Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Seluruh umat muslimdari semua kalanganbersepakat bahwa Al-Quran
adalah sumber utama (primary source) ajaran Islam, pula sebagai wahyu Tuhan
yang paling bisa dipertanggung jawabkan keabsahan dan keotentikannya. Sejak
zaman nabi Muhammad SAW sampai hari ini, teks Al-Quran tak lekang, tak
berubah oleh campur tangan manusia, tetapi pemahaman tentang Al-Quran selalu
berubah seiring dengan berkembangnya peradaban manusia.
Sebagai petunjuk, tentunya Al-Quran harus dipahami, dihayati dan
diamalkan oleh manusia yang beriman kepada petunjuk itu, namun dalam
kenyataannya tidak semua orang bisa dengan mudah memahami Al-Quran, bahkan
sahabat-sahabat Nabi sekalipunyang secara umum menyaksikan turunnya
wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa
dan kosa katanyatidak jarang mereka berbeda pendapat atau bahkan keliru
memahami maksud firman Allah dengan yang mereka baca.
Sebagai petunjuk pula, Al-Quran tidak bisa dilepaskan dengan kisah-kisah
manusia terdahulu, baik cerita tentang para nabi Allah, raja-raja terdahulu, dan
sebagainya. Maka dari itu pula banyak orang yang sibuk mencari kebenaran
sejarah dalam Al-Quran, sedang Al-Quran selalu menyimpan data-data sejarah itu
rapat-rapat, yakni waktu, tempat, dan karakteristik tokoh. Maka datanglah ide dari
para ahli tafsir untuk menggunakan kisah-kisah Israiliyat sebagai salah satu upaya
untuk mencari kebenaran sejarah.
Kehadiran israiliyat dalam penafsiran Al-Quran juga menjadi ajang polemik
dikalangan para ahli tafsir Al-Quran. Karenanya, makalah ini akan membahas
tema Israiliyat dari sudut apa pengertian israiliyat, bagaimana proses masuk dan
berkembangnya Israiliyat dalam tafsir dan bagaimana pengaruh Israiliyat dalam
penafsiran Al-Quran.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud Israiliyat?
2. Bagaimana latar belakang munculnya Israiliyat?
3. Siapa tokoh-tokoh Israiliyat dikalangan Ahli Tafsir?

1
4. Bagaimana penilaian ahli tafsir tentang Israiliyat?
5. Bagaimana contoh-contoh Kisah Israiliyat dalam Tafsir Al-Quran?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian tentang Israiliyat
2. Untuk mengetahui latar belakang munculnya Israiliyat
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Israiliyat dikalangan Ahli Tafsir
4. Untuk mengetahui penilaian ahli tafsir tentang Israiliyat
5. Untuk mengetahui contoh-contoh Kisah Israiliyat dalam Tafsir Al-Quran

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ISRAILIYAT.
Kata israiliyat adalah bentuk jama dari israiliyyah. Ada beberapa
pengertian yang dipakai untuk menjelaskan arti israilliyat, namun secara umum
pengertian israiliyat adalah kisah atau berita yang diriwayatkan dari sumber-
sumber yang berasal dari orang Israil. Israil (bahasa Ibraniyah: isra artinya hamba
dan il artinya Tuhan/Allah) itu sendiri merupakan gelar yang diberikan kepada nabi
Yakub bin Ishaq bin Ibrahim. Maka Bani Israil adalah sebutan untuk anak
keturunan nabi Yakub Nama ini kemudian dihubungkan dengan Yahudi, sehingga
orang-orang Yahudi disebut Bani Israil.
Para ulama menggunakan istilah israilliyat untuk riwayat yang didapat dari
orang-orang Yahudi dan Nasrani, baik berupa kisah-kisah atau dongengan yang
umumnya berkaitan dengan fakta-fakta sejarah, keadaan umat pada masa lampau
dan berbagai hal yang pernah terjadi pada para nabi dan Rasul, serta informasi
tentang penciptaan manusia dan alam.1
istilah israilliyat juga ditujukan untuk semua penafsiran kisah-kisah dalam
al-Quran yang tidak diketahui sumber dan asal-usulnya, atau disebut juga al-
dakhil, yang banyak terdapat di dalam kitab-kitab tafsir lama. Seperti kitab tafsir:
- Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran karya Ath-Thabari yang mengutip
banyak cerita israiliyat yang mayoritas diambil dari Wahab ibn
Munabbih seorang tokoh israiliyat,
- Ibnu Katsir yang meskipun dinyatakan kitab tafsir yang paling selamat
dari kisah israiliyat, namun tetap mencantumkan kisah israiliyat
dibeberapa bagiannya,
- Maalim al-Tanzil karya Al-Baghawi
- Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Quran karya Al-Tsalabi
- Lubaab al-Tawil fi Maani al-Tanzil karya Al-Khazin
- Al-Maani karya Al-Aalusi
- Al-Jami al-Ahkam al-Quran karya Al-Qurthubi
- Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari
- Dur al-Mantsur fi Tafsir al-Matsur karya Al-Syuyuti,
1
Khalafullah, Muhammad, al-Fan al-Qashashi fi al-Quran al-Karim (Beirut; 1999), hal. 287.

