Sebaliknya lanjut usia dengan penyakit vaskuler perifer sering mengidap

masalah kesehatan lain, termasuk diabetes melitus dan arteriosklerosis. Amputasi

terapeutik untuk kondisi yang sudah berlangsung lama dapat membebaskan klien

dari nyeri, disabilitas, dan ketergantungan. Klien ini biasanya sudah siap

mengatasi perasaannya dan siap menerima amputasi. Perencanaan untuk

rehabilitasi psikologik dan fisiologik dimulai sebelum amputasi dilaksanakan.

Namun, kelainan kardiovaskuler respirasi, atau neurologik mungkin dapat

membatasi kemajuan rehabilitasi (Lukman, 2009).

2.1.5. Tingkatan amputasi

Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit. Batas amputasi

pada cedera ditentukan oleh peredaran darah yang adekuat. Batas amputasi pada

tumor maligna ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas resiko kekambuhan

lokal. Sedangkan pada penyakit pembuluh darah ditentukan oleh vaskularisasi sisa

ekstremitas dan daya sembuh luka sisa tungkai (puntung) (Sjamsuhidajat, 2005)

Ampusi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat mencapai

penyembuhan dengan baik. Tempat amputasi ditentukan berdasarkan dua faktor:

peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan fungsional (misalnya sesuai

kebutuhan prostesis) (Smeltzer, 2010).

Lima tingkatan amputasi yang sering digunakan pada ekstremitas bawah

adalah telapak dan pergelangan kaki, bawah lutut, disartikulasi dan atas lutut,

Universitas Sumatera Utara


disartikulasi lutut panggul, dan hemipelviktomi dan amputasi translumbar. Tipe

amputasi ada dua yaitu, terbuka (provisional) yang memerlukan teknik aseptik

ketat dan revisi lanjut, serta tertutup atau flap (Doengoes, 2000).

Amputasi jari kaki dan sebagian kaki hanya menimbulkan perubahan

minor dalam gaya jalan dan keseimbangan. Amputasi Syme (modifikasi amputasi

disartikulasi pergelangan kaki) dilakukan paling sering pada trauma kaki

ekstensif dan menghasilkan ekstremitas yang bebas nyeri dan kuat dan yang dapat

menahan beban berat badan yang penuh. Amputasi bawah lutut lebih disukai

dibandingkan amputasi atas lutut karena pentingnya sendi lutut dan kebutuhan

energi untuk berjalan. Dengan mempertahankan lutut sangat berarti bagi seorang

lanjut usia antara ia bisa berjalan dengan alat bantu dan hanya bisa duduk dikursi

roda. Disartikulasi sendi lutut paling berhasil pada klien muda, aktif yang masih

mampu mengembangkan kontrol yang tepat terhadap prostesis. Bila dilakukan

amputasi atas lutut, pertahankan sebanyak mungkin panjangnya, otot dibentuk dan

distabilkan, dan kontraktur pinggul dapat dicegah untuk potensial ambulasi

maksimal. Bila dilakukan amputasi disartikulasi sendi pinggul, kebanyakan orang

akan tergantung pada kursi roda untuk mobilitasnya. Amputasi ekstremitas atas

dilakukan dengan mempertahankan panjang fungsional maksimal. Prostesis

segera diukur agar fungsinya bisa maksimal (Smeltzer, 2008).

2.1.6. Penatalaksanaan sisa tungkai

Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka amputasi,

menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang

sehat untuk penggunaan prostesis. Lansia mungkin mengalami kelambatan

Universitas Sumatera Utara


penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan masalah kesehatan lainnya.

Penyembuhan dipercepat dengan penanganan lembut terhadap sisa tungkai,

pengontrolan edema sisa tungkai, dengan balutan kompres lunak atau rigid dan

menggunakan teknik aseptik dalam perawatan luka untuk menghindari infeksi

(Lukman, 2009).

Balutan rigid tertutup sering digunakan untuk mendapatkan kompresi yang

merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri, dan mencegah

kontraktur. Segera setelah pembedahan balutan gips rigid dipasang dan dilengkapi

tempat memasang ekstensi prostesis sementara (pylon) dan kaki buatan. Kaus

kaki steril dipasang pada sisi anggota. Bantalan dipasang pada daerah peka

tekanan. Puntung kemudian dibalut dengan balutan gips elastis yang ketika

mengeras akan mempertahankan tekanan yang merata. Tekanan balutan rigid ini

digunakan sebagai cara membuat socket untuk pengukuran protesis pasca operatif

segera. Panjang prostesis disesuaikan dengan individu klien. Gips diganti dalam

sekitar sepuluh sampai empat belas hari. Bila ada peningkatan suhu tubuh, nyeri

berat, atau gips yang mulai longgar harus segera diganti (Smeltzer, 2008).

Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila

diperlukan inspeksi berkala puntung sesuai kebutuhan. Bidai immobilisasi dapat

dibalutkan dengan balutan. Hematoma (luka) puntung dikontrol dengan alat

drainase luka untuk meminimalkan infeksi (Lukman, Ningsih, 2009).

Amputasi bertahap bisa dilakukan bila ada gangren atau infeksi. Pertama-

tama dilakukan amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan nekrosis

dan sepsis. Luka didebridemen dan dibiarkan mengering. Sepsis ditangani dengan

Universitas Sumatera Utara


antibiotika. Dalam beberapa hari, ketika infeksi telah terkontrol dan pasien telah

stabil, dilakukan amputasi definitif dengan penutupan kulit, (Lukman, Ningsih,

2009).

2.1.7. Komplikasi

Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit.

Karena ada pembuluh darah besar yang dipotong, dapat terjadi perdarahan masif.

Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan, dengan peredaran darah

buruk atau kontaminasi luka setelah amputasi traumatika, risiko infeksi

meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan iritasi akibat prostesis dapat

menyebabkan kerusakan kulit (Smeltzer, 2008).

Hemorage masif akibat lepasnya jahitan merupakan masalah yang paling

membahayakan. Klien harus dipantau secara cermat mengenai setiap tanda dan

gejala perdarahan. Tanda vital klien harus dipantau, dan drainase berpengisap

harus diobservasi sesering mungkin. Perdarahan segera setelah pasca operasi

dapat terjadi perlahan atau dalam bentuk hemorage masif akibat lepasnya jahitan.

Torniket besar harus tersedia dengan mudah disisi pasien sehingga bila sewaktu-

waktu terjadi perdarahan hebat, dapat segera dipasang pada sisa tungkai untuk

mengontrol perdarahan. Ahli bedah harus diberi tahu dengan segera bila ada

hemorage berlebihan (Smeltzer, 2010).

