Bab Ii1
Bab Ii1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
tertinggi terjadi pada bayi premature, ras kaukasian, laki-laki, riwayat saudara
sebelumnya yang menderita HMD, lahir melalui section caecaria, asfiksia, dan ibu
diabetes mellitus (Smith, 2009)
Berdasarkan penelitian di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun
2003 dari 41 bayi lahir preterm, 14 bayi mengalami sindrom gawat nafas, dan 7
bayi didiagnosa HMD. Semuanya lahir dari kehamilan kecil 32 minggu hal itu
menunjukkan prevalensi HMD pada bayi sebesar 17% (Zulfikar, 2003)
Insidensi RDS dipekirakan 91% terjadi pada usia gestasi 23-25 minggu kehamilan,
74% pada 28-29 minggu usia gestasi, dan 52% pada 30-31 minggu usia gestasi.
Insidensi dan keparahan dari RDS dapat diperkirakan menurun setelah peningkatan
pemakaian antenatal steroid dalam rentang beberapa tahun terahir. (Cuningham,
2013), Respiratory Distress Syndrome ( RDS ) didapatkan sekitar 5 -10% pada bayi
kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram (Nur, 2005).
II.3. Faktor Predisposisi Hyaline Membrane Disease
Prevalensi dari HMD tidak sama pada setiap sentral kesehatan di setiap
negara dan ini tergantung pada usia gestasi Ada 4 faktor penting penyebab
defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes,
seksio sesaria (Nur, 2005), kelahiran ganda, cold stress, asfiksia, riwayat maternal
yang berakibat pada janin. Sedangkan hipertensi, pemakaian heroin saat hamil,
prolonge rupture membrane, dan profilaksis kortikosteroid saat hamil menurunkan
risiko HMD (Carlo, 2011). Berikut factor-faktor predisposisi Hyaline Membran
Disease :
a. Prematuritas
Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD)
didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Kasus ini sering
ditemukan pada usia kehamilan di bawah 30 minggu sebab sintetis
surfaktan mulai usia kehamilan 24-28 minggu. Bayi prematur adalah bayi
yang dilahirkan dalam usia gestasi kurang dari 37 minggu. Secara
fisiologis, kondisi bayi prematur adalah sebagian masih sebagai janin dan
sebagai bayi baru lahir. Bayi pematur yang dilahirkan dalam usia gestasi
<37 minggu mempunyai resiko tinggi terhadap pernyakit-penyakit yang
3
VI. Diagnosis
II.6.2 Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan, dijumpai
sindrom klinis terdiri dari kumpulan gejala:
- Takipneu (frekuensi nafas > 60x /menit)
- Grumting ekspiratoar/ nafas berlebih
- Retraksi dinding dada
- Kadang dijumpai sianosis (pada udara ruangan)
- Nasal flaring
Perhatikan tanda prematurasi, kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema
perifer, edema paru. Pada bayi extremely premature ( berat badan lahir sangat
rendah) mungkin dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang
tanpa komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur
36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama.
Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72
jam. Dan sembuh pada akhir minggu pertama. Perjalanan klinis bervariasi
sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi, adanya infeksi dan derajat
pirau PDA Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam.
(Nur, 2005)
Diagnosis dari HMD dapat dikonfirmasi dengan foto rongen toraks dengan
gambaran khas/klasik yaitu ground glass appearance dan air bronchogrm.
Menurut Vermont oxford neonatal network definisi dari PMH selain gambaran
khas dari rontgen toraks memerlukan PaO2 < 50 mmHg pada udara ruangan,
9
kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit),
menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik
II.6.3.7 Gambaran Patologi atau Histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelectasis dan
membra hialin di dalam alveolus dan dukts alveolaris. Di samping itu terdapat pula
bagian paru yang mengalami emfisema. Membrane hialin yang ditemukanterdiri
dari fibrin dan sel eosinofilik yang munkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus
yang nekrotik.
RDS because early-onset sepsis (eg, infection with group B Streptococcus) can
be indistinguishable from RDS on clinical grounds alone.
3. Serum glucose levels. May be high or low initially and must be monitored
closely to assess the adequacy of dextrose infusion. Hypoglycemia alone can
lead to tachypnea and respiratory distress.
4. Serum electrolyte levels and calcium. Should be monitored every 1224 hours
for management of parenteral fluids. Hypocalcemia can contribute to more
respiratory symptoms and is common in sick, nonfed, preterm, or asphyxiated
infants.
C. Echocardiography. A valuable diagnostic tool in the evaluation of an infant with
hypoxemia and respiratory distress. It is used to confirm the diagnosis of PDA as
well as to document response to therapy. Significant congenital heart disease can be
excluded by this technique as well.
own respiratory cycle has made this mode of ventilation feasible. In 3 trials,
nasal SIMV has reduced the incidence of symptoms of extubation failure when
compared with NCPAP. Short binasal prongs should be used instead of a single
prong.
3. Humidified high-flow nasal cannula system. This has been introduced to
neonatal respiratory care as a way to provide positive distending pressure, even
comparable to NCPAP, to a neonate with respiratory distress. It aims to maximize
patient tolerance by using heated, humidified gas flow (1 L/min). Studies
comparing high-flow nasal cannula with nasal SIMV for RDS are going on.