3
- dan lain sebagainya.2
Israiliyat digunakan dalam penafsiran dikarenakan ada kesamaan antara al-
Quran dengan Taurat dan Injil dalam sejumlah masalah, khususnya mengenai
kisah-kisah umat terdahulu, dimana dalam al-Quran dikisahkan secara singkat dan
ringkas (ijaz), namun di dalam kitab-kitab sebelumnya dibahas secara panjang lebar
(ithnab). Sebagian contoh kisah-kisah israiliyat yang dijumpai dalam kitab-kitab
tafsir adalah: tentang perahu nabi Nuh, tentang nama-nama ashab al-kahfi beserta
anjing mereka, tentang Yajuj dan Majuj, tentang Balqis ratu negeri Saba, tentang
nabi-nabi: Sulaiman, Ayyub, Daud, Yusuf, tentang Dzul-qarnain, tentang malaikat
Harut dan Marut, tentang tongkat nabi Musa, dan lain-lain.

B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA ISRAILIYAT.


Term israiliyat dalam tafsir Al-Quran erat sekali hubungannya dengan
masyarakat Arab Jahiliyah. Di antara penduduk Arab itu terdapat masyarakat
Yahudi yang pertama kali memasuki Jazirah Arabia karena adanya desakan dan
siksaan dari panglima Romawi kali itu, yakni Titus pada sekitar tahun 70 Masehi.3
Disamping itu, pedagang Arab Jahiliyah banyak melakukan perjalanan
dagang (ar-rihlah) pada musim dingin (ke negara Yaman) dan pada musim panas
(ke negara Syam).4 Di kedua tempat tersebut banyak penduduk yang terdiri dari
Ahli Kitab. Pertemuan antara pedagang Arab Jahiliyah dengan Ahli Kitab ini
menjadi pendorong masuknya kisah-kisah Yahudi ke dalam bangsa Arab.5
Selanjutnya pada waktu nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke
Madinah, didapatinya kontak dagang mereka masih berjalan lancar, bahkan di
Madinah sendiri banyak kelompok Yahudi yang tinggal di sana, seperti Bani
Nadhir, Bani Qoinuqa, dan Bani Quraidzhah. Dari kelompok-kelompok mereka ini
ada yang masuk Islam, bahkan termasuk dari kalangan pemimpin mereka sendiri.
Pada periode ini ada beberapa kemungkinan berkembangnya bibit israiliyat,
yakni kontak langsung kaum muslimin dengan orang-orang Yahudi Ahli Kitab, dan

2
Abu Syuhbah, Muhammad. Al-Israiliyyat wa al-Maudluat fi Kutubi al-Tafsir, cet. 4, (Kairo: Maktab al-
Sunnah, 1408 H), hal. 35.
3
Khalaf Muhammad Al-Husaini, Al-Yahudiyat baina Al-Masihiyat wa Al-Islam (Mesir: Al-Muassaat Al-
Misriyyat Al-Ammah. 1964), hal. 33.
4
QS. Al-Quraiys, 2.
5
Hourani, Albert. History of Arab People (Faber, 2005), hal. 36.

4
dari kalangan pimpinan Yahudi sendiri yang masuk Islam.6 Bahkan ada suatu
riwayat yang mengatakan bahwa Nabi pernah melihat Umar bin Khattab yang baru
saja keluar dari midras, lalu Nabi menegur, Apakah engkau ragu pada ajaran
Islam, wahai Umar bin Khattab? Lalu Umar menjawab, demi Allah yang berkuasa
atas diriku, aku benar-benar telah datang kepada ajaran itu dalam keadaan putih
bersih.7
Sebagaimana riwayat diatasbahwa Umar Ibn Khattab pernah belajar di
Midrashal ini cukup berasalan, bisa jadi apa yang dipikirkan Umar saat itu sama
halnya dengan yang dirasakan oleh khalayak Ahli Tafsir pasca Rasulullah. Para
Ahli Tafsir sepakat bahwa salah satu latar belakang pemakaian israiliyat dalam
penafsiran Al-Quran ini dikarenakan Al-Quran sering menghilangkan data-data
sejarah dalam sebuah kisah.8
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa masuknya israiliyat ke dalam
tafsir Al-Quran sudah ada sejak zaman sahabat. Hal ini dimungkinkan, karena
adanya sepuluh sahabat terkemuka dalam bidang tafsir, sebagaimana dikemukakan
oleh As-Suyuthi dalam Al-Itqan. Dan diantara sepuluh orang sahabat tersebut
adalah Umar bin Khattab, yang pernah mengunjungi midras sebagai mana riwayat
diatas. Namun demikian para sahabat tidak cepat gegabah dalam menerima kisah-
kisah israiliyat ini.

