Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring temasuk dalam lima
besar tumor ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan di daerah kepala dan leher
menduduki tempat pertama (KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah
kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).
Santoso (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi
yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973-1976) diantara
8463 kasus keganasan diseluruh tubuh. Di bagiam THT Semarang mendapatkan 127 kasus
KNF dari tahun 2000-2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun
1980 secara pathology based mendapatkan angka pravalensi karsinoma nasofaring 4,7 per
100.000 penduduk atau diperkirakan 7000-8000 kasus per tahun diseluruh Indonesia.
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah, hal
ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring
yang tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli sehingga diagnosis
sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan
makin terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.
Dengan melihat hal tersebut, diharapkan tenaga kesehatan khususnya perawat dapat
berperan dalam pencegahan, deteksi diri, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring
ini. Penulis berusaha untuk menuliskan aspek-aspek yang dirasakan perlu untuk dipahami
melalui tinjauan pustaka dalam referat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Asuhan keperawatan pada klien dengan karsinoma nasofaring ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan karsinoma nasofaring
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian karsinoma nasofaring


Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel ephitalial yang
cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis (Mangan, 2009).
Nasofaring adalah suatu rongga dengan dinding kuku di atas, belakang dan lateral yang
anatomi termasuk bagian faring (Pearce, 2009).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada ephitalial pelapis
ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang langit-langit rongga mulut dengan
predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor
ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor
ganas daerah kepala dan leher merupakan kanker nasofaring., kemudian diikuti tumor ganas
hidung dan paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring
dalam prosentase rendah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013).
Karsinoma Nasofaring sebagian besar adalah tipe epidermoid dengan potensi invasi ke
dasar tulang tengkorang yang menyebabkan neuropati kranial (Lucente, 2011).
Pada banyak klien, karsinoma nasofaring banyak terdapat pada ras monggoloid yaitu
penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Thailand, Malaysia, dan Indonesia juga di daerah
India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga
merupakan jenis kanker yang ditemukan secara genetik (Mangan, 2009).

2.2 Etiologi karsinoma nasofaring


Kanker ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3-1 dan
apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubugannya dengan faktor
genetic, kebebasan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF
berbeda-beda pada daerah dengan insiden yang bervariasi. Pada daerah dengan insiden tinggi
KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya (Ernawati, Kadrianti, & Basri, 2004).
Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah (Mangan,
2009):
1. Kerentanan Genetik
Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap Ca
Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA ( Human luekocyte antigen ) dan
gen pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
Ca Nasofaring, mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian
menunjukkan bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan, sehingga
lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul penyakit.
2. Virus Epstein Barr
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti antigen
kapsid virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA), dll.
Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , menurut (Zulkarnain Haq,
2011) alasannya adalah:
a. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB ( termasuk VCA-
IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas
lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker lain, dan titernya berkaitan
positif dengan beban tumor . Selain itu titer antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai
pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk.
b. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan
EBNA.
c. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB,
ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti juga
banyak.
d. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma
tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.
Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit
ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu
mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa
kanak-kanak. Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca Nasofaring :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia, asap industri,
asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
4. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5. Radang kronis nasofaring
6. Profil HLA
(Huda Nurarif & Kusuma, 2013)
3. Faktor Lingkungan (Zulkarnain Haq, 2011)
Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut
berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
1. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring , kandungan 3,4-
benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di
area insiden rendah.
2. Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses timbulnya kanker
nasofaring.
3. Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan kebiasaan
makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek
mutagenik.

Pembagian Karsinoma Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013)


- Menurut Histopatologi :
1.Well differentiated epidermoid carconoma
Keratinizing
Non Keratinizing
2.Undiffentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
3.Adenocystic carcinoma
Menurut bentuk dan cara tumbuh
1. Ulseratif
2. Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip
3. Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar
Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
Tipe WHO 1
Karsinoma sel skuamosa (KSS)
Deferensiasi baik sampai sedang
Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan)
Tipe WHO 2
Karsinoma non keratinisasi (KNK)
Paling banyak pariasinya
Menyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3
Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD)
Seperti antara lain limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, Clear Cell Carsinoma, varian sel
epitel
Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik

2.3 Anatomi fisiologi nasofaring


Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral,
terletak di bawah dasar tengkorak, belakang naris posterior, dan di atas palatum mole (Pearce,
2009). 4 batas nasofaring (Gibson, 2002) :
Superior : Basis krani, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : Bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif
karena tergantung dari palatum durum
Anterior : Choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri
Posterior : vertebra servicalis I dan II, Fascia space rongga yang berisi jaring longgar, Mukosa
lanjutan dari mukosa atas
Lateral : Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang, Muara tuba eustachii, Fossa
rosenmulleri
Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal
inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius
terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarus dan dibelakannya terdapat suatu lekukan
dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada
daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba
eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah (Anas, 2008).
Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina
faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung
jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan
kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor
ke intrakranial (Pratiwi, 2012).
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan
tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah,
mengucapkan kata-kata tertentu (Pratiwi, 2012).
Struktur penting yang ada di Nasofaring (Gunardi & Saputra, 2012)
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena
cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum yang disebabkan karena musculus
levator veli palatini
4. Plica salpingopalatina. Lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari
musculus salpingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva
terutama ketika menguap atau menelan
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi
Karsinoma Nasofaring
7. Tonsila Pharingea, dibentuk oleh jaringan limfoid yang terbenam di dinding posterior
nasopharing. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflamasi disebut
adenoiditis
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus
9. Isthmus pharinggeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing
karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

Fungsi nasofaring
Sebagai jalan udara pada respirasi
Jalan udara ke tuba eustachii
Resonator
Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

2.4 Tanda dan gejala karsinoma nasofaring


Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring termasuk
fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi
lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorok atau palatum, rongga
hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh
dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul
tergantung pada daerah yang terkena. Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam,
tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri
merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali
oleh karena mirip dengan saluran nafas atas (Lucente, 2011).
Pada Karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi awal. Karena
lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan tuli
konduktif sebagai keluhan. Perluasan infiltratif karsinoma nasofaring berikutnya
membangkitkan perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan napas melalui hidung. Setelah itu,
pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar
(paralisis okular) (Muttaqin, 2008).
Gejala nasofaring yang pokok adalah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
1. Gejala Hidung
Epiktasis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan
Sumbatan Hidung : sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring
dan menutupi koana, gejalanya adalah pilek kronis, ingus kental, gangguan penciuman
2. Gejala Telinga
Kataralis/Oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula pada fossa rosenmuler, pertumbuhan tumor
dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba (berdengung, rasa penuh, kadang gangguan
pendengaran)
Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan dengan tes rinne
dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif
3. Gejala Mata
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda) akibat
perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI.
Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan
4. Gejala Lanjut
Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapt mencapai kelenjar limfe
dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar
membesar dan tampak benjola di leher bagian samping, lama-kelamaan karena tidak dirasakan
kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan
5. Gejala Kranial
Gejala Kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis.
Gelajanya antara lain :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang
Kerusakan pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII.
Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada Lidah, palatum, Faring atau laring, M.
Sternocleidomastoideus, dan M. trapezeus

2.5 Patofisiologi karsinoma nasofaring


Sel-sel epitel ganas nasofaring adalah sel poligonal besar dengan komposisi syncytial.
Sel-sel tidak menunjukkan parakeratosis atau kornifikasi dan sering bercampur dengan sel-sel
limfoid di nasofaring, sehingga dikenal sebagai lymphoepithelioma. Sudah hampir dipastikan
ca nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai
adanya protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan
menghasilkan protin tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus di dalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya
EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear
yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan
konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang menyebabkan
stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan
proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada
nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller (Wei & Sham, 2005).
Penggolongan Ca Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
Tumor Size (T)
1. T : Tumor primer
2. T0 : Tidak tampak tumor
3. T1 : Kanker terbatas di rongga nasofaring
4. T2 : Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah parafaring di anterior dari
garis SO ( garis penghubung prosesus stiloideus dan margo posterior garis tengah
foramen magnum os oksipital ).
5. T3 : Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis kranial, fosa
pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf kranial kelompok anterior atau
posterior.
6. T4 : Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau kanker mengenai
sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-temporal.
Regional Limfe Nodes (N)
7. N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .
8. N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter < 4 cm.
9. N2 : Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm.
10. N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter > 7 cm
Metastase Jauh (M)
11. M0 : Tak ada metastasis jauh.
12. M1 : Ada metastasis jauh.
Penggolongan stadium klinis, antara lain :
1. Stadium I : T1N0M0
2. Stadium II : T2N0 1M0, T0 2N1M0
3. Stadium III : T3N0 - 2M0, T0 3N2M0
4. Stadium Iva : T4N0 3M0, T0 4N3M0
5. Stadium Ivb : T apapun, N Apapun, M1

