Anda di halaman 1dari 26

TETRAPARESE

1. DEFINISI
Tetraparese adalah kelumpuhan/kelemahan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma

pada manusia yang menyebabkan hilangnya sebagian fungsi motorik pada keempat

anggota gerak, dengan kelumpuhan/kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya

dibandingkan dengan tungkai. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak, kerusakan

tulang belakang pada tingkat tertinggi (khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan

sistem saraf perifer, kerusakan neuromuscular atau penyakit otot.kerusakan diketahui

karena adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsi motorik pada keempat anggota

gerak, yaitu lengan dan tungkai. Penyebab khas pada kerusakan ini adalah trauma (seperti

tabrakan mobil, jatuh atau sport injury) atau karena penyakit (seperti mielitis transversal,

polio, atau spina bifida).

Pada tetraparese kadang terjadi kerusakan atau kehilangan kemampuan dalam

mengontrol sistem pencernaan, fungsi seksual, pengosongan saluran kemih dan rektum, sistem

pernafasan atau fungsi otonom.Selanjutnya, dapat terjadi penurunan/kehilangan fungsi

sensorik.adapun manifestasinya seperti kekakuan, penurunan sensorik, dan nyeri neuropatik.

Walaupun pada tetraparese itu terjadi kelumpuhan pada keempat anggota gerak tapi terkadang

tungkai dan lengan masih dapat digunakan atau jari-jari tangan yang tidak dapat memegang kuat

suatu benda tapi jari-jari tersebut masih bisa digerakkan, atau tidak bisa menggerakkan tangan

tapi lengannya masih bisa digerakkan. Hal ini semua tergantung dari luas tidaknyanya kerusakan.

2.3 Etiologi Tetraparese

Tabel 1. Penyebab umun dari tetraparesis 8:

- Complete/incomplete transection of cord with fracture


Prolapsed disc
Cord contusion-central cord syndrome, anterior cord syndrome
- Guillain-Barre Syndrome (post infective polyneuropathy)
- Transverse myelitis Acute myelitis
- Anterior spinal artery occlusion
- Spinal cord compression
- Haemorrhage into syringomyelic cavity
- Poliomyelitis

2.5 Klasifikasi Tetraparese

Pembagian tetraparese berdasarkan kerusakan topisnya 4:

a. Tetrapares spastik
Tetraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron (UMN),

sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni.


b. Tetraparese flaksid
Tetraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron (LMN),

sehingga menyebabkan penurunan tonus atot atau hipotoni.

2.6 Patofisiologi Tetraparese

Tetraparese dapat disebabkan karena kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) atau

kerusakan Lower Motor Neuron (LMN).Kelumpuhan/kelemahan yang terjadi pada kerusakan

Upper Motor Neuron (UMN) disebabkan karena adanya lesi di medula spinalis. Kerusakannya

bisa dalam bentuk jaringan scar, atau kerusakan karena tekanan dari vertebra atau diskus

intervetebralis. Hal ini berbeda dengan lesi pada LMN yang berpengaruh pada serabut saraf yang

berjalan dari horn anterior medula spinalis sampai ke otot.


2.6.1 Lesi di Mid- or upper cervical cord

Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral menimbulkan

kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di bawah

tingkat lesi. Lesi transversal medula spinalis pada tingkat servikal, misalnya C5 mengakibatkan

kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot tubuh yang berada dibawah C5, yaitu

sebagian otot-otot kedua lengan yang berasal yang berasal dari miotom C6 sampai miotom C8,

lalu otot-otot thoraks dan abdomen serta segenap otot kedua tungkai yang mengakibatkan

kelumpuhan parsial dan defisit neurologi yang tidak masif di seluruh tubuh. Lesi yang terletak di

medula spinalis tersebut maka akan menyebabkan kelemahan/kelumpuhan keempat anggota

gerak yang disebut tetraparese spastik 1,5.

2.6.2 Lesi di Low cervical cord

Lesi transversal yang merusak segmen C5 ke bawah itu tidak saja memutuskan jaras

kortikospinal lateral, melainkan ikut memotong segenap lintasan asendens dan desendens lain.

Disamping itu kelompok motoneuron yang berada didalam segmen C5 kebawah ikut rusak.Ini

berarti bahwa pada tingkat lesi kelumpuhan itu bersifat Lower Motor Neuron (LMN) dan

dibawah tingkat lesi bersifat Upper Motor Neuron (UMN). Dibawah ini kelumpuhan Lower

Motor Neuron (LMN) akan diuraikan menurut komponen-komponen Lower Motor Neuron

(LMN) 1.

1. LETAK CEDERA MEDULLA SPINALIS

Trauma medula spinalis adalah trauma langsung atau tidak langsung terhadap medula spinalis
yang menyebabkan kerusakan medula spinalis.Trauma Medula Spinalis adalah trauma pada
tulang belakang yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian.10

Cedera medula spinalis dapat diklasifikasikan sesuai dengan1:

A. LEVEL
Level neurologis adalah segmen paling kaudal dari medula spinalis yang masih dapat
ditemukan sensoris dan motoris normal dikedua sisi tubuh.Level sensoris digunakan
menunjukkan bagian segmen paling kaudal medula spinalis dengan fungsi sensoris normal pada
kedua sisi tubuh. Level motoris, yaitu daerah paling kaudal dimana masih ditemukan fungsi
motoris dengan tenaga 3/5.

