Status Epileptikus Referat
Status Epileptikus Referat
Status Epileptikus (SE adalah gangguan neurolodis yang mengancam jiwa dan banyak
terjadi. Gejala ini merupakan krisis epilepsi yang panjang dan akut. Pada dasarnya, SE
didefinisikan sebagai bangkitan kejang berkelanjutan selama 30 menit atau rangkaian kejang
tanpa kembalinya kesadaran penuh diantara kejang (Epilepsy Foundation). Banyak yang
berpendapat bahwa periode kejang yang lebih singkat dapat menyebabkan kerusakan neuron
dan henti kejang dengan sendirinya tidak akan terjadi setelah 5 menit, sehingga SE
didefinisikan sebagai kejang apapun yang berlangsung lebih lama dari 5 menit, berdasarkan
data yang menunjukkan bahwa kejang kejang umum tipikal berhenti secara spontan antara 3-
5 menit. Istilah status epileptikus dapat digunakan untuk menjelaskan jenis kejang apapun
yang berkelanjutan
Klasifikasi Treiman
Gejala dominant dari kejang yang terjadi kemudian dijadikan salah satu dasar
pengklasifikasian SE. Klasifikasi Treiman (1996) yang digunakan adalah sebagai berikut :
Patofisiologi :
Berbagai perubahan sistemik dan primer otak terjadi selama SE. Kebanyakan bukti
menunjukkan bahwa kerusakan otak primer disebabkan karena aktivitas kejang yang terjadi
daripada karena faktor sistemik. Pada studi klinis manusia, ditemukan nahwa durasi SE
secara langsung berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas. Semakin panjang
durasi SE, semakin mungkin neuron dirusakkan oleh excitatory neurotransmitter. Aktivitas
kejang yang bertahan juga secara progresif mengurangi inhibisi dari GABA.
1. Pada stage awal SE, peningkatan tekanan arteri systemic terlihat. Kenaikan sistolik
rata-rata adlah 84mmHg dan kenaikan diatolik rata-rata 42mmHg. Selama SE
berlangsung, tekanan darah dapat turun sampai level di bawah batas nilai awal.
2. Asidosis biasanya terjadi. Pada hampir sepertiga kasus pH turun sampai kurang dari
7.0. Asidodis berupa respiratorik dan metabolik, namun biasanya tidak ditindak.
3. SE mempengaruhi tidak hanya aspek mekanik dari nafas, namun juga menyebabkan
pulmonary edema. Banyak pengobatan yang digunakan untuk SE (terutama
benzodiazepinedan barbiturate) menghambat pernafasan baik secara individual
maupun kombinasi. Pasien yang sudah menerima full loading dose benzodiazepine
dan yang sedang diberikan barbiturate untuk SE harus diintubasi sebelum kombinasi
ini diberikan.
4. Hipertermi, yang sering terjadi pada SE, disebabkan aktivitas motorik sebagaimana
juga akibat simpatis sentral. Pada 90 pasien dengan SE, 75 hipertermi dengan
temperature mencapai 42C. Hipertermi dihubungkan dengan dampak neurologist
yang buruk dan harus diobati secara agresif.
5. Leukositosis ringan adalah wajar baik pada darah maupun CSF, meski tanpa bukti
adanya infeksi
Frekuensi :
Mortalitas/Morbiditas :
Umur :
Status epileptikus dapat terjadi pada segala jenis golongan umun, namun lebih sering
pada umur-umur extrim
Pada golongan neonatal, status epileptikus dapat berhubungan dengan akibat hipoksik
perinatal atau gangguan metabolik.
Pada penghujung umur yang lain, orang-orang tua memiliki peningkatan kejadian
status epileptikus sekunder terhadap adanya iskemik SSP.
Manifestasi Klinis :
Pemeriksaan Fisik :
Beberapa pemeriksaan fisik dapat menyediakan informasi mengenai penyebab dari terjadinya
SE. Bukti adanya tanda dapat menunjukkan penggunaan obat terlarang. Pemeriksaan
neurologist juga dapat membantu. Papiledema, tanda TTIK, menunjukkan kemungkinan lesi
massa atau infeksi otak. adanya lateralisasi tanda neurologist, seperti nada yang meningkat,
refleks asimetris, atau lateralisasi dari gerakan selama SE itu sendiri, bersifat sugestif untuk
kejang yang mulanya terlokalisasi di otak, dan mungkin menunjukkan adanya kelainan
struktur otak.
Etiologi :
- Pemeriksaan Lab yang harus dilakukan pada keadaan emergency termasuk penentuan
kadar elektolit darah, kalsium, magnesium, dan gula darah
- Tes CBC dan fungsi ginjal, gas darah arteri, skriining toksikologi, dan kadar
antikonvulsan sering membantu.