2.1.8. Masalah yang terjadi pasca amputasi tungkai bawah

Pengalaman amputasi akan melibatkan klien sebagai manusia seutuhnya,

pikiran, tubuh, dan jiwa. Klien perlu memulihkan emosional maupun fisik.

Selama masa rehabilitasi semua kebutuhan klien penting. Klien mungkin

Universitas Sumatera Utara


mengalami mati rasa atau perasaan kosong, depresi, takut, sedih, cemas, putus asa,

kelelahan yang luar biasa, kebingungan, ketidak berdayaan dan dendam adalah

perasaan yang terjadi pada klien yang mengalami amputasi. Klien memiliki

serangkaian perubahan suasana hati dari tinggi ke rendah dan seperti berada pada

sebuah roller coaster emosional (Society Vascular Nursing [SVN], 2008).

Klien dengan amputasi tungkai bawah dapat mengganggu fisik, psikologis,

dan fungsi sosial. Orang-orang dengan amputasi biasanya melaporkan kemarahan,

kesedihan, tidak berdaya dan rasa bersalah serta kekhawatiran tentang keluarga,

pekerjaan, hubungan sosial dan hubungan seksual (Davidson et al, 2002).

Depresi dianggap sebagai gangguan medis, seperti gangguan fisik lainnya

yang mempengaruhi pikiran manusia, perasaan, prilaku dan kesehatan bahkan

fisik misalnya penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, kurang tidur dan

kehilangan libido. Gejala depresi adalah hasil kontak yang terlalu lama dengan

kondisi kehidupan yang penuh stres. Konsekuensi negatif dalam kehidupan seperti

penyakit dan cacat tidak hanya membuat kehidupan yang penuh stres, tetapi juga

mempengaruhi sumber daya adaptif. Amputasi tungkai bawah menyebabkan cacat

fisik yang serius dan sangat intuitif bahwa penyesuaian dengan kondisi amputasi

impulsif untuk tekanan psikologis. Depresi pada individu karena amputasi tungkai

bawah mencapai 45 % dari antara seluruh penderita amputasi yang telah diteliti

(Mozumdar, Roy, 2010).

Gangguan stres pasca trauma adalah gangguan kejiwaan yang dapat

muncul setelah seseorang terkena suatu peristiwa yang melibatkan cedera serius

terancam atau sebenarnya untuk diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


respon rasa takut, tidak berdaya, atau mengerikan. Memahami gejala sisa psikiatri

dan emosional amputasi bisa sangat meningkatkan sifat dan tingkat intervensi

psikologis sekitar amputasi dan sesudahnya. Selain itu, jika ada tingkat yang

signifikan dari gangguan stres pasca trauma setelah direncanakan, amputasi bedah

(Cavanagh, Shin, 2006)

Thomson dan Haran et, al. Livingstone (2011) menemukan bahwa klien

yang telah menjalani amputasi mengalami isolasi sosial tingkat tinggi dan

kebutuhan keuangan yang tidak terpenuhi termasuk pekerjaan dan kegiatan sosial.

Amputasi dianggap sebagai tiga penghinaan karena membawa kerugian fungsi,

hilangnya sensasi, dan kehilangan atau perubahan citra tubuh. Perubahan dramatis

ini memiliki efek pada kualitas hidup individu karena keterbatasan aktifitas fisik

segera setelah amputasi serta memiliki implikasi jangka panjang dalam aspek

bervariasi dari kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi individu pada tingkat psiko

sosial, dan memiliki implikasi ekonomi jangka panjang pada kehidupan dan

kesempatan untuk bekerja. Hasil jangka panjang juga berpengaruh pada kontribusi

individu kepada masyarakat (Morbidity and Mortality Weekly Report [MMWR],

2000).

Ditemukan bahwa setelah amputasi orang lebih jarang berpartisipasi dalam

kegiatan sosial terutama orang-orang yang berumur lebih tua ketika diamputasi.

Aktivitas waktu luang berubah setelah amputasi. Dari 123 kasus amputasi 93

orang benar-benar memiliki kegiatan yang berubah dan hanya 30 orang yang

masih tertarik dengan kegiatan yang sama sebelumnya. Tiga kegiatan yang paling

sering dilakukan sebelum amputasi adalah bersepeda, main bola dan pekerjaan

Universitas Sumatera Utara


pertanian. Setelah amputasi mereka hanya membaca, menonton televisi atau

mendengarkan musik. Dapat disimpulkan bahwa amputasi ekstremitas bawah

sangat mengubah kehidupan sosial dan waktu luang mereka (Burger & Marincek,

1997).

Dalam hidup sebelum operasi, orang akan menjaga penampilan, namun

sebelum operasi pasien mengalami perasaan ambigu, karena saat ini dalam

kehidupan dimana orang tersebut akan menganggap cara baru masuk ke dalam

dunia akan membangkitkan berbagai perasaan yang tidak terbatas yang

dinyatakan atau tidak. Meskipun pasien menegaskan kesepakatan mereka dengan

operasi, meraka menunjukkan perasaan putus asa, rasa sakit, penderitaan,

ketakutan, kesedihan dan menangis dan tetap tertunduk (Chini, Boemer, 2007).

Phantom tungkai bukanlah efek sederhana dari fenomena pasca amputasi.

Pasien tampaknya mengabaikan pemotongan dan menganggap bayangan mereka

sebagai anggota tubuh yang sebenarnya. Saya melihat bahwa saya tidak memiliki

kaki. Ini gatal, kaki saya gatal. Saya meminta anak itu untuk membawa kaki saya

yang diamputasi sehingga saya bisa menggaruknya dan dia berkata dia akan

mencoba mencari disekitar dan tidak ada. Ini lucu bahwa anda merasa itu. Saat ini

aku merasa kesemutan di kaki saya (Chini & Boemer, 2007). Phantom limb

sensations adalah perasaan klien yang merasakan bahwa kakinya masih ada

disana, bahkan meskipun anda tahu bahwa itu tidak, sensasi ini terkuat setelah

operasi, tetapi dapat terjadi bahkan bertahun-tahun kemudian (SVN, 2008)

Klien biasanya mengalami nyeri tungkai fantom segera setelah

pembedahan atau 2 sampai 3 bulan setelah amputasi. Lebih sering terjadi pada

Universitas Sumatera Utara


amputasi atas lutut. Klien menjelaskan nyeri atau perasaan tak biasa pada bagian

yang telah diamputasi. Sensasi tersebut menimbulkan perasaan bahwa

ekstremitasnya masih ada dan tergerus, kram atau terpuntir dengan posisi

abnormal. Sensasi fantom lama kelamaan akan menghilang. Patogenesis

fenomena anggota fantom tidak diketahui (Smeltzer, 2010).