C. TOKOH-TOKOH ISRAILIYAT.
Kisah-kisah israiliyat dalam tafsir Al-Quran, berkembangnya tidak terlepas
dari adanya tokoh-tokoh Yahudi dan Nasrani yang sudah masuk Islam, seperti
Abdullah bin Salam, Kaab Al-Akhbari, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik
bin Juraij (Ibnu Juraij). Untuk lebih jelasnya tentang tokoh tersebut, dapat dilihat
pada uraian berikut.

6
Indikasi bakal masuknya israiliyat ini ditandai dengan adanya suatu majlis pengajian kitab-kitab agama
serta ulasannya yang disebut Midras. Pengajian-pengajian ini diadakan oleh pendeta-pendeta Yahudi.
Dan bahkan dari kalangan sahabat ada yang mendatangi midras tersebut dan mengikuti pengajian
tersebut. Lihat: A. Khalil, Dirasat fi al-Quran (Mesir: Dar Al-Maarif, t.th.), hal. 133.
7
Ahmad Bin Hambal, Musnad (Beirut, al-Maktab al-Ilmi, t.th.) jilid III, hal. 1987.
8
Beberapa data sejarah yang sering dihilangkan dalam Al-Quran adalah waktu, tempat, dan karakter
tokoh serta beberapa babak sejarah yang perlu dijelaskan juga. Berlandaskan pandangan umum ini, para
Ahli Tafsir merasakan kesulitan untuk memahami teks-teks tersebut tanpa materi pendukung, yakni
kisah Israiliyat. Lihat: Khalafullah, Muhammad, al-Fan al-Qashashi fi al-Quran al-Karim (Beirut;
1999), hal. 287.

5
1. Abdullah Bin Salam (w. 43 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Abdullah bin Salam bin Harits Al-
Israil Al-Anshari. Dia termasuk keturunan Yusuf bin Yakub. Dia termasuk
salah satu sepuluh sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga.
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abdullah bin Salam ini
termasuk orang Yahudi yang terpandai, sebagaimana pengakuan orang Yahudi
sendiri di hadapan Rasulullah. Muaz bin Jabal, ketika dia sedang menghadapi
maut, berwasiat bahwa ilmu dan iman terdapat pada empat orang, yaitu Uaimir
bin Darda, Salman al-Farisi, Abdullah bin Masud, dan Abdullah bin Salam.9
Sesungguhnya Abdullah bin Salam termasuk ahli surga sebagaimana sabda
Nabi, namun Az-Zahabi memberikan peringatan untuk berhati-hati dalam
mengambil sikap terhadap Yahudi dan Nasrani, sebagaimana pula halnya
Abdullah bin Salam. Artinya jangan sampai menerima ataupun menolah
semuanya terhadap apa-apa yang diriwayatkannya. Kalau yang diriwayatkan itu
benar dan tidak bertentangan dengan Syara serta sangat rasional (masuk akal),
maka tidaklah harus ditolak. Dan hendak jangan menuduh tanpa dasar dan
alasan yang kuat akan keadilan dan kejujurannya.10
2. Kaab Al-Akhbari (w. 32 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Ishak Kaab bin Mati al-Himairi, lebih
dikenal dengan nama Kaab Al-Akhbari. Dia adalah orang Yahudi yang berasal
dari Yaman. Tentang masuk Islamnya, konon pada masa Umar bin Khattab, ada
juga yang mengatakan pada masa Abu Bakar, dan pula yang mengatakan pada
masa Nabi. Ia hijrah belakangan, dan pernah ikut perang melawan Romawi
pada masa Umar bin Khattab. Pada masa Umar dia pindah Syam dan bertempat
tinggal disana sampai akhir hayatnya.11 Sebelum muslim ia dikenal sebagai
pendeta yang mengetahui tentang Taurat. Dan setelah muslim ia tidak
meninggalkan ajaran lamanya. Sehingga timbul berbagai komentar terhadapnya
tentang kejujuran dan keadilannya.
Az-Zahabi saja tidak dapat memastikan tentang kejujuran dan keadilannya,
akan tetapi dia juga tidak menuduh Kaab al-Akhbari sebagai pembohong.
Alasannya Ibn Abbas dan Abu Hurairah banyak mengambil pengetahuan

9
Husein Az-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, . . ., hal. 186.
10
Husein Az-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, . . ., hal. 187.
11
Husein Az-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, . . ., hal. 188.