Penentuan level cedera pada ke 2 sisi adalah penting. Terdapat perbedaan jelas antara lesi di
bawah dan di atas T1. Cedera pada segmen servikal di atas T1 medula spinalis menyebabkan
kuadriplegia dan lesi dibawah level T1 menghasilkan paraplegia. Level vertebra yang mengalami
cedera adalah dimana tulang yang mengalami kerusakan, menyebabkan cedera pada medula
spinalis.Level kelainan neurologis dari cedera ini ditentukan hanya dengan pemeriksaan klinis.

B. BERATNYA DEFISIT NEUROLOGIS


Berdasarkan luasnya, lesi medula spinalis dibedakan menjadi2:

I. Lesi transversal total (Complete)

II. Lesi Transversal parsial (incomplete)


(I). Lesi Transversal Total (Complete)
Pada lesi transversal total ini, seluruh
penampang melintang medula spinalis terkena
lesi. Apapun penyebabnya, lesi semacam ini
akan memberikan 3 gejala pokok, yaitu2:
1. Gangguan motorik
2. Gangguan sensibiliras
3. Gangguan fungsi otonom

Gambar 17 : Cedera medula spinalis


komplit
(II). Lesi Transversal parsial (incomplete)
Istilah parsial dimaksudkan bahwa jika dilihat dari penampang melintangnya, hanya
sebagian saja yang terkena lesi2. Setiap masih adanya fungsi sensoris atau motoris di bawah level
cedera merupakan cedera tidak komplit, termasuk :

1. Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunter pada ekstremitas bawah.
2. Sacral Sparing, sebagai contoh sensasi perianal, kontraksi sphincter ani secara volunter,
atau fleksi jari kaki volunter.
Spinal Cord Syndrome

Beberapa tanda yang khas untuk cedera neurologis kadang-kadang dapat dilihat pada
penderita dengan cedera medula spinalis.

1. Central Cord Syndrome, yang khas adalah bahwa kehilangan tenaga pada ekstremitas atas
lebih besar dibandingkan ekstremitas bawah, dengan tambahan adanya kehilangan sensasi yang
bervariasi. Biasanya hal ini terjadi setelah terjadinya cedera hiperekstensi pada penderita dengan
riwayat adanya stenosis kanalis servikalis (sering disebabkan karena oleh osteoarthritis
degeneratif). Dari anamnesis umumnya ditemukan riwayat terjatuh ke depan yang menyebabkan
tumbukan pada wajah, yang dengan atau tanpa fraktur atau dislokasi tulang servikal.
Penyembuhan biasanya khas, dengan penyembuhan pertama pada kekuatan ekstremitas bawah,
kemudian fungsi kandung kencing, lalu kearah proksimal yaitu ekstremitas atas dan berikutnya
adalah tangan. Prognosis penyembuhan central cord syndrome lebih baik dibandingkan dengan
cedera inkomplit lain. Central cord syndrome diduga disebabkan oleh karena gangguan vaskuler
pada daerah medula spinalis pada daerah distribusi arteri spinalis anterior.Arteri ini mensuplai
bagian tengah medula spinalis. Karena serabut saraf motoris ke segmen servikal secara
topografis mengarah ke center medula spinalis, inilah bagian yang paling terkena.1

Sering terjadi pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervicalis. Predileksi
lesi yang paling sering adalah medula spinalis segmen servikal, terutama pada vertebra C4-
C6.Sebagian kasus tidak ditandai oleh adanya kerusakan tulang.Mekanisme terjadinya cedera
adalah akibat penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi
osteofit atau material diskus dari anterior. Bagian medula spinalis paling rentan adalah bagian
dengan vaskularisasi paling banyak yaitu bagian sentral.

Pada Central Cord Syndrome, bagian


paling menderita gaya trauma dapat
mengalami nekrosis traumatika yang
permanen. Edema yang timbul dapat
meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di
atas titik pusat cedera.
Gambaran klinis yang khas berikut terlihat
setelah

fase syok spinal berakhir.


1. Paralisis lower motor neuron bilateral dan atrofi
otot di segmen lesi. Hal ini disebabkan oleh
karena kerusakan neuron didalam columna grisea
anterior (yaitu lower motor neuron) dan mungkin
akibat kerusakan radix saraf anterior pada
segmen yang sama.
2. Paralisis spastik bilateral di bawah tingkat lesi
dengan karakteristik sacral sparing. Serabut -
Gambar 18 : Central Cord Syndrome
serabut ekstremitas bawah lebih sedikit terkena daripada serabut ekstremitas atas karena serabut
desendens di traktus corticospinalis lateralis tersusun berlapis-lapis, dengan serabut ekstremitas
atas terletak lebih medial dan serabut untuk ekstremitas bawah lebih ke lateral.
3. Hilangnya sensasi nyeri, suhu, dan raba ringan dan tekanan bilateral dibawah tingkat lesi
dengan cirri khas sacral sparing. Oleh karena serabut-serabut asendens pada tractus
spinothalamicus lateralis dan anterior tersusun berlapis-lapis, dengan serabut untuk
ekstremitas atas terletak lebih medial dan serabut untuk ekstremitas bawah lebih ke
lateral, sehingga serabut untuk ekstremitas atas lebih mudah rusak daripada serabut
ekstremitas bawah.

2. Anterior Cord Syndrome,ditandai dengan adanya paraplegia dan kehilangan disosiasi sensoris
terhadap nyeri dan sensasi suhu. Fungsi kolumna posterior (kesadaran posisi, vibrasi, tekanan
dalam) masih ditemukan.Biasanya anterior cord syndrome disebabkan oleh infark medula
spinalis pada daerah yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior.Sindrom ini mempunyai
prognosis yang terburuk diantara cedera inkomplit.

Gambaran klinis yang khas berikut terlihat setelah fase syok spinal berakhir.

1. Paralisis lower motor neuron bilateral dan atrofi


otot di segmen lesi. Hal ini terjadi akibat keru-
sakan neuron didalam columna grisea anterior
(yaitu lower motor neuron) dan mungkin akibat
kerusakan radix saraf anterior pada segmen
yang sama.
Paralisis spastic bilateral dibawah tingkat lesi,
luasnya paralisis bergantung pada luas daerah
medula spinalis yang cedera. Paralisis bilateral - Gambar 19 : Anterior Cord Syndrome

disebabkan oleh gangguan traktus corticospinalis pada ke dua sisi medula spinalis. Paralisis
spastik bilateral terjadi akibat terputusnya traktus-traktus desendens selain traktus
corticospinalis.
2. Hilangnya sensasi nyeri, suhu, dan raba ringan bilateral dibawah tingkat lesi. Tanda-tanda ini
disebabkan oleh kerusakan oleh tractus spinotalamicus lateralis dan anterior kedua sisi.
3. Terdapat diskriminasi taktil dan getar serta sensasi propioseptif karena columna alba
posterior kedua sisi tidak rusak.1
3. Brown Sequard Syndrome, timbul karena hemiseksi dari medula spinalis dan jarang dijumpai.
Akan tetapi, variasi gambaran klasik cukup sering ditemukan. Dalam bentuk yang asli sindrom
ini terdiri dari kehilangan motoris ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan kehilangan kesadaran
posisi (kolumna posterior) yang berhubungan dengan kehilang-an disosiasi sensori kontralateral
dimulai dari satu atau dua level di bawah level cedera (traktus spinotalamikus). Kecuali kalau
sindrom ini disebabkan oleh cedera penetrans pada medula spinalis, penyembuhan (walaupun
sedikit) biasanya akan terjadi.

Gambaran klinis yang khas berikut ini dapat ditemukan pada pasien dengan hemiseksi total
medula spinalis setelah fase syok spinal berakhir.

1. Paralisis lower motor neuron ipsilateral dan


atrofi otot di segmen lesi. Tanda ini akibat
kerusakan neuron-neu-ron didalam columna
grisea anterior dan mungkin akibat kerusakan
radix saraf anterior pada segmen yang sama.
2. Paralisis spastic ipsilateral dibawah tingkat lesi.
Terda-pat tanda Babinski ipsilateral, dan
bergantung pada segmen medula spinalis yang
rusak, reflex abdominalis superfisialis dan
kremaster dapat menghilang. Semua tanda-tanda
ini disebabkan oleh kerusakan traktus korti-

kospinalis pada sisi lesi. Paralisis spastik terjadi


akibat gangguan pada tractus descendens selain
tractus corticospinalis.
3. Pita anestesi kulit ipsilateral pada segmen lesi.
Keadaan ini terjadi akibat kerusakan radix posterior
dan tempat masuknya ke dalam medula spinalis di
tingkat lesi.
4. Hilangnya diskriminasi taktil dan getar serta sensasi
propioseptif ipsilateral dibawah tingkat
Gambar 20 : Brown Sequard
Syndrome
lesi. Tanda ini disebakan oleh kerusakan traktus desendens dicolumna alba posterior pada sisi
yang sama dengan lesi (neuroanatomi klinik).

5. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontralateral dibawah tingkat lesi, hal ini disebab kan oleh
karena kerusakan tractus spinothalamicus lateralis yang telah menyilang pada sisi yang sama
dengan lesi. Karena traktus menyilang miring, kehilangan sensasi terjadi dua atau tiga
segmen dibawah tingkat lesi.
6. Hilangnya sensasi taktil yang inkomplit pada sisi kontralateral. Keadaan ini disebab kan oleh
kerusakan pada tractus spinothalamicus anterior yang telah menyilang pada sisi yang sama
dengan lesi. Dalam hal ini sekalian lagi gangguan sensorik terjadi dua atau tiga segmen
dibawah tingkat lesi karena tractus menyilang miring. Kehilangan sensasi taktil kontralateral
inkomplit terjadi karena sensasi diskriminatif yang berjalan melalui tractus ascendens di
dalam columna alba posterior kontralateral yang tetap utuh.18

4. Posterior Cord Syndrome


Sindrom ini sering terlihat
pada cedera hiperekstensi de-
ngan fraktur pada elemen pos
-terior dari tulang
belakang.Terjadi kontusio
pada colum posterior jadi Gambar 21 : Posterior Cord Syndrom
pasien mungkin
mempunyai kekuatan, nyeri dan sensasi suhu yang baik tetapi beberapa kadang ataxia yang
mendalam disebabkan karena kehilangan propioseptif, yang dapat membuat seseorang berjalan
jadi sangat sulit.

Tabel.2. Tabulasi perbandingan klinik lesi komplit dan inkomplit 8

KARAKTERISTIK LESI KOMPLIT LESI INKOMPLIT

Motoric Hilang dibawah lesi


Protopatik(nyeri /suhu) Hilang dibawah lesi Sering(+)

Propioseptik(joint position, vibrasi) Hilang dibawah lesi Sering(+)

Sacral sparing negative positif Sering(+)

Ro.Vertebra sering fraktur, luksasi atau sering normal


listesis

MRI (Ramon 1997, data 55 pasien Hemoragi (54%) Edema (62%)


cedera medula spinalis, 28 komplet,
27 inkomplit) Kompresi (25%) Kontusi (26%0

Kontusi (11%) Normal (15%)

Tabel 3. Komparasi Karakteristik Klinik Sindrom Cedera Medula Spinalis

Karakteris Central Cord Anterior Cord Brown Sequard Posterior Cord


tik Klinik
Syndrome Syndrome Syndrome Syndrome

Kejadian Sering Jarang Jarang jarang

Biomekani Hiperekstensi Hiperfleksi Penetrasi Hiperekstensi


ka

Motorik Gangguan Sering paralisis Kelemahan Gangguan


bervariasi ; anggota bervaria-si,ggn
komplet (ggn tractus
jarang paralisis tractus gerak ipsilateral descendenringan
lesi;
komplet desenden);
biasanya ggn traktus
desenden (+)
bilateral

Protopatik Gangguan Sering hilang Sering hilang Gangguan


total (ggn tractus total (ggn tractus berva-riasi,
bervariasi ascenden); ascenden) biasanya ringan
tidak khas bilateral kontralateral

Propiosepti Jarang Biasanya utuh Hilang total Terganggu


k ipsilate-ral; ggn
sekali tractus ascenden
terganggu
Perbaikan Sering nyata dan Paling buruk di Fungsi buruk, NA
antara lainnya namun indepen-
cepat; khas kele- densi paling baik
mahan tangan dan
jari menetap

2.7 Tetraparese dengan Hemiparese bilateral

Tetraparese dengan hemiparese bilateral (bihemiparese) mempunyai arti yang sama yaitu

kelemahan pada keempat anggota gerak. Namun, pada bihemiparese kelemahan/kelumpuhannya

tidak terjadi langsung pada keempat anggota gerak.Bihemiparese bersifat kerusakan pada upper

motor neuron, yaitu adanya infark di hemispere serebral bilateral dapat disebabkan karena dua

lesi iskemik didaerah kedua arteri serebri (anterior/media) atau di kedua kapsula interna.Lesi

pada arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada daerah mesensefalon.Lesi ini dapat

disebabkan oleh adanya arterosklerosis, emboli, aneurisma, dan inflamasi 8,13,16,17.

Pada awal stroke terjadi hemiparese unilateral karena infark di hemisfer serebral

unilateral yang disebabkan adanya lesi pada arteri serebri (anterior/media) atau di kapsula

interna unilateral. Lama kelamaan lesi ini juga dapat ditemukan pada arteri serebri

(anterior/media) atau kapsula interna yang lain, sehingga terjadi infark pada hemisfer serebral

bilateral. Oklusi pada arteri basilaris juga dapat menyebabkan hemiparese bilateral 16,17.

2.8 Tetraparese dapat dijumpai pada beberapa keadaan

a. Penyakit infeksi

- Mielitis transversa
Dapat menyebabkan satu sampai dua segmen medula spinalis rusak sekaligus, infeksi

dapat langsung terjadi melalui emboli septik, luka terbuka ditulang belakang, penjalaran

osteomielitis atau perluasan proses meningitis piogenik. Istilah mielitis tidak hanya digunakan

jika medula spinalis mengalami peradangan, namun juga jika lesinya mengalami peradangan dan

disebabkan oleh proses patologik yang mempunyai hubungan dengan infeksi. Adakalanya reaksi

imunologik timbul di medula spinalis setelah beberapa minggu sembuh dari penyakit viral.Pada

saat itu sarang-sarang reaksi imunopatologik yang berukuran kecil tersebar secara difus

sepanjang medula spinalis.Serabut-serabut asenden dan desenden panjang dapat terputus oleh

salah satu lesi yang tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan kelumpuhan parsial dan defisit

sensorik yang tidak masif di seluruh tubuh atau yang dikenal dengan istilah tetraparese 1.

- Poliomielitis

Poliomielitis adalah peradangan pada daerah medula spinalis yang mengenai substantia

grisea. Jika lesi mengenai medula spinalis setinggi servikal atas maka dapat menyebabkan

kelemahan pada anggota gerak atas dan bawah .Pada umumnya kelompok motoneuron di

segmen-segmen intumesensia servikal dan lumbalis merupakan substrat tujuan viral.Tahap

kelumpuhan bermula pada akhir tahap nyeri muskular.Anggota gerak yang dilanda kelumpuhan

LMN adalah ekstremitas 1.

b. Polineuropati

Polineuropati adalah kelainan fungsi yang berkesinambungan pada beberapa saraf perifer

di seluruh tubuh. Penyebab karenainfeksi bisa menyebabkan polineuropati, kadang karena racun

yang dihasilkan oleh beberapa bakteri (misalnya pada difteri) atau karena reaksi autoimun, bahan

racun bisa melukai saraf perifer dan menyebabkan polineuropati atau mononeuropati (lebih
jarang), kanker bisa menyebabkan polineuropati dengan menyusup langsung ke dalam saraf atau

menekan saraf atau melepaskan bahan racun, kekurangn gizi dan kelainan metabolik juga bisa

menyebabkan polineuropati.

Kekurangan vitamin B bisa mengenai saraf perifer di seluruh tubuh.Penyakit yang bisa

menyebabkan polineuropati kronik (menahun) adalah diabetes, gagal ginjal dan kekurangan gizi

(malnutrisi) yang berat.Polineuropati kronik cenderung berkembang secara lambat (sampai

beberapa bulan atau tahun) dan biasanya dimulai di kaki (kadang di tangan) 18.

Kelainan pada saraf perifer dijumpai sebagai berikut : tiga sampai empat hari pertama

pembengkakan dan menjadi irreguler dari selubung myelin. Hari ke lima terjadi desintegrasi

myelin dan pembengkakan aksis silinder. Pada hari ke sembilan timbul limfosit, hari ke sebelas

timbul fagosit dan pada hari ketiga belas proliferasi Schwan sel. Kesemutan, mati rasa, nyeri

terbakar dan ketidakmampuan untuk merasakan getaran atau posisi lengan, tungkai dan sendi

merupakan gejala utama dari polineuropati kronik. Nyeri seringkali bertambah buruk di malam

hari dan bisa timbul jika menyentuh daerah yang peka atau karena perubahan

suhu.Ketidakmampuan untuk merasakan posisi sendi menyebabkan ketidakstabilan ketika berdiri

dan berjalan. Pada akhirnya akan terjadi kelemahan otot dan atrofi (penyusutan otot).

Kelumpuhan biasanya timbul sesudah tidak ada panas, kelumpuhan otot biasanya bilateral dan

simetris dengan tipe "lower motor neuron dengan penyebaran kelumpuhan yang bersifat

ascending yaitu mulai dari ekstrimitas bawah yang menjalar ke ekstrimitas atas, tetapi bisa pula

descending yaitu mulai dari ekstrimitas atas yang turun ke ekstrimitas bawah 18.

c. Sindrom Guillain Barre (SGB)

Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang

mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya
timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang

simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka
19,20
.

Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul

autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer. Infeksi-infeksi

meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan

perlekatan-perlekatan selaput araknoid.Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi

tuberkulosis.Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks

ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun

kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis

dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena

itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di

sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit

sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak 19,20.

Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa

disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear.Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari

sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada

permulaan penyakit.Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast.Serabut saraf mengalami

degenerasi segmental dan aksonal.Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks

spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena

kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut 19,20.
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor

neuron.Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah

kemudian menyebar secara asenden ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis.Kadang-

kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan

dan saraf kranialis.Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau

arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal,

tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal 20.

d) Miastenia Grafis

Miastenia grafis adalah penyakit neuromuskular yang menyebabkan otot skelet menjadi

lemah dan lekas lelah. Kelelahan/kelemahan ini disebabkan karena sirkulasi antibodi yang

memblok acetylcholine receptors pada post sinaptik neuromuscular junction, stimulasi

penghambatan ini berpengaruh pada neurotransmiter asetilkolin. Manifestasi klinisnya dapat

berupa kelemahan pada otot yang mengatur pergerakan mata, kelemahan otot pada lengan dan

tungkai, perubahan ekspresi wajah, disfagia, dan disartria 18,21.

e) Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)

Penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) adalah suatu kelainan yang progresif dari

sistem saraf yang banyak terjadi pada orang dewasa dengan penyakit motoneuron. Kondisi

tersebut menyebabkan degenerasi saraf motorik bagian atas (brain) dan saraf motorik bagian

bawah (spinal cord) dengan kombinasi tanda upper motor neuron (UMN) dan lower motor

neuron (LMN). Penurunan kualitas saraf ini, menyebabkan Kelemahan pada otot dan dapat

berakhir pada kematian 14,22,23.


Proses degenerasi hanya menyerang pada neuron motorik, yaitu sel-sel saraf yang

mengatur pergerakkan otot. Akibat kelemahan itu, kemampuan tubuh untuk mengatur gerakan

otot yang disadari akan hilang secara perlahan-lahan. Misalnya, memegang, menjentik,

menggaruk, dan sebagainya.Namun penyakit ini tidak mempengaruhi saraf sensoris (perasa) dan

fungsi mental.Meskipun penyebab pasti ALS belum diketahui, teori yang dikenal saat ini

menyatakan neurotransmiter glutamat (suatu zat kimia yang menghantarkan impuls atau sinyal

ke sel-sel saraf) kemungkinan memegang peranan sebagai penyebab matinya sel-sel saraf

motorik. Zat-zat kimia lainnya, seperti molekul radikal bebas dan kalsium kemungkinan juga

ikut terlibat 22,23.

Penyakit ALS mengakibatkan sistem neuromuscular tidak berfungsi karena kedua saraf motorik
penderita ALS telah rusak.Seiring berjalannya waktu, penyakit ALS menyebabkan sarafsaraf
motorik yang berada di otak dan batang tubuh mengecil, dan pada akhirnya
menghilang.Akibatnya, otot otot tubuh tidak lagi mendapat sinyal untuk bergerak.Karena otot
yang berada dalam tubuh kehilangan pemasok nutrisinya, sehingga otototot yang menjadi lebih
kecil dan melemah. Saraf-saraf di dalam sistem neuromuscular yang memberi nutrisi ke otot-otot
tersebut terlokalisir, sehingga menyebabkan tumbuhnya jaringan yang rusak mengantikan saraf
saraf yang normal