- Kultur darah, urinalisis, dan lumbar puncture (setelah neuroimaging untuk
menyingkirkan cerebral herniation) diindikasikan jika suspek etiologi infeksi
didapatkan.
Neuroimage :
- CT Scan sering membantu mengevaluasi lesi structural (tumor otak, infark, abses,
perdarahan) yang mungkin menjadi penyebab SE. Bagaimanapun, pemeriksaan
neuroimaging tidak boleh langsung diikuti oleh pengobatan yang cepat dan
aggressive.
- MRI otak jarang diindikasikan pada fase akut. Meskipun MRI menyediakan lebih
banyak informasi dari CT scan, namun lebih memakan waktu dan informasi tambahan
jarang mempengaruhi pengobatan dan evalusi segera.
Tes Lain :
Beberapa penulis percaya EEG harus menjadi bagian yang rutin dari pengobatan
Terapi :
- Sebagai initial IV treatment untuk generalized convulsive SE, lorazepam lebih efektif
dari fenitoin sendiri.
- Meskipun lorazepam tidak lebih efektif daripada febobarbital atau diazepam plus
fanitoin, itu lebih mudah digunakan.
Durasi, etiologi, pola EEG, dan tampilan klinis pada awal pengobatan menentukan response
pada pengobatan.
- Semakin lanjut stage dari SE, makin kurang response terhadap pengobatan
- 56% pasien yang pertama terlihat dengan generalized convulsive SE berhasil pada
initial treatment. Hanya 15% individual dengan subtle, generalized convulsive SE
yang berhasil dengan initial treatment (Treiman, 1998)
Konsultasi :
Pengobatan :
Kebanyakan pasien yang diterapi secara agresif dengan benzodiazepine, fosfenitoin, dan/atau
fenobarbital mengalami penghentian lengkap dari kejangnya. Jika SE tidak berhenti, anastesi
umum diindikasikan. Tidak ada laporan studi prospektif dalam pengobatan terhadap
refractory SE yang telah dipublikasikan, namun peneliti-peneliti dari review retrospaktif telah
menjelaskan penggunaan fenobarbital, thiopental, infuse midazolam, propofol, levetiracetam,
topiramate, valproat, dan agen enstesi inhalasi.
Penanganan :
- Mulai dengan IV line, berikan 50mL bolus dari 50% dextrose IV, lalu mulai
antikonvulsan.
- Berikan diazepam atau lorazepam 0,15mg/kg IV selama 5 menit, diikuti dengan
fosfeniton sebanyak 15-20mg phenytoin equivalent (PE)/kg pada kecepatan tidak
melebihi 150mg/menit
- Intubasi jika perlu, dan control hipertermia
- Jika kejang berlanjut setelah 20 menit, berikan fosfenitoin tambahan 10mg PE/kg
- Jika kejang berlanjut setelah 20 menit, berikan fosfenitoin tambahan 10mg PE/kg
- Jika kejang berlanjut, berikan anestesi umum
Prognosa :
1. Hidrosefalus.
Hidrosefalus dapat saja terjadi walaupun telah didapatkan respoon yang baik terhadap
pengobatan. Hampir selalu terjadi pada penderita yang bertahan hidup lebih dari 4-6
minggu. Sering menimbulakn kebutaan dan dapat menjadi penyebab kematian yang
lambat. dapat terjadi hidrosefalus saja maupun hidrosefalus dengan paraplegia.
2. Kelainan saraf otak
Kelainan pada saraf otak II, III, VI, dan VIII sering dijumpai sebagai penyulit meningitis
tuberkulosa.
- Kebutaan dapat disebabkan oleh lesi tuberkulosa sendiri pada nerves optikus. Selain
ini dapat juga disebabkan oleh penekanan pada chiasma oleh eksudat peradangan atau
archnoiditis. Kebutaan juga dapat terjadi sekunder akibat papil edema atau
hidrosefalus. Akibatnya dapat terjadi atrofi optic primer atau sekunder. Beberapa
penelitian menemukan atrofi optic sebagai penyulit terbanyak.
- Parese nervus III terjadi akibat peradangan atau penekanan oleh eksudat peradangan.
Selain pareses nervus III dapat juga dijumpai parese nerves VI, baik unilateral
maupun bilateral.
- Ketulian lebih sering diakibatkan keracunan obat streptomicyn terutama dihidro-
streptomicyn, disbanding oleh penyakit meningitis tuberkulosanya sendiri. Sebagian
Dapat terjadi tuli total, tulian perseptif, dan tuli nada tinggi.
- Dapat juga ditemukan defek pada nerves VII, X, XI, XII.