6
terhadap Kaab al-Akhbari. Disamping itu juga, Imam Muslim, Bukhari,
Tirmizi, Abu Daud, dan Nasai juga mengambil dan meriwayatkannya. 12
Ahmad Amin, pula meragukan kejujuran dan keadilan Kaab, bahkan ia
meragukan keislamannya. Alasan Ahmad Amin, bahwa orang-orang terpercaya
seperti Qutaibah dan an-Nawawi tidak pernah mengambil riwayat dari Kaab,
sedangkan Ibn Jarir Ath-Thabarihanya sedikit mengambilnya, tapi Ats-Tsalabi
dan Al-Kisai banyak meriwayatkan kisah-kisah tentang Nabi.13
Menurut hemat penulis, alasan yang dikemukakan oleh Ahmad Amin
kurang dan tidak begitu kuat. Karena alasan yang dikemukakan saja
berlawanan.
Rasyid Ridha menuduh Kaab lebih ekstrim lagi. Dia mengemukakan
riwayat Kaab al-Akhbari dan Wahab bin Munabbih adalah batal dan tidak
boleh terpercaya sama sekali. Alasannya, Ibnu Taimiyah tidak menerima
keseluruhan dari israiliyat. Jika diteliti ternyata pendapat yang dikemukakan
oleh Rasyid Ridha tidak memiliki dasar yang kuat.
3. Wahab bin Munabbih (w. 110 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Wahab bin Munabbih bin Saij bin
Zi Kinaz Al-Yamani Al-Shinani. Ia termasuk ulama dari kalangan tabiin.
Lahir pada masa khalifah Ustman bin Affan pada tahun 34 H. Wahab termasuk
orang yang luas pengetahuannya, banyak membaca Taurat dan Injil. Dia banyak
mengetahui kisah-kisah lama.
Sebagaimana yang dituduhkan oleh Rasyid Ridha terhadap Kaab Al-
Akhbari, Wahab juga salah satu tokoh israiliyat yang diragukan oleh Rasyid
Ridha, tetapisekali lagipenulis katakan bahwa Rasyid Ridha tidak
mempunyai alasan yang kuat karena hanya Ibnu Taimiyah yang dijadikan
sandaran oleh Rasyid Ridha atas tuduhan tersebut.14

12
Husein Az-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, . . ., hal. 188.
13
Husein Az-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, . . ., hal. 189.
14
Ibnu Taimiyah berpendapat ini bermula sejak masa sahabat, di mana ketika menemukan sebuah kisah
dari al-Quran yang bersifat global, mereka menanyakan rinciannya kepada ahli kitab yang telah masuk
Islam. Kitab-kitab Samawi memiliki kecocokan kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya, bedanya
terletak pada ringkas dan rincinya. Namun sahabat menjaga diri mengenai hal itu. Lihat: Ibnu Taimiyah,
Jawabu As-Shahih Liman Baddala Diini al-Masiihiyyah (Beirut: Dar al-Ashimah, 1999), hal. 95.

7
4. Ibnu Juraij (w. 150 H/159 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Khalid atau Abu al-Walid Abdul Malik bin
Abdul Aziz bin Juraij. Dia seorang hamba sahaya (mawali) yang lahir pada
tahun 80 H. Dia berasal dari Romawi dan menjadi Ulama besar di Mekkah.
Dia terkenal sebagai tokoh israiliyat pada masa tabiin. Dia juga pengarang
buku pertama Hijjaz dan selalu berkelana dari negeri satu ke negeri yang lain
untuk memuaskan dahaga keilmuannya. Di dalam kitab-kitab tafsir sering
tersemat namanya (sebagai perawi) yang bersumber dari Abdullah bin
Abbas.Riwayatnya pun variatif, ada yang shahih pula ada yang tidak shahih.
Kondisi yang seperti ini menimbulkan yang berbeda terhadapnya. Ada yang
mengatakan bahwa Ia termasuk orang yang terpercaya, adapula yang
sebaliknya. Anggapan pertama berdasarkan pada riwayat-riwayat shahih yang
berasal darinya, pula sebaliknya. Maka dari itu ada yang mengatakan bahwa
riwayat dari Ibnu Juraij itu lemah.
Pendapat serupa ini biasa ditemukan dalam bidang kajian ilmu sosial,
sebagaimana pula anggapan Ibnu Khaldun tentang Ibnu Juraij.15 Dan kedua
pendapat itu bisa dibenarkan, hanya saja yang menjadi permasalahan adalah
hadits yang digunakan sebagai dasar tersebut, artinya dari sisi mana kelemahan
yang terdapat dalam hadits tersebut. Apakah dari sisi matan atau sisi sanad, atau
dari kedua sisinya (matan dan sanad). Hal ini yang diungkapkan oleh kritikus
diatas, sehingga merupakan suatu yang sangat disayangkan.16 Jika demikian
halnya, maka hadits yang dijadikan dasar tersebut perlu diadakan penelitian
ulang, baik dari sisi matan maupun sanad.