DIAGNOSIS

Pemeriksaan untuk Level Cedera Medula spinalis

Penderita dengan cedera medula spinalis mungkin mempunyai level yang bervariasi dari
defisit neurologis. Level fungsi motoris dan sensasi harus dinilai ulang secara berkala dan secara
hati-hati dan didokumentasikan, karena tidak terlepas kemungkinan terjadi perubahan level.1

A.PEMERIKSAAN MOTORIS TERBAIK

1. Menentukan level kuadriplegia, level radiks saraf

a. Mengangkat siku sampai setinggi bahu-deltoid, C-5


b. Fleksi lengan bawah- Bisep, C-6
c. Ekstensi lengan bawah-Tricep, C-7
d. Fleksi pergelangan tamngan dan jari, C-8
e. Membuka jari T1
2. Menentukan level paraplegia, level radiks saraf

a. Fleksi panggul iliopsoas,L-2


b. Ekstensi lutut-Kuadriseps, L-3
c. Dosofleksi ankle Tibialis anterior, L4
d. Plantar fleksi ankle-Gastroknemius, S-1

B.PEMERIKSAAN SENSORIS

Dermatom adalah
daerah pada kulit yang
dipersarafi oleh akson
sensoris dalam radiks
saraf segmental.
Pengertian terhadap be
berapa level dermatom
utama tidak terlalu ber
-makna untuk menentu
-kanlevel cedera dan
menentukan perbaikan
atau penurunan neuro-
logis. Level sensoris
adalah dermatom teren
-dah dengan fungsi sen
-soris yang normal dan
dapat dibedakan pada -
ke dua sisi tubuh. Gambar 21 : Dermatom
Untuk praktisnya, dermatom servikal atas (C1-C4) adalah bervariasi dalam distribusi persarafan
kulitnya dan tidak selalu perlu untuk dilokalisasi sedangkan saraf supraklavikular (C2-C4)
mempersarafi sensasi pada daerah yang menutup otot pectoralis. Adanya sensasi di daerah ini
dapat menyebabkan pemeriksa kebingungan bila mencoba menentukan level sen -

-soris pada penderita dengan cedera leher bawah.1

Kunci untuk menentukan titik sensasi adalah :

1. C5 - area di atas deltoid 8. T12 - Simfisis


2. C6 - Jempol 9. L4 - Bagian medial betis
3. C7 - Jari tangan tengah 10. L5 - Ruang di antara jari kaki I & II
4. C8 - Kelingking 11. S1 - Batas lateral Pedis
5. T4 - Papila mamae 12. S-3 - Daerah Tuberositas Iskhii
6. T8 - Xifosternum 13. S-4 - Daerah perianal
7. T10 - Umbilikus & S-5

C. MIOTOM

Setiap saraf segmental (radiks) mempersarafi lebih dari satu otot dan kebanyakan otot
dipersarafi oleh lebih dari satu saraf (biasanya 2).Untuk memudahkan, beberapa otot atau
kelompok otot diidentifikasikan sebagai satu segmen saraf spinal.1

Otot-otot yang terpenting adalah:

1. C-5 Deltoid
2. C-6 Ekstensor pergelangan (ekstensor karpi radialis longus dan brevis)
3. C-7 Ekstensor siku (trisep)
4. C-8 Fleksor jari-jari sampai dengan jari tengah (fleksor digitorumprofundus)
5. T-1 Abduktor jari kelingking (abductor digiti minimi)
6. L-2 Fleksor panggul (iliopsoas)
7. L-3 Ekstensor lutut (otot Kuadriseps)
8. L-4 Dorsofleksi pergelangan kaki (tibialis anterior)
9. L-5 ekstensor jari kaki II(ekstensor halusis longus)
10. S-1 Fleksi pergelangan kaki (gastroknemius, soleus)

Sebagai tambahan dari tes otot bilateral, sfinkter ani eksterna harus diperiksa dengan
pemeriksaan colok dubur.Setiap otot dilakukan gradasi menjadi 6 tingkat (table 4).Derajat
kekuatan otot.dokumentasi kekuatan kelompok otot kunci membantu mengetahui perbaikan atau
memburuknya keadaan neurologis.
Tabel 4.derajat kekuatan otot.