Ada pengakuan yang berkembang bahwa amputasi tidak selalu

menyebabkan hasil negatif (Phelps et al, 2008). Pada kasus pasien yang terkena

masalah pembuluh darah, menghilangkan rasa sakit mereka adalah prioritas

utama. Mengecilkan nyeri yang tidak tertahankan, sedih dan membatasi diri. Pada

saat ini setiap upaya yang dilakukan untuk meringankan atau menghilangkan rasa

sakit dianggap positif, bahkan jika harus menghilangkan anggota tubuh. Amputasi

mulai dilihat sebagai kejahatan yang diperlukan tidak tidur selama enam bulan

sulit, sakit ketika berbaring, ketika saya berdiri, sulit, itu menyedihkan, saya

menderita begitu banyak, begitu banyak, begitu banyak, sekarang jika saya harus

melakukannya lagi, saya akan melakukannya lagi, karena semua penderitaan

berakhir (Chini & Boemer, 2007).

2.2. Konsep Mekanisme Koping

2.2.1. Defenisi

Mekanisme koping adalah segenap upaya yang mengarah kepada

manajemen stres. Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam

menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon

terhadap situasi yang mengancam (Stuart, 2009 dan Keliat, 1999). Menurut

Lazarus dan Folkman (1984) koping sebagai upaya perubahan kognitif dan

Universitas Sumatera Utara


prilaku secara konstan untuk mengatasi secara khusus tuntutan internal dan

eksternal yang dinilai melebihi kemampuan dan sumber daya yang dimiliki

individu.

Kata coping (mengatasi, menghadapi) memberikan kesan bahwa orang

yang mengalami kesulitan menunjukkan prilaku yang tidak membantu mengatasi

kesulitannya, namun beberapa orang mengatasi masalahnya dengan cara-cara

yang lebih dari sekedar membantu mereka bertahan dalam kesulitan. Mereka

berusaha dengan belajar dari pengalaman mereka dan menjadi lebih kuat karena

pengalaman-pengalaman tersebut (Joseph & Linley, 2005).

2.2.2. Jenis-jenis mekanisme koping

1. Strategi fisik

a. Mendinginkan kepala.

b. Menenangkan diri dan mengurangi rangsang fisik melalui meditasi atau

relaksasi. Pelatihan relaksasi progresif, belajar untuk secara bergantian

menekan dan membuat otot-otot menjadi santai akan menurunkan tekanan

darah dan hormon stres (Scheufele, 2000).

c. Menenangkan diri sendiri dengan pemijatan, yang jika digabungkan

dengan meditasi, merupakan salah satu dari pengobatan tertua di dunia

(Field, 1998, Moyer, Rounds & Hannum, 2004).

d. Berjalan-jalan, merupakan aktivitas fisik tingkat rendah, karena mereka

yang memiliki fisik lebih bugar memiliki masalah kesehatan yang lebih

sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang fisiknya tidak bugar.

Universitas Sumatera Utara


Semakin sering orang berolahraga, maka kecemasan, depresi dan

sensitivitas mereka berkurang (Hendrix dkk, 1991)

e. Mendengarkan musik yang menenangkan, menulis buku harian atau

memanggang roti. Aktivitas tersebut memberikan tubuh kesempatan

untuk pulih dari fase alarm sebagai respons terhadap stres.

2. Strategi yang berorientasi terhadap masalah.

a. Emotion focused coping, berfokus pada emosi yang muncul akibat

masalah yang dihadapi, baik marah, cemas, atau duka cita. Beberapa

waktu setelah bencana atau tragedi, adalah hal yang wajar bagi orang

yang mengalaminya untuk merasakan emosi-emosi tersebut atau bahkan

sampai merasa kewalahan dalam mengelola emosi-emosi tersebut. Pada

tahap ini, orang seringkali butuh untuk membicarakan kejadian tersebut

secara terus menerus agar dapat menerima, memahami, dan memutuskan

akan melakukan hal apa setelah kejadian tersebut selesai (Lepore, Ragan,

& Jones, 2000).

b. Problem focused coping. Langkah-langkah spesifik dalam memecahkan

masalah tergantung dari sifat masalah itu sendiri, apakah keputusan

tersebut mendesak namun hanya perlu dibuat sekali saja, apakah masalah

itu kesulitan yang berkelanjutan seperti hidup dengan keterbatasan fisik

atau pasikologis, atau kejadian yang diantisipasi seperti operasi. Setelah

masalah teridentifikasi, mereka dapat mempelajari masalah tersebut

sebanyak mungkin dari para ahli, teman, buku-buku dan dari sumber lain

untuk masalah yang sama (Clarke & Evans, 1998). Pengetahuan

Universitas Sumatera Utara


memberikan perasaan memiliki kendali dalam diri seseorang. Misalnya,

saat orang mengetahui apa yang akan terjadi saat mereka mengalami

operasi, mereka seringkali pulih dengan lebih cepat dan merasakan sakit

yang lebih ringan dibandingkan dengan orang yang tidak siap (Doering

dkk, 2000)

3. Strategi kognitif

Memikirkan masalah kembali, adalah cara menyelesaikan suatu masalah

dengan mengubah cara berpikir mengenai masalah tersebut. Ada 3 cara

berpikir yang efektif untuk melakukan cognitive coping :

a. Menilai atau meninjau kembali situasinya. Walaupun klien tidak dapat

menghilangkan masalah yang membuat stres, klien dapat memilih untuk

memikirkan masalah itu secara berbeda, proses yang disebut sebagai

reappraisal (menilai/meninjau kembali). Masalah dapat diubah menjadi

tantangan dan kehilangan dapat diubah menjadi keuntungan yang tidak

terduga. Reappraisal dapat mengubah kemarahan menjadi simpati ,

kecemasan menjadi determinasi dan perasaan kehilangan menjadi

perasaan memiliki kesempatan (Folkman & Moskowitz, 2000).

b. Belajar dari pengalaman. Korban dari kejadian traumatis dan penyakit

yang mengancam nyawa melaporkan bahwa pengalaman membuat

mereka kuat, lebih tegar dan bahkan mereka menjadi manusia yang lebih

baik karena bertumbuh dan belajar dari kejadian tersebut (Mc Farlan &

Alvaro, 2000). Sebagian orang bangkit dari musibah dengan ketrampilan

baru yang mereka temukan atau mereka kembangkan, sebagian dipaksa

Universitas Sumatera Utara


untuk mempelajari sesuatu hal baru yang tidak pernah mereka ketahui

sebelumnya, sebagian yang lain menemukan sumber keberanian dan

kekuatan yang mereka sendiri tidak pernah tahu mereka miliki. Mereka

yang mengambil pelajaran dari tragedi yang tidak dapat dihindari dalam

hidup dan menemukan arti dari pengalaman tersebut adalah mereka yang

berhasil sukses menghadapi masalah dan tidak hanya bertahan dalam

masalah (Davis, Nolen-Hoeksema & Larson, 1998, Folkman &

Moskowitz, 2000).

c. Membuat perbandingan sosial. Dalam situasi sulit, orang yang sukses

bertahan seringkali membandingkan kondisi mereka dengan orang lain

yang mereka rasakan kurang beruntung dibandingkan mereka. Separah

apapun kondisi mereka, bahkan jika mereka memiliki penyakit

mematikan, mereka menemukan orang lain yang keadaannya jauh lebih

parah (Taylor & Lobel, 1989 ; Wood, Michaela & Giordano, 2000).