D. PENILAIAN AHLI TAFSIR TENTANG ISRAILIYAT.


Ada beberapa ulama yang memberikan pendapat tentang pengambilan atau
periwayatan israiliyat dalam tafsir Al-Quran, antara lain:
1. Ibnu Taimiyah (1263 - 1328)
Dalam sebuah komentar pada kitabnya, Ibnu Taimiyah membagi cerita-
cerita israiliyat menjadi tiga ketegori. Pertama, cerita-cerita yang dibenarkan
oleh Islam, kedua, cerita-cerita yang bertentangan dengan Islam, dan ketiga,

15
Ibnu Khaldun, Muqadiimah (Beirut: Lajnah al-Bayan al-Araby, 1957), Jilid I, hal. 490-491. Tentang
Ibnu Juraij dalam kajian Sosial, lihat: Nagra At-Tihamy, Sikulujiyyah al-Qisshati fi Tafsir al-Quran
(Aljazair, Risalah ad-Dukturiyah, 1971), hal. 280-281.
16
Nagra At-Tihamy, Sikulujiyyah al-Qashash di Tafsir al-Quran,. . . ., hal. 280-281.

8
cerita-cerita yang Islam tak membenarkannya, tetapi tidak juga menyalahkannya
(maskut anhu).17 Menurutnya, yang boleh diterima hanyalah cerita-cerita
israiliyat yang pertama. Penerimaannya bukan untuk itiqad akan tetapi hanya
untuk isytisyhad. Sementara dua lainnya tak boleh diambil.
2. Ibnu Katsir (w. 774)
Ibnu Katsir membagi israiliyat menjadi tiga kategori. Yakni:
a. Cerita-cerita yang sesuai kebenarannya dengan Al-Quran, berarti cerita-
cerita tersebut benar. Dalam hal ini cukuplah Al-Quran yang menjadi
pegangan. Kalaupun diambil cerita tersebut hanyalah sebagai bukti saja,
bukan sebagai hujjah atau pegangan.
b. Cerita-cerita yang terang-terangan berdusta, karena berkebalikan dengan
realistas ajaran Islam. Maka cerita ini harus ditinggalkan, karena
menurutnya bisa merusak aqidah kaum muslim.
c. Cerita yang didiamkan (maskut anhu), yaitu cerita yang tidak ada
keterangan kebenarannya dalam Al-Quran, akan tetapi juga tidak
bertentangan dengan Al-Quran. Cerita ini tidak bisa kita percaya, pula
tak boleh kita dustakan. Misalnya informasi tentang nama dan jumlah
tokoh Ashhab al-Kahfi.18 Namun cerita tersebut boleh diriwayatkan
dengan hikayat.19
Alasan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir sama, yaitu hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Amr bin Ash yang berbunyi:


.
Sampaikanlah (dari) ajaranku walau satu ayat, dan kisahkanlah ikhwal ini
kepada Bani Israil dan tiadalah berdosa siapa saja yang berdusta (dengan)

17
Ibn Taimiyah, Muqaddimah fi Ushuli At-Tafsir (Beirut: Dar al-Ashimah, t.th), hal. 26-28. Lihat pula :
Husein Az-Zahabi, Husein Az-Zahabi, Al-Israiliyyat (Damsiq: Dar Al-Iman, t.th), hal. 68.
18
Riwayatnya: Saat raja Armus masuk di tempat tinggal Tamlikha maka ia melihat peti dari tembaga
yang ada cetakannya dari perak lalu ia berdiri di pintu goa kemudian memanggil para pembesar kota,
lalu peti dibuka dan mereka menemukan dua papan yang terbuat dari timah putih yang tertulis
:Sesungguhnya Muksyalmina, Musyalmina, Tamlikha, Martulis, Kasutunis, Bayusarsi, Takriyus, dan
Bathinus adalah para pemuda yang melarikan diri dari ancaman raja zalim yang bernama Dikyanus
karena mereka hawatir terjadi fitnah (kerusakan) pada agamanya. Lihat: Ahmad Abu Ishaq Ats-
Tsalabi, Al-Kasyfu wa Al-Bayan fi Tafsir al-Quran (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), hal. 1391.
19
Abu Al-Fida Ismail Ibn Katsir, Tafsir ibn Katsir (Beirut: dar al-Fikr, t. th), jilid I, hal. 5.