2.6 Pencegahan Karsinoma nasofaring


1. Ciptakan lingkungan hidup dari lingkungan kerja yang sehat, serta usahakan agar pergantian
udara lancar.
2. Hindari polusi udara, seperti kontak dengan gas hasil kimia, asap industri, asap kayu, asap
rokok, asap minyak tanah, dan polusi lain yang mengaktifkan virus Epstein Bar.
3. Hindari mengkonsumsi makanan yang diawetkan, makanan yang panas, atau makanan yang
merangsang selaput ledir.
(Mangan, 2009)
- Geografis - infeksi
- Jenis kelamin - Genetik
- Pekerjaan - Gaya Hidup
- Makanan diawetkan
Virus Eistain Barr
2.6 Patway Karsinoma Nasofaring
Metastasis sel-sel kanker getah bening melalui aliran limfe
Nyeri
Penyumbatan Muara tuba
Karsinoma Nasofaring
Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel kanker di kelenjar getah bening
Pertumbuhan sel abnormal
Kelenjar melekat pada otot dan sulit digerakkan
Penekanan pada tuba eustacius
Benjolan massa pada leher bagian samping
Menembus kelenjar dan mengenai otak dibawahnya
Obstruksi jalan nafas
Hidung tersumbat dan adanya sekret
Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Mengiritasi sel nasofaring
Hambatan komunikasi verbal
Gangguan Pendengaran

Infeksi dan menutupi koana


Tumor mula-mula pada fossa rosenmuler
Gangguan harga diri rendah
Perubahan sel pada nasofaring
Obstruksi pada waktu menelan
Suplai nutrisi jaringan menurun
Intake kurang
BB menurun
Ketidakseimbangan nutrisi kuramg dari kebutuhan tubuh
Berdengung
Resiko infeksi
ketidakkuatan pertahanan sekunder imunosupresi
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut (Lucente, 2011) :
1. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.
Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral, limfadenopati
leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang tak jelas, dan keluhan lain
harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik.
2. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus aksesorius
dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.
3. Pemeriksaan saraf kranial
Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai prosedur rutin satu
persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah kadang
perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan hasil yang positif
4. Pemeriksaan serologi virus EB
Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah VCA-
IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring berkaitan dengan kadar
dan perubahan antibodi tersebut. Bagi yang termasuk salah satu kondisi berikut ini dapat
dianggap memilki resiko tinggi kanker nasofaring :
i. Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80
ii. Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator
tersebut positif.
iii. Dua dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi
kontinyu atau terus meningkat.
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan nasofaringoskop
elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah perubahan serologi virus
Eb dapat menunjukkan reaksi positif 4 46 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring
ditegakkan.
Diagnosis pencitraan (Lucente, 2011).
1. Pemeriksaan CT Scan : makna klinis aplikasinya adalah membantu menggambarkan invasi
baik ke bidang fasial paranasofaringeal dan invasi tulang tengkorak tanpa kelumpuhan nervus
kranialis, memastikan luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan
zona target terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan
pemeriksaan tingkat lanjut (Schwartz, 2000).
2. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak
membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari pada CT. MRI selai
dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih
dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis pasca radioterapi
dan rekurensi tumor , MRI juga lebih bermanfaat .
a. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis
ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 4-6
bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai
akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas. Bone-scan
sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi tunggal
akumulasi radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan rudapaksa
operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radio terapi, kemoterapi, dll.
b. PET (Positron Emission Tomography) : disebut juga pencitraan biokimia molukelar metabolik
in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme glukosa dari zat kontras 18-FDG dan
pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat gambar PET-CT . itu
memberikan informasi gambaran biologis bagi dokter klinisi, membantu penentuan area target
biologis kanker nasofaring , meningkatka akurasi radioterapi, sehingga efektifitas meningkat
dan rudapaksa radiasi terhadap jaringan normal berkurang.
Diagnosis histologi (Zulkarnain Haq, 2011)
Pada pasien kanker nasofaring sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer nasofaring
untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh diagnosis histologi yang
jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan diagnosis patologik pasti barulah
dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.
Pemeriksaan adanya kanker nasofaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan
nasofaringoskopi, Rinoskopi anterior dan posterior menujukkan tumor pada nasofaring.
Selanjutnya untuk menentukan jenis tumor perlu diadakan biopsi dan pemeriksaan patologi.
Foto rontgen kepala dan CT-scan jika perlu dibuat untuk melihat metastasis ke
intrakranial (Herawati & Rukmini, 2000).

