Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Rhinosinusitis merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengalami
peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran finansial
masyarakat. Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis. Rinosinusitis dibagi
menjadi kelompok akut, subakut dan kronik.
Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4 %
penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis dalam jangka
waktu 12 bulan. Dari survei yang dilakukan, diperkirakan angka prevalensi
rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa AS berkisar antara 13-16 %, dengan
kata lain, sekitar 30 juta penduduk dewasa AS mengidap rinosinusitis kronik.
Dengan demikian rinosinusitis kronik menjadi salah satu penyakit kronik yang
paling populer di AS melebihi penyakit asma, penyakit jantung, diabetes dan
sefalgia. Kennedy melaporkan pada tahun 1994 adanya peningkatan jumlah
kunjungan pasien sinusitis kronik sebanyak 8 juta menjadi total 24 juta pertahun
antara tahun 1989 dan 1992. Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka
prevalensirinosinusitis kronik sekitar 5 % dengan rasio wanita berbanding pria
yaitu 6 berbanding 4 (lebih tinggi pada kelompok wanita). Berdasarkan penelitian
divisi Rinologi Departemen THT-KL FKUI tahun 1996, dari 496 pasien rawat
jalan ditemukan 50 % penderita sinusitis kronik. Dampak yang diakibatkan
rinosinusitis kronik meliputi berbagai aspek, antara lain aspek kualitas hidup (
Quality of Life / QOL ) dan aspek sosioekonomi.
Sejumlah konsensus, guidelines dan position papers yang mencakup
epidemiologi, diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis kronik mulai
berkembang pada dekade ini. Pada tahun 2005 European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) pertama kali dipublikasikan, dipelopori
oleh European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI) dan
diterima oleh European Rhinology Society. Pada tahun 2007, EPOS mengalami
revisi seiring dengan meningkatnya perkembangan baru pada patofisiologi,
diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis dan polip nasi.

1
I.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memahami mengenai definisi,
etiologi, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan pada penyakit rinosinusitis.

II.3 Manfaat
Menambah wawasan ilmu kedokteran yang khususnya ilmu di bidang telinga,
hidung dan tenggorokan. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang
sedang mengikuti kepanitraan klinik bagian ilmu kesehatan telinga, hidung, dan
tenggorokan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal


Sinus paranasal terdiri atas sinus maksila, etmoid, sfenoid dan frontal.Mukosa
sinus dilapisi oleh epitel respiratorius pseudostratified yang terdiri atassel
kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel basal.
Membran mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium sinusdan
bergabung dengan sekret dari hidung. Ostium adalah celah alamiah tempatsinus
mengalirkan drainasenya ke jalan napas (Sargi, 2007).

Gambar 1. Anatomi sinus paranasal

Secara klinis berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding


lateral hidung maka sinus dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok sinus
anterior dan posterior. Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila
dan etmoid anterior yang bermuara ke dalam atau dekat infundibulum. Kelompok
sinus posterior terdiri dari sinus sfenoid dan etmoid posterior yang bermuara diatas
konka media (Ballenger, 2003).
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus paranasal
terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila dan palatum
durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina. Gigi premolar kedua,

3
gigi molar pertama dan kedua tumbuh dekat dengan dasar sinus dan hanya
dipisahkan oleh membran mukosa sehingga proses supuratif di sekitar gigi tersebut
dapat menjalar ke mukosa sinus Silia sinus maksila membawa mukus dan debris
langsung ke ostium alamiah di meatus media (Ballenger, 2003).
Perdarahan sinus maksila dilayani oleh cabang a.maksila interna yaitu
a.infraorbita, a. sfenopalatina cabang nasal lateral, a. palatina descendens, a.
alveolar superior anterior dan posterior. Inervasi mukosa sinus maksila dilayani
oleh cabang nasal lateroposterior dan cabang alveolar superior n. infraorbital
(Ballenger, 2003).
Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel etmoid
anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal Suplai darah
sinus frontal dilayani oleh cabang supra trokhlear dan suborbita a.oftalmika,
sedangkan drainase vena dialirkan ke sinus kavernosus. Inervasi mukosanya
dilayani oleh cabang supratrokhlear dan supraorbital n. V1 (Ballenger, 2003).
Sinus etmoid terdiri atas dua kelompok sel, yaitu sel etmoid anterior yang
bermuara ke infundibulum di meatus media dan sel etmoid posterior yang
bermuara ke meatus superior. Cabang nasal a.sfenopalatina dan a.etmoid anterior
dan posterior, cabang a. oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus
etmoid dan aliran venanya menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh cabang
nasal posterior nervus V2 dan cabang etmoid anterior dan posterior nervus V1
(Ballenger, 2003).

Gambar 2 Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur yang terdapat
pada kompleks ostiomeatal meatus medius.

4
Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan yaitu pada
usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak dekat dengan sinus ini yaitu
n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons serebri diposterior,
di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis superior, a.
karotis dan beberapa serabut nervus kranialis. Perdarahan sinus dilayani oleh
cabang a.sfenopalatina dan a.etmoid posterior. Inervasinya dipersarafi oleh cabang
etmoid posterior nervus V1 dan cabang sfenopalatina nervus V2 (Ballenger, 2003).
Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan
sebagaipertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme, yaitu:
terbukanya kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia dan produksi mukus yang
normal (Jackman dan Kennedy, 2006).
Kompleks ostiomeatal adalah pertemuan jalur drainase kelompok
sinusanterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris,infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus
frontal. Jika terjadi obstruksi pada kompleks ostiomeatal oleh mukosa
yanginflamasi atau massa, akan menyebabkan terjadinya obstruksi ostium sinus,
stasissilia dan infeksi sinus (Welch, 2008).

