TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Rinitis alergi, menurut Von Pirquet, adalah penyakit inflamasi yang
diesebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut. Rinitis alergi adalah
kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.
3.2 Epidemiologi
Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk amerika. Rinitis
ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama
anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama.
Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada
usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20
tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan
usia sehingga pada usia senja rinitis alergi jarang ditemukan.
3.3 Klasifikasi
Rinitis alergi dapat terjadi musiman atau sepanjang tahun, maka sering
dibuat klasifikasi berdasarkan sifat berlangsungnya. Klasifikasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, dibagi
berdasarkan sifat berlangsungnya:
1. Intermiten, bila gejala kurang dari 4 hari per minggu atau kurang dari 4 minggu
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari per minggu atau lebih dari 4
minggu
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran sehingga
memberi gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma
bronkhial dan rhinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing di dalam tubuh
terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen. Reaksi ini bersifat
nonspesifik reaksi ini bersifat nonspesifik dan dapat berakhir sampai
disini. Bila antigen tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut
menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem munitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila
antigen berhasil dieliminasi pada tahap ini reaksi selesai. Bila antigen
masih ada atau sudah ada defek dari sistem imunologi maka reaksi akan
berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
reaksi imunologi yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya eliminasi
antigen oleh tubuh.
Gell dan Coomb mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (hipersensitifitas tipe cepat), tipe 2 atau reaksi sitotoksik
/sitolitik, tipe3 atau reaksi kompleks imun, dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin
(hipersensitifitas tipe lambat). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak
dijumpai dibidang THT adalah tipe I yaitu rhinitis alergi.
3.5 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua
fase yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th-1 dan Th-2. Th-2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglubilin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini
menjadi aktif. PRoses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai IGE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (performed mediators) terutama histamin.
Selain histamin juga dikeluarkan newly formed mediators (NFM) antara lain
prostaglandin D2 (PDG2), leukotrein D4 (LTD4), leukotrein C4 (LT C4),
bradikinin, platelet activating factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5,
IL6, GM-CSF, dll) yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga hidung tersumbat akibat vasodilatasi
sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran intercellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini
tidak berhenti sampai di sini saja, gejala berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah
sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa
hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan granulocyte
macrophage colony stimulating factor (GMCSF) dan ICAM-1 pada sekret hidung.
TImbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat dari peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti eosinophil cationic
protein (ECP), eosinophilic derived protein (EDP), major basic protein (MBP) dan
eosinophilic peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non-spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembapan udara yang tinggi.
3.8 Penatalaksanaan
Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor
penyebab yang dicurigai. Bila faktor penyebab tidak mampu dilakukan maka
terapi selanjutnya adalah pemberian farmakoterapi maupun tindakan bedah
berupa:
1. Antihistamin
2. Dekongestan oral
3. Sodium kromolin
4. Kortikosteroid inhalasi
5. Imunoterapi
6. Netralisasi antibodi
7. Konkotomi
Antihistamin
Antihistamin adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat
ini bekerja secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor
Histamin-1. Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar
mukus, dan refleks iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor
H-1 dibagi menjadi dua generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama
bersifat sedatif karena bersifat lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik.
Contoh antihistamin generasi pertama adalah klorfeniramin, difenhidramin,
siproheptadin. Antihistamin generasi kedua memiliki keuntungan tidak
menyebabkan sedasi, namun efek samping lain ternyata dilaporkan suatu kasus
kecil berupa anemia aplastik dan golongan tertentu tidak boleh diberikan pada
penderita dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia. Antihistamin
generasi kedua yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin. Dianjurkan
konsumsi antihistamin agar dimakan secara reguler dan bukan dimakan
seperlunya saja karena akan memberikan efek meredakan gejala alergi yang
efektif. Apabila antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian secara
reguler akan memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi sehingga ia
mampu tetap toleran terhadap pekerjaannya.
Dekongestan
Dekongestan oral mengurangi edema pada membran mukus hidung karena
bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi
pengobatan gejala rinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema
membran mukus. Contoh obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin,
fenilpropanolamin, fenilefrin. Obat ini cukup diberikan beberapa hari saja.
Dianjurkan pemberian dekongestan oral dibandingkan dekongestan topikal karena
efek "rebound phenomena" obat tersebut terhadap mukosa hidung yang dapat
menyebabkan rinitis medikamentosa. Pemberian obat ini merupakan
kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau dalam fase "tappering off"
dari obat-obatan monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan terjadinya
krisis hipertensi.
Sodium kromolin
Sodium kromolin bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel
mastosit yaitu berupa mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja
dari obat ini adalah dengan menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel
mast sehingga degranulasi mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai
pilihan alternatif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.
Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi kadar histamin. Kadar
histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin menjadi
histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel mast.
Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap
rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek kortikosteroid
bekerja secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif
mengurangi eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason, budesonid,
dan flunisolid. Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid
sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau sedang menjalani
pengobatan penyakit paru.
Imunoterapi.
Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranya adalah
dengan memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen,
tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan
sama sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE
menjadi produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh
sel T (lebih meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG, maka
antibodi ini akan bersifat "blocking antibody" karena berkompetisi dengan IgE
terhadap alergen, kemudian mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-
antibodi untuk kemudian difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam
tubuh dan tidak merangsang membran mastosit.
Antibodi netralisasi
Bekerja dengan cara memberikan anti IgE monoklonal. Antibodi ini berikatan
dengan IgE yang bebas di dalam tubuh dan tentu saja secara langsung akan
mengurangi produksi IgE selanjutnya oleh sel B. Hasil akhirnya adalah
konsentrasi IgE yang rendah mengurangi sensitivitas basofil. Cara ini tidak hanya
digunakan untuk rinitis alergi, tetapi jenis alergi lain seperti alergi makanan.
Konkotomi
Konkotomi dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila hipertrofi berat
tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat.
3.9 Diagnosis Banding
NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic
syndrome) dapat disingkirkan bila tes kulit
menunjukkan positif terhadap alergen
lingkungan. Penyebab keluhan pada NARES
adalah alergi pada makanan. Rinitis vasomotor
dapat dibedakan dengan rinitis alergi dengan
keluhan bersin pada perubahan suhu ekstrim,
rokok, tidak terdapat gatal pada mata, udara
lembab, hidung tersumbat pada posisi miring dan
bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang
pucat atau merah gelap, licin, edema juga
mendukung rinitis vasomotor. Pada tes kulit
bernilai negatif. Rinitis alergi dan vasomotor
dapat pula terjadi bersamaan dengan memberi
gambaran rinoskopi anterior yang bercampur
seperti mukosa pucat tetapi positif pada tes kulit. Sekresi hidung yang kekuningan
dan tampak purulen tetapi eosinofilik sering terjadi pada rinitis alergi, tetapi pada
sekresi yang berbau busuk dan purulen dan terjadi unilateral perlu dicurigai
adanya benda asing.
3.10 Prognosis
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon
dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi
terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman.
Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga
yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk
status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi
dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade
lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh.