Anda di halaman 1dari 21

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi Hyaline Membrane Disease


Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane
Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang (Etika, 2005).
HMD merupakan gangguan respirasi akut pada bayi baru lahir disebabkan oleh
defisiensi surfaktan, yang menyebabkan kolapsnya alveoli dan paru yang
mengempis (akibat immaturitas paru). Sebelumnya telah diketahui bahwa kondisi
ini akan terlihat pada bayi premature dengan masa gestasi < 32 minggu. (Patrick,
2014).
Hyaline membrane disease (HMD) adalah gangguan respirasi yang
ditemukan pada bayi premature akibat kurangnya surfaktan sehingga
mengakibatkan kolapsnya alveoli ( Rasad, 2010).
Sedangkan menurut The Vermont Oxford Network untuk definisi RDS bahwa
bayi harus memiliki:
a. tekanan Oksigen arteri (PaO2) < 50mmHg dan cyanosis sentral
Pada udara ruangan, keharusan untuk mempertahankan suplai oksigen pada
tekanan (PaO2) >50mmHg atau mempertahankan suplai oksigen agar
saturasi oksigen (Pulse Oximetry) diatas 85% (Cunningham, 2013).
b. karakteristik dari foto rontgen toraks
gambaran uniform retikulogranular pada kedua lapang paru dengan atau
tanpa penyempitan paru dan air bronchogram dalam 24 jam pertama
kehidupan. Gambaran klinis dari gangguan ini bervariasi , tergantung dari
besarnya bayi, tingkat keparahan penyakit, terapi surfactant replacement,
ada tidaknya infeksi, derajat shunting darah pada PDA, dan dibantu atau
tidaknya pernafasan dengan ventilator (Cunningham, 2013)
II.2. Epidemiologi Hyaline Membrane Disease
HMD merupakan penyebab kematian utama pada bayi premature
(Schraufnagel, 2010). Insidensinya dapat diperkirakan 6 dari 1000 kelahiran di
dunia (Luijkx, 2015). Menurut study secara kohort diperkirakan 130 juta insidensi
2

tertinggi terjadi pada bayi premature, ras kaukasian, laki-laki, riwayat saudara
sebelumnya yang menderita HMD, lahir melalui section caecaria, asfiksia, dan ibu
diabetes mellitus (Smith, 2009)
Berdasarkan penelitian di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun
2003 dari 41 bayi lahir preterm, 14 bayi mengalami sindrom gawat nafas, dan 7
bayi didiagnosa HMD. Semuanya lahir dari kehamilan kecil 32 minggu hal itu
menunjukkan prevalensi HMD pada bayi sebesar 17% (Zulfikar, 2003)
Insidensi RDS dipekirakan 91% terjadi pada usia gestasi 23-25 minggu kehamilan,
74% pada 28-29 minggu usia gestasi, dan 52% pada 30-31 minggu usia gestasi.
Insidensi dan keparahan dari RDS dapat diperkirakan menurun setelah peningkatan
pemakaian antenatal steroid dalam rentang beberapa tahun terahir. (Cuningham,
2013), Respiratory Distress Syndrome ( RDS ) didapatkan sekitar 5 -10% pada bayi
kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram (Nur, 2005).
II.3. Faktor Predisposisi Hyaline Membrane Disease
Prevalensi dari HMD tidak sama pada setiap sentral kesehatan di setiap
negara dan ini tergantung pada usia gestasi Ada 4 faktor penting penyebab
defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes,
seksio sesaria (Nur, 2005), kelahiran ganda, cold stress, asfiksia, riwayat maternal
yang berakibat pada janin. Sedangkan hipertensi, pemakaian heroin saat hamil,
prolonge rupture membrane, dan profilaksis kortikosteroid saat hamil menurunkan
risiko HMD (Carlo, 2011). Berikut factor-faktor predisposisi Hyaline Membran
Disease :
a. Prematuritas
Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD)
didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Kasus ini sering
ditemukan pada usia kehamilan di bawah 30 minggu sebab sintetis
surfaktan mulai usia kehamilan 24-28 minggu. Bayi prematur adalah bayi
yang dilahirkan dalam usia gestasi kurang dari 37 minggu. Secara
fisiologis, kondisi bayi prematur adalah sebagian masih sebagai janin dan
sebagai bayi baru lahir. Bayi pematur yang dilahirkan dalam usia gestasi
<37 minggu mempunyai resiko tinggi terhadap pernyakit-penyakit yang
3