Gambar 3. Kompleks osteomeatal

II.2 Embriologi Sinus Paranasal


a. Sinus frontalis mulai berkembang dari sinus ethmoidalis anterior pada usia 8
tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun.
b. Sinus ethmoidalis sudah ada sejak anak lahir
c. Pneumatisasi sinus spheinoidalis dimulai pada usia 8-10 tahun

5
d. Sinus maxilaris sudah ada sejak lahir dan mencapai ukuran maksimal 15 ml
pada saat dewasa.

II.3 Definisi
Rhinosinusitis adalah peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus
paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilanis, sinusitis etmoid, sinusitis frontal,
dan sinusitis sfenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis,
dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah
sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dari sinus sphenoid
lebih jarang lagi. (Damayanti, 2007). Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan
bahwa karena mukosa kavum nasi dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai
satu kesatuan maka inflamasi yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan
dengan inflamasi dalam sinus paranasal.
Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai sejumlah
kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum nasi dan
pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa mukosa kavum
nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi bersama-sama. Alasan
lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang
sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya
penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung
konsep one airway disease yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran
napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain. Sejumlah kelompok
konsensus menyetujui pernyataan tersebut sehingga terminologi yang lebih
diterima hingga kini adalah rinosinusitis daripada sinusitis.
Acute rhinosinusitis adalah inflamasi pada sinus paranasal dan cavitas nasal
yang kurang dari 4 minggu (Skye, 2013)
Sejak tahun 1984 sampai saat ini telah banyak dikemukakan definisi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi oleh para ahli, masing-masing dengan
kriterianya, antara lain:
1. Menurut Kennedy tahun 1993 (pada Konferensi Internasional Penyakit
Sinus, Princeton New Jersey), sinusitis kronik adalah sinusitis persisten
yang tidak dapat disembuhkan hanya dengan terapi medikamentosa,
disertai adanya hiperplasia mukosa dan dibuktikan secara radiografik. Pada

6
orang dewasa, keluhan dan gejala berlangsung persisten selama delapan
minggu atau terdapat empat episode atau lebih sinusitis akut rekuren,
masing-masing berlangsung minimal sepuluh hari, berkaitan dengan
perubahan persisten pada CT-scan setelah terapi selama empat minggu
tanpa ada pengaruh infeksi akut.
2. Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 1996 disponsori oleh
American Academy of Otolaryngology / Head and Neck Surgery (AAO-
HNS), disebut rinosinusitis kronik bila rinosinusitis berlangsung lebih dari
dua belas minggu dan diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor
klinis mayor dan minor dengan atau tanpa adanya hasil pada pemeriksaan
fisik. Tabel 1 menunjukkan faktor klinis mayor dan minor yang berkaitan
dengan diagnosis rinosinusitis kronik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor
atau satu faktor mayor disertai dua atau lebih faktor minor maka
kemungkinan besar rinosinusitis kronik. Bila hanya satu faktor mayor atau
hanya dua faktor minor maka rinosinusitis perlu menjadi diferensial
diagnosa.
3. Definisi rinosinusitis kronik terbaru dinyatakan dalam makalah EP3OS
tahun 2007 yaitu suatu inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus
paranasal, berlangsung selama dua belas minggu atau lebih disertai dua
atau lebih gejala dimana salah satunya adalah buntu hidung (nasal
blockage / obstruction / congestion) atau nasal discharge (anterior /
posterior nasal drip).

a. nyeri fasial / pressure

b. penurunan / hilangnya daya penciuman dan dapat di dukung oleh


pemeriksaan penunjang antara lain

i. Endoskopik, dimana terdapat : polip atau sekret


mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau
udem mukosa primer pada meatus medius

ii. CT scan : perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal


dan atau sinus paranasal.
Berdasarkan definisi yang terakhir, dapat dilihat bahwa rinosinusitis dapat
dibedakan lagi menjadi kelompok dengan polip nasi dan kelompok tanpa polip
nasi. EP3OS 2007 menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan kelompok

7
primer sedangkan polip nasi merupakan subkategori dari rinosinusitis kronik.
Alasan rasional rinosinusitis kronik dibedakan antara dengan polip dan tanpa polip
nasi berdasarkan pada beberapa studi yang menunjukkan adanya gambaran
patologi jaringan sinus dan konka media yang berbeda pada kedua kelompok
tersebut.
Tabel 1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik,
terdiri dari faktor mayor (utama) dan faktor minor (pelengkap)
Major factors Minor factors
Facial pain, pressure (alone does not constitute a suggestive Headache
history for rhinosinusitis in absence of another major Fever
symptom) (all nonacute)
Facial congestion, fullness Halitosis
Nasal obstruction/blockage Fatigue
Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage Dental pain
Hyposmia/anosmia Cough
Purulence in nasal cavity on examination Ear pain/pressure/
Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone fullness
does not constitute a strongly supportive history for acute in
the absence of another major nasal symptom or sign

Rinosinusitis (termasuk polip hidung) didefinisikan sebagai : (EPOS, 2007)


inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih
gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek
(sekret hidung anterior/ posterior):
a. nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
b. penurunan/ hilangnya penghidu dan salah satu dari:
a. temuan nasoendoskopi:
- polip dan/ atau
- sekret mukopurulen dari meatus medius dan / atau
- edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau
b. gambaran tomografi komputer:
perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus

II.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi


Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang)
maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Senior dan Kennedy (1996) menyatakan

8
bahwa: Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang
normal baik dari segi viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar
yang normal untuk mencegah stasis mukus dan kemungkinan infeksi; serta
patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan drainase dan aerasi.
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok
sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting
bagi transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang
cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM
merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis
kronik. Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi
terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan
mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang
berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada
mukosa sinus dan juga mukosa nasal, seperti yang tergambar pada gambar 2
dibawah ini.