4. Strategi sosial

a. Mendapatkan dukungan sosial. Dukungan sosial dari keluarga, teman-

teman dan orang lain sangat berperan dalam mempertahankan kesehatan

dan kesejahteraan emosional. Orang yang memiliki teman-teman baik,

kontak sosial yang luas, dan jejaring dengan anggota masyarakat lain

memiliki kesehatan yang lebih baik dan berumur lebih panjang

dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya. Sentuhan atau

pelukan dari pasangan yang mendukung menenangkan sirkuit alarm di

Universitas Sumatera Utara


otak dan meningkatkan kadar oxytocin yang dapat menghasilkan

penurunan detak jantung dan tekanan darah (Wade & Tavris, 2007).

b. Hubungan formal yang berasal dari orang-orang yang mengalami

penyakit, masalah atau musibah yang sama. Orang dapat mengambil

manfaat dari bergabung dalam kelompok dukungan sosial jika mereka

memiliki penyakit yang parah atau penyakit yang penuh stigma,

melumpuhkan atau membuat mereka cacat sedemikian rupa, atau

menyebabkan perasaan malu (Davidson, pennebaker, & Dickerson, 2000).

c. Sembuh dengan membantu orang lain. Cara terakhir untuk menghadapi

stres, kehilangan dan tregedi adalah dengan memberikan dukungan bagi

orang lain dan bukannya selalu menerima dukungan dari orang lain.

Orang mendapatkan kekuatan dengan mengurangi fokus terhadap

kesulitan mereka sendiri dan lebih banyak menolong orang lain yang juga

berada dalam kesulitan (Segal, 1986).

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping

Kemampuan seseorang untuk beradaptasi atau melakukan koping terhadap

stressor yang dihadapi tergantung pada kombinasi aspek stressor dan karakteristik

individu. Aspek stressor meliputi, intensitas dan luasnya stressor, durasi, jumlah

dan tipe stressor yang timbul bersamaan, dan jumlah stressor dalam waktu

tertentu. Karakteristik individu untuk beradaptasi terhadap stres meliputi, latar

belakang dan budaya, kebutuhan, keinginan, konsep diri, sumber internal,

dukungan eksternal, pengetahuan, ketrampilan, sifat, kepribadian, kematangan

dan kondisi kesehatan umum (Funnel et al, 2005).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Lazarus dan Folkman (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi

dalam penggunaan koping adalah sebagai berikut :

a. Kesehatan dan energi

Seseorang yang mengalami sakit atau kelelahan mempunyai energi yang

kurang dalam memperpanjang penggunaan kopingnya. Kesehatan fisik yang

baik merupakan bukti dalam menghadapi masalah atau stres karena ketika

menghadapi stres seseorang membutuhkan mobilisasi yang banyak. Oleh

karena itu, pentingnya kesehatan dan energy untuk koping karena keduanya

berperan dalam memfasilitasi penggunaan koping secara optimal.

b. Keyakinan positif

Melihat diri sendiri dengan positif bisa dikaitkan sebagai sebuah sumber

koping yang sangat penting. Keyakinan sebagai dasar untuk berharap dan

mendukung usaha koping yang digunakan. Namun demikian tidak semua

keyakinan dapat digunakan sebagai koping. Beberapa keyakinan dapat

menghambat usaha koping seperti, keyakinan akan hukuman Tuhan dapat

mengarahkan individu untuk menerima situasi yang menekan sebagai sebuah

hukuman dari Tuhan atau takdir Tuhan dan tidak melakukan hal apapun

untuk mengatasi situasi tersebut.

c. Keterampilan dalam menyelesaikan masalah

Keterampilan dalam menyelesaikan masalah meliputi kemampuan mencari

informasi, menganalisa situasi yang bertujuan mengidentifikasi masalah dan

mengembangkan alternatif tindakan, memilih alternatif yang sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara


hasil yang diharapkan, memilih dan mengimplementasikan rencana aksi yang

sesuai.

d. Keterampilan sosial

Keterampilan sosial merupakan sumber koping yang penting. Keterampilan

sosial diartikan sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dan berperilaku

dengan yang lain dengan cara yang sesuai dan efektif secara sosial. Hal ini

memfasilitasi penyelesaian masalah dalam berhubungan dengan orang lain

dan memberikan kontrol yang lebih kepada individu dalam interaksi sosial.

Pentingnya keterampilan sosial sebagai sumber diberbagai area, mencakup

program terapeutik yang membantu individu lebih baik dalam mengatasi

masalah kehidupan sehari-hari dan program latihan organisasi untuk

meningkatkan ketrampilan komunikasi interpersonal.

e. Dukungan sosial

Dukungan sosial diartikan dengan mempunyai teman atau keluarga yang

dapat menerima perasaan individu jika mengalami masalah. Selain itu

dukungan dari orang lain dapat berupa memberikan informasi atau dukungan

lainnya seperti menunjukkan perhatian kepada individu tersebut.

f. Sumber materi

Sumber materi dapat berupa uang, barang dan pelayanan. Hasil penelitian

Antonosvsky (1979) dalam Lazarus dan Folkman (1984) ditemukan bahwa

terdapat hubungan yang kuat antara ekonomi, stres dan adaptasi. Sumber

keuangan yang lebih besar meningkatkan pilihan koping. Hal ini juga

mempermudah dan memberikan akses yang mudah seperti pengobatan

Universitas Sumatera Utara


kesehatan, bantuan profesional dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa

sumber materi juga dapat memfasilitasi efektivitas koping.