Skor Hasil Pemeriksaan

0 Kelumpuhan total

1 Teraba atau terasanya kontraksi

2 Gerakan tanpa menahan gaya berat

3 Gerakan melawan gaya berat

4 Gerakan kesegala arah, tetapi kekuatan kurang

5 kekuatan normal

NT tidak dapat diperiksa

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
EVALUASI RADIOLOGI

Harus dilakukan pemeriksaan foto lateral vertebra servikal pada seluruh kasus yang
dicurigai mengalami cedera servikal, setelah identifikasi dan control gangguan yang mengancam
jiwa. Dasar tengkorak dari seluruh ke 7 vertebra servikal dan T-1 harus tampak dalam foto
ronsen.Untuk menghindarkan terlewatnya fraktur dan fraktur dislokasi pada vertebra servikal
bawah, maka bahu penderita ditarik ke bawah sewaktu melakukan foto servikal lateral. Bila ke 7
vertebra servikal tidak tampak dengan pemeriksaan foto lateral, maka perlu dilakukan
Swimmers view untuk melihat vertebra servikal bawah dan torakal atas. Kombinasi dari foto ini
dilaporkan mempunyai sensivitas sebesar 85% terhadap adanya fraktur. Untuk menilai vertebra
servikal atas secara adekuat terutama pada penderita dengan keluhan nyeri servikal atas atau
pada pemeriksaan foto servikal lateral dicurigai adanya cedera C-1 atau C-2, pemeriksaan foto
ronsen buka mulut (open, mouth odontoid view) untuk prosesus odontoid dan artikulasi antara C-
1 dan C-2 harus dilakukan. Bila penderita tidak mau atau tidak koopertif untuk pemeriksaan foto
ronsen buka mulut, maka pemeriksaan oblik untuk prosesus odontoid atau foramen magnum
view dapat menilai keadaan dens epistrofeus. Pemeriksaan foto servikal AP membantu
mengidentifkasi adanya dislokasi faset unilateral dimana hanya tampak sedikit atau tidak terlihat
adanya dislokasi pada foto lateral. Kombinasi foto ronsen lateral, AP dan buka mulut
meningkatkan sensitivitas untuk identifikasi fraktur sebesar 92%. Foto oblik dilakukan dengan
mengatur letak sinar ronsen tanpa menggerakkan leher penderita, dan sangat berguna untuk
menentukan anatomi faset. Bila gambaran foto rosen yang baik vertebra servikal tidak dapat
diperoleh atau terdapat kecurigaan adanya kelainan pada foto polos, maka harus dilakukan
pemeriksaan CT scan pada daerah yang dicurigai.

Pada kurang lebih 10% penderita fraktur vertebra servikalis akan ditemukan fraktur lain
pada vertebra (yang mungkin tidak berdekatan) pada kolumna vertebralis. Maka perlu
pemeriksaan skrinning radiologic lengkap vertebra pada penderita dengan fraktur vertebra
servikalis. Skrining semacam ini disarankan pada semua penderita koma karena trauma.

Foto fleksi-ekstensi vertebra servikalis dilakukan pada penderita trauma untuk


mendeteksi instabilitas yang tidak jelas atau untuk menentukan stabilitas fraktur yang telah
diketahui, seperti fraktur lamina atau fraktur kompresi.mungkin saja penderita hanya mengalami
cedera ligament saja sebagai hasil dari instabilitas tanpa adanya fraktur. Sering penderita dengan
cedera jaringan lunak yang jelas, mengalami spasme otot paraspinal yang akan membatasi
gerakan leher penderita. Pada kasus seperti ini, tidak terlihat adannya fraktur, penderita ditangani
dengan penggunaan kolar servikal semirigid selama 2-3 minggu sebelum pemeriksaan lain
dilakukan untuk mendapatkan gambaran foto fleksi-ekstensi. Seluruh gerakan leher dilakukan
oleh penderita sendiri, tanpa bantuan orang lain. Jadi kontraindikasi foto fleksi-ekstensi adalah
adanya gangguan sensoris, subluksasi pada penderita foto ronsen lateral, atau adanya defisit
neurologis.

Foto ini harus dilakukan di bawah pengawasan dokter yang berpengalaman. Pada
penderita dengan kecurigaan fraktur servikal atau jika gambaran daerah servikotorakal tidak
jelas, maka perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau tomogram pada daerah yang dicurigai
sebelum melakukan foto fleksi-ekstensi servikal. Bila pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan
segera, leher penderita harus tetap imobilisasi dalam kolar servikal sampai penderita telah
distabilkna dan telah mendapat pemeriksaan yang tepat.

Jika terdapat defisit neurologis, penggunaan MRI paling tepat.Tetapi kadang -

kadang MRI tidak mungkin untuk dilakukan karena penderita tidak stabil. Bila hal ini tidak dapat
dilakukan, dapat dilakukan pemeriksaan CT mielografi untuk menyingkirkan adanya kompresi
pada medula spinalis.Pemeriksaan ini dilakukan atas permintaan seorang ahli bedah saraf atau
ahli bedah ortopedi.1

KOMPLIKASI

A. SYOK NEUROGENIK VERSUS SYOK SPINAL

Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatetik desending pada medula
spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan
simpatis pada jantung.Keadaan ini menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta
ekstremitas bawah, terjadi penumpukan darah dan sebagai konsekuensinya terjadi hipotensi.
Sebagai akibat kehilangan cardiac sympathetic tone, penderita akan mengalami bradikardi atau
setidak-tidaknya gagal untuk menjadi takikardi sebagai respon dari hipovolemia. Pada keadaan
ini tekanan darah tidak akan membaik hanya dengan in-fus cairan saja dan usaha untuk
menormalisasi tekanan darah akan menyebabkan kelebih-an cairan dan edema
paru.Tekanandarah biasanya dapat diperbaiki dengan penggunaan vasopresor, tetapi perfusi yang
adekuat akan dapat dipertahankan walaupun tekanan darah belum normal. Atropine dapat
digunakan untuk mengatasi bradikardi yang jelas.
Syok spinal adalah keadaan flaksid dan hilangnya reflex, terlihat setelah terjadi-nya
cedera medula spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplitwalaupun
tidak seluruh bagian rusak. Lama berlangsungnya syok spinal dapat bervari-asi.1Sebagian
besar, syok berlangsung kurang dari 24 jam, pada pasien lain dapat menetap selama 1 - 4
minggu. Ketika syok menghilang, neuron-neuron dapat dieksitasi kembali. Akibat hilangnya
pengaruh upper motor neuron pada segmen-segmen medula spinalis dibawah tingkat lesi, maka
dapat terlihat, misalnya spastisitas dan reflex yang berlebihan.