Gambar 5 Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu faktor akan
mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan dengan hasil akhirnya adalah
rinosinusitis kronik.

Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara mendalam.


Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai
penyebab utama. Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik
bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik
merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada
beberapa pendapat dalam mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik. Berdasarkan
EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa

9
polip nasi yaitu ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised,
faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis,
faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal
Penyebab sinusitis akut:
a. Virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan
bagian atas (misalnya pilek). Contohnya rhinovirus, Influenzavirus,
parainfluenzavirus
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan
normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase
dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang
sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam
sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
Bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah Streptociccus
pneumonia (30-50%), Hemophylus influenza (20-40%) dan Moraxella
catarrhalis (4%). Pada anak, M. catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%).
Pada sinusitis kronik, bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri gram
negative dan anaerob seperti fusobakteri
c. Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan
jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan system
kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi
alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung.
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula
halnyapada penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan
dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik
merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor yaitu
faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan. Berdasarkan ketiga kelompok

10
tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi menjadi berbagai
penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut. James Baraniuk
(2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan patofisiologi penyebab
rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe infiltrat selular
yang predominan) dan rinosinusitis non inflamatori (termasuk disfungsi neural dan
penyebab lainnya seperti hormonal dan obat). Rinosinusitis inflamatori kemudian
dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan
kelompok lain.
Penyebab sinusitis kronis:
a. Asma
b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan
lendir.
Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti:
a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.
b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap
rokok, polusiudara, atau karena panas dan kering.
c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :
a) Atresia atau stenosis koana
b) Deviasi septum
c) Hipertroti konka media
d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis
kistik
e) Tumor atau neoplasma
f) Hipertroti adenoid
g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi
h) Benda asing
d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek
e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan
imunosupresi oleh obat.

11
Tabel 3. Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masing-masing berdasarkan
faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural.
Genetic/Physiologic Factors Environmental Factors Structural Factors
Airway hyperreactivity Allergy Septal deviation
Immunodeficiency Smoking Concha bullosa
Aspirin sensitivity Irritants/pollution Paradoxic middle turbinate
Ciliary dysfunction Viruses Haller cells
Cystic fibrosis Bacteria Frontal cells
Autoimmune disease Fungi Scarring
Granulomatous disorders Stress Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma

II.5 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan.(Soepardi, 2007)
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak
dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi
didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi
mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya bakteri patogen. (Soepardi, 2007)
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan
jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista.Polip nasi dapat
menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema
mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang
sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang
sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.

12
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini,
yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan :
(Suetjipto, 1990)
a. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum, sedangkan
permukaannyakering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
b. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada
kelainan epitel.
c. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui
epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri, debris,
epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi dan darah
bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan sedikit,
kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi fibrin dan
serum.
d. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan berhentinya
pengeluaran leukosit memakan waktu 10 14 hari.
e. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke
tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi
masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan
belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan
menjadi permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya dapat
memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang.

Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi :


1) Melalui suatu tromboflebitis dari vena yang perforasi
2) Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik
3) Dengan terjadinya defek
4) Melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah
infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik.

13
Gambar 6 : Patogenesis Sinusitis

II.6 Klasifikasi
Menurut The Rhinosinusitis Taks Force (RSTF). Menbagi sinusitis
baerdasarkan waktu:
1. Rhinosinusitis akut : 4 minggu
2. Rhinosinusitis subakut : 4-12 minggu
3. Rhinosinusitis kronik : >12 minggu
4. Rhinosinusitis akut rekuren : 4 episode pertahun. Tiap episode 7-
10 hari resolusi komplit diantara episode
5. Rhinosinusitis kronik eksaserbasi akut: perburukan gejala tiba-tiba dari
Rhinosinusitis kronik dengan
kekambuhan berulang setelah
pengobatan
American academy of allergy, asthma, and immunology; American academy
of ottolaryngic allergy; American academy ofottolaryngology-head and neck
surgery; American college of allergy, asthma and immunology; and American
rhinologic society mengusulkan subklasifikasi lebih lanjut dari Rhinosinusitis
kronik adalah:
1. Rhinosinusitis kronik dengan polip
Ditandai dengan mukosa polipoid dengan edema, infiltrasi eosinophil,
limfosit T dan B, serta kerusakan pada epitel yang disebabkan oleh produk-
produk aktivasi sel eosinophil. Tipe ini berhubungan dengan meningkatnya
prevalensi polip hidung dan juga berhubungan dengan lebih luasnya
hubungan patologis eliainan sinus pada topografi computer.
2. Rhinosinusitis kronik tanpa polip

14
Tanpa ditandai dengan tanda-tanda polip, namun ditandai dengan
hyperplasia kelenjar seromukosa yang jelas.
Berdasarkan durasi penyakit, rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi:
a. Akut
- < 12 minggu
- Resolusi komplit gejala
b. Kronik
- 12 minggu
- Tanpa resolusi gejala komplit
- Termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut.
Rinosinusitis kronik tanpa bedah sinus sebelumnya terbagi menjadi subgrup
yang didasarkan atas temuan endoskopi, yaitu:
- Rinosinusitis kronik dengan polip nasal
- Polip bilateral, terlihat secara endopskopi di meatus media
- Rinosinusitis kronik tanpa polip nasal
Tidak ada polip yang terlihat di meatus media, jika perlu setelah
penggunaan dekongestan.
Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4
minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari
3 bulan. (Soepardi, 2007)
Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan,
sedang dan berat berdasarkan total skor Visual Analogue Scale (VAS) (0-10cm):
(EPOS, 2007)
Ringan = VAS 0-3
Sedang = VAS >3-7
Berat = VAS >7-10
Untuk menilai beratnya penyakit, pasien diminta untuk menentukan dalam VAS
jawaban dari pertanyaan:
Berapa besar gangguan dari gejala rinosinusitis saudara?

15
Gambar 7. Skala VAS (Visual Analogue Scale)
___________________________________________________________
Tidak mengganggu 10 cm Gangguan terburuk
yang masuk akal

Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien.


Adapula kuisioner untuk menilai derajat beratnya Rhinosinusitis kronik yang
diisi oleh penderita yaitu Sino-Nasal Outcome Test yang terdiri dari 20
pertanyaan gejala Rhinosinusitis. Setiap pertanyaan diberi nilai:
Skor 1: bila tidak didapatkan gangguan
Skor 2: bila didapatkan gangguan ringan
Skor 3: bila keluhan terasa cukup mengganggu
Skor 4: bila keluhan terasa sangat mengganggu
Skor 5: bila keluhan terasa mengganggu sangat ekstrim

II.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan beratnya penyakit, sinusitis dapat dibagi
menjadi ringan, sedang dan berat sesuai dengan klasifikasi VES. Sedangkan
berdasarkan lamanya penyakit sinusitis dibagi menjadi akut dan kronik.
Berdasarkan VES yang dikatakan akut adalah bila gejala berlangsung <12
minggu, sedangkan kronik bila gejala berlangsung >12 minggu termasuk
rinosinusitis kronik eksaserbasi akut. (Burnside, 2007)

16
Table 3. Penegakan diagnosis sinusitis secara umum: (Pletcher SD, 2003)
Kriteria Mayor Kriteria Minor

a. Sekret nasal yang purulen a. Edem periorbital


b. Drainase faring yang purulen b. Sakit kepala
c. Purulent Post Nasaldrip c. Nyeri di wajah
d. Batuk d. Sakit gigi
e. Fotorontgen(Watersradiograph atau e. Nyeri telinga
air fluid level) : Penebalan lebih 50% f. Sakit tenggorok
dari antrum g. Nafas berbau
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau h. Bersin-bersin bertambah sering
opaksifikasi dari mukosa sinus i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) :
neutrofil dan bakteri
k. Ultrasound

Rinosinusitis didiagnosa apabila dijumpai atau lebih gejala mayor atau 1


gejala mayor dan 2 gejala minor.
Sedangkan menurut EP3OS seperti yang telah dibahas sebelumnya (table 1)
Memiliki beberapa kriteria diagnosis tertentu yang dapat digali dari anamnesis
terhadap pasien yaitu sebagai berikut:
Tabel 4. Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis
Faktor Mayor Faktor Minor
Nyeri/ rasa tertekan di wajah Nyeri kepala
Rasa penuh di wajah Demam (pada
Hidung tersumbat rhinosinusitis
Hidung berair/ bernanah/ perubahan warna ingus kronik)
Penurunan/berkurangnya penghidu Bau mulut
Nanah dalam rongga hidung Mudah lelah
Demam (Pada rhinosinusitis akut) Sakit gigi
Batuk
Nyeri/rasa
tertekan/ rasa
penuh di telinga

Kriteria diagnosis:
1. dua gejala mayor atau kombinasi satu gejala mayor dan dua gejala minor
(sangat mendukung gejala rhinosinusitis)
2. adanya nyeri wajah saja tapi tidak disertai gejala mayor hidung atau
lainnya (tidak mendukung riwayat rhinosinusitis)
3. adanya demam saja tapi tidak disertai gejala mayor hidung atau lainnya
(tidak mendukung riwayat rhinosinusitis)

17
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai
gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, Adanya penyebab infeksi baik bakteri
maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis
rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi
lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi
keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan
yang sudah dilakukan. Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui
anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007,
keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan /
tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan
untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna bagi
penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat digunakan
untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering
digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20 (sinonasal
outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis outcome
measure)
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan hidung didapati edema,
hiperemis dan pus, atau ditemukannya polip pada rhinosinusitis kronis,
pemeriksaan mulut (post nasal drip), dan pemeriksaan gigi geligi untuk
menyingkirkan focus infeksi dari gigi Rinoskopi anterior dengan cahaya
lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga hidung yang lapang (sudah
18
diberi topikal dekongestan sebelumnya) Dengan rinoskopi anterior dapat
dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik
seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum,
tumor atau polip.
Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga
hidung

7.1 Sinusitis Akut


Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh
virus yang melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis
akut termasuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan
Moraxella catarrhalis.Diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan ketika
infeksi saluran napas atas oleh virus tidak sembuh salama 10 hari atau
memburuk setelah 5-7 hari.
Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan
infeksi virus, terdapat transudasi di rongga-rongga sinus, mula-mula serous
yang biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Selanjutnya
diikuti oleh infeksi bakteri , yang bila kondisi ini menetap, sekret yang
terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan
multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama sinusitis akut ialah hidung
tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang
sering sekali turun ke tenggorok (post nasal drip).Dapat juga disertai gejala
sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah
sinus yang terkena, merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang
nyeri juga dirasakan di tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi, gigi, dahi dan
depan telinga menandakan sinusitis maksila. Nyeri di antara atau di belakang
kedua bola mata dan pelipis menandakan sinusitis etmoid. Nyeri di dahi atau
seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri
dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Gejala
lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Pada rinoskopi anterior tampak puskeluar dari meatus superior atau
nanah di meatus medius pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis
19
etmoid anterior, sedangkan pada sinusitis etmoid posterior dan sinusitis
sfenoid tampak pusdi meatus superior.Pada rinoskopi posterior tampak pus di
nasofaring (post nasal drip). Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang
sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara
(air fluid level) pada sinus yang sakit.