2.2.4. Literatur penelitian yang berhubungan dengan mekanisme koping

Gallagher & PamelaView (1999) menemukan adanya hubungan antara

nyeri tungkai dan variabel psikologis. Dengan demikian, interaksi antara

menghindar dan mencari dukungan sosial dan nyeri tungkai memerlukan

perhatian lebih lanjut dan investigasi. Selanjutnya, dalam skrining dan pengobatan

nyeri tungkai, lokasi amputasi, usia pasien, menyebabkan amputasi harus terus

dipertimbangkan karena mereka adalah prediktor penting dari rasa sakit.

Intervensi juga harus menyelidiki peran pemecahan masalah dalam pengalaman

nyeri lainnya. Penggunaan prostesis juga beberapa mengalami ketidakmampuan

menyesuaikan diri secara emosional atau rasa sakit dan mungkin perlu sesuatu

yang lebih dari anggota tubuh dan pelatihan yang pas dalam penggunaannya.

Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa mekanisme koping yang berhubungan

dengan penerimaan bervariasi tergantung pada penyebab amputasi.

Penelitian sebelumnya pada konsekuensi psikologis amputasi telah

difokuskan terutama pada hubungan antara variabel-variabel demografis, berbagai

mekanisme koping. Sebuah tinjauan literatur yang dilakukan oleh Rybarczyk dan

colleagues (2004), menunjukkan bahwa rasa sakit sisa anggota badan, pembatasan

aktivitas, dan medis dan faktor yang berkaitan dengan kecacatan (selain nyeri

phantom) memprediksi kurang varians dalam penyesuaian psikologis daripada

citra tubuh, dirasakan stigma sosial, kerentanan yang dirasakan, dukungan sosial,

dan optimisme. Faktor psikologis dan strategi penanggulangan yang telah

Universitas Sumatera Utara


ditemukan terkait dengan hasil yang buruk setelah amputasi termasuk kerentanan

yang dirasakan, penghindaran, dan ketidakberdayaan.

Penelitian Behel, Rybarczyk, elliot (2002) tentang prevalensi morbiditas

psikiatri tertentu setelah amputasi sebagian besar berfokus pada gejala depresi,

dan hasil studi ini melaporkan tingkat prevalensi bervariasi dari 7,4% 9-28%.

Varians dalam tingkat prevalensi kemungkinan karena perbedaan metodologis

dalam penilaian depresi klinis. Penelitian in mengandalkan langkah-langkah

laporan diri, seperti Center for Epidemiological Studies Depression Scale (CES-

D), laporan tingkat jauh lebih tinggi dari depresi klinis, dibandingkan mereka

yang menggunakan interviews.

2.3. Konsep Stres

2.3.1. Definisi stres

Stres adalah suatu kondisi yang dihasilkan akibat adanya perubahan dari

lingkungan yang dipersepsikan menantang, mengancam atau merusak fungsi

kesehatan individu seutuhnya (Varcarolis, Shoemaker, 2006). Menurut Niven

stres adalah pernyataan yang seringkali digunakan sebagai label untuk gejala

psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan dan

keadaan lainnya. Sedangkan menurut Vedebeck (2008) stres adalah ketakutan

yang dialami individu dengan cara yang berbeda-beda.

Setiap individu disepanjang rentang kehidupannya akan selalu dihadapkan

pada berbagai peristiwa dan kejadian yang nantinya akan mengakibatkan

terjadinya perubahan-perubahan yang berpotensi menimbulkan stres. Hal senada

juga diungkapkan Keliat (1999) bahwa stres adalah realita kehidupan setiap hari

Universitas Sumatera Utara


yang tidak mungkin dapat dihindari yang disebabkan karena adanya perubahan

yang memerlukan penyesuaian. Demikian halnya pada klien pasca amputasi

tungkai bawah sangat rentan terhadap terjadinya stres karena terjadinya perubahan

yang membutuhkan penyesuaian baik secara fisik maupun psikologis.

2.3.2. Etiologi stres

Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber yang

disebut stressor. Stressor adalah keadaan atau situasi, obyek atau individu yang

dapat menimbulkan stres (Hidayat, 2009). Stresor merupakan situasi yang

dianggap akan menimbulkan ketegangan dan mengancam kesejahteraan individu

(Sarafino, 1998). Menurut Lazarus dan Folkman (1984) berbagai kejadian dan

perubahan lingkungan di sekitar individu dapat bersifat positif, netral ataupun

negatif yang akan menjadi stresor (Tomey & Alligood, 2006).

Secara umum stressor dapat dibagi menjadi dua, yaitu stressor internal dan

stressor eksternal. Stressor internal berasal dari dalam diri seseorang seperti

demam, penyakit infeksi, trauma fisik dan kelelahan fisik. Sedangkan stressor

eksternal berasal dari luar individu seperti perubahan suhu lingkungan, pekerjaan

serta hubungan interpersonal (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005).

2.3.3. Respon stres

Stres dapat menghasilkan berbagai respon yang dapat berguna sebagai

indikator dan alat ukur terjadinya stres pada individu. Respon stres dapat terlihat

dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, adaptif, dan psikologis. Respon

fisiologis berupa interpretasi otak dan respon neuroendokrin. Respon adaptif

berupa tahapan General Adaptif Syndrome (GAS) dan Lokal Adaptation Syndrome

Universitas Sumatera Utara


lokal (LAS). Respon psikologis dapat berupa perilaku konstruktif maupun

destruktif (Smeltzer & Bare, 2008).

Respon fisiologis terhadap stressor merupakan mekanisme protektif dan

adaptif untuk memelihara keseimbangan homeostasis tubuh yang merupakan

rangkaian peristiwa neural dan hormonal yang mengakibatkan konsekuensi jangka

panjang dan jangka pendek bagi otak dan tubuh. Dalam respon stres, impuls

afferen akan ditangkap oleh organ pengindra dan internal ke pusat saraf otak lalu

diteruskan sampai ke hipotalamus. Kemudian diintegrasikan dan dikoordinasikan

dengan respon yang diperlukan untuk mengembalikan tubuh dalam keadaan

homeostasis. Jika tubuh tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan

tersebut, maka dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan tubuh (Smeltzer &

Bare, 2008).

Jalur neural dan neuroendokrin dibawah kontrol hipotalamus akan

diaktifkan. Kemudian akan terjadi sekresi sistem saraf simpatis kemudian diikuti

oleh sekresi simpatis-adrenal-modular, dan akhirnya bila stres masih ada dalam

sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Sistem saraf pusat mensekresikan

norepinefrin dan epinefrin untuk meningkatkan respon simpatis-adrenal-modular

pada kondisi stres. Respon ini menimbulkan efek atau reaksi yang berbeda pada

setiap sistem tubuh yang dijabarkan dalam indikator stres secara fisiologis. Pada

kondisi tersebut terdapat organ tubuh yang meningkat maupun menurun

kinerjanya, reaksi ini disebut fight or flight. Norepinefrin mengakibatkan

peningkatan fungsi organ vital dan keadaan tubuh secara umum, sedangkan

sekresi endorfin mampu menaikkan ambang untuk menahan stimulasi nyeri yang

Universitas Sumatera Utara


mempengaruhi suasana hati. Manisfestasi sekresi norepinefrin dan endorfin

diantaranya pengeluaran keringat, perubahan suasana hati, keluhan sakit kepala,

sulit tidur, peningkatan jantung (Smeltzer & Bare, 2008).