4. Complications. Pulmonary air leaks, such as pneumothorax, pneumomediastinum,
pneumopericardium, and pulmonary interstitial emphysema, may occur
(see Chapter 81). Chronic complications include respiratory problems such as
BPD/CLD (see Chapter 84) and tracheal stenosis.
D. Fluid and nutritional support. In the very ill infant, it is possible to maintain
nutritional support with parenteral nutrition for an extended period. Full parenteral
nutrition and minimal enteral feeding can be initiated on the first day of
life. Careful fluid balance should, however, be maintained. The specific needs of
preterm and term infants are becoming better understood, and the nutrient preparations
available reflect this understanding (see Chapters 9 and 10).
E. Antibiotic therapy. Antibiotics that cover the most common neonatal infections
are usually begun initially.
F. Sedation. Commonly used to control ventilation in these sick infants. Morphine,
fentanyl, or lorazepam may be used for analgesia as well as sedation, but there is
significant controversy surrounding such treatment. Reported advantages of treatment
include improved ventilator synchrony and pulmonary function. Decreased
adverse long-term neurologic sequelae have been suggested. Neuroendocrine
responses to mechanical ventilation are alleviated by opioid treatment, which may
be beneficial in the long term. However, clinicians should consider adverse effects
of medication, especially opioids, including hypotension with morphine and chest
wall rigidity with fentanyl. Tolerance, dependence, and withdrawal occur. In addition,
pharmacologic treatment does not decrease adverse sequelae, at least in the
short term. The most significant gaps in knowledge include the inability to assess
chronic pain in this population and the long-term effects of treatment. Minimal
handling to avoid pain is an important means to decrease need for pain management
in ventilated infants. Muscle paralysis with pancuronium for infants with
RDS remains controversial. Sedation might be indicated for infants who fight the
ventilator and exhale during the inspiratory cycle of MV. This respiratory pattern
may increase the likelihood of complication such as air leak and therefore should
be avoided. Sedation of infants with fluctuating cerebral blood flow velocity theoretically
decreases the risk of IVH. (See also Chapter 76.)
VIII. Outcome. Although the survival of infants with RDS has improved greatly, the survival
with or without respiratory and neurologic sequelae is highly dependent on birthweight
and gestational age. Major morbidity (BPD/CLD, NEC, and severe IVH) and
poor postnatal growth remain high for the smallest infants.
19
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
III.2. Saran
Penulis berpesan, untuk para pembaca agar yang ditulis dan yang dituangkan
ini, semoga mempunyai manfaat bagi diri penulis sendiri, maupun bagi para
pembaca dan juga penulis anjurkan agar pembaca dapat mencari referensi yang
lainnya. Penulis sadar, dalam referat ini khususnya mengenai anatomi medulla
spinalis, masih memiliki banyak sekali kekurangan. Baik dari segi penulisan,
bahasa penulisan dan juga tinjauan pustakanya yang masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
memperbaiki kekurangan tersebut, sehingga agar lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carlo, W.A and Namasivaya Ambalavana. (2011). Respiratory Distress
Syndrome (Hyaline Membrane Disease). In Nelson Textbook of Pediatric
19Th Edition. Ed Robert M Kliegman. Elseviere Salinders.USA
2. Cunningham, M.D, and Eyal, F.G. (2013) Respiratory Distress Syndrome.
In Neonatology Management, Procedure, On-Call Problem, Disease, and
Drugs. 7Th Edition. Ed Gomella, T.L. Mc Hill Educational Medical Lange.
New York. USA
3. Rasad, Sjahriar. (2005). Radiologi Diagnostik Edisi Ke Dua. Ed: Iwan
Ekayuda. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
4. Effendi,S.H. dan Andi Firdaus. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan
Kegagalan Nafas pada Neonatus. FK UNPAD. Bandung.
5. Patrick, do. (2014). Hyaline Membrane Disease Imaging. Emedicine
Journal. Published February 24 2014. New York. USA
20
6. Zulfikar, LDH. Ali Usman, Melinda, D.N, dan Aris Primaldi. (2003). The
Prevalence of Hyaline Membrane Disease and The Value of Shake Test and
Lamellar Body Concentration in Preterm Infant. Department Of Child
Health, Medical School, Padjajaran University. Bandung. Paediatrica
Indonesiana, Vol 43 No.5-6 Hal 77-81. 2003.
7. Nur .A, Risa Etika, Sylviati M.Damanik , Fatimah Indarso., Agus Harianto.
(2005). Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory
Distress Syndrome.Lab/Smf Ilmu Kesehatan Anak Fk. Unair/Rsud Dr.
Soetomo
1. Ganong, William F, and Stephen J. McPhee. 2010. Patofisiologi Penyakit:
Pengantar Menuju Kedokteran Klinis, Edisi 5 Hal 301312. EGC.
Jakarta
2. Guyton, Arthur C, and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
11. EGC. Jakarta
3. Huan H. Gray., Keith D. Hawkins., John M. Morgan., Lain A. Simpson.
2005. Lecture Notes: Kardiologi Edisi 4. Erlangga. Jakarta
4. Rahmatina, Bustami Herman. 2010. Buku Ajar Fisiologi Jantung. EGC.
Jakarta
5. Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong,
Edisi 3 Hal 547548. EGC. Jakarta
6. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran
Edisi 6. EGC. Jakarta
7. Vander at all. 2001. Human Physiology: The Mechanism of Body
Function, Eight Edition. The McGraw Hills Company
patofisiologi
Cuningham 2013
21