Gambar 7: Pemeriksaan Radiologi untuk Sinus Paranasal

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan


mengambil sekret dari meatus mediusatau meatus superior. Lebih baik lagi
bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Dalam interpretasi
biakan hidung, harus hati-hati, karena mungkin saja biakan dari sinus
maksilaris dapat dianggap benar, namun pus tersebut berlokasi dalam suatu
rongga tulang. Sebaiknya biakan dari hidung depan, akan mengungkapkan
organisme dalam vestibulum nasi termasuk flora normal seperti
Staphilococcus dan beberapa kokus gram positif yang tidak ada kaitannya
dengan bakteri yang dapat menimbulkan sinusitis.
1. Sinusitis maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris
akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang
biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah
terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat
nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan

20
perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang
berbau busuk.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya pus dalam hidung, biasanya
dari meatus media, atau pus atau sekret mukopurulen dalam nasofaring.
Sinus maksilaris terasa nyeri pada palpasi dan perkusi. Transluminasi
berkurang bila sinus penuh cairan.Pada pemeriksaan radiologik foto polos
posisi waters dan PA, gambaran sinusitis maksilaris akut mula-mula
berupa penebalan mukosa, selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap
akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan
yang memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk gambaran air-fluid level yang
khas akibat akumulasi pus.
2. Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis didapatkan nyeri
yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang
nyeri di bola mata atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan.
Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan sumbatan hidung. Pemeriksaan
fisik didapatkan nyeri tekan pada pangkal hidung.
3. Sinusitis frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan
memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda
hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa
nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra
orbita.Pemeriksaan fisik, nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di
atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan tanda patognomonik pada
sinusitis frontalis.
4. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke
verteks kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis
dan oleh karena itu gejalanyamenjadi satu dengan gejala infeksi sinus
lainnya.

21
7.2 Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda. Waktu menurut
The Rhinosinusitis Task Force berlangsung antara 4-12 minggu
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap

7.3 Sinusitis Kronis


Berdasarkan definisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi menurut TFR
1996, terdapat faktor klinis/ gejala mayor dan minor yang diperlukan untuk
diagnosis. Selanjutnya menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada
tiga kriteria yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik,
berdasarkan penemuan pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel
3. Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi,
endoskopi nasal, CT-scan dan lainnya.

Tabel 5 diagnosis sinusitis kronik

REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS


(2003 TASK FORCE)
Duration Physical findings (on of the following must be present)
>12 weeks of continuous 1. Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid
symptoms (as described by swelling on anterior rhinoscopy (with decongestion) or
1996 Task Force) or physical nasal endoscopy
2. Edema or erythema in middle meatus on nasal
findings
endoscopy
3. Generalized or localized edema, erythema, or
granulation tissue in nasal cavity. If it does not involve
the middle meatus, imaging is required for diagnosis
4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or
computerized tomography)b

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Selama


eksaserbasi akut, gejala mirip dengan sinusitis akut namun diluar masa itu,
gejala berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi
yang seringkali mukopurulen. Kadang-kadang hanya satu atau dua dari

22
gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk
kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara
tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis),
bronkiektasi, dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit
diobati. Pada anak mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.
Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor
predisposisi, seperti rinitis alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya
yang menonjol. Pasien dengan sinusitis kronik dengan polip nasi lebih sering
mengalami hiposmia dan lebih sedikit mengeluhkan nyeri atau rasa tertekan
daripada yang tidak memiliki polip nasi.Bakteri yang memegang peranan
penting dalam patogenesis rinosinusitis kronik masih kontroversial.
Organisme yang umum terisolasi pada sinusitis kronik termasuk
Staphylococcus aureus, bakteri anaerob dan gram negatif seperti Pseudomonas
aeruginosa.

II.8 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:
1. Transluminasi (diafanoskopi)
Dilakukan dikamar gelap, memakai sumber cahaya penlight yang
dimasukkan ke dalam mulut dan bibir dikatupkan.Pada sinus normal tampak
gambaran bulan sabit terang di infraorbita. Pada sinus tampak suram.
2. Pemeriksaan radiologi
Posisi rutin yang dipakai adalah posisi Caldwell, Waters. Posisi Caldwell
untuk menilai sinus frontal, yakni dengan cara mengadahkan kepala pasien
sehingga membentuk 15o pada garis OML (orbito meatal line). Posisi Waters
adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah
antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sehingga
terbentuk sudut 37o pada garis OML (orbito meatal line).Posisi ini terutama
untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
Waters dinilai dengan menggunakan skor derajat kejernihan radiologi. Hasil
skoring posisi Waters sebagai berikut :
- Skor 0 sampai dengan skor 2 = positif
- Skor 3 sampai dengan skor 4 = negative
-