9
mengatasnamakan aku dengan sengaja, maka hendaklah dia menyediakan
tempat di neraka.20
3. Al-Biqai (w. 881)
Pandangan Al-Biqai terhadap cerita israiliyat juga senada dan seirama
dengan pandangan Ulama sebelumnya. Dia membolehkan cerita israiliyat itu
dimuat dalam tafsir Al-Quran selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam
(Al-Quran dan Hadits). Beliau pula mengingatkan bahwa cerita ini dimuat hanya
sebagai istinas saja, bukan untuk dijadikan dasar aqidah dan bukan pula
dijadikan dasar hukum.
4. Ibnu Arabi (w. 543)
Menurutnya, riwayat dari bani Israil yang boleh untuk dijadikan riwayat dan
dimuat dalam tafsir Al-Quran hanya terbatas pada cerita yang menyangkut
keadaan diri mereka sendiri. Sedang riwayat mereka yang menyangkut orang
lain masih sangat perlu dipertanyakan dan membutuhkan penelitian yang lebih
cermat.21
Kelihatan sekali apabila Ibn Arabi sangat berhati-hati lagi untuk
memasukkan israiliyat dalam tafsir Al-Quran.
5. Ibnu Masud dan Ibnu Abbas (w. 32/3 H : 68 H)
Kedua tokoh ini mengatakan bahwa meriwayatkan kisah-kisah israiliyat
boleh. Setelah ditelusuri, ternyata keduanya banyak meriwayatkan aqwal ahli al-
kitab 56 dari empat orang yang terkenal yang telah masuk Islam. Yakni, Kaab
Al-Akhbari, Wahab bin Munabah, Abdullah bin Salam, dan Tamim al-Dari.
Empat orang ini terkenal tidak membuat cerita-cerita palsu. Cerita yang
disampaikan mereka kepada para muslim itu benar. Pada hakikatnya kesalahan
itu sering terjadi bukan kepada meraka, tapi pada perawi-perawi setelahnya.
Ibnu Masud dan Ibnu Abbas mengatakan boleh mengambil cerita-cerita
israiliyat, meriwayatkannya, serta memuatnya dalam tafsir Al-Quran
berdasarkan hadits Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir diatas.
6. Abdullah bin Amru bin al-Ash (w. 63)
Dikisahkan pada saat Perang Yarmuk, Abdullah bin Amru bin al-Ash
menemukan beberapa kitab Yahudi dan Nasrani, lalu mengambilnya dan
mempelajarinya. Kemudian yang telah ia pahami dari kitab-kitab tersebut

20
Husein Az-Zahabi, Al-Israiliyyat . . . ., hal. 68.
21
Ibn Arabi, Ahkam al-Quran (Mesir: Al-Halabi, 1967), jilid I, hal. 123.

10
diceritakan kepada saudara-saudaranya kaum muslimin dengan berdasarkan
hadits di atas. Tujuan beliau menceritakan tersebut bukan sebagai dasar itiqad
(dogmatis), pula bukan untuk dasar hukum, melainkan hanya sekedar istisyhad
(kerygma)22
Dari keenam kelompok tersebut, hanya Ibnu Arabi yang sangat berhati-hati
sekali dalam mengambil dan memasukkan israiliyat ke dalam tafsir Al-Quran.
Sehingga beliau katakan cerita yang mengenai diri mereka saja yang diambil,
tapi tidak yang lain.

E. CONTOH ISRAILIYAT.
Diantara kitab tafsir yang memuat banyak kisah-kisah israiliyat adalah
Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibn Katsir. Dalam tafsir Ath-Thabari memuat tidak
kurang dari dua puluh tema israiliyat, dan dari sekian banyak itu hanya satu riwayat
yang dapat diklasifikasikan sejalan dengan Islam. Yang sejalan dengan Islam itu
adalah riwayat yang menceritakan sifat Nabi yang tidak kasar, tidak keras, pemurah
dan penyayang.23 Sementara dalam tafsir Ibnu Katsir terdapat tidak kurang dari
empat puluh-an kisah israiliyat. Kisah yang sejalan dengan Islam hanya satu, yakni
sama dengan yang dikemukakan oleh Ath-Thabari diatas.24
Di antara contoh israiliyat yang dapat dikemukakan adalah:
1. Kisah Nabi Sulaiman
Israiliyat yang terdapat tafsir Ath-Thabari, dari Basyir, dari Yazid, dari Said,
dari Qatadah yang berkaitan dengan kisah Nabi Sulaiman yang terdapat dalam
surat Shad ayat 34 :



Dan Sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia)
tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit),
kemudian ia bertaubat.

22
Meminjam istilah dari Karen Amstrong, Kerygma adalah sebuah istilah dari kajian tentang kisah-
kisah Ahli Kitab di Midrash. Lihat: Amstrong, Karen. The Bible: A Biography (Great Britain, Atlantic
Books, 2007), hal. 107.
23
Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), jilid VI, hal. 83.
Lihat juga di antaranya QS. Al-Araf: 187, Al-Maidah: 21, Yusuf: 28, dan Al-Baqarah: 112.
24
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-Adzim (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), jilid II, hal. 253.