berhubungan dengan prematuritas. Kebanyakan komplikasi yang terjadi


pada bayi prematur adalah yang berhubungan dengan fungsi imatur dari
sistem organ. Produksi surfaktan seringkali tidak memadai guna
mencegah alveolar collapse dan atelektasis, yang dapat terjadi pada
Respitarory Distress Syndrome. (Nur, 2005)
Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan
untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara,
sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang
menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami
sesak napas. Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan
akan bertambah berat. (Cunningham, 2013)
b. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih sering menderita HMD dibandingkan perempuan dan
lebih tinggi untuk terjadinya kematian. Sebab pada bayi laki-laki
maturase lesitin, spyngomielyn, serta pembentukan fosfatidil glierol
lambat akibat efek androgen (Carlo, 2011)
c. Ras
Insiden HMD pada kulit hitam dibandingkan kulit putih, yaitu 60-70%.
Pada bayi dengan usia kehamilan kurang dari 32 minggu, 40% dari kulit
hitam menderita HMD sedangkan pada kulit putih 75% (Cunningham,
2013)
d. Sectio Caesaria
Menurut beberapa penelitian, apabila tindakan seksio sesaria dilakukan
sebelum masuknya proses persalinan dapat meningkatkan resiko
timbulnya HMD sebab ketika proses persalinan produksi cairan paru
berkurang, 1/3 cairan paru dikeluarkan akibat penekanan pada dada ketika
proses persalinan pervaginan berlangsung
e. APGAR score
Bayi premature dengan APGAR score kurang dari 5 memiliki resiko dua
kali lebih tinggi untuk terjadina HMD dibandingkan bayi dengan APGAR
>5
f. Ibu dengan diabetes mellitus
4

Insulin dapat menghambat maturasi sel alveolar tipe 2 dan menurunkan


phospatidil cholin, yang merupakan fosfolipid yang penting dalam sintesa
surfaktan
g. Hipotiroid
Aktivitas hormone tiroid penting dalam perkembangan sistem surfaktan
pada masa prenatal. Berdasarkan penelitian, bayi preterm yang menderita
HMD memiliki kadar tiroid yang rendah.
Sedangkan menurut Cunningham 2013 ada beberapa faktor risiko yang
dapat meningkatkan dan menurunkan angka kejadian hyaline membrane
disease.

Table 1. factor predisposisi hyaline membrane disease


Increased Decreased Risk
Prematurity Prolonged Rupture Of
Membranes
Male Sex Female Sex
Familial Predisposition Vaginal Delivery
Cesarean Delivery Without Labor Narcotic/Cocaine Use
Perinatal Asphyxia Corticosteroids
Multiple Gestation Thyroid Hormone

II.4. Patofisiologi Hyaline Membrane Disease


HMD terjadi akibat defisiensi struktur lipoprotein surfaktan yang disebabkan
oleh belum matangnya paru. Lipoprotein ini memproduksi reticulum endoplasmic
dari pneumosit tipe 2 kemudian dibawa ke apparatus golgi dan badan lamellar
intrasel. Badan lamellar akan berpindah ke permukaan sel luminal alveolar melalui
proses eksositosis.
5

Gambar 1 proses pematangan paru


Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat
stabil alveoli dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan engurangi
teganan.dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC) merupakan komposisi utama
dalam surfaktan yang mengurangi surface tension. Surfaktan memiliki 4 surfactant
associated proteins yaitu SP-A, SP-B, AP-C, dan SP-D. surfaktan disintesis oleh sel
alveolar tipe II dengan proses multi step dan mensekresi lamellar bodies, yang
memiliki kandungan fosfoipid yang tinggi. Lamellar bodies ini berikutnya dirubah
menjadi lattice structure yang dinamakan tubular myelin. Penyebaran dan absorpsi
dari surfaktan merupakan karakteristik yang penting dalam pembentukan
monolayer yang stabil dalam alveolus.
6

Gambar 2. Patogenesis HMD


Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak erjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil pada
ahir ekspirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan dengan penyakit
membrane hyaline menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahankan
stabilitasnya terganggu.

Gambar 3. Metabolism surfaktan


Alveolus akan kembali kolaps setiap ahir ekspirasi, sehingga untuk
pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negative intratoraks yang lebih besar
yang disertai usahainspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan
7

terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.


Hipoksia menimbulkan:
- Oksigenisasi jaringan menurun sehingga akan terjadi metabolism anaerobic
dengan penimbunan asam laktat dan asam organic lainnya yang
menyebabkan terjadinya asidosis metabolic pada bayi
- Kerusakan endotel kapiler dan epitel ductus alveolaris akan menyebabkan
terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin dan
selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membrane hialin. Asidosis dan
atelectasis juga menyebabkantergaggunya sirkulasi darah dari dan ke
jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan dalam hal ini
akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.
II.5. Gejala Klinis Hyaline Membrane Disease
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak
napas berat (dyspnea ), frekuensi napas meningkat (tachypnea ), sianosis yang
menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru adanya
gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis,
kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat
otopsi.Sedangkan menurut Murray et.al (1988) disebut RDS bila ditemukan adanya
kerusakan paru secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai
sedang atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non pulmonar.
Definisi menurut Bernard et.al (1994) bila onset akut, ada infiltrat bilateral pada
foto thorak, tekanan arteri pulmonal = 18mmHg dan tidak ada bukti secara klinik
adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2
kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai
PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu RDS
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu :
adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan
takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada,
dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
8

II.6. Penegakan Diagnosis Hyaline Membrane Disease


II.6.1 Anamnesis
Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu DM, riwayat persalinan yang
mengalami asfiksia perinatal (gawat janin), riwayat kelahiran saudara kandung
dengan penyakit membrane hyaline,
History. The infant is often preterm or has a history of asphyxia in the perinatal
period. Infants have some respiratory difficulty at birth, which becomes
progressively more severe. The classic worsening of the atelectasis seen on chest
radiograph and increasing oxygen requirement for these infants have been greatly
modified by the availability of exogenous surfactant therapy and effective
mechanical ventilator support.

VI. Diagnosis
II.6.2 Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan, dijumpai
sindrom klinis terdiri dari kumpulan gejala:
- Takipneu (frekuensi nafas > 60x /menit)
- Grumting ekspiratoar/ nafas berlebih
- Retraksi dinding dada
- Kadang dijumpai sianosis (pada udara ruangan)
- Nasal flaring
Perhatikan tanda prematurasi, kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema
perifer, edema paru. Pada bayi extremely premature ( berat badan lahir sangat
rendah) mungkin dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang
tanpa komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur
36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama.
Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72
jam. Dan sembuh pada akhir minggu pertama. Perjalanan klinis bervariasi
sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi, adanya infeksi dan derajat
pirau PDA Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam.
(Nur, 2005)
Diagnosis dari HMD dapat dikonfirmasi dengan foto rongen toraks dengan
gambaran khas/klasik yaitu ground glass appearance dan air bronchogrm.
Menurut Vermont oxford neonatal network definisi dari PMH selain gambaran
khas dari rontgen toraks memerlukan PaO2 < 50 mmHg pada udara ruangan,
9

cyanosis sentral pada udara ruangan atau keadaan bayi memerlukan


suplimentasi oksigen tambahan untuk mempertahankan PaO2 > 50 mmHg.
(Cunningham, 2013)
Physical examination. The infant with RDS exhibits tachypnea, grunting, nasal
flaring, and retractions of the chest wall. The infant may have cyanosis in room
air. Grunting occurs when the infant partially closes the vocal cords to prolong
expiration and develop or maintain some FRC. This mechanism actually
improves alveolar ventilation. The retractions occur and increase as the infant
is forced to develop high transpulmonary pressure to reinflate atelectatic air
spaces.
II.6.3 Pemeriksaan Penunjang
II.6.3.1 Pemeriksaan Gas Darah
Hasil analisis gas darah menunjukkan asidosis respiratorik dan asidosis
metabolic dengan hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasi dari
alveoli dan atau over distensi dari bronkiolus (terminal airways). Asidosis
metabolic yang terjadi pada HMD diawali dengan asidosis laktat sebagai akibat dari
menurunnya perfusi ke jaringan sehingga tubuh menggunakan jalur anaerob untuk
metabolism. Hipoksia pada HMD ini terjadi dari shunting rigt to the left melalui
pembuluh dari pulmonal, patent ductus arteriolus (PDA), dan atau foramen ovale
tidak menutup.
II.6.3.2 Pulse Oximetry
Pulse oximetry adalah tindakan noninvasive yang digunakan untuk
memantau saturasi oksigen dalam darah, dimana saturasi dipertahankan pada nilai
90-95%. Akan tetapi alat ini tidak dapat menditeksi hiperoksia. Pada metode
konvensional digunakan metode monitoring in line arterial PaO2 dan monitoring
transkutaneus. Monitoring transkutaneus CO2 seharusnya digunakan pada infant
dengan HMD untuk memonitor ventilasi yang berhubungan dengan PaCO2.
II.6.3.3 Gambaran Radiologis
Diagnosis yang tepat dengan pemeriksaan foto rontgen thoraks. Pemeriksaan
ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang
diobati dan mempunyai dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membrane
hialin, misalnya pneumothoraks, hernia diafragmatika, dan lain-lain
a. Foto Thoraks ( AP, Lateral, Serial bila perlu)
Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit membrane hyaline.
Gambaran yang khas berupa retikulogranular, yang disebut Ground Glass
10

Appereance disertai dengan gambaran brongkus di bagian perifer paru


(air brongkogram)
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS
yaitu :
Stadium 1. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit
bronchogram udara,
Stadium 2. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru
dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas
sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi
paru.
Stadium 3. Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua
lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak
terlihat, bronchogram udara lebih luas.
Stadium 4. Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung
tak dapat dilihat

A. Chest radiograph. An anteroposterior chest radiograph should be obtained for all


infants with respiratory distress of any duration. The typical radiographic finding
of RDS is a uniform reticulogranular pattern, referred to as a ground-glass appearance,
accompanied by peripheral air bronchograms (see Figure 1113). During the
clinical course, sequential radiographs may reveal air leaks secondary to mechanical
11

ventilatory intervention as well as the onset of changes compatible with bronchopulmonary


dysplasia/chronic lung disease (BPD/CLD) (see Figure 1117).

II.6.3.4 Uji Kematangan Paru


Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah tes
kematangan paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam
jiwa untuk mencegah RDS. Test tersebut diklasifikasi menjadi:
a. Tes biokimia
Tes biokimia (ratio lecithin-sphingomyelin) pertama kali diperkenalkan
oleh Gluck dan kawan-kawan pada tahun 1971, merupakan salah satu test
yang sering digunakan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes
yang lain.

Gambar . table ratio lecithin-sphingomyelin


Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah
fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan,
sebagai tolak ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin
dibandingka sphingomyelin dari cairan amnion. Sphingomyelin merupakan
suatu membrane lipid yang secara relative merupakan komponen non
spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk
kehamilan normal adalah <0,5 pada sat gestasi 20 minggu dan meningkat
secara bertahap. Rasio L/S =2 dicapai saat usia gestasi 35 minggu dan secara
empiris disebutkan bahwa neonatal HMD sangat tidak munkin terjadi bila
L/S> 2. Dengan rasio 1.5-1.9, ada kemungkinan bahwa 50% bayi dapat
12

berlangsung ke HMD.< 1.5 resiko meningkat hingga 73% adanya


meconium dapat mempengaruhi hasil interprestasi tes ini.
b. Tes biofisika
Tes biofisika (shake test) diperkenalkan pertama kali oleh Clement pada
tahun 1972. Test ini berdasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang
membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil. Pada janin, cairan paru
biasanya ditelan sehingga aspirasi dari cairan lambung dalam 30 menit
setelah lahir sebagian besar terdiri dari cairan paru yang ditelan atau cairan
amnion. Oleh karena itu, aspirasi dari cairan lambung dapat digunakan
untuk evaluasi apabila surfaktan terdapat pada paru-paru janin sewaktu
lahir.
Dengan mengocok cairan aspirat lambung 0.5cc, NaCl 0.9% 0.5 cc dan
alcohol 1 cc lalu dikocok dengan kertas dan didiamkan selama 15 menit.
Dengan mengocok cairan amnion dengan alcohol akan terjadi hambatan
pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti
protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Pada alcohol dengan
konsentrasi 47,5% stable bubble yang dibentuk oleh karena pengocokan
akan menetap oleh karena adanya lechitin.
Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari dua kali
(cairan amnion: alkohol)/ hasil positive gelembung (+), maka merupakan
indikasi maturitas paru janin.
II.6.3.5 Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan tim yang
berpengalaman. Peningkatan frekuensi pernafasan pada pneyakit ini akan
memperlihatkan perubahan pada fungsi paru lainnya seperti tidal fungsi yang
menurun, lung compliance berkurang, penurunan fungtional residual capacity
disertai vital capacity yang terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru
akan terganggu.
II.6.3.6 Pemeriksaan Fungsi Kardiovaskuler
penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa
perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa ductus arteriosus paten, pirau dari
13

kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit),
menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik
II.6.3.7 Gambaran Patologi atau Histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelectasis dan
membra hialin di dalam alveolus dan dukts alveolaris. Di samping itu terdapat pula
bagian paru yang mengalami emfisema. Membrane hialin yang ditemukanterdiri
dari fibrin dan sel eosinofilik yang munkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus
yang nekrotik.

Gambar . gambaran histologic HMD

Gambar. Gambaran paru normal


B. Laboratory studies
1. Blood gas sampling. Essential in the management of RDS. Usually, intermittent
arterial sampling is performed. Although there is no consensus, most neonatologists
agree that arterial oxygen tensions of 5070 mm Hg and arterial carbon
dioxide tensions of 4560 mm Hg are acceptable. Most would maintain the
pH at or above 7.25 and the arterial oxygen saturation at 8593%. In addition,
continuous transcutaneous oxygen and carbon dioxide monitors or oxygen
saturation monitors, or both, are proving valuable in the minute-to-minute
monitoring of these infants.
2. Sepsis workup. A partial sepsis workup, including complete blood cell count
and blood culture, should be considered for each infant with a diagnosis of
14

RDS because early-onset sepsis (eg, infection with group B Streptococcus) can
be indistinguishable from RDS on clinical grounds alone.
3. Serum glucose levels. May be high or low initially and must be monitored
closely to assess the adequacy of dextrose infusion. Hypoglycemia alone can
lead to tachypnea and respiratory distress.
4. Serum electrolyte levels and calcium. Should be monitored every 1224 hours
for management of parenteral fluids. Hypocalcemia can contribute to more
respiratory symptoms and is common in sick, nonfed, preterm, or asphyxiated
infants.
C. Echocardiography. A valuable diagnostic tool in the evaluation of an infant with
hypoxemia and respiratory distress. It is used to confirm the diagnosis of PDA as
well as to document response to therapy. Significant congenital heart disease can be
excluded by this technique as well.