23
Table 6. Skoring kejernihan radiologi posisi Waters
Skor Keterangan
0 Seluruh rongga berkabut padat
1 Tepi rongga berkabut (menebal luas), tetapi daerah radiolusen < sekitar 25 %
2 Tepi rongga berkabut (menebal > 4 mm), tetapi daerah radiolusen masih > 25 % s/d <
50 %
3 Tepi rongga berkabut (menebal < 4 mm), daerah radiolusen > sekitar 50 %
4 Rongga sinus maksilaris seluruhnya radiolusen

Gambar 8. Proyeksi Waters

Gambar 8. Proyeksi Caldwell


3. Endoskopi (sinoskopi)
Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam
sinus, apakah ada secret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan
bagaimana keadaan dalam mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada
sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup
sehingga drainase menjadi terganggu.
4. Pungsi sinus
Pungsi sinus dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dan untuk
terapi.Kultur dilakukan pada secret yang keluar dari pungsi ini.

24
5. Pemeriksaan MRI (Magneting Resonance Imaging)
Jarang dilakukan, dan hanya dilakukan pada kasus yang kompleks,
misalnya terdapat komplikasi sinusitis ke jaringan sekitar. Karena MRI lebih
bagus menggambarkan jaringan lunak
6. Pemeriksaan CT Scan
Merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada
sinus dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak penebalan
mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu
atau lebih sinus paranasal, penebalan di dinding sinus dengan sklerotik (pada
kasus-kasus kronik).
7. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:
- Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
- Tes alergi
- Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,
mikroskop elektron dan nitrit oksida
- Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
- Tes fungsi olfaktori: threshold testing
- Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

II.9 Penatalaksanaan
9.1 Rinosinusitis Akut
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan rinosinusitis supuratif
akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif.
Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin.
Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromicin dan
dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.
Antibiotik parenteral diberikan pada rinosinusitis yang telah mengalami
komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat
menembus sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena
selain dapat membasmi semua bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan
menembus sawar darah otaknya juga baik.

25
Pada rinosinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan
metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan
serebrospinal. Antihistamin hanya diberikan pada rinosinusitis dengan
predisposisi alergi. Analgetik dapat diberikan. Kompres hangat dapat juga
dilakukan untuk mengurangi nyeri.

Onset tiba-tiba dari 2 atau lebih gejala, salah Keadaan yang harus segera di rujuk/ dirawat
satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ Edema periorbita
kongesti atau pilek; sekret hidung anterior/ Pendorongan letak bola mata
posterior; nyeri/ rasa tertekan di Penglihatan ganda
wajah;Penghidu terganggu/ Oftalmoplegi
Penurunan visus
hilangPemeriksaan: Rinoskopi AnteriorFoto
Nyeri frontal unilateral atau bilateral
Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak
Bengkak daerah frontal
direkomendasikan Tanda meningitis atau tanda fokal
neurologis

Gejala kurang dari 5 Gejala menetap atau


hari atau membaik memburuk setelah 5
setelahnya hari

Common cold Sedang Berat

Pengobatan Steroid topikal Antibiotik + steroid


simtomatik topikal

Tidak ada perbaikan Tidak ada perbaikan


setelah 14 hari Perbaikan dalam 48 dalam 48 jam
jam

Rujuk ke dokter Teruskan terapi untuk Rujuk ke dokter


spesialis 7-14 hari spesialis

Gambar 9 : Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada dewasa untuk pelayanan


kesehatan primer berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitisnand Nasal
Polyps 2007.

26
9.2 Rinosinusitis Kronis
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu
dengan tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang
sesuai dengan resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga diberikan obat-obat
simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika,
anti histamin dan mukolitik.
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra
Short Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk
memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan
pencucian sinus.
Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat
dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz.
1. Pencucian sinus paranasal :
a. Pada sinus maksila
Dilakukan pungsi sinus maksila dan dicuci 2 kali seminggu dengan
larutan garam fisiologis. Caranya adalah sebelumnya memasukkan
kapas yang telah diteteskan xilokain dan adrenalin ke daerah meatus
inferior. Setelah 5 menit, kapas dikeluarkan, lalu dengan trokar ditusuk
di bawah konka inferior, ujung trokar diarahkan ke batas luar mata.
Setelah tulang dinding sinus maksila bagian medial tembus, maka
jarum trokar dicabut, sehingga tinggal pipa selubungnya berada di
dalam sinus maksila. Pipa itu dihubungkan dengan semprit yang berisi
larutan garam fisiologis, atau dengan balon yang khusus untuk
pencucian sinus itu.Pasien yang telah ditataki plastik di dadanya,
diminta untuk membuka mulut. Air cucian sinus akan keluar dari
mulut, dan ditampung di tempat bengkok.
Tindakan ini diulang 3 hari kemudian. Karena sudah ada lubang
pungsi, maka untuk memasukkan pipa dipakai trokar yang tumpul.
Tapi tindakan seperti ini dapat menimbulkan kemungkinan trokar
menembus melewati sinus ke jaringan lunak pipi ataupun dasar mata,
tertusuk karena arah penusukan salah, timbul emboli udara karena
setelah menyemprot dengan air disemprotkan udara dengan maksud