Stres menuntut seseorang untuk menggunakan energi fisiologis dan

psikologis untuk merespon dan beradaptasi terhadap stressor. Respon stres adalah

alamiah, adaptif dan protektif. Karakteristik dari respon stres adalah hasil dari

respon neuroendokrin yang terintegrasi serta terdapat perbedaan individual dalam

berespon terhadap stressor yang sama. Respon adaptif terdiri dari LAS dan GAS.

Respon LAS terbagi atas respon refleks nyeri dan respon inflamasi (Potter &

Perry, 2005). GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres.

Respon yang terlibat didalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin.

GAS memiliki 3 tahap, yaitu alarm, pertahanan dan kelelahan. Pada tahap alarm

respon simpatis fight or flight diaktifkan yang bersifat defensif dan anti inflamasi

yang akan menghilang dengan sendirinya. Bila stresor menetap maka akan beralih

ketahap pertahanan. Pada tahap ini terjadi adaptasi terhadap stressor yang

membahayakan. Jika pemajanan terhadap stressor diperpanjang dan gagal

melakukan pertahanan maka terjadilah kelelahan. Tahap kelelahan terjadi

peningkatan aktivitas endokrin yang menghasilkan efek pemberhentian pada

sistem tubuh terutama sistem peredaran darah, pencernaan dan imun yang dapat

menyebabkan kematian (Smeltzer & Bare, 2008).

2.3.4. Indikator stres

Indikator stres merupakan ukuran kualitatif dan kuantitatif yang dapat

menggambarkan tingkat stres individu. Stres memberikan dampak langsung

Universitas Sumatera Utara


terhadap psikologis yang secara tidak langsung berdampak pula pada fisiologis.

Terdapat beberapa indikator stres, yaitu fisiologis, emosional dan perilaku stres.

DASS adalah satu set tiga skala laporan diri yang dirancang untuk mengukur

tingkat keparahan gejala inti depresi, kecemasan dan stres (Psikologi Yayasan

Australia, 2002). Nilai utama dari DASS (Depression Anxiety and Stres Scale)

dalam pengaturan klinis adalah untuk memperjelas lokus gangguan emosi, sebagai

bagian dari tugas yang lebih luas dari penilaian klinis. Indikator stres fisiologis

adalah objektif dan lebih mudah diidentifikasi, berupa kenaikan tekanan darah,

tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang tidak tegap, keletihan, sakit kepala,

gangguan lambung, suara yag bernada tinggi, muntah, mual, diare, perubahan

nafsu makan (Potter & Perry, 2005 ; Psychology Foundation of Australia, 2010).

Indikator emosional dan perilaku stres sangat bersifat subjektif. Indikator

stres psikologis dan prilaku berupa ansietas, depresi, kepenatan, kelelahan mental,

perasaan tidak adekuat, kehilangan harga diri, minat dan motivasi, ledakan emosi

dan menangis, kecendrungan membuat kesalahan, mudah lupa dan pikiran buntu,

kehilangan perhatian terhadap hal-hal yang rinci, preokupasi, ketidakmampuan

berkonsentrasi terhadap tugas, rentan terhadap kecelakaan, serta penurunan

produktivitas dan kualitas kerja (Potter & Perry, 2005).

Indikator perilaku dapat berupa konstruktif atau destruktif. Perilaku

konstruktif membantu seseorang menerima tantangan untuk menyelesaikan

konflik, sedangkan perilaku destruktif akan mempengaruhi orientasi realitas,

kemampuan penyelesaian masalah, kepribadian, situasi yang sangat berat, dan

kemampuan untuk berfungsi (Potter & Perry, 2005).

Universitas Sumatera Utara


2.3.5. Dampak stres

Stres kronis narkoba dan operasi dapat melemahkan atau menekan sistem

kekebalan tubuh (Sugerstrom & Miller, 2004). Peneliti menemukan bahwa saat

seseorang terjangkit virus, penyakit, atau gangguan medis tertentu, emosi negatif

pasti mempengaruhi proses penyakit dan pemulihannya. Perasaan cemas, tertekan

atau depresi, dan merasa tidak berdaya, dapat memperlambat penyembuhan luka

setelah operasi, sedangkan perasaan optimis dan penuh harap dapat mempercepat

penyembuhan. Perasaan kesepian dan kecemasan dapat menurunkan sistem

kekebalan tubuh dan memungkinkan virus yang tidur (dormant) dalam tubuh,

seperti herpes, untuk berkembang dengan pesat (Kiecolt & Glaser at el, 1998).

Kekebalan tubuh yang utama dari sel-sel kekebalan tubuh adalah sel darah

putih. Ada dua jenis sel darah putih, limfosit dan fagosit. Ketika kita sedang stres,

kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan antigen berkurang. Itulah

sebabnya kita lebih rentan terhadap infeksi. Hormon stres kortikosteroid dapat

menekan efektivitas sistem kekebalan tubuh, seperti menurunkan jumlah limfosit

(McLeod, 2010)

Watak pemarah merupakan faktor resiko yang secara signifikan

melemahkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan tekanan darah, dan

meningkatkan kemungkinan penyakit jantung (Suinn, 2010). Orang yang

mengalami depresi setelah mengalami serangan jantung secara signifikan

memiliki peluang meninggal lebih besar karena gangguan jantung pada tahun

berikutnya, bahkan saat tingkat keparahan penyakit dan faktor-faktor resiko lain

telah dikontrol (Frasure & Smith et al, 1999). Depresi klinis juga meningkatkan

Universitas Sumatera Utara


resiko serangan jantung dan penyakit kardiovaskuler sebesar dua kali lipat,

sebagaimana ditemukan oleh peneliti longitudinal skala besar yang menemukan

bahwa depresi kronis parah mendahului berkembangnya penyakit jantung selama

bertahun-tahun (Frasure, Smith & Lesperance, 2005 ; Schulz et al, 2000).

2.3.6. Tingkatan stres

a. Stres normal

Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian alamiah

dari kehidupan. Seperti dalam situasi kelelahan setelah mengerjakan tugas, takut

tidak lulus ujian, merasakan detak jantung berdetak lebih keras setelah aktifitas.