II.7. Diagnosis Banding


1. Transient tachypnea of the newborn (TTN)
Peningkatan kadar epinefrin pada fetus pada fetus pada saat partus
umumnya mengurangi produksi cairan paru dan mengaktivasi channel
natrium yang menimbulkan terjadinya reabsorpsi. Gagalnya untuk
membersihkan paru dari cairan paru ini menyebabkan terjadinya TTN.
Factor risiko terjadi TTN termasuk kelahiran preterm, kelahiran dengan
section caesaria, dan bayi dengan jenis kelamin laki-laki. TTN juga
dihubungkan dengan maternal asma. Pada gejala awal, TTN sulit untuk
dibedakan dengan penyakit membrane hyaline. Diagnosis TTN hanya
dapat ditegakkan dengan bentuk foto rontgen paru yaitu adanya opasitas
paru yang berbentuk steaky, ditemukan ciran pada fisura transfersalis,
dan biasanya disertai dengan kardiomegali. TTN terjadi pada 5/1000
bayi cukup bulan. Gejala TTN adalah takinea yang parah (frekuensi
nafas > 60 x /menit) dan terjadinya hiperinflasi , tetapi jarang disertai
dengan grunting. TTN merupakan diagnosis eksklusi, dimana disgnosis
sindrom gawat nafas, sepsis dan gagal jantung sudah disingkirkan.
2. Meconium Aspiration syndrome
Aspirasi meconium jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Sindrom
aspirasi meconium terjadi apabila janin mengeluarkan meconium ke
dalam cairan amnion ketika masih berada dalam kandungan, cairan
amnion yang terkontaminasi meconium terinspirasi oleh bayi. Aspirasi
meconium menyebabkan obstruksi mekanis pada paru sehingga
15

menyebabkan terperangkapnya udara dan mengakibatkan atelectasis


dan ketidakseimbangan perfusi ventilasi. Secara klinis, bayi tampak
berwarna kuning kehijauan atau lebih dikenali sebagai meconium
stained skin. Penagakan diagnosis aspirasi meconium dapat dilakukan
dengan kombinasi foto rontgen dengan gambaran bercak-bercak
konsolidasi atau atelectasis, infiltrate kasar di kedua lapang paru, dan
hiperinflasi karena terperangkapnya udara.
3. Pneumotoraks
Kekuranga surfaktan yang relative pada bayi yang lahir dengan usia
gestasi 32-34 minggu menghasilkan paru-paru yang kurang compliance
sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumothoraks dan pneum
mediastinum. Pneumotoraks kecil umumnya dapat sembuh dengan
spontan. Selama ini, oksigen 100% digunakan sebagai penangana
pneumotoraks kecil, akan tetapi eektivitasnya belum terbukti dan
dengan risiko terjadinya toksisitas oksigen, maka penanganan ini sudah
tidak cukup lagi dlakukan. Penganganan yang sedang berkembang
adalah penggunaan kateterisasi pigtail yang dimasukkan dengan teknik
Seldinger. Keuntungan tindakan ini adalah tindakannya yang cepat dan
mudah, serta sedikitnya skar yang ditimbulkan dibandingkan dengan
traditional chest tube.
II.8. Penatalaksanaan
A. Prevention
1. Antenatal corticosteroids. Treatment with antenatal corticosteroids is associated
with an overall reduction in neonatal death, RDS, intraventricular hemorrhage
(IVH), necrotizing enterocolitis (NEC), respiratory support, intensive
care admissions, and systemic infections in the first 48 hours of life. A single
course of antenatal steroids is recommended between 24 and 34 weeks of gestation
to all women at risk of preterm delivery within 7 days. A single course
should be administered to women with premature rupture of membranes
before 32 weeks of gestation to reduce the risks of RDS, perinatal mortality, and other morbidities. The
efficacy of corticosteroid use at 3233 completed weeks
for preterm prelabor rupture of membranes is unclear based on current evidence,
but treatment may be beneficial, especially if pulmonary immaturity is
documented. Antenatal corticosteroids should be considered for threatened
preterm birth at 2223 weeks of gestation. Antenatal corticosteroid exposure
reduced improved survival of extremely preterm infants. Antenatal treatment
with corticosteroids at 3436 weeks of pregnancy has not reduced the risk of
16