3. Retardasi mental.
Penyulit ini paling sering dijumpai pada anak-anak dengan usia di bawah 3 tahun,
jarang pada dewasa kecuali bila didapatkan kerusakan neurologik berat. Gangguan
terbanyak adalah dalam hal atensi, konsentrasi, ingatan, abstraction, dan synthesis. Untuk
memastikan adanya retardasi mental perlu pemeriksaaan tes psikometris berulang-ulang
pada pemeriksaan lanjut.
Pada anak dengan retardasi mental dan gangguan tingkah laku permanent biasanya
didapatkan juga hidrosefalus berat dan gejala sisa lain seperti hemiparesis, atrofi otak, dan
epilepsy yang emnandakan suatu kerusakan otak luas. Penderita dewasa dengan gangguan
mental dapt bekerja kembali dengan normal.
4. Kejang
Kejang pada umumnya ditemukan pada stadium akut penyakit, walaupun demikian
dapat juga merupakan gejala sisa pada 8-12% penderita dan dapat merupakan satu-
satunya gejala sisa pada meningitis tuberkulosa.
5. Defisit motorik
Penyulit ini dapat berupa monoplegia, hemiplegia, paraplegia, atau tetraplegia.
Monoplegia akibat lesi vaskuler yang kecil, paling jarang dijumpai. Hemiplegia terjadi
akibat penekanan eksudat peradangan pada arteri serebri media atau arteri karotis interna
yang sedang mengalami suatu angiopati granulomatosa atau fibrosa, sehingga terjadi
oklusi pembuluh darah tersebut. Infark, edema hebat atau tuberkuloma dapat menjadi
penyebab hemiplegia.
Paraplegia disebabkan kompresi pada medulla spinalis oleh eksudat peradangan,
arakhnoiditis spinal, atau karena spondilitis (Pott paralysis). Biasanya survival rate rendah
pada penderita dengan tetraplegia sebagai gejala sisa atau jika terjadi penyembuhan akan
disertai retardasi mental berat dan kadang-kadang disertai atetosis.
6. Relapse penyakit
Relaps terjadi karena banyak focus ekstrapulmonal tidak terjangkau oleh pengobatan,
sehingga terjadi reinfeksi berulang pada meningen. Relaps dapat terjadi beberapa minggu
atau bulan setelah pengobatan berakhir. Relaps dapat juga disebabkan pengobatan yang
tidak adekuat.
7. Gangguan endokrin dan metabolik.
Kelainan endokrin terjadi karena kompresi eksudat peradangan yang kental pada
daerah basal otak dekat hipotalamus atau hipofisis baik sewaktu proses meningitis aktif
maupun sewaktu terjadi fibrosis pada masa menyembuhan. Selain ini dapa juga
disebabkan kompresi pada hipotalamus dan hipofisis oleh pembesaran ventrikel atau
terdapatnya tuberkuloma pada daerah tersebut. Gejala-gejalanya berupa sindrom
Cushingm obesitas, pubertas precocs dengan retardasi mental, pituitary dwarfism, dan
diabetes insipidus. Hal ini lebih sering terjadi pada meningitis tuberkulosa daripada
meningitis bakteri, viral, maupun jamur karena mungkin peradangan pada meningitis TB
lebih banyak pada basis otak atau basil TBC sendiri dan host response terhadap
organisme ini menimbulkan suatu sindrom SIADH.
8. Kalsifikasi intracranial.
Kalsifikasi ini hanya akan dijumpai pada pemeriksaan lanjutan 2 sampai 8 tahun.
Ditemukan kalsifikasi intracranial pada system basalis, interpedunkularis, kiasmatik,
ambiens, meningen, dan jaringan otak.
9. Ensefalopati post meningitis
Istilah ini menggambarkan suatu deteriorasi neurologik yang progresif, dimana terjadi
penurunan kesadaran yang dapat atau tidak disertai dengan kejang dan sering berakhir
dengan suatu rigiditas deserebrasi, koma, dan kematian dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu. Keadaan ini dapat terjadi setelah ada perbaikan baik klinik maupun
dalam kelainan cairan serebrospinal.
Mekanisme yang berperan dalam hal ini adalah 2 reaksi imunologik yaitu delayed
hypersensitivity dan immediate type reaction serta 2 substantia entigen yaitu
tuberkuloprotein yang berasal dari hasil tuberkel yang mengalami lisis dan antigen yang
merupakan bagian dari otak sendiri yaitu fraksi kecil myelin.
CLINICAL SCIENCE STUDY
Status Epileptikus
Komplikasi Meningitis TB
Pengobatan Epilepsi
Perdarahan Sub Arachnoid
Oleh :
Nathania Wonoputri (C11050202)
Adhika Anindita (C11050243)
Pembimbing :
UNIVERSITAS PADJADJARAN
KAKULTAS KEDOKTERAN
BANDUNG
2006