Stres normal alamiah dan menjadi penting, karena setiap orang pasti pernah

mengalami stres, bahkan sejak dalam kandungan (Crowford & Henry, 2003)

b. Stres ringan

Stres ringan adalah stressor yang dihadapi secara teratur yang dapat

berlangsung beberapa menit atau jam. Situasi seperti banyak tidur, kemacetan.

Stressor ini dapat menimbulkan gejala bibir kering, kesulitan bernafas, kesulitan

menelan, merasa goyah, merasa lemas, keringat berlebihan ketika temperatur

tidak panas dan tidak setelah aktifitas, takut tanpa alasan yang jelas, tremor pada

tangan (Psychology Foundation of Australia, 2010).

c. Stres sedang

Stres ini terjadi lebih lama antara beberapa jam sampai beberapa hari.

Stressor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain mudah marah, bereaksi

berlebihan terhadap suatu situasi, sulit untuk beristirahat, merasa lelah karena

cemas, tidak sabar ketika mengalami penundaan dan menghadapi gangguan

Universitas Sumatera Utara


terhadap hal yang sedang dilakukan, mudah tersinggung, gelisah dan tidak dapat

memaklumi hal apapun yang menghalangi ketika sedang mengerjakan sesuatu hal

(Psychology Foundation of Australia, 2010).

d. Stres berat

Stres berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa minggu

sampai beberapa tahun, seperti perselisihan, kesulitan finansial yang

berkepanjangan, dan penyakit fisik jangka panjang, yang menimbulkan gejala

antara lain, tidak dapat merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi untuk

melakukan suatu kegiatan, merasa tidak ada yang diharapkan dimasa depan, sedih

dan tertekan, putus asa, kehilangan minat, merasa tidak berharga dan berpikir

bahwa hidup tidak bermanfaat (Psychology Foundation of Australia, 2010).

e. Stres sangat berat

Stres sangat berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa

bulan dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Seseorang yang mengalami

stres sangat berat tidak memiliki motivasi untuk hidup dan cenderung pasrah.

(Psychology Foundation of Australia, 2010).

2.3.7. Mengukur tingkat stres

Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang

dialami seseorang (Crowford & Henry, 2003). Tingkat stres diukur dengan

menggunakan Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) oleh Lavibond &

Lavibond (1995). DASS 42 diaplikasikan dengan format rating scales (skala

penilaian). Tingkat stres pada instrumen ini berupa normal, ringan, sedang, berat

dan sangat berat. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara

Universitas Sumatera Utara


konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut

untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari

status emosional, secara signifikan yang digambarkan sebagai stres (Psychology

Foundation of Australia, 2010).

Instrumen DASS 42 terdiri dari 42 pernyataan yang mengidentifikasi skala

subjektif depresi, kecemasan dan stres. Oleh karena tujuan penelitian ini hanya

untuk mengetahui tingkat stres klien pasca amputasi, maka instrumen ini

dimodifikasi oleh peneliti sendiri dengan hanya mengukur tingkat stres klien

pasca amputasi dengan 14 item pernyataan tentang stres.

2.3.8. Model adaptasi stres

Menurut Funnel et al (2005), terdapat 2 model teori respon terhadap stres

yaitu :

1. Selyes stress adaptation model

Model ini menjelaskan bahwa respon tubuh ketika menghadapi stres

mengalami 3 fase, yaitu :

a. Alarm reaction

Fase ini merupakan reaksi awal tubuh menghadapi stressor apapun. Ini

merupakan sekumpulan reaksi antara hipotalamus, sistem saraf simpatis dan

medulla adrenal. Ini disebut dengan flight or flight response. Ini membuat level

kewaspadaan ditingkatkan dan menggerakkan tubuh untuk siap dalam

menghadapi ancaman. Respon tubuh digambarkan dengan peningkatan siskulasi,

peningkatan pelepasan glukosa menjadi energi.

b. Stage of resistance

Universitas Sumatera Utara


Jika penyebab stres tidak dapat diatasi, tubuh akan mengalami fase ini atau

fase general adaptation syndrome (GAS). Pada fase ini tubuh terus berjuang

menghadapi stressor setelah fase alarm reaction telah selesai. Reaksi pada tahap

ini melibatkan kelenjar pituitary anterior dan korteks adrenal. Reaksi ini lebih

lambat untuk mulai dibandingkan fase pertama, tetapi efeknya lebih lama. Selama

fase ini tubuh juga memulai proses untuk mengembalikan fungsinya mendekati

homeostasis normal.

Fase ini, GAS terus berlangsung dalam waktu yang lama tanpa periode

relaksasi, sehingga penderita cenderung mengalami kelelahan, konsentrasi

menurun, dan iritabilitas. Secara fisiologis kondisi ini menyebabkan pelepasan

steroid dan kortisol yang berlebihan, yang dirangsang selama masa stres, sehingga

akan mengakibatkan penekanan sistem immunitas tubuh. Penurunan sistem

immunitas tubuh akan menyebabkan gangguan kesehatan, umumnya terjadi flu

dan infeksi lainnya yang bisa mengarah pada gangguan seperti sakit kepala dan

gastritis.

c. Stage of exhaustion

Pada fase ini tubuh kehabisan cadangan energi dan immunitas yang

merupakan hasil dari ketidakmampuan untuk beradaptasi atau koping. Pada fase

ini terjadi kehilangan potassium yang mempengaruhi semua fungsi sel tubuh.

Fungsi sel akan hilang dan sel akan mati. Kelelahan pada korteks adrenal akan

terjadi dan tidak mampu menghasilkan hormon yang mencegah penurunan

glukosa darah, sehingga nutrisi sel tidak adekuat. Akibat yang terus menerus akan

Universitas Sumatera Utara


membebankan kerja jantung, pembuluh darah dan korteks adrenal. Hal ini dapat

menyebabkan gagal jantung, gagal ginjal dan kematian.