respiratory morbidity in neonates. The optimal treatment to delivery interval is


>24 and <7 days after the start of steroid treatment. A second course should be
considered if the risk from RDS is felt to outweigh the uncertainty about possible
long-term adverse effects. The recommended glucocorticoid regimen consists
of the administration to the mother of two 12-mg doses of betamethasone
given intramuscularly 24 hours apart. Dexamethasone is not recommended
because of increased risk for cystic periventricular leukomalacia among very
premature infants exposed to the drug prenatally.
2. Preventive measures. Several preventive measures may improve the survival
of infants at risk for RDS and include antenatal ultrasonography for more
accurate assessment of gestational age and fetal well-being, continuous fetal
monitoring to document fetal well-being during labor or to signal the need
for intervention when fetal distress is discovered, tocolytic agents that prevent
and treat preterm labor, and assessment of fetal lung maturity before delivery
(lecithin-to-sphingomyelin ratio and phosphatidylglycerol; or amniotic fluid
lamellar bodies, see Chapter 1) to prevent iatrogenic prematurity.
B. Surfactant replacement. (See also Chapter 8.) Now considered a standard of care
in the treatment of intubated infants with RDS. Since the late 1980s, >30 randomized
clinical trials involving >6000 infants have been conducted. Systematic reviews
of these trials demonstrate that surfactant, whether used prophylactically in the
delivery room or in the treatment of established disease, leads to a significant
decrease in the risk of pneumothorax and the risk of death. These benefits were
observed in both the trials of natural surfactant extracts and synthetic surfactants.
Prophylactic surfactant replacement to prevent RDS in infants born at <31 weeks
gestation has reduced the risk of death or BPD/CLD but may result in some infants
being intubated and receiving treatment unnecessarily. A recent consensus statement
recommends surfactant prophylaxis (within 15 minutes of birth) to almost
all infants <26 weeks gestation. Prophylaxis should also be administered to all
preterm infants with RDS who require delivery-room intubation for stabilization.
Early rescue surfactant should be administered to preterm babies with an evidence
of RDS. The effect of surfactant therapy is better the earlier in the course of RDS it
is given. A second, sometimes a third dose of surfactant should be administered in
cases with ongoing evidence of RDS (ie, persistent need of mechanical ventilation
and oxygen supplementation).
Natural (derived from animal lungs) surfactant preparations are better than
synthetic (protein-free) at reducing pulmonary air leaks. Natural surfactants are
therefore the treatment of choice. Trials comparing natural bovine surfactants,
given prophylactically or as rescue therapy, have shown similar outcomes. Trials
comparing bovine and porcine-derived surfactants have shown a more rapid improvement
in oxygenation in the latter. A better survival has been demonstrated
in a meta-analysis comparing a 200-mg/kg dose of poractant alfa with 100 mg/kg
of beractant, or 100 mg/kg poractant alfa, for rescue treatment of moderate to severe
RDS. Poractant alfa treatment for RDS was in a retrospective study associated
with a significantly reduced likelihood of death, when compared with calfactant,
and a trend toward reduced mortality when compared with beractant.
17

Mechanical ventilation can be avoided by using the INSURE (Intubate-Surfactant-


Extubate to CPAP [continuous positive airway pressure]) technique when
surfactant is administered. This has reduced need for mechanical ventilation and development of
BPD/CLD in randomized trials. Immediate (or early) extubation
to noninvasive respiratory support (CPAP or nasal intermittent positive ventilation)
following surfactant administration should be considered in otherwise stabile
infants.
Currently, long-term follow-up studies have not shown significant differences
between surfactant-treated patients and nontreated control groups with regard
to PDA, IVH, retinopathy of prematurity, NEC, and BPD/CLD. Evidence exists
that the length of stay on mechanical ventilation and total ventilator days have
been reduced with the use of surfactant at all gestational age levels, even with the
increase of extremely low birthweight infants. A dramatic fall in deaths from RDS
began in 1991. This probably reflected the introduction of surfactant replacement
therapy. In long-term follow-up studies, no adverse effects attributable to surfactant
therapy have been identified.
C. Respiratory support
1. Endotracheal intubation and mechanical ventilation. Mainstays of therapy
for infants with RDS in whom apnea or hypoxemia with respiratory acidosis
develops. Mechanical ventilation (MV) modes include conventional, such as
intermittent positive pressure ventilation (IPPV), and high-frequency oscillatory
ventilation (HFOV). Ventilators with the capacity to synchronize respiratory
effort may generate less inadvertent airway pressure and lessen barotrauma.
Ventilator settings should be adjusted frequently to maintain the lowest possible
pressures and inspired oxygen concentrations in an attempt to minimize
damage to parenchymal tissue. HFOV may be beneficial as a rescue therapy in
infants with respiratory failure on IPPV. Rescue HFOV reduces pulmonary air
leaks but is associated with an increased risk of IVH. Insufficient evidence exists
to recommend the routine use of HFOV instead of conventional ventilation for
preterm infants with lung disease. Hypocapnia is associated with increased risks
of BPD/CLD and periventricular leukomalacia and should therefore be avoided.
To minimize duration of MV, weaning from MV should be started as soon as
satisfactory gas exchange is achieved. Caffeine should be routinely used for very
preterm neonates with RDS to augment extubation.
2. Continuous positive airway pressure (CPAP) and nasal synchronized intermittent
mandatory ventilation (SIMV). Nasal CPAP (NCPAP) or nasopharyngeal
CPAP (NPCPAP) can be used early to delay or prevent the need for
endotracheal intubation and mechanical ventilation. CPAP treatment is recommended
to be started from birth in all infants at risk of RDS, as those born
at <30 weeks gestation. In this way some infants with RDS can be managed
without surfactant replacement. By not using surfactant, however, the risk of
pneumothorax is increased. Use of NCPAP or NPCPAP on extubation after
mechanical ventilation decreases the chance of reintubation, when at least 5 cm
H2O pressure is applied. Nasal SIMV is a potentially useful way of augmenting
NCPAP. The ability to synchronize the ventilator breaths with the infants
18