Adanya syok spinal dapat diketahui melalui pemeriksaan aktivitas reflex spinkter ani.
Reflek ini dapat ditimbulkan dengan meletakkan ujung jari yang telah dilindungi dengan sarung
tangan ke dalam canalis analis dan merangsang m.spinkter ani berkontraksi dengan cara memijit
glans penis atau clitoris atau secara hati-hati menarik kateter foley yang dimasukkan
kedalamnya. Tidak adanya reflex spinkter ani menunjukkan syok spinal. Tes ini tidak bermanfaat
pada lesi medula spinalis yang mengenai segmen sacralis karena neuron-neuron yang merupakan
tempat asal nervus haemorroidalis inferior yang yang mempersarafi m. spinkter ani (S2-4) tidak
berfungsi.18

TATALAKSANA TETRAPARESE

A. Tatalaksana Cedera Medulla Spinalis

1. Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit


Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma.Berbagai studi
memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam menentukan
prognosis pemulihan neurologis pasien TMS.
Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma dapat
diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan
secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan
dorsofleksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin,
priapismus,atau hilang tidaknya tonus sfi ngter ani. Temperatur kulit yang hangat dan
adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level
trauma.
2. Penatalaksanaan Gawat Darurat
a. Stabilisasi vertebra
Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf.Vertebra servikal dapat diimobilisasi
sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal pasir pada
kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan
penatalaksanaan adalah realignment dan fiksasi segmen bersangkuta.n Indikasi
operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan traksi,
gross spinal misalignment, kompresi medula spinalis pada trauma inkomplet,
penurunan status neurologis, dan instabilitas menetap pada manajemen konservatif.
b. Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan
oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses lain
yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema, perdarahan, degenerasi akson,
demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik seluler. Pada tingkat seluler, terjadi
peningkatan kadar asam amino eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas, opioid
endogen serta habisnya cadangan ATPyang pada akhirnya menyebabkan kematian sel.
Bertambahnya pemahaman fisiologi trauma medula spinalis akan menambah pilihan
terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino steroid,
antagonis reseptor opioid, gangliosida, thyrotropinreleasing hormone (TRH),
antioksidan, kalsium, termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya
memberikan hasil baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis
bermakna.
c. Terapi kerusakan primer
Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang
berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada
awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar
katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih
ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah kerusakan
medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus
diimbangi dengan pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang
berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran
darah ke perifer.
d. Terapi kerusakan sekunder
Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk keluaran
(outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat mengingat
patofisiologi yang sangat variatif.
Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid, mensupresi
edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat
pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat respons radang.Penggunaannya
dimulai tahun 1960 sebagai antiinflamasi dan antiedema. Metilprednisolon menjadi
pilihan dibanding steroid lain karena kadar antioksidannya, dapat menembus
membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan faktor komplemen yang
beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi
neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan
tromboksan. Studi NASCIS I (The National Acute Spinal Cord Injury Study)
menyarankan dosis tinggi sebesar 30 mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid,
diberikan sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan
terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan
sekunder. Penelitian NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis30 mg/kgBB
bolus IV selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secarainfus selama 23
jam berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV,
dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB/ jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya,
metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma.
Pada NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus sampai 48
jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24 jam. Selain itu,
dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidasi lipid
nonglukokortikoid, dan ternyata tidak lebih baik dibanding metilprednisolon. Terapi
ini masih kontroversial; studi terbaru mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2 yang
mendasari terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan lambung,
infeksi, sepsis, meningkatkan lama perawatan di intensive care unit (ICU), dan
kematian.

KONSENSUS NEURORESTORASI DAN NEUROREHABILITASI :

Tujuan : memberikan penerangan & pendidikan kepada pasien dan keluarga mengenai trauma
medula spinalis

Memaksimalkan kemampuan mobilisasi & self care (latihan mandiri) dan atau tidak langsung
jika diperlukan.

Mencegah komorbiditi (kontraktur, dekubitus, infeksi paru)


Tindakan : Fisioterapi
Terapi okupasi
Latihan miksi dan defekasi rutin.
Terapi psikologis.10

Rehabilitasi spinal servikal

Merupakan suatu kegiatan rehabilitasi dari hanya berbaring ditempat tidur menuju kehidupan
berkomunitas (rehabilitation from bedside to community)

1. Penyembuhan (Recovery)
Penyembuhan dapat terjadi karena adanya neuroplastisitas.Penyembuhan fungsi dinilai
dengan FIM (Functional Independence Measure) ada 18 item.

2. Rehabilitasi
Definisi WHO : rehabilitasi ialah suatu proses progresif, dinamis, dalam waktu yang terbatas
bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu yang mengalami gangguan secara optimal
dalam bidang mental, fisik, kognitif dan social.

Rehabilitasi cedera medula spinalis merupakan suatu pelayanan kesehatan professional yang
bersifat multi-disiplin, yang dimulai sejak fase akut, secara terus menerus dan ekstensif, lalu
melakukan pelayanan khusus selama fase sub akut meliputi :

Perawatan Latihan mengendarai mobil


Terapi fisik Pelayanan Nutrisi
Terapi kerja Latihan Wicara
Menjaga pernafasan dan obat-obatan Pekerja sosial
Istirahat dan rekreasi Konseling kesehatan seksual
Psikologi

Kemudian rehabilitasi dilanjutkan supaya pasien dapat kembali keadaanlingkunagn


komunitasnya dan dapat berperan sesuai keadaan fisiknya yang baru.10

Anda mungkin juga menyukai