27
mengeluarkan seluruh cairan yang telah dimasukkan serta perdarahan
karena konka inferior tertusuk. Lubang pungsi ini dapat diperbesar,
dengan memotong dinding lateral hidung, atau dengan memakai alat,
yaitu busi. Tindakan ini disebut antrostomi, dan dilakukan di kamar
bedah, dengan pasien yang diberi anastesi.
b. Pada sinus frontal, etmoid dan sfenoid
Pencucian sinus dilakukan dengan pencucian Proetz. Caranya ialah
dengan pasien ditidurkan dengan kepala lebih rendah dari badan. Ke
dalam hidung diteteskan HCL efedrin 0,5-1,5 %. Pasien harus
menyebut kek-kek supaya HCL efedrin yang diteteskan tidak masuk
ke dalam mulut, tetapi ke dalam rongga yang terletak di bawah (yaitu
sinus paranasal, oleh karena kepala diletakkan lebih rendah dari
badan). Ke dalam lubang hidung dimasukkan pipa gelas yang
dihubungkan dengan alat pengisap untuk menampung lendir yang
terisap dari sinus. Pada pipa gelas itu dibuat lubang yang dapat ditutup
dan dibuka dengan ujung jari jempol. Pada waktu lubang ditutup maka
akan terisap lendir dari sinus. Pada waktu meneteskan HCL ini, lubang
di pipa tidak ditutup. Tindakan pencucian menurut cara ini dilakukan 2
kali seminggu.
2. Pembedahan
a. Radikal
- Sinus maksila dengan antrostomi dan operasi Cadhwell-luc.
- Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
- Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
b. Non Radikal
- Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
Pembedahan, dilakukan :
- Bila setelah dilakukan pencucian sinus 6 kali, sekret masih tetap
kental.
- Bila pada foto rontgen sudah tampak penebalan dinding sinus
paranasal.
- Persiapan sebelum pembedahan perlu dibuat foto (pemeriksaan)
dengan CT scan.

28
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa Pikirkan diagnosis lain :
hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau Gejala unilateral
pilek; sekret hidung anterior/ posterior; Perdarahan
nyeri/ rasa tertekan di wajah; Krusta
Penghidu terganggu/ hilang Gangguan penciuman
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Gejala Orbita
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak Edema Periorbita
direkomendasikan Pendorongan letak bola mata
Penglihatan ganda
Oftalmoplegi
Nyeri kepala bagian frontal yang berat
Tersedia Bengkak daerah frontal
Endoskopi Tanda meningitis atau tanda fokal
neurologis fokal

Polip Tidak ada polip Endoskopi tidak Investigasi dan


tersedia intervensi
secepatnya

Pemeriksaan Rinoskopi
Ikuti skema polip Ikuti skema
hidung Dokter Rinosinusitis kronik Anterior
Spesialis THT Dokter Spesialis THT
Foto Polos SPN/ Tomografi

Rujuk Dokter Spesialis Komputer tidak


THT jika Operasi
Dipertimbangkan
direkomendasikan
Steroid topikal
Cuci hidung
Antihistamin jika alergi

Reevaluasi setelah 4
minggu

Perbaikan Tidak ada perbaikan

Lanjutkan terapi Rujuk spesialis THT

Gambar 10. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan atau tanpa polip hidung
pada dewasa untuk pelayanan kesehatan primer dan dokter spesialis non THT
berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitisnand Nasal Polyps
2007

29
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa Pertimbangkan diagnosis lain :
hidung tersumbat atau pilek yang tidak Gejala unilateral
jernih; nyeri bagian frontal, sakit kepala; Perdarahan
Gangguan Penghidu Krusta
Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Kakosmia
Pertimbangkan Tomografi Komputer Gejala Orbita
Tes Alergi Edema Periorbita
Pertimbangkan diagnosis dan Penglihatan ganda
penatalaksanaan penyakit penyerta; misal Oftalmoplegi
Asma Nyeri kepala bagian frontal yang berat
Edem frontal
Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
fokal

Ringan VAS 0-3 Sedang atau berat


VAS >3-10

Steroid topikal Gagal setelah 3 Steroid topikal Perlu investigasi


Intranasal cuci hidung bulan Cuci hidung dan intervensi cepat
Kultur & resistensi
Kuman
Makrolid jangka
Perbaikan panjang

Gagal setelah 3 bulan


Tindak lanjut Jangka
Panjang + cuci hidung
Steroid topikal
Makrolide jangka
panjang
Tomografi Komputer

Operasi

Gambar 11: Skema penatalaksanaan berbasis bukti rinosinusitis kronik tanpa polip
hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper
on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007

30
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung Pertimbangkan diagnosis lain :
tersumbat atau sekret hidung berwarnar; Gejala unilateral
nyeri bagian frontal, sakit kepala; Perdarahan
Gangguan Penghidu Krusta
Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Kakosmia
Pertimbangkan Tomografi Komputer Gejala Orbita
Tes Alergi Edema Periorbita
Pertimbangkan diagnosis dan penatalaksanaan
Penglihatan ganda
penyakit penyerta; misal ASA
Oftalmoplegi
Nyeri kepala bagian frontal yang berat
Edem frontal
Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
fokal

Ringan VAS 0-3 Sedang VAS 3-7 Berat VAS > 10

Perlu investigasi dan


intervensi cepat
Steroid topikal (spray) Steroid topikal tetes Steroid oral jangka
hidung pendek
Steroid topikal