own respiratory cycle has made this mode of ventilation feasible. In 3 trials,
nasal SIMV has reduced the incidence of symptoms of extubation failure when
compared with NCPAP. Short binasal prongs should be used instead of a single
prong.
3. Humidified high-flow nasal cannula system. This has been introduced to
neonatal respiratory care as a way to provide positive distending pressure, even
comparable to NCPAP, to a neonate with respiratory distress. It aims to maximize
patient tolerance by using heated, humidified gas flow (1 L/min). Studies
comparing high-flow nasal cannula with nasal SIMV for RDS are going on.
4. Complications. Pulmonary air leaks, such as pneumothorax, pneumomediastinum,
pneumopericardium, and pulmonary interstitial emphysema, may occur
(see Chapter 81). Chronic complications include respiratory problems such as
BPD/CLD (see Chapter 84) and tracheal stenosis.

D. Fluid and nutritional support. In the very ill infant, it is possible to maintain
nutritional support with parenteral nutrition for an extended period. Full parenteral
nutrition and minimal enteral feeding can be initiated on the first day of
life. Careful fluid balance should, however, be maintained. The specific needs of
preterm and term infants are becoming better understood, and the nutrient preparations
available reflect this understanding (see Chapters 9 and 10).
E. Antibiotic therapy. Antibiotics that cover the most common neonatal infections
are usually begun initially.
F. Sedation. Commonly used to control ventilation in these sick infants. Morphine,
fentanyl, or lorazepam may be used for analgesia as well as sedation, but there is
significant controversy surrounding such treatment. Reported advantages of treatment
include improved ventilator synchrony and pulmonary function. Decreased
adverse long-term neurologic sequelae have been suggested. Neuroendocrine
responses to mechanical ventilation are alleviated by opioid treatment, which may
be beneficial in the long term. However, clinicians should consider adverse effects
of medication, especially opioids, including hypotension with morphine and chest
wall rigidity with fentanyl. Tolerance, dependence, and withdrawal occur. In addition,
pharmacologic treatment does not decrease adverse sequelae, at least in the
short term. The most significant gaps in knowledge include the inability to assess
chronic pain in this population and the long-term effects of treatment. Minimal
handling to avoid pain is an important means to decrease need for pain management
in ventilated infants. Muscle paralysis with pancuronium for infants with
RDS remains controversial. Sedation might be indicated for infants who fight the
ventilator and exhale during the inspiratory cycle of MV. This respiratory pattern
may increase the likelihood of complication such as air leak and therefore should
be avoided. Sedation of infants with fluctuating cerebral blood flow velocity theoretically
decreases the risk of IVH. (See also Chapter 76.)
VIII. Outcome. Although the survival of infants with RDS has improved greatly, the survival
with or without respiratory and neurologic sequelae is highly dependent on birthweight
and gestational age. Major morbidity (BPD/CLD, NEC, and severe IVH) and
poor postnatal growth remain high for the smallest infants.
19

BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan

III.2. Saran
Penulis berpesan, untuk para pembaca agar yang ditulis dan yang dituangkan
ini, semoga mempunyai manfaat bagi diri penulis sendiri, maupun bagi para
pembaca dan juga penulis anjurkan agar pembaca dapat mencari referensi yang
lainnya. Penulis sadar, dalam referat ini khususnya mengenai anatomi medulla
spinalis, masih memiliki banyak sekali kekurangan. Baik dari segi penulisan,
bahasa penulisan dan juga tinjauan pustakanya yang masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
memperbaiki kekurangan tersebut, sehingga agar lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Carlo, W.A and Namasivaya Ambalavana. (2011). Respiratory Distress
Syndrome (Hyaline Membrane Disease). In Nelson Textbook of Pediatric
19Th Edition. Ed Robert M Kliegman. Elseviere Salinders.USA
2. Cunningham, M.D, and Eyal, F.G. (2013) Respiratory Distress Syndrome.
In Neonatology Management, Procedure, On-Call Problem, Disease, and
Drugs. 7Th Edition. Ed Gomella, T.L. Mc Hill Educational Medical Lange.
New York. USA
3. Rasad, Sjahriar. (2005). Radiologi Diagnostik Edisi Ke Dua. Ed: Iwan
Ekayuda. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
4. Effendi,S.H. dan Andi Firdaus. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan
Kegagalan Nafas pada Neonatus. FK UNPAD. Bandung.
5. Patrick, do. (2014). Hyaline Membrane Disease Imaging. Emedicine
Journal. Published February 24 2014. New York. USA
20

6. Zulfikar, LDH. Ali Usman, Melinda, D.N, dan Aris Primaldi. (2003). The
Prevalence of Hyaline Membrane Disease and The Value of Shake Test and
Lamellar Body Concentration in Preterm Infant. Department Of Child
Health, Medical School, Padjajaran University. Bandung. Paediatrica
Indonesiana, Vol 43 No.5-6 Hal 77-81. 2003.
7. Nur .A, Risa Etika, Sylviati M.Damanik , Fatimah Indarso., Agus Harianto.
(2005). Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory
Distress Syndrome.Lab/Smf Ilmu Kesehatan Anak Fk. Unair/Rsud Dr.
Soetomo
1. Ganong, William F, and Stephen J. McPhee. 2010. Patofisiologi Penyakit:
Pengantar Menuju Kedokteran Klinis, Edisi 5 Hal 301312. EGC.
Jakarta
2. Guyton, Arthur C, and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
11. EGC. Jakarta
3. Huan H. Gray., Keith D. Hawkins., John M. Morgan., Lain A. Simpson.
2005. Lecture Notes: Kardiologi Edisi 4. Erlangga. Jakarta
4. Rahmatina, Bustami Herman. 2010. Buku Ajar Fisiologi Jantung. EGC.
Jakarta
5. Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong,
Edisi 3 Hal 547548. EGC. Jakarta
6. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran
Edisi 6. EGC. Jakarta
7. Vander at all. 2001. Human Physiology: The Mechanism of Body
Function, Eight Edition. The McGraw Hills Company

patofisiologi
Cuningham 2013
21

Surfactant deficiency is the primary cause of RDS, often complicated


by an overly compliant chest wall. Both factors lead to progressive atelectasis
and failure to develop an effective functional residual capacity (FRC). Surfactant is a
surface-active material produced by airway epithelial cells called type II pneumocytes.
This cell line differentiates, and surfactant synthesis begins at 2428 weeks gestation.
Type II cells are sensitive to and decreased by asphyxial insults in the perinatal period. The
maturation of this cell line is delayed in the presence of fetal hyperinsulinemia. The
maturity of type II cells is enhanced by the administration of antenatal corticosteroids
and by chronic intrauterine stress such as pregnancy-induced hypertension, intrauterine
growth restriction, and twin gestation. Surfactant, composed chiefly of phospholipid
(75%) and protein (10%), is produced and stored in the characteristic lamellar
bodies of type II pneumocytes. This lipoprotein is released into the airways, where it
functions to decrease surface tension and maintain alveolar expansion at physiologic
pressures.
A. Lack of surfactant. In the absence of surfactant, the small airspaces collapse; each
expiration results in progressive atelectasis. Exudative proteinaceous material and
epithelial debris, resulting from progressive cellular damage, collect in the airway
and directly decrease total lung capacity. In pathologic specimens, this material
stains typically as eosinophilic hyaline membranes lining the alveolar spaces and
extending into small airways.
B. Presence of an overly compliant chest wall. In the presence of a chest wall with
weak structural support secondary to prematurity, the large negative pressures
generated to open the collapsed airways cause retraction and deformation of the
chest wall instead of inflation of the poorly compliant lungs.
C. Decreased intrathoracic pressure. The infant with RDS who is <30 weeks gestational
age often has immediate respiratory failure because of an inability to generate
the intrathoracic pressure necessary to inflate the lungs without surfactant.
D. Shunting. The presence or absence of a cardiovascular shunt through a PDA
or foramen ovale, or both, may change the presentation or course of the disease
process. Shortly after birth, the predominant shunting is right to left across the
foramen ovale into the left atrium, which may result in venous admixture and
worsening hypoxemia. After 1824 hours, left-to-right shunting through the PDA
may become predominant as a result of falling pulmonary vascular resistance,
leading to pulmonary edema and impaired alveolar gas exchange. Unfortunately,
this usually occurs when the infant is starting to recover from RDS and can be
aggravated by surfactant replacement therapy.

Anda mungkin juga menyukai