11
Israiliyat ini menjelaskan bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi
Sulaiman as. bahwa di dasar laut terdapat syeitan yang bernama Syahr al-
Maridhah (batu durhaka). Lalu nabi Sulaiman mencarinya dan ternyata di sisi
laut tersebut terdapat sumber mata air yang memancar satu kali seminggu.
Pancarannya ini sangat sangat jauh dan kemudian sebagiannye berubah menjadi
arak. Nabi Sulaiman datang pada saat pancarannya menjadi arak. Dan ia berkata,
Sesungguhnya engkau (arak) adalah minuman yang sangat nikmat, hanya saja
engkau menyebabkan orang sabar mendapat musibah dan menyebabkan orang
bodoh menjadi semakin bodoh. Lalu Nabi Sulaiman pulang, tetapi ketika dalam
perjalanannya ia merasakan dahaga yang sangat dan kembali ke sumber mata air
tersebut. Ia meminum air arak itu hingga hilang kesadaran. Dalam kondisi
seperti itu, ia melihat cincinnya dan merasa hina karenanya. Lalu ia lempar
cincin itu ke dasar laut hingga termakan oleh seekor ikan hingga hilanglah
seluruh kerajaannya karena kekuasaanya terdapat pada cincin tersebut. Di waktu
yang bersamaan datanglah Setan yang menyerupai Nabi Sulaiman dan duduk di
atas singgasana Nabi Sulaiman.
Israiliyat itu jelas merupakan cerita palsu yang dibuat-buat. Sesuatu yang
mustahil apabila Nabi Sulaiman meminum arak yang jelas akan merusak
kesehatan dan kesadarannya. Mustahil pula setan dapat menyerupainya dan
menggantikannya lalu mengatur roda kerajaan.
Atas kepalsuan israiliyat itu, Ibnu Katsir memberikan komentarnya, Pada
dasarnya, israiliyat ini berasal dari Ibnu Abbas yang diperolehnya dari Ahli
Kitab, sedang diantara mereka ada yang tidak memercayai kenabian Sulaiman
as. Israiliyat ini jelas keliru, apalagi israiliyat yang menjelaskan tentang istri-istri
Nabi Sulaiman yang digauli setan. Israiliyat ini secara panjang lebar telah
dipaparkan oleh kelompok ulama salaf. Seperti Saiid bin Al-Musayyad, Zaid
bin Aslam, dan lainnya. Keseluruhan berasal dari Ahli Kitab.25
2. Kisah Nabi Ismail
Israiliyat yang berkaitan dengan kisah penyembelihan Nabi Ismai, yaitu
berasal dari Kaab al-Akhbari yang menyebutkan bahwa yang disembelih itu
adalah Ishak, bukan Ismail. Israiliyat ini menurut Ibnu Katsir, merupakan tipuan

25
Nagra At-Tihamy, Sikulujiyyah al-Qashash di Tafsir al-Quran,. . . ., hal. 284-285. Lihat pula: Ahmad
Jad al-Maula, Qashas al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal. 231-239.

12
dan dusta karena bertentangan dengan nash Al-Quran sendiri. Orang Yahudi
lebih suka menyebut Ishak karena ia adalah nenek moyangnya, sedang Ismail
adalah nenek moyang orang Arab.
3. Kisah Nabi Ibrahim
Israiliyat yang dikutip oleh Ibnu Katsir dan Ath-Thabari tentang asal mula
penyebutan Nabi Ibrahim as. dengan sebutan Khalilullah (kekasih Allah)
dikisahkan bahwa keluarga Nabi Ibrahim mengalami petaka kelaparan.
Kemudian Nabi Ibrahim pergi ke Mesir untuk mencari makanan, tetapi tidak
mendapatkan hasil apapun. Di tengah perjalanan menuju pulang, ia menemukan
kerikil-kerikil dan dipungutnya untuk memenuhi kantong dengan harapan
keluarganya akan terhibur karenanya. Suatu kejadian pun terjadi, keluarga
menemukan kantong yang dibawa oleh Ibrahim penuh dengan tepung. Ibrahim
lantas bertanya kepada keluarga dari mana tepung itu berasal. Mereka menjawab
bahwa itu diperoleh dari kantong yang dibawa Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim lalu
berkata, Betul! Tepung itu berasal dari kekasihku (khalil), karena peristiwa itu
ia lalu dijuluki KhaliluLlah. Menurut Ibnu Katsirsebagaimana dikutip oleh
Nagra at-Tihamy, israiliyat ini termasuk yang tidak perlu dibenarkan, pula
didustakan. Di samping itu ia menyertakan pula penyebutan Ibrahim dengan
sebutan diatas, karena kecintaannya yang mendalam kepada Allah SWT.26
4. Kisah Awal Surah Qaf
Israiliyat yang dikutip oleh Ibnu Katsir tentang awal surat al-Qaf. Sebagian
ulama mengatakan bahwa Qaf adalah nama gunung yang mengelilingi bumi.
Namun menurut Ibnu Katsir, pendapat ini merupakan israiliyat yang tidak perlu
dibenarkan, pula didustakan.
5. Kisah Harut dan Marut
Israiliyat yang disampaikan oleh Abu Hatim dari bapaknya, dari Hisyam ar-
Razi, dai Ibnu al-Mubarok, dari Maruf, dari Abu Jafar Muhammad bin Ali
mengenai Harut dan Marut. Israiliyat ini menjelaskan bahwa kedua malaikat itu
adalah kawan dari malaikat Sijjil. Setiap hari selasa, Sijil membuka Ummu a-
Kitab. Ketika ia membaca kisah penciptaan Adam as., ia memberitahukan
kepada Harut dan Marut. Dan ketika Allah mengatakan akan menciptakan

26
Nagra At-Tihamy, Sikulujiyyah al-Qashash di Tafsir al-Quran,. . . ., hal. 286.

13
khilafa di muka bumi, mereka pun memprotes. Menurut Ibnu Katsir, israiliyat
ini berlebihan dalam menggambarkan sosok karakter malaikat.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Keberadaan israiliyat yang sudah terlanjur masuk ke dalam sebagian kitab-kitab
tafsir, dan turut memberikan penjelasan terhadap suatu kisah yang diangkat oleh al-
Quran memang menjadi suatu hal yang dilematis. Terlepas dari kebolehan mengambil
riwayat israiliyat sebagaimana tersebut di atas, sesungguhnya masih ada pertanyaan
yang tertinggal; bagaimana mungkin ayat- ayat yang datangnya dari Yang Maha Benar,
dijelaskan dan dirinci oleh sesuatu yang tidak jelas kebenarannya. Dengan kata lain,
mengutip israiliyat di samping ayat-ayat Allah, tidakkah itu berarti memberi kesan
bahwa berita yang tidak jelas kebenaran dan dustanya itu dapat menjadi penjelas makna
firman Allah dan menjadi pemerinci apa yang disebut secara global di dalamnya.

Dalam dunia Islam, cerita-cerita israiliyat kini telah tersebar luas melalui media
tulisan yang terdapat di kitab-kitab tafsir atau pada kitab-kitab lainnya, demikian juga
cerita-cerita ini telah beralih dari mulut ke mulut, melalui khutbah, ceramah, pengajaran
di madrasah dan lain sebagainya. Disampaikan oleh berbagai kalangan dari umat ini,
mulai orang awam sampai kepada orang terpelajar. Tentu menjadi tidak mudah untuk
membersihkan israiliyat yang sudah tersebar di masyarakat ini.

Sikap bijaksana yang seharusnya diambil oleh muslim yang mempelajari al-
Quran ketika berhadapan dengan ayat-ayat yang mubham (tidak jelas), adalah mencari
penjelasannya pada ayat-ayat lainnya, jika tidak dijumpai penjelasannya dalam al-
Quran, maka hendaklah ia mencari dari hadits-hadits shohihah, dan jika pada haditspun
tidak dijumpai, maka biarkanlah ayat tersebut dalam kemubhamannya.

Namun pada kenyataannya seringkali kita tidak merasa puas dengan pola seperti
itu dan tergoda untuk mencari dan memberi interpretasi sendiri. Disatu sisi, sikap seperti
itu memang tidak salah, sebab para ulama telah membuka peluang tafsir bi al-rayi wa
al-ijtihad dengan berbagai persyaratan tentunya. Namun disisi lain, jika sang pencari
kebenaran data sejarah ini kurang bertaqwa kepada Allah SWT, bukan tidak
mungkin ia akan berkata atas kekuasaan Allah tanpa didasari ilmu, dan dapat keluar dari
pemahaman yang Qurani. Wallahu alam..

14
DAFTAR PUSTAKA

Khalafullah, Muhammad, al-Fan al-Qashashi fi al-Quran al-Karim (Beirut; 1999).


Abu Syuhbah, Muhammad. Al-Israiliyat wa al-Maudluat fi Kutubi al-Tafsir, cet. 4,
(Kairo: Maktab al-Sunnah, 1408 H).
Khalaf Muhammad Al-Husaini, Al-Yahudiyat baina Al-Masihiyat wa Al-Islam (Mesir:
Al-Muassaat Al-Misriyyat Al-Ammah. 1964).
Hourani, Albert. History of Arab People (Faber, 2005).
A. Khalil, Dirasat fi al-Quran (Mesir: Dar Al-Maarif, t.th.)
Ahmad Bin Hambal, Musnad (Beirut, al-Maktab al-Ilmi, t.th.).
Husein Az-Zahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Beirut: Ihya at-Turats al-Araby, t.th).
____________, Al-Israiliyat (Damsiq: Dar Al-Iman, t.th).
Ibnu Taimiyah, Jawabu As-Shahih Liman Baddala Diini al-Masiihiyyah (Beirut: Dar al-
Ashimah, 1999).
____________, Muqaddimah fi Ushuli At-Tafsir (Beirut: Dar al-Ashimah, t.th).
Ibnu Khaldun, Muqadiimah (Beirut: Lajnah al-Bayan al-Araby, 1957).
Nagra At-Tihamy, Sikulujiyyah al-Qisshati fi Tafsir al-Quran (Aljazair, Risalah ad-
Dukturiyah, 1971).
Ahmad Abu Ishaq Ats-Tsalabi, Al-Kasyfu wa Al-Bayan fi Tafsir al-Quran (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 2004).
Abu Al-Fida Ismail Ibn Katsir, Tafsir ibn Katsir (Beirut: dar al-Fikr, t. th), jilid I.
Ibn Arabi, Ahkam al-Quran (Mesir: Al-Halabi, 1967), jilid I.
Amstrong, Karen. The Bible: A Biography (Great Britain, Atlantic Books, 2007).
Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran (Beirut: Dar al-Fikr, 1988),
jilid VI.
Ahmad Jad al-Maula, Qashas al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th).

15

Anda mungkin juga menyukai