2.8 Penatalaksaan Karsinoma Nasofaring


a. Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan standar untuk karsinoma nasofaring. Tetapi hal ini dapat
menghasilkan komplikasi yang tidak diinginkan karena lokasi tumor di dasar tengkorak dan
organ yang rentan terhadap radiasi termasuk batang otak, sumsum tulang belakang, hipofisis
hipotalamus axis, temporal lobus, mata, telinga tengah dan dalam, dan kelenjar parotis (Wei &
Sham, 2005).
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut, bila ada infeksi
mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher
(benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah
penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik
dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin
dan antivirus (Pratiwi, 2012).

b. Kemoterapi
Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan kemoradioterapi
konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF ( DDP + 5FU ),
kaboplatin+5FU, paklitaksel +DDP, paklitasel +DDP +5FU dan DDP gemsitabin , dll (Wei &
Sham, 2005).
DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum kemoterapi , lakukan hidrasi
3 hari )
5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinyu intravena.
Ulangi setiap 21 hari atau:
Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.
5FU : 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu.
Ulangi setiap 21 hari.
c. Terapi Biologis
Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.
d. Terapi Herbal TCM
Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi radiokemoterapi ,
fuzhengguben ( menunjang, memantapkan ketahanan tubuh) , kasus stadium lanjut tertentu
yang tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi masih dapat dipertimbangkan hanya diterapi
sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini
masih dalam penelitian lebih lanjut.
e. Terapi Rehabiltatif
Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat bervariasi. Oleh
karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan memperbaiki kualitas hidupnya.
f. Rehabilitas Psikis
Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang untuk
disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari situasi emosi depresi.
g. Rehabilitas Fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya merasakan kekuatan
fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun. Harus memperhatikan suplementasi
nutrisi , berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan meningkat
secara bertahap.
h. Pembedahan
Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :
1. Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif terlokalisasi.
2. 3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer nasofaring
3. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
4. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I, II,
adenokarsinoma.
5. Komplikasi radiasi.
(Zulkarnain Haq, 2011)

2.9 Proknosis dari karsinoma nasofaring


Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki
prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini
terjadi karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, metastasis lebih mudah terjadi (Pratiwi, 2012).
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45%, tetapi pada stadium lanjut
kurang dari 3 tahun. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti:
Stadium yang lebih lanjut
Usia lebih dari 40 tahun
Laki-laki dari pada perempuan
Ras Cina dari ras kulit putih
Adanya pembesaran kelenjar leher
Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
Adanya metastasis jauh 12,16

2.10 Komplikasi pada Karsinoma Nasofaring


Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang
selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang
bermanifestasi dalam bentuk (Pratiwi, 2012) :
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas tengkorok lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus menekan
saraf N. III. N. IV, N.VI juga menekan N.II yang menekan kelainan :
Neuralgia trigeminus (N.V) : Trigeminal neuralgia meupakan suatu nyer pada wajah sesisi
yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah disribusi dari
nervus trigeminus.
Plosis palpebra (N. III)
Ophthalmoplegia (N. III, N. IV)

2. Retropariden sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke sekitarnya.
Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah retropharing dimana ada kelenjar getah
bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala.
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pada
sepertiga belakang lidah.
N. X : hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring, disertai gangguan respirasi
dan saliva.
N. XI : kelumpuhan/atrofi oto trapezius, otot SCM serta hemiparese palatum mole.
N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
Sindrom horner : kelumpuhan N, simpaticus servicalis, berupa penyempitan disura palpebralis,
Onoftalmus dan miosis.

Sel-sel kanker dapat mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh
yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati, dan paru. Hal ini
merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa
karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-
masing 20% sedangkan ke hati 10%, ginjal 0,4%, dan tiroid 0,4%.

Anda mungkin juga menyukai