Dievaluasi setelah 3
bulan Evaluasi setelah 1
bulan

Perbaikan Tidak membaik


Perbaikan Tidak membaik

Lanjutkan Steroid
Topikal Tomografi Komputer

Evaluasi setiap 6 bulan Tindak lanjut Operasi


Cuci hidung
Steroid topikal + oral
Antibiotika jangka
panjang

Gambar 12 : Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan polip hidung pada


dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007

31
II.10 Diagnosis Banding
1. Rhinitis Viral (Common Cold)
Didefinisikan dengan didefinisikan sebagai perburukan gejala < 10 hari.
Rhinosinusitis non-viral akut didefinisikan sebagai prburukan gejala setelah 5
hari atau gejala menetap setelah 10 hari dengan lama sakit < 12 minggu
2. Nyeri Temporomandibular joint (TMJ)
Sering menunjukkan gejala seperti sinusitis. Nyeri TMJ sering ditemukan
dengan derajat nyeri yang berbeda-beda. Penting pada palpasi TMJ
ditemukan nyeri tekan dan klik
3. Nyeri Kepala atau Migrain
Migraine ditandai dengan nyeri kepala berdenyut, unilateral, sekitar 4-72 jam.
Migraine dapat terjadi dengan atau tanpa gejala neurologis, seperti gangguan
visus atau kelumpuhan. Adanya aura, gejala singkat, dan respon terhadap
pemberian obat seperti alkaloid ergot
4. Nyeri Trigeminal
Neuralgia trigeminal jarang terjadi, tapi menyebabkan serangan hebat di
sepanjang nervus trigeminal
5. Neoplasma Sinus
Ditanyakan apakah ada sumbangan hidung unilateral, epistaksis, gangguan
visus, dan deficit neurologis. Perlu dilakukan endoskopi nasal dan pencitraan
CT-Scan

II.11 Komplikasi
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan
seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya
teknologi diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.
Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi
orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.
1. Komplikasi orbita :
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).yang
paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses

32
subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus.
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
2. Komplikasi oseus/tulang :
Osteomielitis (maksila dan frontal) dan abses sub periosteal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak.Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau
fistula pada pipi.
3. Komplikasi endokranial:
Kelainan intra kranial, dapat berupa meningitis, abses ekstrdural, atau
subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus
a) Abses epidural / subdural
b) Abses otak
c) Meningitis
d) Serebritis
e) Trombosis sinus kavernosus
4. Osteomielitis
5. Kelianan paru seperti bronkhitis kronis dan bronkiektasis. Adanya kelainan
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut dengan sinobronkhitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

II.12 Prognosis
Prognosis rhinisinusitis adalah sangat baik, kira-kira 70% pesien sembuh
tanpa pengobatan. Antibiotic hanya diperlukan bila ada gejala. Rhinosinusitis
kronik memiliki masalah yang lebih rumit, jika penyebabnya adalah struktur
anatomi yang perlu dikoreksi, maka prognosis menjadi lebih baik. Lebih dari
90% pasien mengalami perbaikan dengan intervensi bedah. Bagaimanapun,
penyakit ini sering kambuh, sehingga tindakan preventif adalah hal yang sangat
penting.

33
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Sejak pertengahan tahun 1990an terminology rhinosinusitis menggantikan
sinusitis. Rhinosinusitis merupakan infeksi mukosa sinus paranasal. Dapat
diklasifikasikan berdasarkan lamanya infeksi, etiologi, dan beratnya penyakit.
Penegakan diagnose rhinosinusitis berdasarkan anamnesis menggunakan
kriteria mayor dan minor dari EPOS, riwayat penyakit dahulu dan riwayat alergi.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan hidung, mulut, rhinoskopi anterior dan
posterior, serta pemeriksaan penunjang dari mulai transluminasi, radiologi, endoskopi,
serta pemeriksaan laboratorium sebagai data penunjang.
Tatalaksana terapi dari rhinosinusitis berbeda berdasarkan stadiumya.
Komplikasi terjadi bila infeksi sudah menembus dinding sinus ke organ sekitar.
Rhinosinusitis memiliki prognosa sangat baik

III.2 Saran
Memahami definisi, etiologi, klasifikasi, diagnosis, pada penyakit rinosinusitis
merupakan langkah awal dalam tatalaksananya terutama bagi dokter pelayanan
primer. Karena bagaimanapun kegiatan prefentif lebih penting pada rhinosinusitis.

34
DAFTAR PUSTAKA

Bachert, C. et.al. 2014. Consencus Document; ICON: Chronic Rhinosinusitis. World


Allergy Organization Journal. http://www.waojournal.org/content/7/1/25
Ballenger. J. 2006 .Infeksi Sinus Paranasal. Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 13 (1). Jakarta : Binaputra Aksara.
Casianno,R.R. and David, S.L. 1999. Diagnosis and management of Rhinosinusitis.
Miami. Departement of Otolaryngology. University of Miami School of
Medicine
Desroiser, Martin. Et.al. 2011. Canadian Clinical Practice Guideline for Acute and
Chronic Rhinosinusitis. Canada. Allergy, Asthma, and Clinical Immunology
Montreal University
Fokkens W, Lund V, Mullol J. European Position Paper on Nasal Polyps (EPOS).
2007.
Hilgher PA. 1997. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adams, Boies, Higler. Buku
Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
Kentjono W.A., 2004. Rinosinusitis : Etiologi dan Patofisiologi. Bagian/SMF llmu
Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU Dr. Soetomo
Surabaya.
Laszlo I. 1997. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara.
Mangunkusumo E, Soetjipto D. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD.
2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi
6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Oktaviani Putu. 2015. Tesis : Larutan pencuci hidung salin isotonis Tidak terbukti
mempercepat waktu Transpor mukosilia pada Rinosinusitis akut. Denpasar.
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9.
Rukmini S, Herawati S. 2000. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.
Jakarta: EGC.
Skye, Eric. 2013. Acute Rhinosinusitis in Adult. Quality anagement Program.
University of Michigam

35
36

Anda mungkin juga menyukai