Selye dalam Funnel et al (2005), juga mengidentifikasi respon tubuh

terhadap stres fisik pada area tubuh. Respon ini disebut dengan local adaptation

syndrome (LAS)

2. Lazaruss interactional theory

Lazarus (1966) dalam Lazarus & Folkman (1984) menjelaskan bahwa cara

individu menginterpretasikan stressor dan kemampuan untuk koping (appraisal)

yang menentukan efek dari stres. Proses appraisal merupakan sekumpulan

tindakan kognitif individu dalam membuat suatu evaluasi. Individu menilai situasi

tergantung pada nilai seseorang, keyakinan dan perasaan, dan apa yang dilihat

penting dan tidak penting bagi mereka. Terdapat 2 tipe appraisal :

a. Primary appraisal

Penilaian yang dilakukan untuk menilai apakah kejadian tersebut

mengganggu kesejahteraan hidup seseorang, primary appraisal dibedakan atas 3

jenis yaitu : 1) irrelevant, 2) benign-positive, 3) stressfull. Irrelevant terjadi ketika

pertemuan dengan lingkungan tidak ada membawa implikasi pada kesejahteraan

seseorang (netral, tidak ada yang hilang atau yang diperoleh). Benign-positive

appraisal terjadi ketika hasil dari sebuah pertemuan adalah positif yang

meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan. Karakteristik dari Benign-positive

appraisal adalah kesenangan, gembira, cinta dan damai.

Stressfull appraisal diklarifikasikan menjadi 3 hal, yaitu : 1) harm/loss, 2)

threat, 3) challenge. Harm/loss merupakan beberapa kerusakan yang terjadi pada

Universitas Sumatera Utara


seseorang yang telah terjadi terus menerus seperti kerusakan yang berakibat pada

harga diri, kurang mencintai nilai pribadi, kehilangan orang yang dicinta. Threat

(ancaman) diartikan sebagai kejadian yang mana bahaya atau kehilangan yang

belum terjadi dan masih dapat diantisipasi. Challenge appraisal (tantangan)

berfokus pada potensi untuk memperoleh atau mengembangkan didalam suatu

pertemuan dan biasanya memiliki ciri-ciri bersemangat dan kegembiraan,

contohnya challenge appraisal seseorang akan bersemangat dalam menghadapi

sesuatu yang baru.

b. Secondary appraisal

Setelah menilai apakah situasi tersebut berupa ancaman atau tantangan

(primary appraisal), selanjutnya yang dilakukan adalah tindakan koping apa yang

dapat dilakukan untuk mengatasi situasi tersebut. Ini melibatkan penilaian

terhadap hambatan dalam melakukan koping, kekuatan personal, dan sumber

dukungan.

Individu
- Keyakinan
- Nilai
- Sumber diri
Out
Hubung comes
an Primary Secondary Perubaha
Individu appraisal appraisal n emosi,
Lingkungan lingkung fungsi
- Bahaya an sosial
- Ancaman dan
- Tantangan moral
- Keuntungan

Skema 1. Model stres dan koping Lazarus (1991)

Universitas Sumatera Utara


Wrubel, Benner dan Lazarus (1984) menemukan bahwa latar belakang

makna-makna dan perhatian seseorang sebenarnya mengatur apa yang dianggap

sebagai penyebab stres dan apa koping yang tersedia dalam istilah pemahaman,

ketrampilan, pengetahuan, nilai dan akses. Hal yang terkait pada konsep stres dan

koping dalam persfektif fenomenologi adalah peran tubuh, peran situasi, peran

dari perhatian pribadi, emosi sebagai makna yang dialami, ketrampilan, dan

sumber-sumber umum dan keunikan antara seseorang dan situasi.

2.4. Studi Fenomenologi

Fenomenologi sebagai penelitian adalah metode penelitian yang

sepenuhnya penggambarkan pengalaman hidup seseorang dari suatu peristiwa

(Mapp, 2008, Husserl 2000). Ini menekankan bahwa hanya mereka yang

memiliki fenomena yang berpengalaman yang dapat berkomunikasi ke dunia luar

(Todres dan Holloway, 2004). Metode penelitian kualitatif dimana peneliti

mencoba untuk menemukan dan mengeksplorasi pengalaman hidup manusia.

Fenomenologi berakar dari ilmu filosofi yang dikembangkan oleh Husserl dan

Heidgger, mereka memandang fenomena subjektif dengan keyakinan bahwa

kebenaran tentang realita didasarkan pada pengalaman hidup manusia yang penuh

makna dan dialami secara sadar. Fenomenologi telah menjadi bidang yang tidak

terpisahkan dari penelitian keperawatan karena banyak digunakan untuk

mempelajari fenomena penting dalam dunia keperawatan (Chamberlain, 2009).

Pengalaman manusia dipelajari oleh peneliti untuk mengetahui dan

memahami makna dari pengalaman tersebut melalui berbagai cara. Peneliti

berusaha mengeksplorasi pengalaman mekanisme koping partisipan melalui

Universitas Sumatera Utara


pengumpulan data dan peneliti berusaha mengeksplorasi mekanisme koping klien

pasca amputasi tungkai bawah. Pengumpulan data dilakukan dengan cara

wawancara mendalam (indepth interview), sedangkan alat pengumpulan data

utama adalah peneliti sendiri, dan alat bantu lainnya seperti kuisioner tingkat stres,

panduan wawancara, catatan lapangan, dan alat perekam suara (Polit & Beck,

2008).

Menurut Fochtman (2008 dalam Sosha, 2011; Polit & Beck, 2008),

fenomenologi terdiri dari :

a. Fenomenologi deskriptif

Jenis penelitian ini difokuskan pada deskripsi pengalaman yang dialami

oleh manusia. Husserl (1962 dalam Denzin dan Lincoln, 2009) berpendapat

bahwa hubungan antara persepsi dan objek-objeknya tidaklah pasif dan kesadaran

manusia secara aktif mengandung objek-objek pengalaman.

Menurut Beck (1994), Collaizi (1998), Giorgi (1985), fenomenologist

dalam proses analisa data pada fenomenologi deskriptif adalah : Collaizi

menganjurkan kembali kepada partisipan untuk memvalidasi hasil yang sudah

diperoleh peneliti dari partisipan, Giorgi berpendapat bahwa memvalidasi hasil

hanya mengandalkan peneliti saja, tidak perlu kembali kepada partisipan untuk

memvalidasi hasil temuan, sedangkan menurut Van Kaam bahwa kesepakatan

hasil analisis data diperoleh dengan menggunakan bantuan dari ahlinya.

b. Fenomenologi interpretif-hermeneutik

Fenomenologi interpretif-hermeneutik dikembangkan oleh Heidegger pada

tahun 1962. Inti dari fenomenologi ini adalah pemahaman dan penafsiran, bukan

Universitas Sumatera Utara


sekedar deskripsi dari pengalaman manusia tetapi menemukan pemahaman

dengan cara masuk kedalam dunia partisipan (Sosha, 2012).

Menurut Guba & Lincoln (1990) dalam Shenton, (2003) bahwa penelitian

kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan integritasnya.

Oleh karena itu perlu dilakukan keabsahan data melalui empat kriteria yaitu

credibility, transferability, dependability, dan confirmability.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai